Tag: Evita Nursanty

  • Komisi VII DPR imbau industri domestik serap tembaga Freeport Gresik

    Komisi VII DPR imbau industri domestik serap tembaga Freeport Gresik

    Gresik, Jawa Timur (ANTARA) – Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Evita Nursanty mengimbau industri domestik bisa menyerap katoda tembaga hasil produksi Smelter PT Freeport Indonesia (PTFI) di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di Gresik, Jawa Timur.

    “Dengan produksi yang ada itu sebenarnya tidak terserap domestik 100 persen, masih banyak. Ini diapakan?” katanya dalam kunjungan Komisi VII DPR RI ke Smelter PTFI di KEK Gresik, Jawa Timur, Kamis.

    Imbauan Evita tersebut setelah mendapat laporan dari pihak PTFI bahwa industri dalam negeri ternyata masih belum siap untuk menyerap seluruh hasil produksi dari Smelter PTFI.

    Padahal fasilitas PTFI ini diperkirakan mampu memurnikan hingga 3 juta ton konsentrat tembaga per tahun dan dari jumlah itu diproyeksikan dihasilkan sekitar 1 juta ton katoda tembaga, 50 ton emas, dan 200 ton perak.

    Oleh sebab itu, selain mendorong industri domestik untuk menyerap, Komisi VII DPR RI turut mendorong pemerintah yang bertugas mengatur perindustrian untuk bisa membantu mencari jalan keluar bagi PTFI.

    Evita menegaskan Kementerian Perindustrian harus mulai memikirkan untuk membangun hilirisasi-hilirisasi lain yang memiliki hubungan dengan produk yang dihasilkan oleh Smelter PTFI.

    “Karena sayang kita sudah hilirisasi tapi tidak dilakukan penyerapan domestik, mau tidak mau kita ekspor lagi. Peningkatan hilirisasi ini jadi konsentrasi Komisi VII di departemen perindustrian,” ujarnya.

    Pewarta: Astrid Faidlatul Habibah
    Editor: Zaenal Abidin
    Copyright © ANTARA 2025

  • PPN 12 Persen pada 2025, Sri Mulyani Pastikan Beras hingga Listrik Tak Kena Dampak – Page 3

    PPN 12 Persen pada 2025, Sri Mulyani Pastikan Beras hingga Listrik Tak Kena Dampak – Page 3

    Sebelumnya, Pemerintah tengah mempersiapkan beberapa insentif fiskal, sebagai kompensasi dari kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% di 2025. Penerapan PPN 12% ini diyakini akan memberatkan untuk sebagian lapisan masyarakat oleh sebab itu perlu adanya insentif. 

    Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso mengatakan, bahwa insentif yang akan disalurkan pemerintah untuk 2025 mendatang masih dalam tahap finalisasi. Insentif yang dimaksud adalah insentif PPnBM Ditanggung Pemerintah (DTP) untuk pembelian mobil listrik, dan PPN DTP untuk sektor properti.

    “(Insentif) sedang dikaji untuk mem-balance (menginbangi) dampaknya PPN 12%, kita memberikan usulan beberapa skema insentif fiskal khususnya PPN DTP dan PPnBM DTP,” kata Susiwijono di Jakarta, dikutip Selasa (10/12/2024).

    “Lagi difinalisasi angka-angkanya,” ungkapnya.

    Namun, ia enggan menyebut secara spesifik kapan aturan teknis dalam bentuk Peraturan Menteri Keuangan (PMK) ini akan diterbitkan oleh pemerintah.

    Seperti diketahui, Presiden Prabowo Subianto sudah mengumumkan kebijakan terkait kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen. Kenaikan PPN menjadi 12 persen akan diberlakukan per 1 Januari 2025. Pemerintah dan DPR menyebut bahwa penerapan kebijakan tarif PPN 12 persen itu hanya menyasar dan selektif hanya kepada barang mewah.

    Barang Mewah Lokal Tak Kena

    Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Evita Nursanty mengusulkan kepada pemerintah agar barang mewah tertentu produksi dalam negeri tak kena Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen.

    “Harusnya produk dalam negeri itu punya spesifikasi, mereka tidak dikenakan 12 persen tapi 10 persen. Itu-lah perbedaan yang diimpor dan produk dalam negeri,” katanya di sela kunjungan kerja reses industri kecil menengah minuman anggur di Denpasar, Bali, Sabtu (7/12/2024) seperti dilansir Antara.

