Tag: Ery Agustin

  • Pajak Daerah Turun Drastis, Target Pendapatan Gunungkidul Jadi Rp300,1 M

    Pajak Daerah Turun Drastis, Target Pendapatan Gunungkidul Jadi Rp300,1 M

    Liputan6.com, Gunungkidul Pemerintah Kabupaten Gunungkidul menghadapi tantangan serius dalam menjaga kestabilan fiskal daerah. Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Perubahan 2025, Pendapatan Asli Daerah (PAD) mengalami koreksi sebesar Rp3,37 miliar. Semula ditargetkan Rp303,5 miliar, kini hanya menjadi Rp300,1 miliar.

    Koreksi tajam ini dipicu oleh penurunan signifikan di sektor pajak daerah. Berdasarkan ringkasan APBD, target pajak daerah yang semula Rp134,9 miliar, kini hanya dipatok Rp126 miliar. Artinya, ada selisih minus sebesar Rp8,86 miliar.

    Sektor Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) menjadi yang paling terdampak, dengan penurunan hingga Rp3,2 miliar. Turut menyusul di belakangnya adalah pajak mineral bukan logam yang berkurang Rp580 juta, dan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) yang turun Rp690 juta. Tak hanya itu, koreksi juga menyasar pajak air tanah, jasa katering, hingga tenaga listrik. Situasi ini menandakan adanya pelemahan di beberapa sektor ekonomi yang selama ini menjadi penyumbang PAD.

    Namun di tengah turunnya penerimaan utama, pemerintah daerah mulai mengembangkan potensi pajak dari sektor-sektor baru. Pajak untuk glamping, guesthouse, permainan ketangkasan, hingga tontonan audio visual mulai masuk dalam daftar penerimaan. “Meski kontribusinya masih sangat kecil, kehadiran pajak baru ini menjadi sinyal awal diversifikasi sumber pendapatan. Di sisi lain, secercah harapan datang dari pos “lain-lain PAD yang sah” yang justru mengalami lonjakan cukup tinggi,” kata Ery Agustin, anggota Badan Anggaran (Banggar) DPRD Gunungkidul dan Ketua Bapemperda, saat dikonfirmasi.

    Ery menyebut, dari sebelumnya Rp6,4 miliar, kelompok ini kini ditargetkan menyumbang Rp9,8 miliar. Peningkatan tersebut terutama berasal dari pengembalian kelebihan belanja, denda keterlambatan proyek, hasil eksekusi jaminan, hingga pengembalian hibah dan subsidi yang mencapai Rp4,1 miliar. “Melihat angkanya, DPRD melalui Komisi B maupun Banggar mendorong agar pengelola pendapatan bekerja lebih keras dan cerdas. Jangan sampai status kemampuan keuangan daerah (KKD) yang saat ini sedang turun menjadi rendah,” ujar Ery.

    Ia juga menegaskan bahwa pencapaian target pendapatan tidak bisa hanya dibebankan pada satu dinas atau sektor. Kerja sama lintas perangkat daerah menjadi kunci dalam menjaga stabilitas fiskal dan memastikan pembangunan daerah tidak terganggu akibat kekurangan anggaran. “Ini perlu menjadi perhatian bersama khususnya sektor-sektor yang memiliki potensi juga inovasi daerah dalam meningkatan pendapatan daerah,” pungkas Ery.

  • Kemiskinan dan Sistem, Dua Sekat Anak DIY ke Perguruan Tinggi

    Kemiskinan dan Sistem, Dua Sekat Anak DIY ke Perguruan Tinggi

    Liputan6.com, Gunungkidul – Yogyakarta selama ini dikenal luas sebagai Kota Pendidikan. Deretan kampus ternama berdiri megah di sudut-sudut kota, menjadi magnet bagi ribuan mahasiswa dari seluruh penjuru Nusantara. Mereka datang membawa mimpi dan harapan akan masa depan yang lebih baik melalui kuliah.

    Namun di balik gemerlap citra akademik itu, ada kenyataan pahit yang mulai menganga. Semakin sedikit anak muda asli Yogyakarta yang melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Mereka justru tersingkir secara diam-diam dari ruang-ruang kelas, bahkan di kampung halamannya sendiri.

    Fenomena ini bukan sekadar cerita bisik-bisik. Ketua Bapemperda Gunungkidul, Ery Agustin S, S.E., M.M, menyuarakan kegelisahan yang telah lama dirasakan warga. Dalam sebuah forum publik baru-baru ini, ia menyebut kondisi pendidikan di DIY, terutama Gunungkidul, sudah berada dalam titik rawan.

    “Banyak anak muda di DIY, terutama yang baru lulus sekolah menengah, tidak melanjutkan kuliah. Salah satu penyebab utamanya adalah kemiskinan,” ujarnya tegas.

    Pernyataan Ery bukan tanpa dasar. Data yang ia kutip data BPS menunjukkan bahwa 22,27 persen warga DIY hanya tamat SD, 39 persen berhenti di jenjang sekolah menengah, dan sisanya bahkan putus sekolah di tengah jalan.

