Tag: Eko Patrio

  • DPR dan Kemenkeu Diminta Tak Berikan Gaji-Tunjangan kepada Eko Patrio-Uya Kuya
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        3 September 2025

    DPR dan Kemenkeu Diminta Tak Berikan Gaji-Tunjangan kepada Eko Patrio-Uya Kuya Nasional 3 September 2025

    DPR dan Kemenkeu Diminta Tak Berikan Gaji-Tunjangan kepada Eko Patrio-Uya Kuya
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) DPR resmi mengajukan permintaan ke Sekretariat Jenderal DPR untuk tidak memberikan gaji dan tunjangan kepada Eko Hendro Purnomo atau Eko Patrio dan Satria Utama atau Uya Kuya.
    Diketahui, PAN tengah menonaktifkan Eko Patrio dan Uya Kuya dari posisinya sebagai anggota DPR usai disorot masyarakat.
    “Fraksi PAN sudah meminta agar hak berupa gaji, tunjangan, dan fasilitas lain yang melekat pada jabatan anggota DPR RI dengan status non-aktif dihentikan selama status tersebut berlaku,” ujar Ketua Fraksi PAN DPR Putri Zulkifli Hasan dalam keterangannya, Rabu (3/9/2025).
    Fraksi PAN, kata Putri, mengambil langkah tersebut untuk menjaga muruah parlemen yang tengah dikritik publik.
    Selain meminta kepada Sekretariat Jenderal DPR, permintaan untuk tidak memberikan gaji dan tunjangan kepada Eko Patrio dan Uya Kuya juga ditujukan kepada Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
    Langkah tersebut diambil Fraksi PAN demi memastikan penggunaan anggaran negara berjalan sesuai aturan, dengan tetap mengedepankan transparansi.
    “Ini merupakan bentuk tanggung jawab Fraksi PAN dalam menjaga akuntabilitas dan kepercayaan publik,” ujar Putri.
    Pada Sabtu (30/8/2025) malam, Eko Patrio meminta maaf kepada publik karena sikapnya melukai publik dan menjadi salah satu yang memancing aksi unjuk rasa.
    Permintaan maaf Eko Patrio tersebut diunggah melalui akun Instagram miliknya @ekopatriosuper. Dalam video yang diunggah tersebut, Eko terlihat didampingi oleh politikus PAN lainnya yakni Sigit Purnomo Said alias Pasha Ungu.
    “Dengan penuh kerendahan hati, saya Eko Patrio menyampaikan permohonan maaf yang sedalam-dalamnya kepada masyarakat atas keresahan yang timbul akibat perbuatan yang saya lakukan,” kata Eko dalam video tersebut.
    Dia lantas menyebut bahwa menyadari sepenuhnya situasi anarkis aksi unjuk rasa ini membawa luka bagi bangsa, terlebih bagi keluarga korban yang kehilangan orang tercinta.
    Untuk itu, Eko Patrio meminta maaf atas sikapnya dan memastikan bahwa dirinya tidak berniat memperkeruh keadaan
    “Tidak sedikitpun terbesit niat dari saya untuk memperkeruh keadaan. Tentunya, ke depan saya akan lebih berhati-hati dalam bersikap dan juga menyampaikan pendapat,” ujar Eko Patrio.
    Permintaan maaf juga disampaikan oleh Uya Kuya. Ia mengakui bahwa tindakannya, baik yang disengaja maupun tidak, telah mengakibatkan luka yang mendalam bagi rakyat Indonesia.
    “Saya Uya Kuya menyampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya, tulus dari hati saya yang paling dalam untuk seluruh masyarakat Indonesia atas apa yang terjadi beberapa hari terakhir ini,” ucap Uya.
    Ia berjanji akan lebih berhati-hati dalam bertindak dan bersungguh-sungguh dalam mewakili rakyat.
    “Tidak ada sedikitpun niat dari kami untuk membuat suasana ini menjadi gaduh. Tapi janji saya, dari hati saya yang paling dalam, saya akan lebih berhati-hati lagi dalam bersikap,” ujar Uya Kuya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Golkar: Anggota DPR nonaktif tidak terima gaji dan tunjangan

    Golkar: Anggota DPR nonaktif tidak terima gaji dan tunjangan

    Jakarta (ANTARA) – Ketua Fraksi Partai Golkar DPR RI Muhammad Sarmuji menegaskan bahwa status keanggotaan di DPR memiliki konsekuensi logis yang jelas, termasuk terkait hak-hak keuangan.

