Tag: Elon Musk

  • Putin Lontarkan Pujian untuk Elon Musk, Ada Apa?

    Putin Lontarkan Pujian untuk Elon Musk, Ada Apa?

    Moskow

    Presiden Rusia Vladimir Putin melontarkan pujian untuk miliarder ternama Amerika Serikat (AS) Elon Musk. Putin menyebut sosok Musk sebagai seorang pionir yang sebanding dengan insinyur roket legendaris Uni Soviet, Sergei Korolev.

    Pujian Putin untuk Musk, yang kini menjadi sekutu dekat dan penasihat penting Presiden Donald Trump ini, disampaikan ketika dia berbicara di hadapan para mahasiswa dalam kunjungan ke Universitas Bauman, sebuah perguruan tinggi di Moskow yang mengkhususkan diri dalam sains dan teknik.

    Komentar Putin ini, seperti dilansir AFP, Kamis (17/4/2025), muncul saat Rusia dan AS berusaha menjalin hubungan yang lebih erat di bawah pemerintahan Trump, di mana Musk menjadi tokoh kunci.

    “Anda tahu, ada seorang pria — dia tinggal di Amerika Serikat — Musk yang, bisa dibilang, sangat mengagumi Mars,” kata Putin kepada para mahasiswa di universitas tersebut dalam kunjungan pada Rabu (16/4) waktu setempat.

    “Mereka merupakan tipe-tipe orang yang jarang muncul dalam populasi manusia, yang bersemangat dengan gagasan tertentu,” sebutnya.

    “Jika hal itu tampak mustahil bahkan saat ini, gagasan-gagasan seperti itu sering kali membuahkan hasil setelah beberapa saat. Sama seperti gagasan Korolev, pionir kita, muncul pada waktunya,” ucap Putin dalam pernyataannya.

    Korolev merupakan bapak program luar angkasa Uni Soviet, yang mengembangkan satelit pertama Sputnik serta Vostok 1, yang membawa kosmonaut pertama, Yuri Gagarin, ke orbit luar angkasa pada tahun 1961 silam.

    Musk, yang merupakan orang terkaya di dunia dan penasihat Trump yang kini paling berpengaruh, merupakan bos SpaceX, sebuah perusahaan AS yang meluncurkan roket untuk Badan Antariksa AS (NASA) dan memiliki jaringan internet Starlink.

    Selama ini, Musk sering mengkritik Ukraina, yang berperang melawan Rusia selama tiga tahun terakhir.

    Bulan lalu, Musk menuduh Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky menginginkan “perang abadi”, dan pada Februari lalu, dia mengatakan Kyiv telah bertindak “terlalu jauh” dalam konflik tersebut.

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Joe Biden: Trump Bawa Malapetaka, Baru Menjabat 100 Hari Bikin Hancur Pemerintahan AS – Halaman all

    Joe Biden: Trump Bawa Malapetaka, Baru Menjabat 100 Hari Bikin Hancur Pemerintahan AS – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Mantan presiden AS ke-45 Joe Biden, melontarkan kritikan tajam ke Donald Trump pasca presiden tersebut menetapkan kebijakan-kebijakan kontroversial.

    Kritikan itu disampaikan Biden saat memberikan pidato kepresidenan untuk pertama kalinya pada Selasa (15/4/2025) waktu setempat.

    Dalam pidatonya Biden menyebut kebijakan yang dilakukan pemerintahan Trump dapat membawa malapetaka bagi warga AS.

    Adapun kebijakan yang dimaksud yakni pemangkasan besar-besaran oleh Departemen Efisiensi Pemerintahan (DOGE) yang dipimpin Elon Musk terhadap badan Jaminan Sosial AS.

    “Kurang dari 100 hari, pemerintahan ini telah melakukan banyak kerusakan dan begitu banyak kehancuran, sungguh menakjubkan hal itu bisa terjadi begitu cepat,” kata Biden dalam konferensi advokasi disabilitas di Chicago, dikutip dari CNN International.

    “Mereka menebas administrasi Jaminan Sosial, memaksa 7 ribu karyawan berhenti,” imbuhnya.

    Selama setengah jam, Biden menekan bahwa upaya perampingan termasuk pemecatan lebih dari 7.000 pegawai, penutupan kantor, dan restrukturisasi tugas sebagai langkah-langkah “ceroboh dan merusak”.

    “Banyak warga AS yang bergantung pada jaminan sosial untuk membeli makanan hanya untuk bertahan hidup,” kata Biden lagi.

    “Banyak dari penerima manfaat itu adalah satu-satunya pendapatan mereka. Jika dipangkas atau diambil, itu akan sangat menghancurkan, menghancurkan jutaan orang,” lanjutnya.

    Meskipun Biden tidak menyebut nama Trump secara langsung dalam pidatonya, kritiknya jelas ditujukan kepada kebijakan pemerintahannya.