     

  • Komisi VII DPR kawal proses penghapusan piutang macet UMKM

    Komisi VII DPR kawal proses penghapusan piutang macet UMKM

    Denpasar (ANTARA) – Komisi VII DPR RI mengawal proses penghapusan piutang macet oleh pelaku usaha mikro kecil menengah (UMKM) yang masuk daftar penghapusbukuan di bank badan usaha milik negara (BUMN).

    “Harus dibuat juklaknya (petunjuk pelaksana),” kata Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Evita Nursanty di sela kunjungan kerja reses di Denpasar, Bali, Sabtu.

    Wakil rakyat itu menilai petunjuk pelaksana berperan penting agar tidak semua pelaku usaha menginginkan utangnya masuk kategori dihapus.

    Ia mendorong agar skema komprehensif penghapusan piutang macet itu dipercepat untuk memastikan kelangsungan usaha pelaku UMKM tersebut.

    Di sisi lain, ia juga menyakini perbankan memiliki skema yang ketat dalam mengawasi dan menindaklanjuti apabila pelaku UMKM yang mendapatkan keringanan itu kembali mengakses kredit di perbankan.

    “Kalau ada masalah baru itu urusan kami, regulasi ada di kami dan apa yang menjadi hambatan di lapangan. Kami kawal, sudah pasti,” ucapnya.

    Sebelumnya, Presiden RI Prabowo Subianto meneken Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47 Tahun 2024 tentang Penghapusan Piutang Macet kepada UMKM bidang pertanian, perkebunan, peternakan, dan kelautan serta UMKM lainnya pada Selasa (5/11).

    Di sisi lain, Kementerian Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) menargetkan proses penghapusan piutang macet UMKM dapat selesai pada April 2025 sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47 Tahun 2024.

    Menteri UMKM Maman Abdurrahman menyatakan apabila sudah masuk dalam kategori hapus buku, maka bank BUMN bisa menghapus tagih kredit para pelaku UMKM.

    Adapun jumlah UMKM yang masuk dalam kategori itu diperkirakan mencapai ratusan ribu debitur.

    “Jangan sampai ini diterjemahkan oleh semua pengusaha-pengusaha UMKM bahwa kebijakan ini berlaku untuk semuanya. Ini hanya berlaku untuk pengusaha-pengusaha UMKM yang memang sudah masuk dalam daftar penghapusbukuan,” kata Maman di sela rapat kerja dengan Komisi VII DPR RI, di Jakarta, Selasa (19/11).

    Berdasarkan aturan dalam PP Nomor 47 Tahun 2024, hapus tagih kredit dilakukan oleh bank BUMN atau lembaga keuangan nonbank BUMN yang sebelumnya telah dihapusbukukan.

    Sesuai kriteria yang telah ditentukan, bank BUMN atau lembaga keuangan nonbank hanya bisa menghapus tagih kredit yang nilai pokok piutang macet maksimal Rp500 juta per debitur atau nasabah.

    Kredit tersebut hanya bisa dihapus tagih apabila telah dihapusbukukan minimal lima tahun sejak PP berlaku.

    Kemudian, kredit tersebut bukan kredit yang dijamin dengan asuransi atau penjaminan kredit, serta tidak memiliki agunan atau memiliki agunan kredit namun dalam kondisi tidak memungkinkan untuk dijual.

    Pewarta: Dewa Ketut Sudiarta Wiguna
    Editor: Tasrief Tarmizi
    Copyright © ANTARA 2024

  • Anggota DPR usul barang mewah lokal tak kena PPN 12 persen

    Anggota DPR usul barang mewah lokal tak kena PPN 12 persen

    Terkait klasifikasi barang mewah yang dapat dikenakan PPN 12 persen perlu finalisasi regulasi

    Denpasar (ANTARA) – Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Evita Nursanty mengusulkan kepada pemerintah agar barang mewah tertentu produksi dalam negeri tak kena Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen.

    “Harusnya produk dalam negeri itu punya spesifikasi, mereka tidak dikenakan 12 persen tapi 10 persen. Itu-lah perbedaan yang diimpor dan produk dalam negeri,” katanya di sela kunjungan kerja reses industri kecil menengah minuman anggur di Denpasar, Bali, Sabtu.

    Ia memberi contoh apabila minuman anggur dianggap barang mewah, maka perlu dipertimbangkan untuk produk yang diproduksi oleh industri kecil menengah (IKM) dalam negeri.

