Tag: Erma Yulihastin

  • Surabaya Terik Mendidih, Ahli BRIN Bilang Baru Panas Permulaan

    Surabaya Terik Mendidih, Ahli BRIN Bilang Baru Panas Permulaan

    Jakarta, CNBC Indonesia – Surabaya diperkirakan akan lebih panas dalam 25 tahun lagi. Studi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) memprediksi suhu kota itu meningkat 5 derajat Celcius pada 2050 mendatang.

    Profesor Riset bidang Iklim dan Cuaca Ekstrem Pusat Riset Iklim dan Atmosfer BRIN Prof Erma Yulihastin menjelaskan panas ekstrem di Surabaya akan terus berlanjut. Dalam catatan personal weather station selama Oktober dua tahun terakhir, suhunya telah mencapai 40 derajat Celcius.

    Sebagai informasi, PWS sendiri adalah alat pengukur cuaca yang jaringannya tersebar di seluruh dunia. Alat ini bisa diakses secara terbuka dan akan bergerak secara riil time.

    Dia juga menjelaskan Surabaya jadi kota paling sensitif merespons perubahan iklim.

    “Panas ekstrem di Surabaya akan terus berlanjut. Rekaman data PWS selama Oktober 2 tahun terakhir menunjukkan suhu maksimum capai ~40°C. Kajian kami menyatakan kota ini paling sensitif dalam merespons perubahan iklim dengan kenaikan suhu maksimumnya hingga 2050,” kata Erma dalam unggahan di akun X, dikutip Senin (27/10/2025).

    Riset BRIN juga telah mengungkapkan hasil tersebut. Model iklim Conformal Cubic Atmospheric Model atau CCAM pada riset yang dipublikasikan 2023 lalu mengungkapkan suhu maksimal di Surabaya Raya bakal meningkat 5 derajat Celcius.

    “Riset mengenai kenaikan suhu maksimum di Surabaya Raya (Surabaya, Gresik, Lamongan, Sidoarjo, Mojokerto, Bangkalan) hingga mencapai >= 5°C hasil proyeksi downscalling model iklim CCAM telah dipublikasi pada 2023,” jelasnya.

    Suhu panas di Surabaya juga tercatat oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) baru-baru ini. Tercatat suhu kota itu mencapai 36 derajat Celcius.

    Fenomena panas di sejumlah kota dalam beberapa hari terakhir disebutkan bukan karena Gelombang Panas. BMKG mengatakan suhu di Indonesia masih dalam batas wajar meski terasa tidak nyaman.

    BMKG juga mengungkapkan kemungkinan kondisi panas akan berlangsung hingga akhir Oktober atau berlanjut sampai awal November.

    “Kondisi panas ini kemungkinan masih berlangsung hingga akhir Oktober atau awal November, tergantung pada waktu mulai masuknya musim hujan di masing-masing daerah,” tulis BMKG di laman PPID BMKG.

    Penyebab utama cuaca panas saat ini karena posisi semu matahari optimum. BMKG mengatakan posisinya kini berada sedikit di bagian selatan ekuator, membuat wilayah Indonesia bagian tengah dan selatan mendapatkan penyinaran Matahari sangat intens.

    Faktor lain adalah angin dari Australia. Angin ini membawa massa udara kering, membuat awan sulit terbentuk serta matahari lebih terik di permukaan.

    Minimnya tutupan awan juga jadi alasan lainnya. Disebutkan pembentukan awan hujan untuk sejumlah wilayah masih minim meski beberapa wilayah telah masuk ke musim hujan.

    (dem/dem)

    [Gambas:Video CNBC]

  • BMKG Jelaskan Suhu Panas Terus Berlangsung di Indonesia, Kapan Hujan Turun?

    BMKG Jelaskan Suhu Panas Terus Berlangsung di Indonesia, Kapan Hujan Turun?

    Bisnis.com, JAKARTA – Suhu panas di beberapa wilayah di Indonesia terjadi pada beberapa hari terakhir. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprediksi bahwa cuaca panas terjadi karena adanya gerak semu matahari dan Monsun Australia.

    Deputi Bidang Meteorologi BMKG Guswanto memprakirakan bahwa suhu panas ini masih akan berlanjut hingga akhir Oktober atau awal November 2025.