    Pernyataan ini menandai kembalinya Biden ke panggung politik dengan fokus pada isu-isu sosial yang menjadi perhatian utamanya selama menjabat sebagai presiden. ​

    Parlemen Ikut krut Kritik Trump

    Kritikan tak hanya dilontarkan Joe Biden, beberapa anggota parlemen Demokrat telah menyatakan ketidakpuasan dengan kebijakan perdagangan saat ini.

    Termasuk diantaranya Senator Cory Booker, Demokrat dari New Jersey.

    Ia menilai kebijakan Trump telah memicu hambatan perdagangan karena mengguncang ekonomi dan menguras tabungan warga Amerika

    “Saya hanya ingin atas nama saya sendiri, menyampaikan kecaman keras dan tegas terhadap tarif Trump. Semuanya salah. Itu harus dikutuk,” ujar Booker.

    Senada dengan yang lain, Ray Dalio, pendiri dana lindung nilai Bridgewater Associates, mengatakan bahwa ia khawatir akan sesuatu yang lebih buruk daripada resesi.

    “Saya pikir saat ini kita berada pada titik pengambilan keputusan dan sangat dekat dengan resesi,” kata Dalio di acara Meet the Press di NBC News menanggapi pertanyaan tentang apakah AS kemungkinan akan mengalami resesi karena kebijakan tarif Trump.

    “Dan saya khawatir akan sesuatu yang lebih buruk daripada resesi jika hal ini tidak ditangani dengan baik.” imbuhnya

    Kebijakan Trump Bawa Bencana Ekonomi

    Terbaru, Mantan Menteri Keuangan AS Lawrence Summers mengungkap adanya risiko resesi dengan kemungkinan 2 juta warga AS kehilangan pekerjaan, sebagai akibat dari kenaikan tarif yang sedang berlangsung.

    Peringatan diungkap Summers dalam wawancara di Wall Street Week dengan Bloomberg Television.

    Menurut Summers, kebijakan tarif Trump saat ini lebih ekstrim dari tarif yang diterapkan pada tahun 1930.

    Dapat menaikkan harga, merugikan konsumen dan bisnis AS, mengganggu perdagangan global, dan berdampak negatif bagi pertumbuhan ekonomi global.

    Lantaran tarif impor yang diberlakukan Trump memicu beberapa mitra dagang untuk melemparkan tindakan balasan terhadap tarif yang diberlakukan Trump tersebut, yang pada akhirnya membawa perdagangan dunia di ambang resesi.

    “Kemungkinan besar kita akan mengalami resesi – dan dalam konteks resesi, kita akan melihat tambahan 2 juta orang menganggur,” kata Summers.

    “Kita akan melihat kerugian dalam pendapatan rumah tangga sebesar 5.000 dolar per keluarga atau lebih,” imbuh Summers, yang merupakan profesor Universitas Harvard.

    Komentar serupa juga turut dirilis ekonom perbankan investasi Goldman Sachs Group Inc telah lebih dulu memperingatkan warga AS untuk bersiap menghadapi lonjakan resesi 45 persen dalam 12 bulan atau satu tahun ke depan.

    Bank investasi J.P. Morgan juga menempatkan kemungkinan resesi AS dan global sebesar 60 persen  buntut tarif impor baru yang diberlakukan Presiden AS Donald Trump.

    Sementara Ketua Federal Reserve (The Fed) Jerome Powell memperingatkan kenaikan inflasi yang dapat mengancam keberlangsungan kondisi perekonomian AS buntut kebijakan tarif Presiden Donald Trump.

    (Tribunnews.com / Namira)

  • AS Ikuti Jejak RI? Trump Efisiensi Anggaran Kementerian hingga Organisasi Dunia: Kemlu Terdampak Rp505 Triliun

    AS Ikuti Jejak RI? Trump Efisiensi Anggaran Kementerian hingga Organisasi Dunia: Kemlu Terdampak Rp505 Triliun

    PIKIRAN RAKYAT – Pemerintahan Presiden AS Donald Trump berencana memangkas anggaran Departemen Luar Negeri (Kemlu) dengan jumlah yang cukup signifikan, hingga setengahnya, sebuah langkah yang dapat berdampak besar pada diplomasi internasional dan bantuan luar negeri.

    Menurut dokumen yang ditinjau oleh Reuters, pemotongan anggaran yang diusulkan oleh Gedung Putih tersebut mencapai hampir $30 miliar untuk tahun fiskal 2026, atau sekitar Rp505 triliun (kurs 1 USD = Rp16.850).

    Dokumen perencanaan yang dikenal sebagai “Passback” ini, adalah tanggapan oleh Kantor Manajemen dan Anggaran Gedung Putih (OMB) terhadap permintaan pendanaan oleh Departemen Luar Negeri untuk tahun fiskal mendatang, yang dimulai pada 1 Oktober 2025.

    Sementara dokumen tersebut masih dalam tahap awal, pejabat AS menyatakan bahwa meskipun ada kemungkinan beberapa perubahan, pemotongan tersebut kemungkinan akan tetap signifikan.

