Tag: Esther Sri Astuti

  • Stimulus Ekonomi Dinilai Belum Dorong Investasi dan Ekspor

    Stimulus Ekonomi Dinilai Belum Dorong Investasi dan Ekspor

    Jakarta, Beritasatu.com – Stimulus ekonomi yang dikeluarkan pemerintah saat ini dinilai terlalu berfokus pada peningkatan konsumsi masyarakat, tanpa mendorong sektor investasi dan ekspor yang juga menjadi mesin utama pertumbuhan ekonomi.

    Pandangan ini disampaikan oleh Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Esther Sri Astuti, sebagai respons atas lima paket kebijakan ekonomi yang diluncurkan pemerintah sejak 5 Juni 2025 lalu. Paket tersebut mencakup diskon transportasi, tarif tol, bantuan pangan, subsidi upah, serta diskon iuran Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK).

    “Kebijakan ini memang bisa mendorong konsumsi, tetapi tidak menyentuh sisi investasi maupun ekspor,” ujar Esther saat dihubungi, Senin (9/6/2025).

    Ia menegaskan, pertumbuhan ekonomi nasional tidak hanya bertumpu pada konsumsi rumah tangga, tetapi juga belanja pemerintah, investasi, dan ekspor. Oleh karena itu, kebijakan stimulus ke depan harus lebih terintegrasi dan menyasar semua sektor pendorong ekonomi.

    “Kalau hanya konsumsi, pertumbuhannya hanya jangka pendek. Tapi kalau investasi dan ekspor naik, itu akan mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan,” tambahnya.

    Esther mendorong pemerintah agar menyusun kebijakan stimulus yang tidak hanya menyasar masyarakat, tetapi juga industri. Menurutnya, sektor industri saat ini membutuhkan ruang untuk bernapas, salah satunya melalui insentif fiskal seperti relaksasi pajak dan subsidi bunga pinjaman.

    “Relaksasi pajak bagi industri bisa sangat membantu. Setelah kondisi membaik, barulah kewajiban pajak dikembalikan seperti semula,” jelasnya.

    “Subsidi bunga kredit juga penting, karena banyak perusahaan yang masih memiliki kewajiban ke perbankan. Jika bunga bisa ditekan, cicilan akan lebih ringan, dan perusahaan bisa beroperasi lebih sehat,” sambung Esther.

  • Waspada Penerimaan Pajak Turun, Stimulus Tak Sentuh Kelas Menengah

    Waspada Penerimaan Pajak Turun, Stimulus Tak Sentuh Kelas Menengah

    Jakarta, Beritasatu.com – Pemerintah telah mengucurkan dana Rp 24,44 triliun yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Rp 23,59 triliun dan pendanaan di luar APBN sebesar Rp 850 miliar.

    Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Esther Sri Astuti, menilai manfaat stimulus ekonomi yang dikeluarkan masyarakat hanya menyasar masyarakat bawah dan belum dirasakan masyarakat menengah. Menurutnya, pemerintah cenderung mengabaikan kelas menengah.

    Menurut Esther, di tengah perlemahan daya beli masyarakat saat ini, pemerintah seharusnya khawatir kepada masyarakat menengah. Tanpa konsumsi kelas menengah, pendapatan pajak akan menurun, sehingga bisa berdampak pada perlemahan perekonomian nasional.

    “Kelompok masyarakat menengah itu kan pembayar pajak. Kalau mereka itu downgrade, daya beli mereka menurun, ya mereka tidak bisa bayar pajak,” kata dia di Jakarta, Senin (9/6/225).

    Apalagi, populasi masyarakat kelas menengah di Indonesia saat ini terus mengalami penurunan dalam lima tahun terakhir. “Sementara pajak ini backbone dari semua aktivitas dari pemerintah. Jadi jangan lupakan kelompok masyarakat menengah,” tambah dia.

    Sekadar informasi, terdapat lima jenis stimulus utama yang disiapkan sebagai bagian dari strategi pemerintah dalam menjaga kestabilan perekonomian domestik.