    “Anggota DPR yang dinyatakan nonaktif semestinya berkonsekuensi logis, tidak menerima gaji dan termasuk segala bentuk tunjangan. Itulah bedanya antara anggota DPR yang aktif dengan yang nonaktif,” kata Sarmuji dalam keterangannya di Jakarta, Rabu.

    Sekretaris Jenderal Partai Golkar itu menambahkan apabila belum ada aturan soal gaji dan tunjangan bagi anggota dewan yang nonaktif, maka Mahkamah Kehormatan Dewan bisa segera menyusun aturan terkait.

    “Jika belum ada rujukan berkaitan dengan ini, MKD dapat membuat keputusan yang menjadi pegangan bagi Sekretariat Jenderal (DPR RI),” ujarnya.

    Ia menambahkan, status nonaktif berarti seorang anggota tidak lagi menjalankan fungsi representasi rakyat di DPR, sehingga tidak logis bila tetap menerima gaji dan fasilitas yang bersumber dari negara.

    “Kalau sudah nonaktif, artinya terhalang atau tidak melakukan fungsi kedewanan. Kalau tidak menjalankan tugas, ya, haknya juga hilang. Hal ini bagian dari mekanisme yang adil dan transparan,” jelasnya.

    Pernyataan ini sekaligus menegaskan sikap Fraksi Golkar dalam merespons perdebatan publik mengenai apakah anggota DPR yang dinonaktifkan oleh partai politik masih menerima gaji dan tunjangan.

    Sarmuji menegaskan, status nonaktif secara otomatis membuat hak-hak tersebut dihentikan.

    Lima anggota DPR RI dari berbagai fraksi baru-baru ini dinonaktifkan oleh partai asal mereka karena pernyataan maupun tindakan yang menuai kontroversi. Mereka adalah Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach dari Partai Nasdem, Eko Hendro Purnomo alias Eko Patrio serta Surya Utama alias Uya Kuya dari PAN, serta Adies Kadir dari Partai Golkar.

    Partai Golkar menonaktifkan Wakil Ketua DPR RI Adies Kadir sejak Senin, 1 September 2025, setelah komentarnya mengenai kenaikan tunjangan dewan memicu polemik.

    Sementara itu, Partai Nasdem mengambil keputusan menonaktifkan Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach setelah keduanya menyampaikan pernyataan publik yang dianggap menyalahi sikap resmi partai.

    Di sisi lain, PAN menonaktifkan Eko Hendro Purnomo dan Surya Utama karena dinilai melakukan tindakan yang tidak sejalan dengan kebijakan internal partai.

    Pewarta: Fianda Sjofjan Rassat
    Editor: Hisar Sitanggang
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • PAN ajukan penghentian gaji bagi Eko Patrio dan Uya Kuya dari DPR

    PAN ajukan penghentian gaji bagi Eko Patrio dan Uya Kuya dari DPR

    Jakarta (ANTARA) – Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) DPR RI menyatakan sudah mengajukan penghentian pemberian gaji, tunjangan, dan fasilitas dari DPR RI bagi anggota DPR RI dari Fraksi PAN yang sudah dinonaktifkan yakni Eko Hendro Purnomo (Eko Patrio) dan Surya Utama (Uya Kuya).

    Ketua Fraksi PAN DPR RI Putri Zulkifli Hasan mengatakan permintaan penghentian gaji itu disampaikan ke Sekretariat Jenderal DPR RI termasuk Kementerian Keuangan. Dia berkomitmen bahwa PAN akan menjaga integritas, transparansi, dan akuntabilitas di lembaga legislatif.

    “Ini merupakan bentuk tanggung jawab Fraksi PAN dalam menjaga akuntabilitas dan kepercayaan publik,” kata Putri di Jakarta, Rabu.

    Namun, dia mengatakan bahwa penghentian gaji dan fasilitas itu diminta hanya selama status nonaktif itu berlaku.

    Dia menekankan bahwa langkah ini adalah bagian dari upaya menjaga marwah DPR RI sekaligus memastikan penggunaan anggaran negara berjalan sesuai aturan, dengan tetap mengedepankan proses yang adil, transparan, dan sesuai mekanisme resmi.