    Isi Proposal Pemotongan

    Anggaran yang diusulkan untuk Departemen Luar Negeri dalam FY 2026 hanya sebesar $28,4 miliar (sekitar Rp478 triliun), dibandingkan dengan $54,4 miliar (sekitar Rp916 triliun) pada tahun fiskal saat ini.

    Selain itu, bantuan luar negeri yang didistribusikan oleh Departemen Luar Negeri dan Badan Pembangunan Internasional AS (USAID) juga dipangkas tajam dari $38,3 miliar (sekitar Rp645 triliun) menjadi $16,9 miliar (sekitar Rp285 triliun).

    Sebagai bagian dari rencana pemangkasan ini, pemerintah mempertimbangkan untuk menutup setidaknya 27 misi AS, termasuk kedutaan besar dan konsulat, di negara-negara seperti Eritrea, Gambia, Sudan Selatan, dan Medan di Indonesia.

    Tak hanya itu, pemotongan ini juga mencakup pengurangan besar dalam jumlah staf diplomatik dan penutupan beberapa kantor yang mengelola program bantuan kemanusiaan internasional.

    Dampak pada Pendanaan Organisasi Internasional

    Salah satu bagian paling mencolok dari proposal ini adalah penghapusan pendanaan untuk hampir semua organisasi internasional, termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan NATO.

    Sebelumnya, pemerintah Trump juga telah mengusulkan untuk mengurangi pendanaan bagi badan-badan seperti Voice of America, Radio Free Europe, dan Radio Free Asia, yang memainkan peran penting dalam penyebaran informasi dan promosi demokrasi di seluruh dunia.

    Lebih lanjut, proposal ini juga berencana untuk menghilangkan banyak program pendidikan dan budaya yang telah lama ada, seperti program Fulbright, yang sejak 1946 telah memberikan kesempatan bagi mahasiswa AS untuk belajar di luar negeri.

    Penyusutan Program Bantuan Luar Negeri

    Pemotongan anggaran ini juga berdampak pada berbagai program bantuan luar negeri yang telah dijalankan selama bertahun-tahun. USAID, yang selama ini menjadi lembaga utama dalam distribusi bantuan kemanusiaan dan pembangunan internasional, juga akan mengalami pembubaran dan penggabungan fungsinya dengan Departemen Luar Negeri.

    Sejak Februari, lebih dari 5.000 program telah ditutup, ribuan kontraktor diberhentikan, dan banyak staf dipangkas dari berbagai misi luar negeri.

    Mengapa Pemotongan Ini Dilakukan?

    Menurut pejabat yang akrab dengan proposal tersebut, langkah ini merupakan bagian dari upaya besar-besaran untuk efisiensi anggaran pemerintahan Trump yang menginginkan pemangkasan belanja federal secara signifikan.

    Elon Musk juga dikenal mendukung perampingan besar-besaran di berbagai lembaga pemerintah. Di masa jabatan pertama Trump, proposal serupa pernah diajukan namun ditolak oleh Kongres. Namun, dalam pemerintahan kedua Trump, perampingan ini mendapatkan momentum lebih besar.

    Reaksi Kongres dan Opini Publik

    Usulan pemotongan ini menuai kritik dari banyak kalangan, termasuk dari anggota Kongres. Senator Jeanne Shaheen dari New Hampshire menanggapi proposal ini dengan mengatakan bahwa pemotongan anggaran tersebut akan membahayakan posisi AS di kancah internasional.

    “Ketika America First menjadi America Alone, ekonomi, keamanan, dan kemakmuran kita akan menderita,” ujarnya, dikutip Pikiran-Rakyat.com dari AP News.

    Shaheen menekankan pentingnya investasi dalam program diplomatik yang mempromosikan perdamaian, stabilitas, dan kepentingan nasional AS.***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • Elon Musk Makin Terpuruk, Dihantam dari Berbagai Penjuru

    Elon Musk Makin Terpuruk, Dihantam dari Berbagai Penjuru

    Jakarta, CNBC Indonesia – Nasib Elon Musk kian terpuruk. Saham Tesla anjlok 33% sepanjang 2025 setelah dihantam aksi boikot di mana-mana dan perang tarif Donald Trump.

    Tak cukup sampai di situ, kini Musk juga harus menghadapi persaingan baru untuk mempertahankan eksistensi media sosial X miliknya.

    Pasca pelantikan Trump, banyak pengguna X yang kabur karena menilai platform itu dijadikan alat propaganda oleh Musk dalam memenangkan Trump. Pengguna X ramai-ramai beralih ke platform pesaing seperti BlueSky, Mastodon, hingga Threads.

    Terbaru, X dilaporkan akan kedatangan pesaing baru. OpenAI dikabarkan akan meluncurkan layanan serupa X, menurut laporan The Verge berdasarkan beberapa sumber yang familiar dengan isu tersebut.

    Laporan itu menyebut ada prototipe internal yang fokus pada kemampuan pengumpulan gambar (image generation) pada ChatGPT dan memiliki linimasa seperti X dan media sosial lainnya.