    “Kami ingin tahu barang mewah ini seperti apa? Kami khawatirkan dulu 12 persen pukul rata tapi presiden sudah mengeluarkan pernyataan ini hanya berlaku untuk barang mewah,” imbuhnya.

    Mengingat kebijakan itu sudah tertuang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), maka PPN 12 persen tetap harus dilaksanakan rencananya per 1 Januari 2025.

    “PPN ini kan hanya diberlakukan pada barang mewah. Kemudian untuk di luar barang mewah itu tidak dikenakan, masih 11 persen. Saya pikir ini kebijakan luar biasa yang sesuai amanah undang-undang tetap harus kita lakukan,” kata wakil rakyat sekaligus mantan penyiar TVRI di Bengkulu itu.

    Kepala Negara mengungkapkan kenaikan PPN itu hanya akan berlaku untuk barang-barang mewah, sementara perlindungan terhadap rakyat tetap menjadi prioritas pemerintah.

    “Kan sudah diberi penjelasan, PPN adalah undang-undang, ya kita akan laksanakan, tapi selektif hanya untuk barang mewah,” kata Presiden RI Prabowo Subianto.

    Pewarta: Dewa Ketut Sudiarta Wiguna
    Editor: Edy M Yakub
    Copyright © ANTARA 2024

  • Poltekpar adakan riset pariwisata ungkap Bali belum overtourism

    Poltekpar adakan riset pariwisata ungkap Bali belum overtourism

    Kalau kami lihat Bali memang belum overtourism.

    Nusa Dua, Bali (ANTARA) – Politeknik Pariwisata (Poltekpar) Bali mengadakan riset pariwisata yang mengungkap Pulau Dewata belum mengalami kunjungan terlalu banyak wisatawan (overtourism).

    “Kalau kami lihat Bali memang belum overtourism,” kata Direktur Poltekpar Bali Ida Bagus Putu Puja, di Nusa Dua, Kabupaten Badung, Jumat.

    Ia menuturkan kajian yang dilaksanakan pada semester 1-2024 itu mengambil tiga lokasi sebagai subjek kajian, yakni kawasan wisata Canggu di Kabupaten Badung, Sanur di Kota Denpasar, dan Ubud di Kabupaten Gianyar.

    Menurut dia, dari kajian itu didapatkan bahwa konsentrasi wisatawan terdata di lokasi tertentu dan belum menyeluruh di seluruh Bali.

    Namun, kata dia lagi, kendala yang saat ini dihadapi di antaranya infrastruktur pariwisata yang belum mendukung, regulasi hingga distribusi atau pemerataan wisatawan di seluruh Bali.

    “Jadi harus ada tempat menarik lagi, di tempat lain dikembangkan dengan inovasi dan kreativitas,” katanya.

    Kajian dari kampus pariwisata itu terkait overtourism disampaikan Puja di sela kunjungan kerja reses Komisi VII DPR RI di Poltekpar Bali yang berada di bawah naungan Kementerian Pariwisata, mitra kerja komisi tersebut.

    Dalam kunjungan kerja wakil rakyat itu, peran lembaga pendidikan pariwisata diperlukan salah satunya melakukan kajian guna mengatasi isu terkini yang dihadapi pariwisata Bali, salah satunya soal overtourism.

    Dalam kesempatan itu, Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Evita Nursanty mengharapkan Poltekpar Bali menjadi percontohan dan mengambil peran penting dalam mengoptimalkan hasil riset misalnya terkait isu terkini tersebut.

    Ia menilai, apabila isu tersebut dilemparkan sebagai sebuah asumsi, diperkirakan isu itu dijadikan alat bagi kompetitor Bali di luar negeri untuk mempengaruhi wisatawan lainnya agar tidak mengunjungi Pulau Dewata, dan beralih ke destinasi pesaing tersebut.

    “Isu Bali overtourism itu benar tidak atau itu hanya asumsi saja?. Nanti kami bisa umumkan bahwa Poltekpar membuat riset, bahwa itu tidak benar Bali overtourism,” katanya pula.

    Dalam kunjungan kerja reses Komisi VII DPR RI itu, isu terkait kelebihan kapasitas dari kunjungan wisatawan itu menjadi salah satu topik.

    Anggota Komisi VII DPR RI Beniyanto mengharapkan Poltekpar Bali membuat lembaga kajian yang mengatur zonasi pariwisata menyikapi isu kelebihan kunjungan wisatawan itu.