  • Kalangan Menengah Terabaikan, Paket Stimulus Dinilai Belum Maksimal

    Kalangan Menengah Terabaikan, Paket Stimulus Dinilai Belum Maksimal

    Jakarta, Beritasatu.com – Pemerintah mengalokasikan anggaran Rp 24,44 triliun guna menerbitkan lima paket stimulus. Paket stimulus tersebut diharap bisa mendorong daya beli masyarakat selama libur sekolah Juni hingga Juli 2025.

    Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Esther Sri Astuti, menilai stimulus ekonomi yang diberikan pemerintah seharusnya dirancang untuk menjangkau seluruh kalangan masyarakat, mulai dari kelas bawah, termasuk kelas menengah.

    “Misalnya paket kebijakan yang saya dengar ada subsidi gaji Rp 300.000 per bulan. Rp 300.000 dapat apa? Kemudian, bansos. Bansos itu mungkin hanya cukup untuk kelompok masyarakat bawah yang berpenghasilan rendah yang menengah dan atas kan tidak butuh itu,” jelas Esther.

    Hal ini merespons lima paket kebijakan ekonomi mencakup diskon transportasi, tarif tol, bantuan pangan, subsidi upah, dan diskon iuran Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) yang diberikan pemerintah mulai 5 Juni 2025 lalu.

    Esther mengungkapkan, manfaat stimulus ekonomi tersebut hanya menyasar masyarakat bawah dan belum dirasakan masyarakat menengah. Menurutnya, pemerintah cenderung mengabaikan kelas menengah.

    “Jadi ini memang paket kebijakan yang dikeluarkan pemerintah saya rasa hanya bisa menyasar kelompok masyarakat berpenghasilan rendah, tetapi yang menengah dan atas itu cenderung diabaikan,” tambahnya.

    Sekadar informasi, terdapat lima jenis stimulus utama yang disiapkan sebagai bagian dari strategi pemerintah dalam menjaga kestabilan perekonomian domestik.

  • 5 Paket Stimulus Ekonomi Dinilai Belum Mampu Dongkrak Daya Beli

    5 Paket Stimulus Ekonomi Dinilai Belum Mampu Dongkrak Daya Beli

    Jakarta, Beritasatu.com – Pemerintah telah meluncurkan stimulus berupa lima paket kebijakan ekonomi yang mencakup diskon transportasi, tarif tol, bantuan pangan, subsidi upah, dan diskon iuran Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK). Namun, kebijakan tersebut dinilai belum cukup untuk mendongkrak daya beli masyarakat.

    “Paket kebijakan ini belum cukup efektif untuk mendongkrak daya beli masyarakat,” ungkap Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Esther Sri Astuti saat dihubungi Senin (9/6/2025).

    Esther menilai, manfaat paket kebijakan ekonomi ini belum dirasakan oleh seluruh kalangan masyarakat, utamanya kelas menengah. Menurutnya, berbagai stimulus yang diluncurkan pemerintah saat ini hanya menyasar masyarakat kelas bawah.

    “Misalnya paket kebijakan yang saya dengar ada subsidi gaji Rp 300.000 per bulan. Menurut saya, Rp 300.000 dapat apa? Kemudian, bansos. Bansos itu mungkin hanya cukup untuk kelompok masyarakat bawah yang berpenghasilan rendah. Yang menengah dan atas kan tidak butuh itu,” jelas Esther.

    “Jadi ini memang paket kebijakan yang dikeluarkan pemerintah saya rasa hanya bisa menyasar kelompok masyarakat berpenghasilan rendah, tetapi yang menengah dan atas itu cenderung diabaikan,” tambahnya.

    Esther berpendapat, pemerintah seharusnya dapat merancang stimulus ekonomi yang menjangkau masyarakat kelas menengah. Dia mengatakan, jangan sampai pemerintah mengabaikan kelas menengah hingga akhirnya turun kelas menjadi kelas bawah.