    “Yang lebih mencengangkan, angka partisipasi kuliah anak-anak asli DIY hanya sekitar 15 persen, sangat timpang jika dibandingkan dengan citra Yogyakarta sebagai kota intelektual,” ulasnya.

    “Apakah ini karena mereka memang tidak mau kuliah? Atau karena keadaan yang memaksa mereka berhenti?” tanya Ery.

    Pemerintah daerah sebenarnya pernah mencoba menjawab lewat Program Kuliah Istimewa yang dijalankan Balai Pemuda dan Olahraga (BPO) DIY. Namun menurut Ery, program itu masih jauh dari ideal.

    “kuotanya terbatas, hanya mencakup jenjang D4, dan hanya berlaku di beberapa universitas tertentu. Kenapa tidak dibuat lebih luas? Harusnya bisa untuk S1, dan bisa di semua kampus di DIY,” kritiknya.

    Ia menambahkan, pendekatan kebijakan seperti ini justru berpotensi menyandera anak muda dalam pilihan yang sempit. Anak-anak yang sebenarnya memiliki potensi besar akhirnya dipaksa kuliah di kampus yang bukan minat mereka, hanya karena itulah satu-satunya akses beasiswa yang tersedia.

    “Jangan sampai karena program kuliah gratis hanya di kampus tertentu, anak-anak kita jadi kuliah karena terpaksa, bukan karena sesuai pilihan mereka,” ungkapnya.

    Lebih jauh, Ery menyoroti sistem distribusi beasiswa yang tidak berpihak pada kondisi riil masyarakat. Ia mengkritisi kebijakan yang hanya mengarahkan bantuan kepada warga di zona “kantong kemiskinan” berdasarkan peta administratif.

    “Padahal, banyak warga miskin tinggal di luar zona itu. Jangan sampai Beasiswa Istimewa justru menyandera warga miskin, karena penyalurannya hanya berdasarkan data wilayah, bukan realitas ekonomi warga,” tegasnya.

     

    Berkah, Kursi Roda untuk Nenek Lumpuh

  • Program Makan Bergizi Gratis, Pemkab Gunungkidul Siapkan Rp 12,5 Miliar

    Program Makan Bergizi Gratis, Pemkab Gunungkidul Siapkan Rp 12,5 Miliar

    Liputan6.com, Gunungkidul – Pemerintah Kabupaten Gunungkidul telah menyiapkan anggaran sebesar Rp 12,5 miliar untuk mendukung program Makan Bergizi Gratis (MBG) di tahun 2025. Meski demikian, anggaran tersebut masih jauh dari kebutuhan total yang diperkirakan mencapai Rp 26 miliar.

    Kepala Badan Keuangan dan Aset Daerah (BKAD) Gunungkidul, Putro Sapto Wahyono, mengungkapkan bahwa kebutuhan anggaran program MBG dari APBD 2025 awalnya diperkirakan Rp 21,5 miliar. Namun, setelah evaluasi oleh Gubernur DIY, kebutuhan anggaran bertambah Rp 4,5 miliar sehingga total mencapai Rp 26 miliar. “Dari hasil evaluasi, kita baru bisa mengalokasikan Rp 12,5 miliar. Artinya, masih ada kekurangan sekitar Rp 14,5 miliar,” kata Sapto.

    Ia menjelaskan bahwa anggaran yang telah dialokasikan diperoleh dari efisiensi beberapa kegiatan DPRD, seperti kunjungan kerja (Kunker), Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD), dan honorarium narasumber. Beberapa program sosialisasi dari Organisasi Perangkat Daerah (OPD) juga turut terkena pemangkasan. “Akhirnya dewan legowo karena beberapa program harus diefisiensikan. Hasil efisiensi tersebut dialihkan untuk menambah alokasi anggaran MBG,” tambahnya.

    Guna menutup kekurangan anggaran sebesar Rp 14,5 miliar, Pemkab Gunungkidul akan mengupayakan tambahan dana melalui APBD Perubahan 2025. Sapto menegaskan bahwa program ini akan menjadi prioritas dalam pembahasan APBD perubahan, meskipun kondisi APBD mengalami defisit sekitar 2,5 persen. “Kami juga masih menunggu petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan dari pusat terkait program ini,” ungkapnya.

    Anggota DPRD Gunungkidul, Ery Agustin, menyebutkan bahwa kebutuhan awal program MBG dihitung mencapai Rp 26 miliar. Namun, keterbatasan anggaran memaksa pemerintah untuk melakukan pengurangan alokasi. “Kalau tidak ada tambahan anggaran di APBD Perubahan, program ini tidak akan berjalan maksimal,” ujar Ery.

    Ia berharap pemerintah segera menyelesaikan juknis dan mengoptimalkan anggaran yang tersedia. Menurutnya, MBG merupakan program strategis yang bertujuan meningkatkan kualitas gizi masyarakat, terutama anak-anak dan kelompok rentan.