    “Membuat kajian zonasi pariwisata, sehingga wisatawan itu tidak bosan dengan destinasi yang sudah ada,” katanya lagi.

    Senada dengan Beniyanto, anggota lainnya yakni Eva Monalisa mengatakan saat ini Bali menghadapi tantangan di antaranya isu wisatawan tidak disarankan mengunjungi Bali, karena terkait sampah, kemacetan dan wisatawan yang datang terlalu ramai.

    Pewarta: Dewa Ketut Sudiarta Wiguna
    Editor: Budisantoso Budiman
    Copyright © ANTARA 2024

  • Komisi VII DPR minta Poltekpar Bali fokus tingkatkan edukasi MICE 

    Komisi VII DPR minta Poltekpar Bali fokus tingkatkan edukasi MICE 

    Nusa Dua, Bali (ANTARA) – Komisi VII DPR RI meminta Politeknik Pariwisata (Poltekpar) Bali fokus meningkatkan edukasi terkait pengelolaan destinasi wisata Meetings, Incentives, Conventions, and Exhibitions (MICE) karena pariwisata bisnis tersebut berperan penting dongkrak ekonomi Pulau Dewata.

    “Kita perlu sumber daya manusia (SDM) yang kuat untuk menyelenggarakan kegiatan (MICE) berskala internasional,” kata Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Evita Nursanty di sela kunjungan kerja reses di Poltekpar Bali, Nusa Dua, Kabupaten Badung, Bali, Jumat.

    Menurut dia, Pulau Dewata selama ini juga dikenal sebagai tujuan wisata MICE dan sukses menjadi tuan rumah sejumlah agenda skala dunia di antaranya KTT APEC hingga G20.

    Sehingga ke depan, ia menyakini sumber daya manusia khususnya yang memiliki kompetensi bidang pariwisata MICE tetap dibutuhkan dan institusi pendidikan pariwisata memegang peranan penting dalam memberikan edukasi dan pelatihan kepada mahasiswa.

    Ia menjelaskan pariwisata MICE memerlukan keahlian dalam pengaturan layanan tertentu untuk setiap pelaksanaan pertemuan, konferensi dan pameran di antaranya perhotelan, sistem, registrasi, persidangan, makan malam hingga kebutuhan agenda penunjang wisata MICE lainnya.

    Sementara itu, Direktur Poltekpar Bali Ida Bagus Putu Puja menjelaskan pihaknya sudah memiliki program studi terkait MICE yakni diploma IV Pengelolaan Konvensi dan Acara (PKA) dengan lama program empat tahun atau delapan semester.

    Ia menjelaskan program studi PKA itu dilaksanakan dengan menggandeng Asia Pasific Institute for Events Management (APIEM) yakni institusi pendidikan yang bermarkas di kota Leeds, Inggris.

    “Dosennya sudah berstandar internasional. Ini perlu dukungan baik dari pemerintah, termasuk DPR dan juga dari industri, komunitas dan media itu sangat penting,” katanya.

    Selain soal pariwisata MICE, sejumlah masukan dan isu diutarakan sebanyak 19 anggota Komisi VII DPR RI yang hadir serangkaian kunjungan kerja reses di Poltekpar Bali, di antaranya terkait program pendidikan dan pelatihan, kajian untuk zonasi pariwisata, jaminan kerja bagi lulusan pariwisata, mitigasi pandemi di sektor pariwisata, hingga memastikan lulusan pariwisata juga mampu menciptakan lapangan pekerjaan.

    Selain itu, para wakil rakyat di Senayan itu juga menyerap tantangan yang dihadapi kampus tersebut misalnya terkait upaya meningkatkan kewirausahaan sektor pariwisata.

    Sejak berdiri pada 1978 hingga saat ini, Sekolah Tinggi Pariwisata (STP) Bali yang kemudian pada 2019 berganti nama menjadi Poltekpar Bali memiliki alumni sebanyak 23 ribu dan saat ini memiliki 2.500 orang mahasiswa dari program studi diploma tiga (D3), D4 dan pascasarjana.

    Poltekpar Bali merupakan satu dari total enam kampus sejenis yang ada di bawah naungan Kementerian Pariwisata yakni tersebar di Medan, Palembang, Bandung, Lombok dan Makassar.