    Apalagi, populasi masyarakat kelas menengah di Indonesia saat ini terus mengalami penurunan dalam lima tahun terakhir.

    “Jadi jangan lupakan kelompok masyarakat menengah,” pungkas Esther.
     

  • Indonesia Perlu Diversifikasi Ekspor Hadapi Tarif Trump

    Indonesia Perlu Diversifikasi Ekspor Hadapi Tarif Trump

    Jakarta, Beritasatu.com – Dalam menghadapi dampak kebijakan tarif resiprokal yang ditetapkan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, Indonesia dinilai perlu memperkuat strategi diversifikasi pasar ekspor di luar AS. Sejumlah negara di Afrika, Eropa dan Asia dinilai dapat menjadi alternatif pasar ekspor.

    Hal tersebut diungkapkan oleh Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti. Menurutnya, masih banyak negara potensial yang dapat menjadi destinasi ekspor produk-produk Indonesia.

    “Kita harus melakukan diversifikasi pasar ekspor. Jadi tidak hanya bergantung pada AS sebagai tujuan destinasi ekspor produk-produk ekspor Indonesia, tetapi juga negara lain, kita bisa melirik Afrika Selatan misalnya, kita bisa melirik negara-negara Eropa, dan kita bisa melirik Asia, jadi tidak hanya AS, artinya diversifikasi pasar itu suatu keharusan,” tuturnya, kepada Beritasatu.com, dikutip Selasa (15/4/2025).

    Esther menyampaikan, strategi ini telah lebih dulu diterapkan oleh Vietnam dalam menghadapi perang dagang pertama antara AS dan Tiongkok (China). Dia menilai, Indonesia seharusnya dapat mencontoh langkah tersebut dalam menghadapi tarif Trump.

    “Indonesia itu harus belajar dari Vietnam, kenapa Vietnam? Karena Vietnam pada saat perang dagang AS dan Tiongkok yang pertama tahun 2019, Vietnam menjadi pemenang. Salah satu pemenang yang paling mendapatkan benefit dari kejadian perang dagang AS dan Tiongkok tersebut,” jelasnya.

    Apalagi, tarif resiprokal yang seharusnya diberlakukan pada 9 April 2025 lalu kini ditunda selama 90 hari. Esther menilai, momentum ini menjadi kesempatan bagi Indonesia untuk menyiapkan strategi menghadapi tarif Trump secara lebih matang.

    Saat ini, semua negara kembali dikenakan tarif universal sebesar 10 persen, termasuk Indonesia yang sebelumnya bakal terkena tarif resiprokal sebesar 32%.

    “Selama 90 hari ini merupakan kesempatan bagus ya buat Indonesia untuk bersiap-siap. Meskipun untuk bersiap-siap itu seharusnya sejak Presiden Trump kampanye ya, sebelum jadi presiden dan sebelum dilantik,” pungkasnya terkait tarif Trump.

  • Indef nilai Kopdes Merah Putih bisa bantu ringankan tekanan ekonomi RI

    Indef nilai Kopdes Merah Putih bisa bantu ringankan tekanan ekonomi RI

    Kalau Kopdes Merah Putih sama Koperasi Unit Desa (KUD) sama, kalau BUMDes seperti perusahaan yang profesional.

    Jakarta (ANTARA) – Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menyatakan rencana pembentukan Koperasi Desa (Kopdes) Merah Putih oleh Pemerintah bisa membantu meringankan tekanan perekonomian yang tengah dialami oleh Indonesia.

    Direktur Eksekutif Indef Esther Sri Astuti dihubungi di Jakarta, Jumat, menyatakan hal tersebut karena koperasi pada dasarnya bisa menjadi soko guru perekonomian nasional, dengan membantu masyarakat mendapatkan pembiayaan.

    “Saya rasa bisa, karena tidak semua masyarakat Indonesia itu bankable atau bisa mendapat pembiayaan dari bank. Jadi entah mereka tidak punya kolateral atau apa, mereka yang tidak bankable ini bisa ditampung di koperasi,” kata dia lagi.