    CEO OpenAI Sam Altman secara privat telah meminta masukan dari pihak eksternal terkait proyek yang masih dikembangkan dalam tahap awal tersebut, menurut laporan The Verge, dikutip dari Reuters, Rabu (16/4/2025).

    Belum jelas apakah OpenAI akan meluncurkan layanan media sosial terpisah atau akan mengintegrasikan kemampuan jejaring sosial ke dalam ChatGPT.

    Perusahaan tak segera menanggapi permintaan komentar dari Reuters.

    Langkah potensial ini bisa mengeskalasi ketegangan antara Altman dan Musk. Sebagai informasi, Musk merupakan salah satu pendiri OpenAI yang akhirnya hengkang pada 2018 silam, sebelum perusahaan merilis ChatGPT yang mendulang popularitas dan membawa tren layanan AI di berbagai perusahaan teknologi.

    Ketegangan Musk dan Altman kian memanas dalam beberapa bulan terakhir. Pada Februari lalu, konsorsium investor yang dipimpin Musk menawarkan US$97,4 miliar untuk mengontrol OpenAI. Tawaran itu ditolak mentah-mentah oleh Altman.

    Musk juga telah menuntut OpenAI dan Altman pada tahun lalu. Ia menuduh sang CEO dan perusahaan telah meninggalkan prinsip dan tujuan awal pengembangan AI, yakni untuk kepentingan manusia, bukan meraup keuntungan bagi perusahaan.

    OpenAI menuntut balik Musk pada awal bulan ini dengan tuduhan melakukan aksi kekerasan verbal dan berusaha menggagalkan peralihan perusahaan ke model bisnis yang mencari keuntungan (for-profit). Kedua pihak akan memulai persidangan pada musim semi tahun depan.

    Jika benar OpenAI sedang mengembangkan media sosial, maka perusahaan tak hanya akan bersaing dengan X milik Musk, tetapi juga raksasa media sosial Meta milik Mark Zuckerberg.

    Meta juga dilaporkan tengah mengembangkan layanan Meta AI yang berdiri sendiri. Hal ini akan memperketat persaingan Meta untuk berhadapan langsung dengan ChatGPT.

    Pada Februari lalu, Altman merespons kabar soal layanan khusus Meta AI dengan menyebut “oke, kami akan membuat media sosial kalau begitu”, melalui akun X personalnya.

    (fab/fab)

  • Pertama Kali Pidato Usai Lengser, Biden Kecam Pemerintahan Trump

    Pertama Kali Pidato Usai Lengser, Biden Kecam Pemerintahan Trump

    Jakarta

    Joe Biden pertama kalinya muncul dan berpidato sejak melepaskan jabatan Presiden Amerika Serikat (AS). Dalam pidatonya itu, Biden mengecam keras perombakan pemerintahan yang dilakukan Presiden AS Donald Trump.

    “Kurang dari 100 hari, pemerintahan ini telah melakukan begitu banyak kerusakan, dan begitu banyak kehancuran — sungguh menakjubkan bahwa hal itu bisa terjadi secepat itu,” kata Biden dalam sebuah konferensi pendukung disabilitas di Chicago sebagaimana dilansir AFP, Rabu (16/4/2025).

    “Mereka telah menebas administrasi Jaminan Sosial, sehingga 7.000 karyawan kehilangan pekerjaan,” kata mantan presiden AS tersebut, merujuk pada badan nasional yang membayar tunjangan pensiun dan disabilitas.

    Biden berpidato selama setengah jam. Saat berpidato dia terkadang terbata-bata membaca beberapa kalimat dari telemprompter dan berjuang untuk menyampaikan kata-kata spontan, dan mengucapkan kata dengan frasa favoritnya “bagaimanapun”.

    Untuk diketahui, pilihan topik Biden adalah Jaminan Sosial. Tujuan topik ini untuk meningkatkan tekanan pada Trump atas upaya perombakan pemerintahan secara besar-besaran.

    Biden menyoroti pengurangan staf di lembaga yang didorong oleh Trump dan ajudan miliardernya Elon Musk sebagai bagian dari “Departemen Efisiensi Pemerintah” mereka, dengan mengatakan bahwa “situs web Jaminan Sosial mogok” dan menghalangi para pensiunan mendapatkan manfaat mereka.

    Program tersebut, yang diandalkan oleh lebih dari 65 juta warga Amerika, secara umum dikenal di Washington sebagai “rel ketiga politik” karena kepekaannya terhadap pemilih.

    “Dan banyak dari penerima manfaat ini, itu adalah satu-satunya pendapatan mereka. Jika dipotong atau dicabut, itu akan sangat menghancurkan, menghancurkan bagi jutaan orang,” sambungnya.

    Dia mengecam Menteri Perdagangan Trump, mantan manajer dana perlindungan nilai, Howard Lutnick, atas pernyataannya baru-baru ini yang mengatakan “penipu” akan mengeluh tentang cek yang hilang, tetapi tidak ibu mertuanya.

    Biden mencemooh penggambaran itu, dengan mengatakan “bagaimana dengan ibu berusia 94 tahun yang tinggal sendirian — siapa yang tidak memiliki miliarder dalam keluarga?”.