    Adapun penyebab utama suhu panas ini adalah posisi gerak semu matahari yang pada bulan Oktober berada di selatan ekuator.

    Guswanto mengatakan bahwa faktor lainnya adalah penguatan angin timuran atau Monsun Australia yang membawa massa udara kering dan hangat sehingga pembentukan awan minim serta radiasi matahari dapat mencapai permukaan bumi secara maksimal.

    “Posisi ini membuat wilayah Indonesia bagian tengah dan selatan, seperti Jawa, Nusa Tenggara, Kalimantan, dan Papua, menerima penyinaran matahari yang lebih intens sehingga cuaca terasa lebih panas di banyak wilayah Indonesia,” dikutip dari siaran pers BMKG, Rabu (15/10).

    Lantas kapan hujan turun?

    Cuaca panas hingga 37 derajat membuat masyarakat bertanya-tanya kapan hujan akan turun di langit Indonesia.

    Padahal seharusnya pada bulan Oktober ini sudah mulai turun rintik-rintik hujan. BMKG kemudian
    memprakirakan potensi hujan lokal akibat aktivitas konvektif masih dapat terjadi pada sore hingga malam hari terutama di sebagian wilayah Sumatera, Kalimantan, Jawa, dan Papua.

    Hal senada juga diungkapkan oleh Peneliti Bidang Klimatologi dan Perubahan Iklim BRIN, Erma Yulihastin.

    Ia menyebutkan bahwa pada sore hingga malam hari, hujan bisa terbentuk akibat konveksi termal dan lokal di berbagai wilayah Jawa, terutama bagian tengah dan timur.

    BRIN mengimbau masyarakat untuk memahami perubahan cuaca yang dapat terjadi secara tiba-tiba, dari panas menyengat menjadi hujan yang didahului angin kencang.

    “Sehingga pada siang hari perlu perlindungan tabir surya untuk melindungi kulit, namun tetap juga waspada dengan hujan pada malam hari,” kata Erma saat dihubungi Bisnis pada Selasa (14/10/2025).

  • BRIN Prediksi Suhu Panas di Jakarta dan Tangerang Terjadi hingga Akhir Oktober

    BRIN Prediksi Suhu Panas di Jakarta dan Tangerang Terjadi hingga Akhir Oktober

    Bisnis.com, JAKARTA— Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) suhu panas yang menyengat hingga mencapai 37 derajat Celcius di wilayah Jakarta dan Tangerang akan terjadi hingga Oktober 2025. 

    BRIN mencatat, suhu maksimum pada siang hari dapat mencapai 35–38 derajat Celcius, dan kondisi tersebut berpotensi berlangsung hingga akhir Oktober. 

    Peneliti Bidang Klimatologi dan Perubahan Iklim BRIN, Erma Yulihastin, menjelaskan fenomena ini terjadi karena minimnya liputan awan di atas Pulau Jawa dan wilayah selatan Indonesia. 

    Liputan awan sendiri merupakan proporsi langit yang tertutup oleh awan, biasanya diukur dalam skala persepuluhan atau perdelapanan (okta).

    “Pembentukan dua bibit siklon tropis di bagian utara, yaitu NAKRI di Laut Filipina dan 96W di Samudra Pasifik dekat utara Papua, telah menyebabkan konsentrasi awan-awan konvektif bergeser ke bagian utara ekuator,” kata Erma saat dihubungi Bisnis pada Selasa (14/10/2025).

    Akibat pergeseran tersebut, lanjut Erma, wilayah di selatan ekuator menjadi minim awan, khususnya pada pagi hingga siang hari. Namun, ketidakseimbangan panas yang terjadi secara lokal misalnya antara pesisir dan pegunungan, atau antara laut dan darat telah membangkitkan angin-angin lokal.

    Dengan demikian, menurut Erma, hembusan angin kencang dapat terjadi meskipun tidak berkaitan dengan pembentukan awan konvektif maupun hujan. 

    Dia menambahkan, pada sore hingga malam hari, hujan bisa terbentuk akibat konveksi termal dan lokal di berbagai wilayah Jawa, terutama bagian tengah dan timur.