    Ia menyatakan agar Kopdes Merah Putih yang akan dibuat tersebut bisa membantu meringankan tekanan perekonomian, pemerintah perlu membuat aturan main (rule of the game) dari badan usaha tersebut.

    Esther menyoroti empat hal yang harus diperbaiki, yakni prinsip dasar dalam berkoperasi, seperti hukum dan aturan main di koperasi tersebut, kemudian pembenahan tata kelola manajemen, pemberian bimbingan teknis secara rutin terhadap manajemen maupun anggota, serta harus ada pengawasan dan evaluasi terhadap kinerja koperasi.

    “Kalau mau berkembang harus diperbaiki itu semua,” kata dia.

    Selain itu, perbedaan antara Kopdes Merah Putih dan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yakni terletak pada fungsinya, Kopdes Merah Putih ditujukan untuk memastikan kebutuhan masyarakat terpenuhi sekaligus menyejahterakannya, sementara BUMDes lebih ditujukan untuk berbisnis.

    “Kalau Kopdes Merah Putih sama Koperasi Unit Desa (KUD) sama, kalau BUMDes seperti perusahaan yang profesional,” ujarnya pula.

    Menteri Koperasi (Menkop) Budi Arie Setiadi mengatakan Kopdes Merah Putih dapat memperkuat daya tahan ekonomi nasional di tengah gejolak ekonomi dunia yang semakin tak menentu.

    Menkop, dalam keterangan resmi di Jakarta, Selasa (8/4), mengatakan Kopdes Merah Putih yang menggerakkan perekonomian melalui desa-desa menjadi sebuah instrumen penting.

    Ia menegaskan tujuan utama pembentukan Kopdes Merah Putih adalah untuk memberdayakan masyarakat demi mewujudkan kemandirian ekonomi desa.

    Dia menilai, ketika setiap desa dapat mandiri secara ekonomi, maka secara otomatis kemandirian ekonomi sebuah negara akan terwujud dengan sendirinya meski dihadapkan pada tantangan global yang semakin meningkat.

    Pewarta: Ahmad Muzdaffar Fauzan
    Editor: Budisantoso Budiman
    Copyright © ANTARA 2025

  • Ekonom tekankan pentingnya tata kelola bagi Kopdes Merah Putih

    Ekonom tekankan pentingnya tata kelola bagi Kopdes Merah Putih

    Jakarta (ANTARA) – Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti menekankan pentingnya tata kelola dan manajemen yang jelas agar program Koperasi Desa (Kopdes) Merah Putih bisa berjalan sesuai mandat Presiden RI Prabowo Subianto.

    “Apakah bisa Kopdes Merah Putih menjadi penggerak desa? Bisa, asal manajemennya ditata,” kata Esther saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Jumat.

    Esther menilai sosialisasi dan pelatihan terkait manajemen agar kopdes diperlukan agar nantinya bisa berjalan dengan akuntabel dan prudent.

    “Mereka butuh manajemen yang baik. Jadi, (anggota kopdes) butuh pembimbingan teknis, dan butuh audit,” ujar Esther.

    “Namun, tak hanya itu, semuanya juga harus diperhatikan. Mulai dari pertimbangan modal, dari sisi kegiatan usaha, dan kemudian governance (tata kelola),” imbuh dia.

    Menurut Esther, koperasi dapat menjadi penggerak ekonomi jika hal-hal fundamental tersebut bisa dilaksanakan dengan baik, sehingga membuat koperasi dan para anggotanya berkembang.

    Di sisi lain, pakar perkoperasian, Suroto mengatakan pemerintah juga harus fokus pada peningkatan kualitas layanan dan anggota, tidak hanya sekadar menambah jumlah koperasi melalui Kopdes Merah Putih yang seragam.