    Pewarta: Dewa Ketut Sudiarta Wiguna
    Editor: Budi Suyanto
    Copyright © ANTARA 2024

  • Komisi VII DPR: Perlu sinergi dan kolaborasi global demi ekraf RI

    Komisi VII DPR: Perlu sinergi dan kolaborasi global demi ekraf RI

    Ini tidak bisa dikerjakan sendirian, kami dorong kementerian/lembaga ini duduk bersama punya konsep besar dan strategi bersama, dari hulu ke hilir

    Jakarta (ANTARA) – Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Evita Nursanty menegaskan pentingnya sinergi antar kementerian dan lembaga serta kolaborasi global dengan merek internasional untuk memajukan ekonomi kreatif (ekraf) Indonesia dan memperkuat promosi global.

    “Kita butuh terobosan besar hasil kolaborasi antar-kementerian/lembaga mulai dari Kementerian Ekonomi Kreatif, Kementerian Perindustrian, Kementerian UMKM, Kementerian Pariwisata, Kementerian BUMN,” kata Evita dalam keterangan di Jakarta, Kamis.

    Evita menekankan hal itu dalam Rapat Kerja (Raker) Komisi VII DPR RI dengan Menteri Ekonomi Kreatif/Kepala Badan Ekonomi Kreatif (Menekraf/Kabekraf) Teuku Riefky Harsya di Gedung DPR RI Senayan, Jakarta.

    “Ini tidak bisa dikerjakan sendirian, kami dorong kementerian/lembaga ini duduk bersama punya konsep besar dan strategi bersama, dari hulu ke hilir,” ujarnya.

    Menurut Evita, potensi ekonomi kreatif Indonesia ini sangat besar, sehingga butuh kebersamaan untuk menghasilkan gelombang atau dampak besar di pasar global.

    “Bisa kerja sama dengan merek global. Seperti Dior, Louis Vuitton dengan batik, perlu lebih sering dilakukan,” tuturnya.

    Evita juga menyoroti kemungkinan kolaborasi dengan restoran atau toko internasional yang dapat memperkuat posisi produk kreatif Indonesia.

    Menurutnya, kuliner Indonesia banyak diminati. Indonesia menjadi sumber rempah-rempah terbaik dunia, memiliki kekayaan laut yang melimpah.

    “Dipadu dengan kekayaan tradisi yang tidak ada bandingannya, serta manusia-manusia kreatif di banyak subsector unggulan. Ini modal besar kita untuk mendorong lebih banyak produk lokal yang berdaya saing ke pasar global,” ujarnya.

    Dia juga meminta diaspora Indonesia untuk aktif mempromosikan produk lokal di negara tempat tinggal masing-masing.

    “Diaspora Indonesia harus dilibatkan dalam promosi ini. Seperti kolaborasi restoran internasional dengan menu khas Indonesia. Begitu juga dengan kriya atau kerajinan tangan, film, animasi, musik, seni pertunjukan dan seterusnya,” ucapnya.

    Selain itu, tambah Evita, media juga harus mengambil peran strategis dalam mempromosikan produk unggulan nasional. Media dinilai mampu menjadi alat efektif untuk memperluas jangkauan produk kreatif ke pasar yang lebih besar.

    “Media kita dapat menggerakkan ekonomi kreatif. Sekaligus mendorong produk unggulan kita lebih dikenal secara global. Dalam hal ini mungkin kita perlu lembaga yang bisa membangun message-nya atau konten yang tepat khusus untuk pasar global,” katanya.

    Evita juga berpandangan, perlu regulasi yang mendukung equal treatment bagi pelaku usaha ekonomi kreatif, penyederhanaan regulasi perizinan yang membebani, memberikan insentif bagi pelaku usaha ekonomi kreatif lokal, hingga strategi pemberian stimulant dana ekonomi kreatif.

    “Termasuk pengembangan kualitas SDM dan lainnya agar terbangun ekosistem yang baik untuk mendorong industri kreatif lebih maju dan berdaya saing tinggi,” tambahnya.