    (zap/nvc)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Tak Ada Merek China, Ini 10 Mobil Listrik Paling Laris di AS

    Tak Ada Merek China, Ini 10 Mobil Listrik Paling Laris di AS

    Jakarta

    BYD, Chery, Wuling menjadi pabrikan China terlaris di Indonesia berkat penjualan mobil listrik. Namun merek-merek tersebut tidak ada dalam daftar mobil listrik terlaris di Amerika Serikat.

    Dikutip dari Kelley Blue Book EV Q1 2025, sebanyak 296.227 unit mobil listrik terjual sepanjang Januari-Maret 2025 di Amerika Serikat (AS). Angka ini naik 11,4 persen dari tahun lalu yang mencatatkan angka 265.981 unit.

    Tesla menguasai pasar AS dengan menguasai segmen sebesar 43,5 persen. Tesla Y menyumbang angka terbesar bagi Tesla dengan capaian 65.051 unit pada Januari-Maret 2025, faktanya penjualan itu turun 33,8 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

    Model 3 jadi tulang punggung penjualan Tesla yang kedua. Mobil entry level dari perusahaan Elon Musk itu terdistribusi sebanyak 52.520 unit pada Q1 atau naik 70,3 persen dibandingkan tahun sebelumnya.

    Melengkapi tiga besar datang dari merek asal AS, yaitu Ford Mustang Mach E. Mobil listrik ini terdistribusi 11.607 unit. Disusul merek Chevrolet Equinox dengan capaian 10.329 unit, dan barulah lima besar ditempati brand non AS, yaitu Honda Prologue dengan capaian 9.561 unit

    Hyundai Ioniq 5 menempati peringkat keenam dengan angka penjualan 8.611 unit atau naik 26,2 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

    Selanjutnya posisi 10 besar diisi oleh VW ID.4: 7.663 unit, Ford F-150 Lightning: 7.187 unit, BMW i4: 7.125 unit, dan Tesla Cybertruck: 6.406 unit.

    Dari jajaran mobil listrik terlaris di atas, kenapa tidak ada merek mobil listrik China di AS?

    Dikutip CNN International, tarif impor yang tinggi jadi penyebab brand China belum masuk ke pasar AS.

    Setelah mendominasi pasar asalnya di Tiongkok, pasar mobil terbesar di dunia, BYD mulai berekspansi secara global, dengan pengecualian penting seperti Amerika.

    Meskipun tidak hadir di AS, pabrikan China seperti BYD membuat terobosan di negara lain.

    BYD, merupakan juara mobil listrik asal Tiongkok yang berbasis di Shenzhen, mengalahkan Tesla dalam penjualan tahunan tahun lalu.

    BYD meluncurkan teknologi pengisian baterai revolusioner yang dikatakan dapat menambah jarak tempuh 250 mil dalam lima menit, melampaui Supercharger Tesla, yang membutuhkan waktu 15 menit untuk menambah jarak tempuh 200 mil. Dan bulan lalu, BYD meluncurkan “God’s Eye,” sebuah sistem bantuan pengemudi canggih yang menyaingi fitur swakemudi Penuh Tesla, tanpa biaya tambahan untuk sebagian besar mobilnya.

    Itu hanyalah tiga contoh bagaimana BYD telah berhasil mengungguli Tesla. Perusahaan yang pernah ditertawakan oleh Musk ini sekarang secara efektif mengungguli Tesla dalam hal penjualan, inovasi, dan daya saing harga.

    “Mereka tidak berpuas diri, seperti yang Anda lihat dari pengumuman God’s Eye dan pengumuman pengisian daya yang cepat,” kata Tu Le, pendiri dan direktur pelaksana perusahaan konsultan Sino Auto Insights, kepada CNN.

    “Mereka puas untuk mendorong batas dan mengatur langkah untuk seluruh dunia,” tambahnya lagi.

    Berikut ini 10 model mobil listrik terlaris di AS selama kuartal pertama 2025:

    1. Tesla Model Y: 64.051 unit
    2. Tesla Model 3: 52.520 unit
    3. Ford Mustang Mach E: 11.607 unit
    4. Chevrolet Equinox: 10.329 unit
    5. Honda Prologue: 9.561 unit
    6. Hyundai Ioniq 5: 8.611 unit
    7. VW ID.4: 7.663 unit
    8. Ford F-150 Lightning: 7.187 unit
    9. BMW i4: 7.125 unit
    10. Tesla Cybertruck: 6.406 unit

    (riar/dry)

  • Profil Azealia Banks, Sosok yang Sebut Indonesia ‘Tempat Sampah’

    Profil Azealia Banks, Sosok yang Sebut Indonesia ‘Tempat Sampah’

    Jakarta, Beritasatu.com – Nama Azealia Banks, seorang rapper asal Amerika Serikat, tengah menjadi sorotan publik Indonesia seusai melontarkan pernyataan kontroversial di media sosial.