    Sebelumnya, Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Amanat Nasional (PAN) menonaktifkan Eko Hendro Purnomo alias Eko Patrio dan Surya Utama alias Uya Kuya sebagai anggota DPR RI mulai Senin, 1 September 2025.

    Hal itu diumumkan PAN melalui siaran pers yang diteken oleh Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan dan Sekretaris Jenderal PAN Viva Yoga Mauladi pada Minggu.

    PAN menyatakan berkomitmen menjaga kehormatan, disiplin, serta integritas wakil rakyat yang berasal dari PAN dalam menjalankan tugas-tugas konstitusional di DPR RI.

    “PAN mengimbau kepada masyarakat untuk bersikap tenang, sabar dan mempercayakan secara penuh kepada pemerintah yang dipimpin oleh Presiden Prabowo Subianto,” kata Viva kepada wartawan di Jakarta, Minggu (31/9).

    Pewarta: Bagus Ahmad Rizaldi
    Editor: Hisar Sitanggang
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • PAN Ajukan Penghentian Gaji dan Tunjangan Eko Patrio dan Uya Kuya sebagai Anggota DPR – Page 3

    PAN Ajukan Penghentian Gaji dan Tunjangan Eko Patrio dan Uya Kuya sebagai Anggota DPR – Page 3

    PAN menonaktifkan Eko Patrio dan Uya Kuya dari anggota DPR buntut aksi joget-jogetnya yang memicu kemarahan publik. Meski Eko dan Uya Kuya sudah dinonatifkan, mereka masih menerima gaji sebagai anggota dewan.

    “Kalau dari sisi aspek itu ya terima gaji,” kata Ketua Banggar DPR Said Abdullah di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (1/9/2025).

    Dalam UU MD3 dan Tata Tertib DPR RI, memang tidak ada istilah nonaktif. Jika mengacu pada Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib DPR, anggota DPR yang diberhentikan sementara masih memiliki hak keuangan.

    Dengan demikian, seorang anggota DPR mendapatkan gaji pokok, tunjangan keluarga, tunjangan pangan, tunjangan jabatan, dan uang paket selama diberhentikan sementara.

    “Anggota yang diberhentikan sementara tetap mendapatkan hak keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” bunyi pasal 19 ayat 4 Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2020.

     

  • Pengamat Unej paparkan solusi atasi krisis kepercayaan rakyat

    Pengamat Unej paparkan solusi atasi krisis kepercayaan rakyat

    “Mengembalikan kepercayaan publik terhadap parlemen bisa dilakukan melalui pelaksanaan fungsi legislasi, penganggaran, dan pengawasan secara maksimal karena selama ini terkesan tumpul,”

    Jember, Jawa Timur (ANTARA) – Pengamat politik Universitas Jember (Unej) Dr Muhammad Iqbal memaparkan beberapa solusi untuk mengatasi krisis kepercayaan masyarakat terhadap DPR, pemerintah dan aparat kepolisian terkait dengan gejolak masyarakat yang berujung pada anarkis dan penjarahan beberapa waktu lalu.

    “Mengembalikan kepercayaan publik terhadap parlemen bisa dilakukan melalui pelaksanaan fungsi legislasi, penganggaran, dan pengawasan secara maksimal karena selama ini terkesan tumpul,” katanya di Jember, Rabu.

    Dalam hal legislasi, lanjut dia, sudah seharusnya seluruh produk undang-undang yang memang berpihak kepada kepentingan publik harus segera disahkan karena masyarakat butuh keadilan, supremasi hukum, dan kepastian pemberantasan korupsi hingga akarnya, sehingga RUU Perampasan Aset harus segera disahkan.

    “Parlemen dan pemerintah harus memastikan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menjamin kebebasan berekspresi dan melakukan kritik, sehingga tidak boleh lagi ada pasal yang menyudutkan, mendiskriminasi, dan mengkriminalisasi rakyat,” ucap pakar komunikasi politik itu.

    Ia menjelaskan partai politik harus melakukan reformasi total terhadap anggotanya yang duduk di parlemen karena dengan hanya pemecatan terhadap Ahmad Sahroni, Eko Patrio dan Uya Kuya belum cukup untuk mengembalikan krisis kepercayaan masyarakat.

    “Terkait defisit krisis kepercayaan rakyat, Presiden Prabowo harus memastikan dan menjamin semua aksi unjuk rasa atau demonstrasi masyarakat, bebas dari kekerasan aparat yang represif,” katanya.