    Hal ini pun menjadi penting agar sistem perkoperasian Indonesia tetap bisa relevan seiring dengan tren koperasi dunia yang kuantitasnya cenderung menurun.

    “Tren koperasi dunia hari ini, jumlah koperasi itu menurun secara kuantitas, tapi layanan dan kualitasnya meningkat. Merger, konsolidasi ini yang seharusnya didorong oleh pemerintah,” kata Suroto kepada ANTARA.

    “Pengembangan kopdes yang diseragamkan ini juga perlu menjadi perhatian, karena entrepreneurship-nya bisa menjadi lemah, dan tidak menjawab kebutuhan masyarakat langsung,” ujarnya menambahkan.

    Sementara itu, akselerasi pembentukan 80 ribu Kopdes Merah Putih telah diatur dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2025 Tentang Percepatan Pembentukan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih.

    Pembentukan 80 ribu Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih ditargetkan selesai akhir Juni 2025.

    Pewarta: Arnidhya Nur Zhafira
    Editor: Kelik Dewanto
    Copyright © ANTARA 2025

  • Pengusaha Pusat Belanja Tak Berharap Banyak saat Libur Lebaran, Daya Beli Masyarakat Lagi Loyo – Halaman all

    Pengusaha Pusat Belanja Tak Berharap Banyak saat Libur Lebaran, Daya Beli Masyarakat Lagi Loyo – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Tingkat kunjungan ke pusat perbelanjaan pada momen libur Lebaran tahun ini diprediksi tak meningkat signifikan. Penjualan ritel juga diproyeksi hanya meningkat sedikit.

    Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alphonzus Widjaja mengatakan, meskipun tingkat kunjungan ke pusat perbelanjaan selama Ramadan dan Idulfitri tahun ini mengalami peningkatan, kenaikannya tidak akan besar.

    “Pertumbuhan tingkat kunjungan ke pusat perbelanjaan sampai dengan akhir liburan Idulfitri nanti diperkirakan hanya sekitar 10 persen saja,” kata Alphonzus kepada Tribunnews, Rabu (2/4/2025).

    Hal serupa juga terjadi pada penjualan ritel. Meski diperkirakan ada kenaikan dibandingkan dengan 2024, angka pertumbuhannya tetap tidak signifikan.

    “Rata-rata tingkat pertumbuhannya hanya akan single digit saja atau kurang dari 10 persen,” ujar Alphonzus.

    Di tengah kondisi melemahnya daya beli masyarakat, khususnya kelas menengah ke bawah, pilihan berkunjung ke mal memang masih ada.

    Namun, Alphonzus mencatat adanya perubahan pola belanja, di mana masyarakat memilih membeli barang dengan harga yang lebih terjangkau.

    “Masyarakat kelas menengah bawah cenderung membeli barang ataupun produk yang harga satuannya (unit price rendah/kecil),” ujarnya.

    Alphonzus menjelaskan bahwa belanja masyarakat selama Ramadan lebih banyak terkonsentrasi pada produk sandang seperti busana, tas, sepatu, aksesoris, serta peralatan rumah tangga dan barang non-makanan.

    Sementara itu, pada saat Idulfitri, belanja masyarakat lebih banyak berfokus pada makanan dan minuman serta hiburan.

    Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Esther Sri Astuti mengungkap di kondisi libur Lebaran tahun ini daya beli masyarakat memang sedang melemah.

    Ia menyebutkan ada dua faktor utama penyebabnya, yaitu inflasi yang naik lebih cepat daripada kenaikan upah dan penurunan pendapatan riil.

    Esther juga mengungkapkan beberapa tanda pelemahan daya beli masyarakat.

    Antara lain, penurunan konsumsi, terutama pada barang tahan lama seperti pakaian, serta turunnya jumlah pemudik

    Berdasarkan survei Badan Kebijakan Transportasi Kementerian Perhubungan, jumlah pemudik Lebaran 2025 diperkirakan sebesar 146,48 juta orang atau sekitar 52 persen dari penduduk Indonesia.