    BRIN mengimbau masyarakat untuk memahami perubahan cuaca yang dapat terjadi secara tiba-tiba, dari panas menyengat menjadi hujan yang didahului angin kencang.

    “Sehingga pada siang hari perlu perlindungan tabir surya untuk melindungi kulit, namun tetap juga waspada dengan hujan pada malam hari,” tutup Erma.

  • Bali Banjir Parah, Pakar BRIN Peringatkan Bogor dan Bandung

    Bali Banjir Parah, Pakar BRIN Peringatkan Bogor dan Bandung

    Jakarta, CNBC Indonesia – Sejumlah wilayah di Indonesia telah memasuki musim hujan bahkan beberapa titik mengalami hujan dengan intensitas tinggi pada bulan ini.

    Salah satu yang mengalami hujan intensitas tinggi adalah Bali yang juga sejumlah jalan mengalami banjir hingga beberapa akses jalan terputus.

    Begitu pula di Pulau Jawa. Bogor dan Bandung telah masuk ke musim hujan dengan rata-rata hujannya lebih dari 200 mm.

    Pakar klimatologi dan perubahan iklim, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Erma Yulihastin menjelaskan Bogor menerima hujan rata-rata dalam 10 hari sekitar 255 mm. Diperkirakan akan naik dua kali pada Oktober mendatang.

    “Nah sama seperti Bandung ya, Bandung itu, kenapa konsennya dua ini? Karena kita melihat potensi cuaca ekstremnya memang tinggi di kedua wilayah. Ya sama, Bandung juga sudah mengalami musim hujan di dasarian pertama di Oktober, dan Bandung juga akan mengalami peak juga sama, itu hampir 490 millimeter untuk Oktober yang dasarian kedua,” kata Erma kepada CNBC Indonesia, Rabu (10/9/2025).

    Jakarta juga mengalami curah hujan tinggi pada bulan ini. Namun intensitasnya tak setinggi seperti yang terjadi di Bogor dan Bandung.

    Kota Jakarta mengalami puncak musim hujan bulan Oktober. Namun sedikit terlambat dari Bogor dan juga Bandung.

    Begitu juga intensitas saat puncak juga tak setinggi kedua kota tersebut. Di Jakarta, curah hujan bulan depan hampir 200 mm.

    “Curah hujannya tidak setinggi Bogor, tapi mengalami peningkatan secara gradual, mengalami peningkatan hujan secara gradual, dengan nanti Oktober dasarian ketiga itu curang hujannya bisa mencapai 193 millimeter, artinya hampir mencapai 200 millimeter,” jelasnya.

    “Tapi tidak setinggi tadi yang Bogor sampai 400, Bandung juga sampai 400 di bulan Oktober gitu ya. Jadi September ini baru permulaan kita mengalami awal musim hujan,” tutur Erma.

    (fab/fab)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Fakta Gas Air Mata Tertiup Angin Masuk Unisba, Ini Kata Pakar BRIN

    Fakta Gas Air Mata Tertiup Angin Masuk Unisba, Ini Kata Pakar BRIN

    Jakarta, CNBC Indonesia – Pakar klimatologi dan perubahan iklim, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Erma Yulihastin, menjelaskan tentang pergerakan angin di sekitar Universitas Islam Bandung (Unisba), Jawa Barat pada Senin (1/9/2025) malam.

    Seperti diketahui, kampus Unisba mendadak ricuh Senin malam (1/9) hingga Selasa dini hari (2/9) setelah kepolisian menembakkan gas air mata ke arah kampus.

    Polda Jawa Barat mengklaim petugas tidak menembakkan gas air mata ke dalam kampus Unisba, melainkan ke jalan raya dan tertiup angin.

    Lantas, seperti apa pergerakan angin pada Senin malam di kampus Unisba?

    Erma menjelaskan bahwa tidak ada embusan angin kencang pada saat penembakan gas air mata di kampus Unisba.

    Dia juga menilai, kecepatan angin yang datang dari arah utara, barat laut, maupun timur laut relatif kecil.

    Hal tersebut berdasarkan data Automatic Weather Station (AWS), alat yang berfungsi mengukur pergerakan angin, pencahayaan Matahari, dan juga curah hujan.