    Jangan sampai atas nama mengatasi anarkisme, semua aksi massa dipukul rata dengan kekerasan represif karena sudah saatnya profesionalitas aparat keamanan mulai dari intelijen sampai petugas di lapangan bekerja demi melindungi dan menjamin kebebasan berekspresi rakyat tanpa represif.

    “Celah dan gerak kelompok provokator sudah seharusnya secara profesional mampu dideteksi secara canggih dan tidak merugikan aksi massa yang murni menuntut keadilan dan supremasi hukum,” ujarnya.

    Ia berharap Presiden Prabowo dapat merekalibrasi tujuan kemerdekaan dan agenda reformasi total yang dinilai sudah melenceng dari arah haluan bernegara dan reformasi.

    Pewarta: Zumrotun Solichah
    Editor: Agus Setiawan
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Ketika Rakyat Berjuang Sendirian

    Ketika Rakyat Berjuang Sendirian

    OLEH: MUHAMMAD FADHIL BILAD*

    AGUSTUS, bulan kemerdekaan, seharusnya menjadi momen rakyat menikmati hasil perjuangan leluhur. Namun, realitanya jauh dari harapan. Rakyat masih harus berjuang: mengejar kesejahteraan, melawan ketimpangan ekonomi, dan memperjuangkan martabat kemanusiaan. 

    Ibu Pertiwi menangis melihat anak-anaknya berjuang menuntut keadilan, yang kerap bertransformasi menjadi gerakan sosial. Sayangnya, gerakan organik ini sering dimanfaatkan pihak tak bertanggung jawab: fasilitas publik dirusak, rumah-rumah dijarah, kantor dibakar, bahkan rakyat tak berdosa menjadi korban kekerasan dengan dalih “pembelaan diri”. Kemurnian aspirasi rakyat pun ternoda, isu besar yang diperjuangkan menjadi kabur dan tak terarah.

     

    Hilangnya Partisipasi yang Bermakna

     

     

    Idealnya, DPR sebagai wakil rakyat mengadopsi prinsip “meaningful participation”, partisipasi bermakna, yang menjamin hak rakyat untuk didengar, dipertimbangkan, dan mendapat penjelasan atas aspirasinya. Keputusan DPR seharusnya lahir dari proses terbuka bersama rakyat. Jika prinsip ini diterapkan sungguh-sungguh, demonstrasi di jalanan tak perlu terjadi karena suara rakyat sudah terwakili. Namun, realitas berbicara lain. Maraknya aksi protes menjadi indikasi nyata bahwa DPR gagal mewujudkan partisipasi bermakna. 

     

    Lalu, kepada siapa DPR meminta pertimbangan dalam pengambilan keputusan? Bambang Wuryanto, atau akrab disapa Bambang Pacul, anggota DPR dari Fraksi PDIP, secara jujur mengungkap realitas pahit. Dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi III DPR dengan Menko Polhukam pada Maret 2023, ia blak-blakan menyatakan bahwa keputusan DPR diambil berdasarkan instruksi pimpinan partai. 

    Sistem pengambilan keputusan di Rapat Paripurna DPR pun memperkuat pernyataan ini: suara diwakilkan oleh fraksi, bukan individu anggota DPR atau daerah pemilihan. Artinya, pimpinan partai, bukan wakil rakyat yang kita pilihlah yang menentukan arah kebijakan. Anggota DPR hanyalah “pemain orkestra” yang menari mengikuti irama sang maestro: pimpinan partai.

     

    Chile vs. Prancis: Pelajaran dari Dua Dunia

     

    Untuk memahami peran partai politik dalam merespons gejolak sosial, mari kita lihat dua kasus berbeda. Di Chile pada 2019, kenaikan harga tiket transportasi umum memicu protes massa yang meluas ke isu pendidikan dan ketimpangan ekonomi. Pemerintahan Bastian Piñera awalnya merespons dengan tindakan represif, namun tekanan rakyat memaksa mereka membuka dialog. Partai oposisi, seperti Partido Socialista dan Frente Amplio, mendorong reformasi struktural, menghasilkan kesepakatan lintas partai yang memberikan kanal politik formal bagi rakyat untuk menyalurkan aspirasi. 