    Dalam sebuah unggahan di platform X (sebelumnya Twitter), ia menyebut Indonesia sebagai “tempat sampah dunia”. Bukan hanya itu, ia juga menyamakan Indonesia seperti India.

    “Indonesia adalah tempat sampah dunia. Saya tak suka mengatakannya, tapi Indonesia adalah tanah terlantar yang tercemar, seperti halnya India,” tulis Azealia Banks, dikutip Beritasatu.com, Selasa (15/4/2025).

    Komentar ini memicu berbagai tanggapan dari warganet Tanah Air. Sebagian netizen justru menyoroti tingginya kesadaran lingkungan Azealia dibandingkan masyarakat Indonesia sendiri.

    Namun, tak sedikit pula yang menganggap pernyataannya bernada ofensif dan merendahkan, sehingga memunculkan persepsi negatif terhadap dirinya.

    Melihat respons yang beragam ini, Azealia kemudian memberikan klarifikasi terkait maksud dari ucapannya. Lalu, siapa sebenarnya sosok Azealia Banks? Berikut profil lengkapnya.

    Profil Azealia Banks

    Azealia Amanda Banks lahir pada 31 Mei 1991 di Harlem, New York City. Ia tumbuh dalam kondisi keluarga yang sulit, ayahnya meninggal saat ia baru berusia dua tahun, sementara sang ibu dikenal kerap melakukan kekerasan fisik dan verbal terhadap Azealia serta kedua saudarinya.

    Pada usia 14 tahun, Azealia memutuskan untuk tinggal bersama kakaknya demi mencari lingkungan yang lebih aman. Meski menghadapi masa kecil yang penuh tantangan, bakat Azealia di bidang musik sudah terlihat sejak dini.

    Ia mulai menandatangani kontrak dengan label XL Recordings ketika masih berusia 12 tahun, menjadikannya salah satu artis muda yang berhasil menembus industri musik lebih awal dari kebanyakan musisi lain.

    Kariernya meroket pada tahun 2011 lewat single 212, yang menempati posisi ke-12 di tangga lagu Inggris. Keberhasilan ini dilanjutkan dengan perilisan mixtape Fantasea (2012) dan album debut Broke with Expensive Taste (2014), yang berhasil masuk dalam tangga lagu Billboard 200 di Amerika Serikat.

    Setelah mengalami beberapa konflik dengan label besar, Azealia mendirikan label independennya sendiri bernama Chaos & Glory Recordings. Selain di dunia musik, ia juga menjajal dunia akting lewat film Love Beats Rhymes (2017), dan mengembangkan bisnis produk perawatan kulit melalui platform CheapyXO.

    Sejumlah Kontroversi Azealia Banks

    Pernyataan Azealia Banks tentang Indonesia bukanlah satu-satunya kontroversi yang pernah ia buat. Dalam cuitan yang memicu polemik tersebut, ia juga menyatakan keengganannya untuk mengonsumsi hasil laut dari wilayah Samudra Hindia karena kekhawatiran terhadap tingkat polusinya.

    Ia mengeklaim bahwa permasalahan limbah di Indonesia tak hanya mencemari lingkungan, tapi juga berpotensi menimbulkan dampak kesehatan jangka panjang bagi masyarakat.

    Dalam kesempatan yang sama, ia turut melontarkan kritik terhadap proyek luar angkasa yang dijalankan oleh Elon Musk dan Jeff Bezos, yang ia nilai sebagai fantasi kekanak-kanakan dan mengabaikan isu-isu lingkungan yang sedang dihadapi bumi.

    Sebelumnya, Azealia juga telah beberapa kali menjadi pusat kontroversi. Pada 2015, ia sempat dituding melakukan body shaming terhadap pesepak bola Zlatan Ibrahimovic dan menggunakan ujaran bernada homofobik.

    Ia juga kerap terlibat perseteruan dengan sejumlah selebritas, seperti Lana Del Rey, Cardi B, hingga Presiden AS Donald Trump beberapa waktu silam. Tak hanya itu, pada tahun 2020, ia sempat menuduh industri musik mengeksploitasi artis kulit hitam, meskipun belakangan ia sendiri dituduh memperlakukan musisi independen secara tidak adil.

    Azealia Banks memang dikenal sebagai sosok yang penuh talenta, namun reputasinya kerap dibayangi oleh kontroversi. Meski pernyataannya tentang Indonesia menimbulkan banyak pro dan kontra, hal ini sekali lagi mempertegas bahwa ia adalah figur publik yang tak segan menyuarakan pendapat.

  • Startup Tak Terkenal Mendadak Jadi Sorotan-Diserbu Raksasa AS

    Startup Tak Terkenal Mendadak Jadi Sorotan-Diserbu Raksasa AS

    Jakarta, CNBC Indonesia – Startup kecerdasan buatan (AI), Safe Superintelligence (SSI), tiba-tiba menjadi ‘seksi’ di mata raksasa teknologi Amerika Serikat (AS).

