“Kuburan Rumah” Bekas Banjir di Aceh Tamiang: Dikelilingi Lumpur, Jadi Tak Layak Huni
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Banjir bandang dan longsor yang menerjang wilayah Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat yang terjadi beberapa pekan lalu mengakibatkan kerusakan parah pada sejumlah desa, di mana lokasi terparah adalah Kabupaten Aceh Tamiang, Provinsi Aceh.
Di Aceh, proses pemulihan berjalan agak lama lantaran infrastruktur yang terputus dan
lumpur
yang tak kunjung surut.
Ada banyak rumah tertimbun lumpur hingga setinggi dada orang dewasa, bahkan beberapa bangunan hilang tertelan material lumpur yang mengeras bak semen.
Pakar Kebijakan Publik dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah menilai, tahap pemulihan harus difokuskan pada penataan kembali permukiman, relokasi, dan sosial ekonomi warga yang terdampak berat.
Trubus menuturkan, penentuan lokasi relokasi menjadi poin krusial agar masyarakat tidak dikembalikan ke kawasan rawan.
“Daerah yang sudah tertimbun lumpur atau berubah kontur tanahnya tidak layak lagi dihuni. Kalau dipaksakan, warga bisa kembali trauma dan ancaman bencana susulan tetap ada,” ujar Trubus, kepada Kompas.com, Kamis (10/12/2025).
Senada, Ahli klimatologi dan perubahan iklim Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Erma Yulihastin, menilai, lokasi-lokasi yang terdampak
banjir bandang
dan longsor di Aceh berpotensi besar tidak lagi layak untuk ditempati.
Hal itu disebabkan endapan lumpur atau sedimentasi yang cukup tebal dan berlapis-lapis yang kini mengering dan mengeras, sehingga mustahil dipulihkan dengan cara pembersihan biasa.
Menurut Erma, pemulihan permukiman di wilayah yang tertimbun lumpur jauh lebih sulit jika dibandingkan dengan bencana lain seperti gempa, tsunami, atau banjir reguler.
“Lumpur-lumpur itu mengeras, jadi semua yang terendam sangat sulit diambil dan diselamatkan,” ujar dia.
Pada gempa bumi, reruntuhan masih dapat diangkat menggunakan alat berat untuk kemudian dibersihkan.
“Tapi ini tidak bisa sama sekali, tingkat kesulitannya jauh lebih tinggi,” tegas dia.
Menurut Trubus, pemerintah harus segera mengambil keputusan jelas terkait pemindahan warga, baik ke hunian sementara maupun ke lokasi relokasi permanen.
Ia menekankan, penetapan lokasi harus mempertimbangkan aspek keselamatan, akses pendidikan, layanan kesehatan, dan peluang ekonomi.
Selain itu, Trubus menilai, arahan Presiden mengenai pemanfaatan lahan untuk mendirikan rumah sementara merupakan langkah tepat, terutama bagi mereka yang rumahnya telah rusak total.
“Ada rumah-rumah yang memang sudah tidak mungkin digunakan. Tertimbun lumpur, struktur tanah berubah, sulit dibersihkan. Tidak boleh lagi warga dipaksa tinggal di situ,” kata dia.
Ia mengingatkan, banyak penyintas kehilangan mata pencarian akibat bencana, sehingga risiko jatuh ke jurang kemiskinan meningkat.
Dalam kondisi demikian, pemerintah diminta memberi perhatian khusus pada kelompok masyarakat yang rentan.
“Pembangunan kembali rumah, layanan pendidikan untuk anak-anak, hingga dukungan pemulihan ekonomi harus diprioritaskan. Pemerintah daerah harus benar-benar menyesuaikan intervensi dengan kebutuhan masyarakat, terutama masyarakat miskin,” ujar dia.
Menurut Erma, kondisi sedimentasi ekstrem yang muncul pascabencana membuat beberapa titik pemukiman benar-benar tidak dapat direhabilitasi.
Bahkan, proses pemetaan ulang wilayah terdampak perlu segera dilakukan untuk menentukan area mana yang sudah tidak mungkin dihuni kembali.
“Kalau tetap direkonstruksi di tempat yang sama, justru menimbulkan persoalan baru. Ini berantai kalau tidak cepat diselesaikan,” kata Erma.