     

    Sebaliknya, di Prancis pada 2018, gerakan “Yellow Vests” dipicu kenaikan pajak bahan bakar, yang memicu demonstrasi besar, penjarahan, dan bentrokan dengan aparat. Partai oposisi seperti La France Insoumise dan Rassemblement National berusaha mengambil peran, tetapi ditolak massa yang tidak ingin gerakan mereka diklaim sebagai agenda partai. Presiden Macron akhirnya mencabut pajak bahan bakar dan meluncurkan “Grand Débat National”, sebuah forum dialog langsung dengan rakyat. 

     

    Dari kedua kasus ini, kita belajar bahwa partai politik bisa menjadi jembatan penyelesaian konflik, seperti di Chile, atau justru kehilangan relevansi jika gagal merangkul rakyat, seperti di Prancis.

     

     

    Di Indonesia, partai politik bukan hanya berkuasa di parlemen, tetapi juga di setiap lini pemerintahan. Mulai dari penyusunan kabinet, penempatan pejabat di lembaga negara, kepala daerah, hingga posisi direksi dan komisaris, semua dipengaruhi rekomendasi partai. Realitas ini diperparah dengan praktik di bawah meja yang menjadi “ciri khas” Indonesia. Dengan kekuatan sebesar ini, pertanyaannya: apa peran partai dalam mendamaikan gejolak sosial-politik? Apakah partai hanya sibuk mengumpulkan “setoran” dari gaji, tunjangan, atau proyek-proyek yang digarap kadernya? 

     

    Di tingkat akar rumput, partai politik juga punya pengaruh besar. Keberadaan mereka di parlemen dan pemerintahan tak lepas dari dukungan rakyat saat pemilu, yang sering disebut sebagai “pesta demokrasi”. Saat kampanye, partai mendekati rakyat, membentuk komunitas kecil untuk menjaga simpati pemilih dengan janji-janji kesejahteraan, keadilan, dan pemerataan. Namun, setelah pemilu, komunikasi ini meredup. Partai seolah hanya hadir saat butuh suara, bukan saat rakyat butuh didengar. Apakah sarasehan dengan rakyat hanya agenda musiman menjelang pemilu? Mengapa partai tidak menggelar dialog serupa di tengah situasi krisis seperti sekarang? 

     

    September Hitam: Ancaman Ketidakstabilan

     

    Hari ini, kita memasuki bulan yang kelam dalam sejarah Indonesia: “September Hitam”. Tragedi Semanggi II, pembunuhan Munir Said Thalib, dan peristiwa G30S/PKI menjadi pengingat betapa rapuhnya keadilan sosial di negeri ini. Di tengah dinamika politik saat ini, kabar tentang partai politik lebih banyak berputar pada manuver elit: Nasdem menonaktifkan Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach, PAN menonaktifkan Eko Patrio dan Uya Kuya, Golkar menonaktifkan Adies Kadir, sementara Gerindra, PDIP, dan PKS setuju menghapus tunjangan rumah DPR setelah protes publik. Bahkan, Presiden memanggil ketua umum partai ke Istana Negara. Semua ini mengesankan bahwa partai politik adalah penguasa sejati republik ini, tapi apakah mereka benar-benar bekerja untuk rakyat? 

     

    Upaya partai saat ini masih jauh dari optimal, terutama jika dibandingkan dengan kekuatan besar yang mereka miliki di setiap lini pemerintahan. Jika eskalasi ketidakstabilan sosial-politik terus diabaikan, rakyat didiskriminasi, kebebasan berekspresi dibatasi, dan aspirasi tidak terpenuhi, maka risiko terburuk mengintai: revolusi rakyat. Partai politik bisa kehilangan legitimasi, digantikan oleh gerakan rakyat yang akan menentukan arah bangsa.

     

    Ke Mana Partai Harus Melangkah?

     

    Partai politik harus kembali ke akarnya: rakyat. Mereka harus membuka ruang dialog yang intensif, bukan hanya saat pemilu, tetapi juga di saat krisis. DPR perlu menjalankan prinsip partisipasi bermakna dengan sungguh-sungguh, mendengar dan mempertimbangkan aspirasi rakyat, bukan sekedar menjalankan instruksi pimpinan partai, sekalipun tidak bisa dilepaskan karena realitas yang tersistemik dan sudah menjadi tradisi antara partai dengan kadernya di parlemen, maka sebaik-baiknya instruksi ‘pimpinan partai’ adalah untuk membersamai dan mendengarkan secara utuh aspirasi rakyat. 