    “Berdasarkan data AWS terdekat di Sukaluyu (2-3 km dari UNISBA) yang dapat mewakili kondisi cuaca di UNISBA tampak pada sekitar 23.35 WIB, tak ada embusan angin kencang, kecepatan angin relatif kecil, serta arah angin dari utara/barat laut/timur laut,” tulis Erma dalam cuitannya di akun X, dikutip Kamis (4/9/2025).

    Lebih lanjut ia menjelaskan, pada 1 September dari pukul 00.00 hingga 2 September pukul 05.00 juga tidak tampak ada embusan angin kencang.

    Embusan angin yang tercatat saat itu hanya 14 km/jam, itu pun pada sore hari sekitar pukul 15.00

    “Intinya: angin pada jam 23-24 WIB sangat kecil (0-4 km/jam atau sekitar 0,5-0,8 m/det) atau hampir tidak berangin,” terang Irma.

    “Sesuai teori, angin pada tengah malam di atas daratan memang kecil kecuali ada gangguan cuaca. Jadi arah tak lagi penting karena kecepatan angin lemah,” imbuhnya.

    (fab/fab)

    [Gambas:Video CNBC]

  • BRIN Wanti-wanti Tambak Garam Bakal Hadapi Musim Kemarau Basah yang Panjang

    BRIN Wanti-wanti Tambak Garam Bakal Hadapi Musim Kemarau Basah yang Panjang

    Bisnis.com, JAKARTA– Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) memperingatkan potensi berlanjutnya musim kemarau basah di sejumlah wilayah Indonesia. 

    Peneliti Bidang Klimatologi dan Perubahan Iklim BRIN, Erma Yulihastin, menilai kondisi tersebut dapat berdampak signifikan terhadap aktivitas pertanian musiman, termasuk tambak garam yang sangat bergantung pada curah hujan yang rendah dan periode kering yang stabil.

    “Namun perlu dipikirkan juga misalnya tambak garam, tentu harus beradaptasi dengan kondisi ini,” kata Erma saat dihubungi Bisnis pada Rabu (11/6/2025). 

    Erma menjelaskan hingga kini para petambak garam masih sering berkonsultasi dengannya terkait waktu yang tepat untuk memulai produksi. Pasalnya, hujan masih terjadi secara konsisten di berbagai wilayah Jawa, khususnya di kawasan depan Turak, Jawa Timur. 

    Imbas kondisi basah tersebut diperkirakan akan terus berlangsung hingga Juli, Agustus, bahkan September, dia menyarankan agar aktivitas tambak garam ditunda sementara waktu.

    Dia menjelaskan, meskipun bulan Juni hingga Juli ini berpotensi menjadi periode terkering sepanjang tahun, peluang tersebut bersifat sementara dan tidak bisa dijadikan acuan untuk memulai aktivitas produksi garam secara penuh.

    “Walaupun ada durasi yang terlama, kering, kemungkinan itu adalah bulan ini, bulan Juli dan Juli saja, itu kira-kira dampaknya,” tambahnya.

    Erma menekankan bahwa pola curah hujan dan musim di Indonesia memang telah mengalami perubahan signifikan akibat perubahan iklim. Salah satu tanda yang terus diamati adalah musim hujan yang menjadi lebih panjang, sementara musim kemarau cenderung lebih pendek dan tidak sepenuhnya kering seperti sebelumnya.

    “Yang pasti ini ada indikasi gejala yang sustain atau berlanjut atau konsisten. Sehingga ini bisa jadi yang merupakan sinyal awal dari perubahan musim,” jelasnya.

    Dia menambahkan bahwa kajian lebih lanjut tengah dilakukan untuk memahami karakteristik musim kemarau yang kini tidak bisa lagi disamakan dengan kondisi beberapa dekade lalu. Meskipun musim hujan memanjang, justru jumlah dry spell atau jeda hari tanpa hujan di tengah musim hujan malah meningkat.

    Wilayah Tenggara Indonesia menjadi salah satu lokasi yang sedang dikaji BRIN untuk melihat adanya potensi pergeseran musim, di mana kemarau cenderung menjadi lebih basah dibanding sebelumnya.

    “Apakah ada daerah-daerah di Indonesia ini yang sudah mulai mengalami pergeseran? Misalnya adalah wilayah Tenggara. Karena penelitian kami juga sedang mengkaji adanya kondisi di mana musim kemarau di wilayah Tenggara Indonesia itu berubah menjadi sedikit lebih basah,” ujarnya.