    Perusahaan rintisan yang baru beberapa bulan berdiri ini, sekarang disokong langsung oleh Alphabet (induk Google) dan Nvidia.

    Startup yang sebelumnya tak banyak dikenal publik ini didirikan oleh mantan ilmuwan kepala OpenAI, Ilya Sutskever. Ia dikenal sebagai otak di balik banyak terobosan AI.

    Meski baru seumur jagung, SSI langsung melonjak menjadi salah satu startup AI paling bernilai tinggi, dengan valuasi mencapai US$32 miliar (Rp537 triliun) dalam pendanaan terbaru yang dipimpin oleh Greenoaks.

    Langkah Google dan Nvidia masuk sebagai investor ini dimaksudkan untuk strategi jangka panjang perusahaan. Alphabet melalui divisi cloud-nya bahkan menjual chip AI andalannya, TPU (tensor processing units), ke SSI untuk digunakan dalam riset dan pengembangan model AI mereka. Padahal sebelumnya, chip tersebut hanya digunakan secara internal oleh Google.

    “Tarik-menarik antara pembuat model AI besar makin kuat ke arah kami,” ujar Darren Mowry, Managing Director Kemitraan Startup Google Cloud, dikutip dari Reuters, Senin (14/4/2025).

    Menariknya, meski mayoritas pengembang AI saat ini masih mengandalkan chip Nvidia, SSI disebut lebih memilih menggunakan TPU milik Google dibanding GPU Nvidia.

    Namun, Nvidia tetap tak ingin ketinggalan tren. Perusahaan chip terbesar di dunia dalam hal AI ini juga ikut menyuntikkan dana ke SSI, mempertegas posisi mereka dalam ekosistem startup AI yang kini semakin kompetitif.

    Langkah para raksasa teknologi ini mencerminkan tren baru di mana para penyedia cloud dan infrastruktur seperti Google, Amazon, hingga Microsoft, kini berlomba berinvestasi ke startup AI bukan hanya untuk keuntungan finansial, tapi juga untuk mengamankan pelanggan strategis bagi layanan cloud mereka.

    Google dan Amazon sebelumnya juga telah menyuntik miliaran dolar ke Anthropic, saingan utama OpenAI. Sementara Microsoft sudah lebih dulu mengamankan posisi lewat investasinya di OpenAI. Nvidia sendiri juga menjadi investor di OpenAI dan startup xAI milik Elon Musk.

    (fab/fab)

  • Top 3 Tekno: Donald Trump Bebaskan Smartphone hingga Chip dari Tarif Impor China Jadi Sorotan – Page 3

    Top 3 Tekno: Donald Trump Bebaskan Smartphone hingga Chip dari Tarif Impor China Jadi Sorotan – Page 3

    Regulator perlindungan data Uni Eropa menyebut pihaknya membuka investigasi terhadap platform media sosial X alias Twitter.

    Pasalnya, jejaring sosial milik Elon Musk ini diduga telah mengumpulkan data pribadi dari para penggunanya yang ada di wilayah Uni Eropa untuk melatih sistem AI mereka, Grok.

    Komisi Perlindungan Data Irlandia alias DPC merupakan regulator data untuk negara-negara Uni Eropa, tempat di mana X alias Twitter beroperasi dan diduga memakai data pribadi pengguna untuk melatih AI-nya.

    Sebagai pemimpin regulasi data di Uni Eropa, DPC juga memiliki kewenangan untuk menerapkan sanksi denda hingga 4 persen dari pendapatan global perusahaan yang melanggar aturan perlindungan data Uni Eropa, GDPR.

    “Investigasi yang dilakukan terhadap X akan meneliti tentang pemrosesan data pribadi dalam unggahan milik pengguna Uni Eropa dan Kawasan Ekonomi Eropa yang bisa diakses publik di platform X, guna melatih sistem AI Generatif Grok AI,” kata DPC dalam pernyataan, sebagaimana dikutip Reuters, Minggu (13/4/2025).

    Sebelumnya, Presiden AS Donald Trump dan anggota pemerintahan lainnya mengkritik regulasi Uni Eropa terhadap perusahaan-perusahaan AS. Terutama terkait bagaimana Uni Eropa menerapkan denda kepada perusahaan teknologi AS sebagai bentuk sanksi.

    Baca selengkapnya di sini 

  • Balik Arah Sikap China Lawan Tarif Trump, dari Diplomasi Jadi Retaliasi

    Balik Arah Sikap China Lawan Tarif Trump, dari Diplomasi Jadi Retaliasi

    Bisnis.com, JAKARTA – China telah mengubah haluan dari diplomasi menjadi retaliasi dalam menghadapi perang dagang dengan Amerika Serikat.

    Di balik layar, para pejabat sipil di Beijing kini diperintahkan bersiaga layaknya dalam masa perang, dan para diplomat dikerahkan dalam ofensif global guna menggalang penolakan terhadap tarif perdagangan Presiden AS Donald Trump, menurut informasi dari sejumlah sumber yang dikutip Reuters, Senin (14/4/2025).