    Jika partai gagal menjadi jembatan antara rakyat dan negara, mereka tidak hanya kehilangan kepercayaan, tetapi juga relevansi di mata rakyat. September ini, partai politik punya pilihan: menjadi solusi atau bagian dari masalah. Pilihan ada di tangan mereka, dan waktu terus berjalan. 

    *(Penulis adalah Director of Diplomacy and Foreign Affairs, Indonesia South-South Foundation)

  • Menteri HAM Minta Aparat Tegas Bedakan Pengunjuk Rasa dan Perusuh
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        2 September 2025

    Menteri HAM Minta Aparat Tegas Bedakan Pengunjuk Rasa dan Perusuh Nasional 2 September 2025

    Menteri HAM Minta Aparat Tegas Bedakan Pengunjuk Rasa dan Perusuh
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Merespons situasi nasional akhir Agustus dan awal September 2025 ini, Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai meminta aparat kepolisian untuk membedakan antara mereka yang merupakan bagian dari pengunjuk rasa dan perusuh.
    “Kami meminta kepada aparat penegak hukum untuk harus secara tegas dan jelas membedakan dan memisahkan para pengunjuk rasa dan perusuh,” kata Pigai di kantornya, Kuningan, Jakarta, Selasa (2/9/2025).
    Pigai mengatakan, pemisahan antara pengunjuk rasa dan perusuh tersebut sangat penting agar proses hukumnya dapat dibedakan.
    “Para demonstran maupun juga mereka yang perusuh sedang diamankan di kepolisian, penegakan hukum juga harus dibedakan,” ujarnya.
    Pigai juga menegaskan, posisi pemerintah dalam penanganan aksi demonstrasi sudah sangat jelas, yang berlandaskan pada Pasal 19 Undang-Undang dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR).
    Prinsip ICCPR tersebut adalah menyampaikan pikiran, pendapat, dan mengekspresikan perasaan adalah hak asasi manusia.
    Karenanya, Pigai menyatakan, setiap warga negara boleh berkumpul dan berserikat untuk menyampaikan pendapat, pikiran, dan perasaan tersebut.
    “Sebagaimana ini juga ditegaskan oleh Presiden Republik Indonesia,” ucap dia.
     
    Demonstrasi besar sejak 25 Agustus 2025 memprotes soal tunjangan anggota DPR serta memprotes pernyataan anggota DPR.
    Buruh, mahasiswa, hingga elemen-elemen masyarakat sipil berunjuk rasa di berbagai wilayah Indonesia, membawa beragam tuntutan.
    Pengemudi ojek online (ojol) tewas dilindas mobil kendaraan taktis (rantis) di Jakarta Pusat pada suasana protes 28 Agustus 2025 malam.
    Kerusuhan terjadi. Ada pula penjarahan terhadap rumah anggota DPR Ahmad Sahroni, Eko Patrio, Nafa Urbach, hingga Menteri Keuangan Sri Mulyani.
    Di Yogyakarta, mahasiswa Amikom, Rheza Sendy Pratama, meninggal dunia pada 31 Agustus 2025.
    Gedung DPRD Makassar dan Gedung Grahadi di Surabaya dibakar. Ada tiga orang tewas di peristiwa itu.
    Sejumlah fasilitas publik juga rusak. Di Kediri, benda purbakala dilaporkan rusak atau hilang.
    Pada 2 September 2025, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menyebut 23 daerah yang asetnya mengalami kerusakan.
    Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mencermati situasi di Indonesia dan mendesak penyelidikan terhadap dugaan pelanggaran hukum HAM internasional terkait penggunaan kekuatan oleh aparat.
    “Kami menyerukan penyelidikan cepat, menyeluruh, dan transparan atas semua dugaan pelanggaran hukum hak asasi manusia internasional, termasuk penggunaan kekuatan,” kata juru bicara Kantor HAM PBB (OHCHR), Ravina Shamdasani, Senin (1/9/2025).
    Pada Senin (2/9/2025), Komnas HAM menyebut terdapat 10 korban meninggal dunia dalam peristiwa 25,28,29,30, dan 31 Agustus 2025 di sejumlah daerah.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Mendagri Jelaskan Alasan Menjarah dan Aksi Anarkistis Tak Termasuk Kebebasan Berpendapat
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        2 September 2025