    Menurutnya, adaptasi terhadap perubahan iklim menjadi kebutuhan mendesak bagi seluruh pihak, terutama mereka yang pekerjaannya berkaitan erat dengan pola musim, seperti petambak garam, petani, dan pelaku usaha agrikultur lainnya.

    “Kita perlu beradaptasi dengan perubahan iklim. Salah satunya yaitu berjalan terhadap perubahan musim yang sudah nyata dan memang sudah dikaji terjadi di wilayah Indonesia,” pungkasnya.

  • Masih Ada Hujan pada Juni, Begini Penjelasan BRIN

    Masih Ada Hujan pada Juni, Begini Penjelasan BRIN

    Bisnis.com, JAKARTA — Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyebut fenomena hujan yang masih terjadi pada Juni disebabkan oleh kondisi kemarau yang cenderung basah. Pola tersebut secara konsisten terpantau sejak 2018, kecuali pada 2023 ketika El Nino mendominasi. 

    Peneliti Bidang Klimatologi dan Perubahan Iklim BRIN, Erma Yulihastin mengatakan perubahan musim tersebut memang diteliti telah terjadi dalam dua dekade terakhir dan merupakan bukti dari perubahan iklim di Indonesia.

    “Yang pasti ini ada indikasi gejala yang sustain atau berlanjut atau konsisten. Sehingga ini bisa jadi yang merupakan sinyal awal dari perubahan musim,” kata Erma saat dihubungi Bisnis pada Rabu (11/6/2025). 

    Erma mengatakan perubahan musim tersebut menyebabkan musim kemarau lebih pendek, sementara musim hujan lebih panjang.

    Namun demikian, Erma mengatakan aspek yang belum diteliti secara mendalam adalah karakteristik musim kemaraunya. Selama ini, fokus studi lebih banyak mengarah pada musim hujan yang memang menunjukkan pola perubahan, seperti durasinya yang cenderung lebih panjang dari biasanya.

    Meski demikian, musim hujan itu sendiri kini diselingi oleh semakin banyak periode kering (dry spell), yaitu hari-hari tanpa hujan yang terjadi di tengah musim hujan. Fenomena ini menunjukkan bahwa intensitas dan kontinuitas hujan tidak selalu konsisten, bahkan ketika musim hujan masih berlangsung.

    “Nah yang harus membutuhkan penelitian lebih lanjut adalah sifat musim kemarau-nya seperti apa,” katanya. 

    Erma menyampaikan sejumlah wilayah di Indonesia, khususnya kawasan Tenggara, mulai menunjukkan gejala pergeseran pola musim. Ia menuturkan, musim kemarau di wilayah tersebut kini cenderung lebih basah dibanding sebelumnya. Menurutnya, jika pola ini sudah terjadi dalam satu dekade terakhir, maka hal tersebut bisa menjadi sinyal dari perubahan iklim yang nyata. Karena itu, ia menekankan pentingnya kesadaran dan langkah antisipatif dari semua pihak yang aktivitasnya bergantung pada kondisi musim.

    “Kita perlu beradaptasi dengan perubahan iklim. Salah satunya yaitu berjalan terhadap perubahan musim yang sudah nyata dan memang sudah dikaji terjadi di wilayah Indonesia,” katanya. 

    Menurutnya, kemarau basah ini membawa dampak yang beragam. Di satu sisi, kondisi ini berpotensi menguntungkan sektor pertanian karena adanya kecukupan air hujan di musim kemarau.

    Namun, di sisi lain, sektor-sektor lain seperti pertambakan garam dan budidaya tanaman yang sensitif terhadap kelembaban, harus menyesuaikan diri.

    Begitu pula pertanian yang sifatnya hanya sedikit minim hujan, seperti bawang atau jenis lain yang hanya tumbuh baik saat air tidak terlalu banyak tentu harus mulai beradaptasi dengan kondisi ini.

    Erma menambahkan bahwa para petambak garam kini banyak yang masih meminta saran terkait waktu mulai produksi, sebab hujan masih terus turun di wilayah pesisir, terutama di Jawa Timur. Dia menyarankan agar petambak menunda aktivitas mereka hingga kondisi lebih memungkinkan.