    Pewarta: Muhammad Harianto
    Editor: Agus Salim
    Copyright © ANTARA 2024

  • Kenaikan PPN Jadi 12 Persen Bakal Kurangi Daya Saing Produk UMKM

    Kenaikan PPN Jadi 12 Persen Bakal Kurangi Daya Saing Produk UMKM

    Jakarta, Beritasatu.com – Wakil Ketua Komisi VII DPR Evita Nursanty meminta pemerintah untuk mengkaji ulang pemberlakuan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen pada Januari 2025. Pemerintah, kata dia, perlu mempertimbangkan kondisi ekonomi saat ini, meskipun PPN tersebut merupakan amanat dari UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

    “Kami memahami maksud Pemerintah untuk peningkatan pendapatan, tapi sekarang gejolak ekonomi sudah banyak berdampak signifikan ke rakyat. Pikirkan juga nasib jutaan UMKM yang akan terdampak, termasuk pekerja yang hidup dari sana,” ujar Evita dalam keterangannya, Kamis (21/11/2024).

    Menurut Evita, PPN yang meningkat akan membuat harga barang dan jasa juga akan naik sehingga daya beli masyarakat akan terpengaruh khususnya bagi kelompok masyarakat menengah ke bawah. Padahal, kata dia, sektor UMKM akan sangat bergantung pada stabilitas daya beli masyarakat. Kalau daya beli menurun, sudah pasti produk UMKM cenderung turun seiring dengan naiknya harga jual.

    “UMKM berisiko mengalami penurunan penjualan yang signifikan, mengakibatkan ketidakmampuan untuk mempertahankan arus kas dan keseimbangan keuangan usaha mereka. Jika ini dipaksakan pada waktu yang tidak tepat maka masyarakat akan makin sulit terimbas dampak ikutannya, dan pertumbuhan ekonomi tahun depan akan lebih rendah dari target semula,” jelas Evita.

    Evita mengakui ada sejumlah barang yang dikecualikan dari kenaikan PPN 12 persen, seperti barang-barang kebutuhan pokok, jasa pendidikan, layanan kesehatan, transportasi dan lainnya. Hanya saja, kata dia, ada banyak barang yang terdampak imbasnya, termasuk produk lokal yang akan menjadi lebih mahal dari sebelumnya.

    “Tentunya ini mengurangi daya saing produk UMKM di pasar. Situasi ini akan membuat konsumen memilih produk impor yang lebih murah dan mengakibatkan ketimpangan pasar serta mempersulit UMKM untuk mempertahankan pangsa pasar mereka,” jelas dia.

    Evita menilai pemerintah memiliki ruang untuk kembali mengkaji ulang PPN 12 persen, meski merupakan amanat dari UU HPP. Hal ini masih dimungkinkan mengingat dalam Pasal 7 ayat (3) UU HPP disebutkan bahwa PPN dapat diubah menjadi paling rendah 5 persen dan paling tinggi 15 persen.

    “Jadi pemerintah masih bisa punya kewenangan untuk mengubahnya, misalkan melalui penerbitan peraturan pemerintah (PP) setelah dilakukan pembahasan dengan DPR. Pemerintah harus bijaksana melihat kondisi ekonomi yang masih sulit bagi masyarakat,” tutur Evita.

    Evita berharap pemerintah fokus pada pembenahan sistem administrasi pajak dan efisiensi belanja negara akan lebih bermanfaat bagi perekonomian ketimbang membebani UMKM dengan kenaikan pajak.

    “Pemerintah perlu mempertimbangkan alternatif yang lebih inklusif dan berorientasi pada keberlanjutan sektor UMKM. Daripada menaikkan PPN, pemerintah dapat mengoptimalkan sumber pendapatan lain melalui perbaikan sistem perpajakan yang lebih efektif,” pungkas Evita.

  • Asosiasi dukung peningkatan belanja pemerintah untuk produk UMKM

    Asosiasi dukung peningkatan belanja pemerintah untuk produk UMKM

    Karena kondisi ekonomi dan masyarakat yang penghasilannya belum kembali normal, tambahan 1 persen ini akan semakin menambah beban

    Jakarta (ANTARA) – Sekretaris Jenderal Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo) Edy Misero mengharapkan kebijakan pemerintah yang berorientasi pada keberlanjutan dan perkembangan sektor UMKM, salah satunya melalui peningkatan belanja APBN dan BUMN untuk produk-produk UMKM.

    “Dan bagaimana kita bisa bersama-sama mendorong agar pelaku UMKM bisa meningkatkan produksinya dari misalnya 1.000 potong menjadi 2.000 potong dalam sebulan,” ujar dia saat dihubungi di Jakarta, Kamis.

    Ia juga menanggapi rencana tambahan beban pajak 1 persen dalam komponen pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen. Menurutnya, ekonomi domestik masih mengalami pemulihan sehingga ia khawatir penyesuaian tarif PPN memberi dampak.