    Mendagri Jelaskan Alasan Menjarah dan Aksi Anarkistis Tak Termasuk Kebebasan Berpendapat Nasional 2 September 2025

    Mendagri Jelaskan Alasan Menjarah dan Aksi Anarkistis Tak Termasuk Kebebasan Berpendapat
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menjelaskan secara perinci alasan mengapa menjarah dan perilaku anarkistis dalam aksi demonstrasi tidak termasuk dalam kebebasan berpendapat yang diatur dalam undang-undang.
    Hal ini dijelaskan Tito sebagai respons terhadap situasi terkait aksi unjuk rasa yang berujung pada aksi-aksi anarkistis di sejumlah daerah belakangan ini.
    Dalam konferensi pers di Kantor Kementerian Dalam Negeri RI, Selasa (2/9/2025), Tito menyinggung dasar hukum internasional dalam kovenan internasional tentang hak sipil dan politik yang dikeluarkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1967.
    “Tapi kami sudah menyampaikan kovenan internasional yang diadopsi oleh UN ini, itu juga mengatur mengenai pembatasan-pembatasan (terkait kebebasan berpendapat),” kata Tito.
    Dia memberikan penekanan pada artikel 19 poin ketiga, yang menyatakan bahwa hak berpendapat memiliki batasan, yakni menghormati hak asasi orang lain.
    Kovenan yang telah diratifikasi oleh Indonesia ini juga menyebutkan bahwa setiap orang yang menyuarakan pendapat harus memikirkan kepentingan umum.
    “Menjaga keamanan ketertiban umum,
    public order
    , menjaga keamanan nasional, kesehatan publik, dan mengindahkan etika moral,” kata dia.
    Tito mengatakan, aturan terkait kebebasan berpendapat ini digunakan oleh seluruh negara yang menjadi anggota PBB dan yang telah meratifikasi kovenan ini.
    Di Indonesia, Tito menjelaskan, negara mengadopsi kovenan dengan membuat Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum yang disahkan pada 26 Oktober 1998.
    “Boleh menyampaikan pendapat di muka umum, bebas, tapi ada batasannya,” katanya.
    Tito mengutip Pasal 5 UU tersebut yang menegaskan bahwa warga negara diperbolehkan menyampaikan pendapat di muka umum.
    Namun, dalam Pasal 6 diatur kewajiban dan tanggung jawab setiap orang yang menyuarakan pendapat, seperti menghormati hak dan kebebasan orang lain, menghormati aturan moral yang diakui umum, menaati hukum dan ketentuan yang berlaku, menjaga dan menghormati ketertiban umum, serta menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa.
    “Jadi enggak boleh melanggar hukum pidana, misalnya enggak boleh merusak (diatur dalam pasal) 170 KUHP, melakukan penjarahan misalnya di tempat-tempat komersial atau ruang pribadi,” kata mantan Kapolri tersebut.
    Dia kemudian mengutip beberapa pasal terkait pencurian dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, seperti Pasal 362, 363, dan 365 yang terkait pencurian, pencurian ringan, maupun pencurian dengan kekerasan.
    Oleh sebab itu, Tito mengingatkan bahwa penjarahan dan aksi anarkis tidak bisa dibenarkan dan tidak dapat dijadikan dalil kebebasan menyuarakan pendapat di muka umum.
    “Jadi ini adalah norma-norma internasional yang disepakati dunia, di negara demokrasi, dan juga sudah diratifikasi Indonesia dalam undang-undang pada tahun 1998. Ini menjadi koridor kita dalam menyampaikan pendapat di muka umum,” kata dia.
    Presiden Prabowo Subianto menegaskan, tindakan anarkistis, termasuk penjarahan rumah pejabat dan fasilitas publik, merupakan pelanggaran hukum yang tidak bisa ditoleransi.
    “Penyampaian aspirasi dapat dilakukan secara damai, namun jika dalam pelaksanaannya ada aktivitas anarkis, merusak fasilitas umum, sampai adanya korban jiwa; mengancam dan menjarah rumah-rumah dan instansi-instansi publik, maupun rumah-rumah pribadi, hal itu merupakan pelanggaran hukum dan negara wajib hadir dan melindungi rakyatnya,” ujar Prabowo dalam konferensi pers di Istana, Minggu (31/8/2025).
    Prabowo menekankan, aspirasi masyarakat tetap akan ditampung pemerintah, tetapi penyampaian pendapat tidak boleh ditempuh dengan kekerasan dan perusakan.
     