    “Saya sarankan untuk menunda, karena kondisi basah yang konsisten ini kemungkinan akan berlanjut terus di bulan Juli, Agustus, September, dan seterusnya,” tandasnya. 

  • BRIN Bantah Heatwave Sebagai Penyebab Cuaca Panas di RI

    BRIN Bantah Heatwave Sebagai Penyebab Cuaca Panas di RI

    Bisnis.com, JAKARTA — Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menjelaskan cuaca panas ekstrem yang terjadi di sejumlah wilayah Indonesia bukanlah fenomena gelombang panas atau heatwave, melainkan hot spell. 

    Hal ini disampaikan oleh Peneliti Bidang Klimatologi dan Perubahan Iklim BRIN, Erma Yulihastin, berdasarkan hasil kajian selama satu dekade terakhir.

    “Kalau ditanya tentang heatwave di Indonesia, dari hasil BRIN, itu kami mendeteksi bukan heatwave, tapi namanya hot spell ya,” kata Erma saat dihubungi Bisnis pada Kamis (5/6/2025). 

    Dia menuturkan bahwa hot spell adalah kondisi suhu panas yang melampaui ambang batas ekstrem, namun belum memenuhi kriteria heatwave yang umumnya terjadi pada suhu di atas 40 derajat Celcius secara konsisten.

    Lebih lanjut, Erma menjelaskan bahwa fenomena hot spell berkaitan dengan posisi matahari terhadap ekuator. Wilayah Indonesia yang berada di garis ekuator akan mengalami suhu yang lebih panas dibandingkan yang jauh dari garis ekuator. 

    Sejumlah wilayah yang rentan mengalami kondisi ini antara lain Sumatra (seperti Pekanbaru, Riau, Jambi), serta beberapa kawasan di Pulau Jawa seperti Jakarta, Semarang, dan Surabaya.

    “Jadi wilayah yang terkena itu adalah yang di dekat ekuator, tetapi termasuk juga pantura yang ada di Jawa,” kata Erma.

    Data BRIN mencatat suhu di beberapa wilayah telah melampaui angka 37 derajat Celsius. Namun, kondisi tersebut belum mencapai ambang heatwave. Fenomena ini kerap terjadi pada Maret, April, Mei, September, Oktober, dan November. 

    Selain menjelaskan soal hot spell, Erma juga mengungkap tren kemarau basah yang terdeteksi secara reguler sejak 2018 hingga 2022. 

    Fenomena ini terjadi selama musim kemarau, terutama pada Mei hingga September, dan dipicu oleh anomali kelembaban serta gangguan atmosfer seperti pusaran siklonik di Samudera Hindia.

    “Soal kemarau basah sendiri sebenarnya sudah secara general atau reguler terjadi sejak tahun 2018 sampai 2022. Kami mendeteksi bahwa ada fenomena yang bisa memicu kondisi dari kemarau basah itu,” jelasnya.

    Erma menjelaskan bahwa selama periode 2018 hingga 2022, BRIN mendeteksi adanya anomali basah yang terjadi di Indonesia pada musim kemarau. 

    Dia menyebut gangguan cuaca berskala sinoptik berperan dalam mengubah karakter musim kemarau menjadi lebih basah dibandingkan kondisi normal.

    “Sehingga kemungkinannya kita akan menghadapi lebih sering kondisi basah pada musim kemarau itu lebih tinggi probabilitasnya dibanding dengan kondisi yang normal atau musim kemarau yang kering,” pungka Erma.

    Penjelasan BRIN ini sejalan dengan pernyataan Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Thomas Djamaluddin, yang menyebut cuaca panas saat ini merupakan bagian dari masa pancaroba, bukan gelombang panas.

    “Benar penjelasan BMKG. Suhu panas di Indonesia bukan karena heat wave. Saat masa pancaroba [April—Mei dan Oktober—November] suhu udara di banyak kota di Indonesia lebih tinggi daripada saat musim hujan [Desember—Maret] atau musim kemarau [Juni—September],” kata Thomas kepada Bisnis pada Selasa (3/6/2025).