Trubus menilai, proses pemulihan di Aceh harus dilakukan secara komprehensif, tidak hanya membangun kembali infrastruktur fisik tetapi juga memastikan warga bisa kembali hidup layak.
Erma mengingatkan bahwa Aceh saat ini baru memasuki fase tanggap darurat, yang idealnya berlangsung satu hingga dua minggu.
Namun, hingga minggu kedua, penanganan masih belum tuntas, sehingga BNPB telah memperpanjang status tanggap darurat untuk kedua kalinya.
“Ini baru tanggap darurat, belum masuk tahap rehabilitasi dan
recovery
. Artinya, ketidakpastian bagi warga bisa semakin panjang kalau tidak dipercepat,” ujar dia.
Erma menekankan pentingnya percepatan penanganan agar masyarakat terdampak tidak berlarut-larut menghadapi risiko lanjutan maupun beban psikologis akibat kehilangan tempat tinggal.
“Korban tidak boleh terlalu lama berada dalam situasi ketidakpastian. Proses pemetaan, keputusan relokasi, dan rencana pemulihan harus segera dibuat,” kata dia.
Menurut Trubus, sejumlah titik terdampak banjir dan longsor di Aceh perlu sesegera mungkin dilakukan pembersihan material lumpur, pendataan kerusakan rumah, serta penyiapan skema relokasi oleh pemerintah.
Pemerintah daerah diminta bergerak cepat agar masyarakat yang kehilangan rumah tidak terus berlama-lama di pengungsian.
“Jangan sampai mereka kembali ke tempat yang berbahaya. Pemulihan harus menjamin keamanan dan keberlanjutan hidup masyarakat ke depan,” tegas Trubus.
Adapun warga yang rumahnya terdampak pengerasan lumpur tebal, dialami oleh Nasruddin (38), warga Dusun Meunasah Krueng Baroh, Desa Manyang Cut, Kecamatan Meureudu, Pidie Jaya.
Nasruddin masih harus bertahan di lokasi pengungsian, dan keluarganya belum dapat pulang karena rumah mereka terkubur lumpur tebal sisa banjir bandang yang melanda kawasan tersebut.
Tebalnya endapan lumpur, sekitar 1,5 meter di bagian depan rumah dan setinggi pinggang di dalam rumah, tidak mungkin dibersihkan dengan tenaga warga sendiri.
Nasruddin menyebut satu-satunya cara hanyalah menggunakan alat berat, situasi yang juga dialami banyak keluarga lain di desanya.
“Tidak sanggup kita bersihkan lumpur sekitar 1,5 lebih di depan, sedangkan di dalam rumah lumpur sepinggang,” kata Nasruddin, kepada Kompas.com, Senin (8/12/2025).
Karena kondisi itu, warga Manyang Cut masih memilih bertahan di pos pengungsian.
Sebagian kecil warga yang luapan lumpurnya tidak terlalu parah hanya berani kembali sesaat untuk mencuci pakaian, sebelum kembali lagi ke tempat pengungsian.
“Sedangkan rumah belum ada yang membersihkan sampai hari ini. Bagaimana cara kita bersihkan, karena pembuangan tidak ada,” ujar dia.
Setelah rumah warga korban banjir longsor tertelan lumpur dan mengeras, minimnya bantuan membuat warga mulai kelaparan dan kesulitan bertahan hidup.
Muhammad Hendra Vramenia, warga Kampung Bundar di Kecamatan Karang Baru, menggambarkan kondisi memilukan yang terjadi.
Ia menyebut, beberapa desa kini hilang ditelan lumpur, tertutup tumpukan kayu dan balok-balok raksasa.
Salah satunya Desa Sekumur, yang sebelumnya dihuni sekitar 1.234 jiwa dengan 280 rumah.
Kini, seluruh permukiman itu musnah setelah dihantam banjir setinggi hampir 7 meter.
“Desanya sudah tidak ada lagi, rata tanah karena disapu banjir. Yang tersisa hanya bangunan masjid,” ujar Hendra, kepada Kompas.com, Sabtu (6/12/2025).
Menurut Hendra, warga kini hidup dalam kecemasan.