    Angka tersebut turun 24 persen dari tahun lalu yang mencapai 193,6 juta pemudik.

    Lebih lanjut, Esther menyebutkan bahwa jumlah uang yang beredar dan transaksi keuangan (baik tunai maupun non-tunai) juga mengalami penurunan.

    Dari proyeksi Center of Economic and Law Studies (CELIOS), perputaran uang di momen Ramadan dan Idulfitri akan melemah dibanding dengan tahun lalu

    Tambahan Jumlah Uang yang Beredar (JUB) dalam artian sempit (M1) di momen Ramadan dan Idulfitri 2025 akan melemah sebesar minus 16,5 persen dibandingkan momen yang sama di tahun 2024.

    Tambahan uang beredar hanya di angka Rp 114,37 triliun. Sementara pada 2024, tambahan uang beredar ketika momen Ramadan danIdulfitri mencapai Rp 136,97 triliun

    Selain itu, kata Esther, turunnya jumlah tabungan sejumlah Rp 100 juta juga menjadi pertanda.

    Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mencatat adanya penurunan simpanan nasabah dengan nominal di bawah Rp 100 juta pada awal 2025.

    Data distribusi simpanan LPS pada Januari 2025 menunjukkan, tiering nominal simpanan di bawah Rp 100 juta minus 2,6 persen secara bulanan.

    Pertanda terakhir menurut Esther adalah naiknya jumlah pengangguran. 

    Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan, jumlah pekerja yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sepanjang Januari -Desember 2024 mencapai 77.965 orang.

    Jumlah tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan total pekerja yang terkena PHK sepanjang 2023, yaitu 64.855 orang. 

  • Ekonom Indef sebut THR ASN jadi bantalan hadapi lonjakan harga

    Ekonom Indef sebut THR ASN jadi bantalan hadapi lonjakan harga

    Cara mencegah inflasi itu tidak tinggi, pertama supply-nya itu diperbanyak karena adanya kenaikan permintaan, kedua, alur distribusinya lancar

    Jakarta (ANTARA) – Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti menyatakan pemberian tunjangan hari raya (THR) bagi Aparatur Sipil Negara (ASN), bermanfaat menjadi bantalan ekonomi dalam menghadapi lonjakan harga barang dan jasa khususnya menyambut Idul Fitri 1446 Hijriah.

    Esther dihubungi di Jakarta, Rabu, menyatakan apabila melihat dari rekam jejak sebelumnya, saat Ramadhan maupun menjelang Idul Fitri, harga bahan pokok dan tarif jasa cenderung naik, sehingga dengan diberikannya THR bagi ASN bisa menjadi bantalan untuk menghadapi kenaikan harga.

    “Karena inflasi itu pasti terjadi pada saat lebaran, mulai dari bulan Ramadhan, karena kecenderungan masyarakat kita itu kalau lebaran pasti akan meningkatkan konsumsi. Sehingga itu yang meningkatkan permintaan terhadap satu barang, itu akan mendorong kenaikan harga-harga barang,” katanya.

    Meski demikian disampaikannya, bantalan tersebut hanya bersifat sementara. Oleh karena itu, guna menjaga dampak positif THR agar menjaga daya beli masyarakat dalam waktu lama, pemerintah perlu menjaga alur distribusi kebutuhan, serta memperbanyak suplai produk.

    Hal ini supaya tingkat inflasi menjelang Idul Fitri maupun setelahnya dapat ditekan seminimal mungkin.

    “Itu sudah hukum ekonomi, jadi tidak mungkin tidak terjadi inflasi. Cara mencegah inflasi itu tidak tinggi, yang pertama supply-nya itu diperbanyak karena adanya kenaikan permintaan, yang kedua, alur distribusinya lancar,” katanya.

    Presiden Prabowo Subianto resmi menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2025 yang mengatur kebijakan pemberian tunjangan hari raya (THR) dan gaji ke-13 untuk aparatur sipil negara (ASN), termasuk PPPK, PNS, TNI, Polri, hakim, hingga pensiunan dengan total mencapai 9,4 juta penerima.