    Thomas juga menyoroti dampak urban heat island yang menyebabkan suhu di kota-kota besar meningkat akibat emisi kendaraan, industri, dan aktivitas rumah tangga.

    “Efek pemanasan kota [urban heat island] akibat emisi karbon dioksida dari kendaraan bermotor, industri, dan kegiatan rumah tangga menyebabkan suhu udara di kota-kota besar makin tinggi, termasuk malam hari,” ujarnya.

    Sementara itu, BMKG memprediksi bahwa sebagian besar wilayah Indonesia akan mengalami kemarau basah tahun ini. 

    Sekitar 84% wilayah diperkirakan masih menerima curah hujan tinggi hingga puncak musim kemarau di Agustus 2025, didorong oleh suhu muka laut yang hangat, monsun aktif, serta pengaruh La Nina dan Indian Ocean Dipole (IOD) negatif.

  • El Nino dan La Nina, BRIN: Bukti Nyata Iklim Indonesia Dinamis

    El Nino dan La Nina, BRIN: Bukti Nyata Iklim Indonesia Dinamis

    Dicuplik dari Kanal Regional, Liputan6.com, Peneliti Ahli Utama dari Pusat Riset Iklim dan Atmosfer Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Erma Yulihastin menyebutkan otoritasnya menggunakan aplikasi berbasis web, Sadewa dan Kamajaya, untuk memitigasi potensi siklon tropis di Indonesia. Erma menjelaskan siklon tropis merupakan sistem tekanan udara rendah yang terbentuk di daerah tropis dan hanya terjadi di lautan hangat.

    “Kami memitigasi terjadinya siklon tropis di Indonesia dengan Sadewa dan Kamajaya, mengingat dampaknya dapat menyebabkan kehilangan nyawa dan kerusakan infrastruktur di daerah terdampak,” ujar Erma saat menerima kunjungan pelajar SMK Wira Buana 2 di KST Samaun Samadikun, BRIN Bandung, pada pertengahan Februari 2025.

    Erma menerangkan berdasarkan strukturnya, siklon tropis adalah daerah raksasa yang terdiri atas aktivitas awan, angin, dan badai petir yang berputar.

    Jika dipantau melalui situs zoom.earth, Erma menyebutkan bahwa siklon tropis yang terdeteksi pada pertengahan Februari 2025, diperkirakan akan mencapai Australia pada Jumat (14/2) pukul 19.00.

    “Dengan kategori 4, yang ditentukan berdasarkan kecepatan angin, perlu diwaspadai dampak yang mungkin terjadi di Indonesia. Mata badai ini selain berputar juga bergerak, menciptakan jalur panjang dari squall line (gerombolan awan) yang dapat menjangkau wilayah Indonesia,” kata Erma.

    Tercatat, dari tahun 1851 hingga 2006, badai siklon tropis belum pernah terjadi di Indonesia. Secara umum, fenomena ini terbentuk di wilayah tropis pada lintang 15–20 derajat.

    Namun, beberapa badai siklon telah terdeteksi di sekitar wilayah Indonesia dalam beberapa dekade terakhir. Indonesia pernah mengalami badai siklon pada 27 November 2001, yaitu Badai Siklon Vamei.

    “Beberapa jurnal menyebutkan bahwa peristiwa ini hanya terjadi setiap 100–400 tahun sekali di Indonesia dan diyakini tidak akan terulang. Namun, kenyataannya Badai Siklon Ingrid terjadi pada 6 Maret 2005 di sekitar wilayah Indonesia,” ungkap Erma.

    Kemudian, lanjut Erma, Siklon Tropis Dahlia pada 26 November 2017 di selatan Yogyakarta merusak sejumlah tambak, Badai Siklon Lili terjadi di Laut Arafura pada 8 Mei 2019, dan yang terbaru Siklon Tropis Seroja pada 4 April 2021. Untuk memitigasi dampak siklon tropis, Erma menuturkan BRIN mengembangkan aplikasi berbasis web untuk memantau Sadewa dan Kamanjaya yang dapat diakses oleh masyarakat umum

    “Melalui Sadewa, kami memantau pergerakan awan yang dapat memprediksi cuaca hingga tiga hari ke depan dengan pembaruan setiap jam. Sebelum Siklon Tropis Seroja terjadi pada 4 April 2021, kami telah mendeteksi dua bibit siklon yang tumbuh di Perairan Banda pada 28 Maret pukul 10.00. Sedangkan melalui Kamajaya, kami memprediksi potensi badai siklon hingga enam bulan sebelumnya, dan hal itu sudah terlihat sejak 1–10 April 2021,” jelas Erma.