Kampung-kampung terputus dari akses luar, sementara logistik hampir tidak ada.
Situasi serupa terjadi di Pematang Durian (Kecamatan Sekerak), Pantai Cempa, Babo, hingga Sulum.
“Daerah ini masih terisolasi. Kalau ada bantuan, tolong tembus ke wilayah yang belum disentuh sama sekali. Karena 12 kecamatan di Aceh Tamiang terdampak. Makanya saya bilang ini seperti tsunami,” kata dia.
Hendra meminta pemerintah pusat di Jakarta benar-benar memperhatikan kondisi Aceh Tamiang dan menetapkan kejadian tersebut sebagai bencana nasional.
Ia menilai, kemampuan pemerintah daerah sangat terbatas dan tidak mungkin mampu memulihkan kerusakan yang begitu luas secara mandiri.
“Penanganannya harus seperti saat pemerintah melakukan pemulihan pascatsunami di Banda Aceh. Jika tidak, situasinya bisa makin parah. Sekarang saja Aceh Tamiang sudah seperti kota yang dipenuhi limbah di mana-mana,” tutur Hendra.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Tag: Erma Yulihastin
-

Surabaya Terik Mendidih, Ahli BRIN Bilang Baru Panas Permulaan
Jakarta, CNBC Indonesia – Surabaya diperkirakan akan lebih panas dalam 25 tahun lagi. Studi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) memprediksi suhu kota itu meningkat 5 derajat Celcius pada 2050 mendatang.
Profesor Riset bidang Iklim dan Cuaca Ekstrem Pusat Riset Iklim dan Atmosfer BRIN Prof Erma Yulihastin menjelaskan panas ekstrem di Surabaya akan terus berlanjut. Dalam catatan personal weather station selama Oktober dua tahun terakhir, suhunya telah mencapai 40 derajat Celcius.
Sebagai informasi, PWS sendiri adalah alat pengukur cuaca yang jaringannya tersebar di seluruh dunia. Alat ini bisa diakses secara terbuka dan akan bergerak secara riil time.
Dia juga menjelaskan Surabaya jadi kota paling sensitif merespons perubahan iklim.
“Panas ekstrem di Surabaya akan terus berlanjut. Rekaman data PWS selama Oktober 2 tahun terakhir menunjukkan suhu maksimum capai ~40°C. Kajian kami menyatakan kota ini paling sensitif dalam merespons perubahan iklim dengan kenaikan suhu maksimumnya hingga 2050,” kata Erma dalam unggahan di akun X, dikutip Senin (27/10/2025).
Riset BRIN juga telah mengungkapkan hasil tersebut. Model iklim Conformal Cubic Atmospheric Model atau CCAM pada riset yang dipublikasikan 2023 lalu mengungkapkan suhu maksimal di Surabaya Raya bakal meningkat 5 derajat Celcius.
“Riset mengenai kenaikan suhu maksimum di Surabaya Raya (Surabaya, Gresik, Lamongan, Sidoarjo, Mojokerto, Bangkalan) hingga mencapai >= 5°C hasil proyeksi downscalling model iklim CCAM telah dipublikasi pada 2023,” jelasnya.
Suhu panas di Surabaya juga tercatat oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) baru-baru ini. Tercatat suhu kota itu mencapai 36 derajat Celcius.
Fenomena panas di sejumlah kota dalam beberapa hari terakhir disebutkan bukan karena Gelombang Panas. BMKG mengatakan suhu di Indonesia masih dalam batas wajar meski terasa tidak nyaman.
BMKG juga mengungkapkan kemungkinan kondisi panas akan berlangsung hingga akhir Oktober atau berlanjut sampai awal November.
“Kondisi panas ini kemungkinan masih berlangsung hingga akhir Oktober atau awal November, tergantung pada waktu mulai masuknya musim hujan di masing-masing daerah,” tulis BMKG di laman PPID BMKG.
Penyebab utama cuaca panas saat ini karena posisi semu matahari optimum. BMKG mengatakan posisinya kini berada sedikit di bagian selatan ekuator, membuat wilayah Indonesia bagian tengah dan selatan mendapatkan penyinaran Matahari sangat intens.
Faktor lain adalah angin dari Australia. Angin ini membawa massa udara kering, membuat awan sulit terbentuk serta matahari lebih terik di permukaan.