    Wakil Ketua Komisi VII DPR Evita Nursanty sebelumnya mengatakan pemerintah dapat mengoptimalkan sumber pendapatan lain melalui perbaikan sistem perpajakan yang lebih efektif.
    ​​​​​​
    “Daripada menaikkan PPN, pemerintah dapat mengoptimalkan sumber pendapatan lain melalui perbaikan sistem perpajakan yang lebih efektif,” kata Evita.

    Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan rencana kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025 bakal tetap dijalankan sesuai mandat Undang-Undang.

    Dia mengatakan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) harus dikelola dengan baik agar tetap sehat, namun juga harus cukup fleksibel untuk dapat merespons berbagai situasi krisis yang mungkin terjadi.

    Pewarta: Shofi Ayudiana
    Editor: Ahmad Buchori
    Copyright © ANTARA 2024

  • Pikirkan Nasib UMKM yang Terdampak

    Pikirkan Nasib UMKM yang Terdampak

    Jakarta

    Wakil Ketua Komisi VII DPR Evita Nursanty mengkritisi kenaikan PPN 12 persen pada Januari 2025 mendatang. Ia mengkhawatirkan keberlangsungan pada pelaku UMKM di tengah ekonomi yang masih mengalami pemulihan.

    “Pemerintah perlu mempertimbangkan alternatif yang lebih inklusif dan berorientasi pada keberlanjutan sektor UMKM. Daripada menaikkan PPN, Pemerintah dapat mengoptimalkan sumber pendapatan lain melalui perbaikan sistem perpajakan yang lebih efektif,” kata Evita dalam keterangannya, Rabu (20/11/2024).

    Meskipun kenaikan PPN tersebut merupakan amanat dari UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), menurut Evita, pemerintah perlu mempertimbangkan kondisi ekonomi terkini. Ia mengkhawatirkan kebijakan itu akan berdampak pada UMKM.

    “Kami memahami maksud Pemerintah untuk peningkatan pendapatan, tapi sekarang gejolak ekonomi sudah banyak berdampak signifikan ke rakyat. Pikirkan juga nasib jutaan UMKM yang akan terdampak, termasuk pekerja yang hidup dari sana,” ujarnya.

    Politisi PDIP ini mengingatkan ketika PPN meningkat maka harga barang dan jasa juga akan naik sehingga daya beli masyarakat akan terpengaruh. Khususnya bagi kelompok masyarakat menengah ke bawah.

    Sementara sektor UMKM akan sangat bergantung pada stabilitas daya beli masyarakat. Jika daya beli menurun, sudah pasti produk UMKM cenderung turun seiring dengan naiknya harga jual.

    Padahal, menurut Evita, kebijakan yang berfokus pada pembenahan sistem administrasi pajak dan efisiensi belanja negara akan lebih bermanfaat bagi perekonomian ketimbang membebani UMKM dengan kenaikan pajak.

    “Kenaikan PPN menjadi 12 persen berpotensi menambah beban pada pelaku UMKM, yang menjadi tulang punggung ekonomi Indonesia,” sebutnya.

    “Tentunya ini mengurangi daya saing produk UMKM di pasar. Situasi ini akan membuat konsumen memilih produk impor yang lebih murah dan mengakibatkan ketimpangan pasar serta mempersulit UMKM untuk mempertahankan pangsa pasar mereka,” ujarnya.

    Lebih lanjut, Evita menilai UMKM membutuhkan kehadiran negara dalam membuka pasar agar hasil produksi mereka terserap dengan baik. Bukan hanya akses pasar domestik saja, tapi juga sampai ke pasar global agar produk UMKM Indonesia bisa bersaing di kancah internasional.

    “Termasuk akses networking juga. Pemerintah bisa membantu UMKM bekerjasama dengan BUMN atau pihak Pemda untuk mendukung memasarkan produknya,” ujar Evita.

    Ia mendorong pemerintah untuk meningkatkan pelatihan dan bimbingan teknis kepada pelaku UMKM, khususnya dari sisi digitalisasi. Di era globalisasi seperti saat ini, Evita menyebut UMKM sangat perlu memasarkan produknya di pasar digital sehingga pelatihan tersebut sangat dibutuhkan.

    “UMKM ini harus melek digital karena kalau tidak tembus di pasar digital seperti melalui e-commerce ataupun lainnya kita akan ketinggalan,” jelasnya.

    (eva/eva)