    Erma berharap agar Aplikasi Sadewa dan Kamajaya ini dapat mendukung pemerintah daerah untuk mempersiapkan atau mewaspadai rangkaian siklon tropis. “Alat pantau atau prediksi udah ada dan kami sediakan, melalui presentasi ini kami mendesiminasikan untuk Masyarakat agar mengakses website tersebut dengan alat yang ada di BRIN agar lebih memahami dan mengantisipasi terjadinya musim kemarau atau hujan. Serta pemerintah daerah dapat membuat kebijakan yang melindungi Masyarakat dari bahaya siklon tropis,” tukas Erma.

  • Waspada Cuaca Ekstrem, BRIN Ungkap Ada Badai Tandingan Tornado di RI

    Waspada Cuaca Ekstrem, BRIN Ungkap Ada Badai Tandingan Tornado di RI

    Jakarta, CNBC Indonesia – Tiga badai multisel ditemukan di Indonesia. Dampaknya kemungkinan bakal ada cuaca ekstrem hingga akhir pekan ini di sejumlah wilayah.

    Pakar Klimatologi BRIN Erma Yulihastin menjelaskan sebutan multisel karena tersusun atas awan-awan Cb atau disebut dengan badai guruh. Jadi badai multisel masuk kategori dahsyat selain tornado dan puting beliung.

    Ketiga badai itu ditemukan di wilayah Sumatera Selatan, Jawa Barat-Banten, dan Jawa Tengah-Timur. Menurutnya, berdasarkan pengamatan radar, badai multisel di Jabar-Banten dan Jaten-Jatim adalah campuran klaster dan garis, sementara di Sumatera adalah klaster.

    Erma mengatakan badai multisel dipicu karena pergerakan dan pertumbuhan vortex. Ini akan bertumbuh menjadi bibit siklon di Samudera Hindia.

    “Sehingga dia punya potensi mengakumulasi awan, kemudian hujan, yang ditransfer dari Samudra Hindia kemudian menuju ke Sumatera dulu yang terkena efek. Dan kemudian baru merembet atau menjalar menuju ke Jawa, dalam hal ini ya Jabodetabek,” katanya dikutip dari CNNIndonesia, Sabtu (8/3/2025).

    Akumulasi awan dapat meluas ke perairan selatan Jawa, karena memang sudah terjadi di sana seperti Jawa bagian Barat serta Timur. Erma mengatakan awan-awan tersebut bukan single sel, namun berklaster atau disebut multisel.

    Untuk vortex atau Bibit Siklon Tropis 98S berada di wilayah itu dengan kecepatan 35 km/jam. Potensinya rendah unntuk menjadi siklon tropis, ungkapnya.

    Erma menambahkan dampak siklon tropis hanya terjadi di wilayah sekitar atau terpusat. Sementara bibit siklon tropis berdampak juga pada daratan.

    “Makanya selama dia masih berupa di bibit siklon, maka justru punya peran yang bisa menghantarkan atau transport kelembaban dari Samudera Hinda menuju Sumatera dan Jawa,” tuturnya.

    Selain itu, gelombang Kelvin dan Roseby yang bertemu di Sumatera Selatan dan Jawa Barat dengan ada di Selat Sunda. juga ikut disinggung olehnya. Pertemuan diperkirakan hingga mencapai 9 Maret 2025.

    Hal ini, dia mengatakan akan berdampak pada cuaca yang makin parah. Sebab pertemuan itu menarik awan dari Samudera Hindia menuju wilayah dengan tekanan rendah di bagian Barat.

    “Sampai kapan pertemuan gelombang itu? Diprediksi sampai tanggal 9 Maret. Itu kan berarti berada pada periode dasarian pertama. Itu juga yang kita tangkap dari sejak beberapa bulan lalu kita tahu bahwa akan ada peak cuaca ekstrem ini meningkat lagi pada dasarian pertama Maret,” jelasnya

    (pgr/pgr)