Minimnya tutupan awan juga jadi alasan lainnya. Disebutkan pembentukan awan hujan untuk sejumlah wilayah masih minim meski beberapa wilayah telah masuk ke musim hujan.
(dem/dem)
[Gambas:Video CNBC]
-

BMKG Jelaskan Suhu Panas Terus Berlangsung di Indonesia, Kapan Hujan Turun?
Bisnis.com, JAKARTA – Suhu panas di beberapa wilayah di Indonesia terjadi pada beberapa hari terakhir. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprediksi bahwa cuaca panas terjadi karena adanya gerak semu matahari dan Monsun Australia.
Deputi Bidang Meteorologi BMKG Guswanto memprakirakan bahwa suhu panas ini masih akan berlanjut hingga akhir Oktober atau awal November 2025.
Adapun penyebab utama suhu panas ini adalah posisi gerak semu matahari yang pada bulan Oktober berada di selatan ekuator.
Guswanto mengatakan bahwa faktor lainnya adalah penguatan angin timuran atau Monsun Australia yang membawa massa udara kering dan hangat sehingga pembentukan awan minim serta radiasi matahari dapat mencapai permukaan bumi secara maksimal.
“Posisi ini membuat wilayah Indonesia bagian tengah dan selatan, seperti Jawa, Nusa Tenggara, Kalimantan, dan Papua, menerima penyinaran matahari yang lebih intens sehingga cuaca terasa lebih panas di banyak wilayah Indonesia,” dikutip dari siaran pers BMKG, Rabu (15/10).
Lantas kapan hujan turun?
Cuaca panas hingga 37 derajat membuat masyarakat bertanya-tanya kapan hujan akan turun di langit Indonesia.
Padahal seharusnya pada bulan Oktober ini sudah mulai turun rintik-rintik hujan. BMKG kemudian
memprakirakan potensi hujan lokal akibat aktivitas konvektif masih dapat terjadi pada sore hingga malam hari terutama di sebagian wilayah Sumatera, Kalimantan, Jawa, dan Papua.Hal senada juga diungkapkan oleh Peneliti Bidang Klimatologi dan Perubahan Iklim BRIN, Erma Yulihastin.
Ia menyebutkan bahwa pada sore hingga malam hari, hujan bisa terbentuk akibat konveksi termal dan lokal di berbagai wilayah Jawa, terutama bagian tengah dan timur.
BRIN mengimbau masyarakat untuk memahami perubahan cuaca yang dapat terjadi secara tiba-tiba, dari panas menyengat menjadi hujan yang didahului angin kencang.
“Sehingga pada siang hari perlu perlindungan tabir surya untuk melindungi kulit, namun tetap juga waspada dengan hujan pada malam hari,” kata Erma saat dihubungi Bisnis pada Selasa (14/10/2025).
-

BRIN Prediksi Suhu Panas di Jakarta dan Tangerang Terjadi hingga Akhir Oktober
Bisnis.com, JAKARTA— Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) suhu panas yang menyengat hingga mencapai 37 derajat Celcius di wilayah Jakarta dan Tangerang akan terjadi hingga Oktober 2025.
BRIN mencatat, suhu maksimum pada siang hari dapat mencapai 35–38 derajat Celcius, dan kondisi tersebut berpotensi berlangsung hingga akhir Oktober.
Peneliti Bidang Klimatologi dan Perubahan Iklim BRIN, Erma Yulihastin, menjelaskan fenomena ini terjadi karena minimnya liputan awan di atas Pulau Jawa dan wilayah selatan Indonesia.
Liputan awan sendiri merupakan proporsi langit yang tertutup oleh awan, biasanya diukur dalam skala persepuluhan atau perdelapanan (okta).
“Pembentukan dua bibit siklon tropis di bagian utara, yaitu NAKRI di Laut Filipina dan 96W di Samudra Pasifik dekat utara Papua, telah menyebabkan konsentrasi awan-awan konvektif bergeser ke bagian utara ekuator,” kata Erma saat dihubungi Bisnis pada Selasa (14/10/2025).