    Prabowo memerinci besaran pemberian THR dan gaji ke-13 untuk ASN pusat, prajurit TNI/Polri, dan hakim meliputi gaji pokok, tunjangan melekat, dan tunjangan kerja. Pemerintah memberikan tunjangan kinerja kepada ASN sebesar 100 persen.

    ASN daerah akan diberikan THR dan gaji ke-13 sesuai dengan kemampuan daerah masing-masing.Adapun THR untuk ASN akan dibayarkan 2 minggu sebelum Lebaran 2025, mulai Senin, 17 Maret 2025. Sementara itu, gaji ke-13 ASN akan dibayarkan pada awal tahun ajaran baru sekolah, yaitu pada Juni 2025.

    Pewarta: Ahmad Muzdaffar Fauzan
    Editor: Agus Salim
    Copyright © ANTARA 2025

  • Ada perubahan tren konsumsi jelang Ramadan 2025

    Ada perubahan tren konsumsi jelang Ramadan 2025

    Pedagang melayani pembeli di Pasar Subuh, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Jumat (21/2/2025). Menurut pedagang menjelang bulan Ramadhan, harga sejumlah barang kebutuhan pokok di pasar tradisional itu mengalami kenaikan. ANTARA FOTO/Adeng Bustomi

    Ekonom: Ada perubahan tren konsumsi jelang Ramadan 2025
    Dalam Negeri   
    Editor: Calista Aziza   
    Kamis, 27 Februari 2025 – 12:37 WIB

    Elshinta.com – Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti mengatakan, akan ada perubahan tren konsumsi masyarakat menjelang Ramadan dan Idul Fitri tahun 2025.

    Dilansir dari ANTARA, Esther mengatakan perayaan Ramadan dan Lebaran masih akan tetap meriah, tapi ada penyesuaian.

    “Nanti ketika Lebaran pun tetap akan ramai, tapi masyarakat akan menyesuaikan dengan kantong. Mereka akan tetap mudik, dan lain sebagainya, tapi ada cara sendiri untuk berlebaran dan menyambut bulan Ramadan,” katanya.

    Hal ini juga merupakan pengaruh dari turunnya daya beli masyarakat menyusul sejumlah gejolak politik dan ekonomi yang terjadi baru-baru ini di Indonesia.

    Selain itu, dia menilai turunnya jumlah kelas menengah juga menjadi faktor turunnya daya beli.

    Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah kelas menengah di Indonesia menurun dari 57,33 juta jiwa pada tahun 2019 menjadi 47,85 juta jiwa pada tahun 2024.

    Penurunan ini setara dengan 9,48 juta orang yang turun kelas, sehingga dapat berdampak pada pelemahan perekonomian Indonesia.

    “Daya beli itu memang melemah, karena dibuktikan dengan turunnya jumlah kelas menengah, di angka 9-10 juta,” ujar Esther.

    “Di sisi lain, kita lihat kenaikan harga itu lebih cepat daripada kenaikan upah, membuat pendapatan riil kita turun. Artinya nilai uang kita turun. Kemudian kita lihat bahwa sekarang ini ada efisiensi anggaran, dan lainnya, tapi yang kena juga kelas menengah,” ujarnya menambahkan.

    Di sisi lain, Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES) Suroto menilai naik-turunnya daya beli masyarakat sangat tergantung pada sumber kebijakan pemerintah seperti kenaikan upah buruh.

    “Kenaikan upah buruh itu langsung berpengaruh ke daya beli masyarakat. Namun, pemerintah kita saya rasa terlalu konservatif dalam menaikkan kebijakan upah buruh,” katanya.

    “Itu kenapa secara relatif sebetulnya dalam sepuluh tahun ini ekonomi masyarakat kelas ekonomi bawah merasakan penderitaan yang semakin berat,” ujarnya menambahkan.

    Sumber : Antara