    Dalam strategi yang kini digerakkan oleh mesin propaganda Partai Komunis, narasi perlawanan digelorakan melalui media sosial dengan potongan pidato Mao Zedong: “Kami tidak akan pernah menyerah.”

    Seruan itu menjadi simbol perlawanan China dalam menghadapi gelombang kebijakan dagang Trump yang tak menentu.

    Sejumlah kementerian, termasuk luar negeri dan perdagangan, diperintahkan membatalkan seluruh jadwal liburan dan siaga penuh 24 jam. Unit-unit khusus ditugaskan kembali, sebagian besar berasal dari tim yang sebelumnya menangani respons terhadap kebijakan Trump di periode pertama.

    Langkah tegas ini diambil setelah Presiden AS Donald Trump mengguncang dunia dengan pengumuman tarif besar-besaran pada 2 April yang dijuluki “Hari Pembebasan.”. Kebijakan tarif Trump yang semula ditujukan ke banyak negara, kini hanya diberlakukan untuk China, bahkan lebih keras dari sebelumnya.

    Hubungan dagang antara kedua negara pun praktis membeku, dengan China mulai menutup akses terhadap jasa dan hiburan AS.

    Padahal sebelumnya, hubungan awal AS-China berjalan cukup lancar usai Trump menjabat pada akhir 2024 lalu. Trump bahkan mengundang Presiden Xi Jinping ke pelantikannya, yang akhirnya diwakili oleh Wakil Presiden Han Zheng.

    Namun, masa tenang itu tak berlangsung lama. Selama pemerintahan Trump yang pertama, China memiliki sejumlah jalur komunikasi tingkat tinggi yang aktif—salah satunya antara Duta Besar Cui Tiankai dan Jared Kushner, menantu sekaligus penasihat senior Trump.

    Kini, jalur sejenis tidak tersedia. Seorang pejabat di Beijing mengungkapkan bahwa mereka tidak tahu pasti siapa yang menjadi “penanggung jawab” hubungan bilateral di pihak Trump.

    Seorang pejabat pemerintahan Trump menjawab pertanyaan Reuters dengan menyatakan bahwa AS ingin menjaga komunikasi di tingkat kerja, namun tidak akan melanjutkan dialog yang tidak memberikan keuntungan nyata bagi kepentingan nasional.

    Sebelum pemilu, Duta Besar China Xie Feng dilaporkan mencoba menghubungi Elon Musk, salah satu sekutu penting Trump, namun upaya tersebut gagal, menurut seorang akademisi AS yang baru-baru ini melakukan kunjungan informal ke China. Musk belum memberikan tanggapan atas hal ini.

    Menteri Luar Negeri China Wang Yi juga tidak berhasil bertemu dengan Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio—yang dikenal sebagai pengkritik keras China dan dikenai sanksi oleh Beijing—saat berkunjung ke New York pada Februari lalu untuk memimpin sidang PBB.

    Tidak ada pertemuan resmi antara diplomat tertinggi kedua negara, kecuali satu panggilan telepon dingin pada akhir Januari.

    Upaya Wang untuk bertemu Penasihat Keamanan Nasional Mike Waltz juga menemui jalan buntu, meskipun ia sebelumnya menjalin komunikasi erat dengan Jake Sullivan—termasuk dalam negosiasi pertukaran tahanan yang langka.

    Gedung Putih menganggap bahwa jika pembicaraan ingin diarahkan pada isu perdagangan, maka China seharusnya mengirimkan pejabat ekonomi tingkat tinggi, bukan Menteri Luar Negeri.

    Menteri Perdagangan AS Howard Lutnick menegaskan bahwa dirinya tidak melakukan komunikasi dengan China dan menyatakan bahwa Trump ingin langsung berbicara dengan Xi Jinping.

    Trump mengatakan pekan ini bahwa ia bersedia bertemu Xi, yang disebutnya sebagai “teman.” Namun, tidak ada rincian kesepakatan yang dipaparkan.

    Seorang pejabat AS mengatakan bahwa pihaknya telah berulang kali bertanya apakah Xi bersedia menghubungi Trump melalui telepon—jawaban yang diterima selalu “tidak.”

    Pakar hubungan internasional Universitas Fudan Zhao Minghao mengatakan bahwa pendekatan seperti itu tidak sesuai dengan pola pembentukan kebijakan China.

    “Biasanya, diperlukan kesepakatan terlebih dahulu di tingkat teknis, baru kemudian bisa dirancang pertemuan puncak,” ujarnya seperti dikutip Reuters, Senin (14/4/2025).

    Kepala Ekonom ING untuk China Lynn Song menambahkan bahwa cara negara-negara yang mencoba bernegosiasi diperlakukan sejauh ini, justru memperkuat alasan bagi China untuk menjauh dari meja perundingan.

    Meskipun beberapa komunikasi masih berlangsung di level teknis, menurut satu pejabat China dan tiga pejabat AS, banyak forum kerja sama yang dibentuk di era Biden—termasuk di bidang perdagangan, keuangan, dan militer—kini dibekukan sepenuhnya.