Akibat pergeseran tersebut, lanjut Erma, wilayah di selatan ekuator menjadi minim awan, khususnya pada pagi hingga siang hari. Namun, ketidakseimbangan panas yang terjadi secara lokal misalnya antara pesisir dan pegunungan, atau antara laut dan darat telah membangkitkan angin-angin lokal.
Dengan demikian, menurut Erma, hembusan angin kencang dapat terjadi meskipun tidak berkaitan dengan pembentukan awan konvektif maupun hujan.
Dia menambahkan, pada sore hingga malam hari, hujan bisa terbentuk akibat konveksi termal dan lokal di berbagai wilayah Jawa, terutama bagian tengah dan timur.
BRIN mengimbau masyarakat untuk memahami perubahan cuaca yang dapat terjadi secara tiba-tiba, dari panas menyengat menjadi hujan yang didahului angin kencang.
“Sehingga pada siang hari perlu perlindungan tabir surya untuk melindungi kulit, namun tetap juga waspada dengan hujan pada malam hari,” tutup Erma.
-

BRIN Wanti-wanti Tambak Garam Bakal Hadapi Musim Kemarau Basah yang Panjang
Bisnis.com, JAKARTA– Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) memperingatkan potensi berlanjutnya musim kemarau basah di sejumlah wilayah Indonesia.
Peneliti Bidang Klimatologi dan Perubahan Iklim BRIN, Erma Yulihastin, menilai kondisi tersebut dapat berdampak signifikan terhadap aktivitas pertanian musiman, termasuk tambak garam yang sangat bergantung pada curah hujan yang rendah dan periode kering yang stabil.
“Namun perlu dipikirkan juga misalnya tambak garam, tentu harus beradaptasi dengan kondisi ini,” kata Erma saat dihubungi Bisnis pada Rabu (11/6/2025).
Erma menjelaskan hingga kini para petambak garam masih sering berkonsultasi dengannya terkait waktu yang tepat untuk memulai produksi. Pasalnya, hujan masih terjadi secara konsisten di berbagai wilayah Jawa, khususnya di kawasan depan Turak, Jawa Timur.
Imbas kondisi basah tersebut diperkirakan akan terus berlangsung hingga Juli, Agustus, bahkan September, dia menyarankan agar aktivitas tambak garam ditunda sementara waktu.
Dia menjelaskan, meskipun bulan Juni hingga Juli ini berpotensi menjadi periode terkering sepanjang tahun, peluang tersebut bersifat sementara dan tidak bisa dijadikan acuan untuk memulai aktivitas produksi garam secara penuh.
“Walaupun ada durasi yang terlama, kering, kemungkinan itu adalah bulan ini, bulan Juli dan Juli saja, itu kira-kira dampaknya,” tambahnya.
Erma menekankan bahwa pola curah hujan dan musim di Indonesia memang telah mengalami perubahan signifikan akibat perubahan iklim. Salah satu tanda yang terus diamati adalah musim hujan yang menjadi lebih panjang, sementara musim kemarau cenderung lebih pendek dan tidak sepenuhnya kering seperti sebelumnya.
“Yang pasti ini ada indikasi gejala yang sustain atau berlanjut atau konsisten. Sehingga ini bisa jadi yang merupakan sinyal awal dari perubahan musim,” jelasnya.
Dia menambahkan bahwa kajian lebih lanjut tengah dilakukan untuk memahami karakteristik musim kemarau yang kini tidak bisa lagi disamakan dengan kondisi beberapa dekade lalu. Meskipun musim hujan memanjang, justru jumlah dry spell atau jeda hari tanpa hujan di tengah musim hujan malah meningkat.
Wilayah Tenggara Indonesia menjadi salah satu lokasi yang sedang dikaji BRIN untuk melihat adanya potensi pergeseran musim, di mana kemarau cenderung menjadi lebih basah dibanding sebelumnya.
“Apakah ada daerah-daerah di Indonesia ini yang sudah mulai mengalami pergeseran? Misalnya adalah wilayah Tenggara. Karena penelitian kami juga sedang mengkaji adanya kondisi di mana musim kemarau di wilayah Tenggara Indonesia itu berubah menjadi sedikit lebih basah,” ujarnya.
Menurutnya, adaptasi terhadap perubahan iklim menjadi kebutuhan mendesak bagi seluruh pihak, terutama mereka yang pekerjaannya berkaitan erat dengan pola musim, seperti petambak garam, petani, dan pelaku usaha agrikultur lainnya.
“Kita perlu beradaptasi dengan perubahan iklim. Salah satunya yaitu berjalan terhadap perubahan musim yang sudah nyata dan memang sudah dikaji terjadi di wilayah Indonesia,” pungkasnya.
-

Masih Ada Hujan pada Juni, Begini Penjelasan BRIN
Bisnis.com, JAKARTA — Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyebut fenomena hujan yang masih terjadi pada Juni disebabkan oleh kondisi kemarau yang cenderung basah. Pola tersebut secara konsisten terpantau sejak 2018, kecuali pada 2023 ketika El Nino mendominasi.
Peneliti Bidang Klimatologi dan Perubahan Iklim BRIN, Erma Yulihastin mengatakan perubahan musim tersebut memang diteliti telah terjadi dalam dua dekade terakhir dan merupakan bukti dari perubahan iklim di Indonesia.
“Yang pasti ini ada indikasi gejala yang sustain atau berlanjut atau konsisten. Sehingga ini bisa jadi yang merupakan sinyal awal dari perubahan musim,” kata Erma saat dihubungi Bisnis pada Rabu (11/6/2025).
Erma mengatakan perubahan musim tersebut menyebabkan musim kemarau lebih pendek, sementara musim hujan lebih panjang.
Namun demikian, Erma mengatakan aspek yang belum diteliti secara mendalam adalah karakteristik musim kemaraunya. Selama ini, fokus studi lebih banyak mengarah pada musim hujan yang memang menunjukkan pola perubahan, seperti durasinya yang cenderung lebih panjang dari biasanya.
Meski demikian, musim hujan itu sendiri kini diselingi oleh semakin banyak periode kering (dry spell), yaitu hari-hari tanpa hujan yang terjadi di tengah musim hujan. Fenomena ini menunjukkan bahwa intensitas dan kontinuitas hujan tidak selalu konsisten, bahkan ketika musim hujan masih berlangsung.
“Nah yang harus membutuhkan penelitian lebih lanjut adalah sifat musim kemarau-nya seperti apa,” katanya.
Erma menyampaikan sejumlah wilayah di Indonesia, khususnya kawasan Tenggara, mulai menunjukkan gejala pergeseran pola musim. Ia menuturkan, musim kemarau di wilayah tersebut kini cenderung lebih basah dibanding sebelumnya. Menurutnya, jika pola ini sudah terjadi dalam satu dekade terakhir, maka hal tersebut bisa menjadi sinyal dari perubahan iklim yang nyata. Karena itu, ia menekankan pentingnya kesadaran dan langkah antisipatif dari semua pihak yang aktivitasnya bergantung pada kondisi musim.
“Kita perlu beradaptasi dengan perubahan iklim. Salah satunya yaitu berjalan terhadap perubahan musim yang sudah nyata dan memang sudah dikaji terjadi di wilayah Indonesia,” katanya.
Menurutnya, kemarau basah ini membawa dampak yang beragam. Di satu sisi, kondisi ini berpotensi menguntungkan sektor pertanian karena adanya kecukupan air hujan di musim kemarau.
Namun, di sisi lain, sektor-sektor lain seperti pertambakan garam dan budidaya tanaman yang sensitif terhadap kelembaban, harus menyesuaikan diri.
Begitu pula pertanian yang sifatnya hanya sedikit minim hujan, seperti bawang atau jenis lain yang hanya tumbuh baik saat air tidak terlalu banyak tentu harus mulai beradaptasi dengan kondisi ini.
Erma menambahkan bahwa para petambak garam kini banyak yang masih meminta saran terkait waktu mulai produksi, sebab hujan masih terus turun di wilayah pesisir, terutama di Jawa Timur. Dia menyarankan agar petambak menunda aktivitas mereka hingga kondisi lebih memungkinkan.
“Saya sarankan untuk menunda, karena kondisi basah yang konsisten ini kemungkinan akan berlanjut terus di bulan Juli, Agustus, September, dan seterusnya,” tandasnya.
/data/photo/2025/12/07/69351ae354f28.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)