    “Kepada pihak Kepolisian dan TNI, saya perintahkan untuk ambil tindakan yang setegas-tegasnya, terhadap perusakan fasilitas umum, penjarahan rumah individu, dan sentra-sentra ekonomi, sesuai hukum yang berlaku,” kata Prabowo.
    “Kepada seluruh masyarakat, silakan sampaikan aspirasi murni secara damai. Kami pastikan akan didengar, akan dicatat, dan akan kita tindaklanjuti,” ujar dia.
    Sebelumnya, penjarahan terjadi di sejumlah rumah pejabat publik pada Sabtu (30/8/2025) lalu, yakni Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati serta anggota DPR Ahmad Sahroni, Nafa Urbach, Eko Patrio, dan Uya Kuya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 1
                    
                        Nasdem Minta DPR Setop Gaji hingga Tunjangan bagi Sahroni-Nafa Urbach 
                        Nasional

    1 Nasdem Minta DPR Setop Gaji hingga Tunjangan bagi Sahroni-Nafa Urbach Nasional

    Nasdem Minta DPR Setop Gaji hingga Tunjangan bagi Sahroni-Nafa Urbach
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Fraksi Partai Nasdem meminta DPR RI menghentikan pemberian gaji, tunjangan, dan seluruh fasilitas lain yang melekat pada Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach selama mereka menjadi anggota legislatif.
    Ketua Fraksi Partai Nasdem DPR RI Viktor Bungtilu Laiskodat mengatakan bahwa penghentian tersebut dilakukan seiring dengan penonaktifan kedua kader tersebut oleh partai dari keanggotaan di DPR RI.
    “Fraksi Partai Nasdem DPR RI meminta penghentian sementara gaji, tunjangan, dan seluruh fasilitas bagi yang bersangkutan, yang kini berstatus nonaktif, sebagai bagian dari penegakan mekanisme dan integritas partai,” ujar Viktor dalam siaran pers yang diterima dari
    Kompas.com
    , Selasa (2/9/2025).
    Selain itu, Viktor menjelaskan bahwa saat ini penonaktifan Sahroni dan Nafa Urbach dari DPR RI juga sedang ditindaklanjuti oleh Mahkamah Partai.
    Keputusan Mahkamah Partai akan menjadi dasar bagi Nasdem untuk mengambil langkah selanjutnya setelah penonaktifan keduanya dari DPR RI.
    “Seluruh langkah yang diambil Fraksi Partai NasDem merupakan bagian dari upaya memastikan mekanisme internal partai dijalankan secara transparan dan akuntabel,” ucap Viktor.
    Viktor menambahkan, Nasdem mengajak seluruh pihak untuk selalu mengedepankan dialog dalam menyelesaikan persoalan demi persatuan dan kesatuan bangsa.
    “Mari bersama merajut persatuan dan menguatkan spirit restorasi demi membangun masa depan Indonesia yang lebih baik,” pungkasnya.
    Diberitakan sebelumnya, lima anggota DPR RI periode 2024–2029 resmi dinonaktifkan oleh partainya masing-masing, yakni Ahmad Sahroni, Nafa Urbach, Eko Patrio, Uya Kuya, dan Adies Kadir.
    Keputusan ini diambil setelah pernyataan dan sikap mereka dianggap melukai hati rakyat serta memicu gelombang kecaman publik hingga aksi demonstrasi di berbagai daerah.
    Anggota DPR yang dinonaktifkan tidak serta-merta kehilangan status sebagai wakil rakyat.
    Sebab, status nonaktif berarti mereka untuk sementara waktu tidak menjalankan tugas dan kewenangan hingga ada keputusan lebih lanjut.
    Status nonaktif bisa disamakan dengan pemberhentian sementara.
    Artinya, meski aktivitas mereka di parlemen dibatasi, secara administratif status keanggotaan masih melekat.
    Meski berstatus nonaktif, kelima anggota DPR di atas tetap berhak menerima gaji dan tunjangan.
    Hal ini diatur dalam Pasal 19 ayat 4 Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib, yang menyebutkan bahwa anggota DPR yang diberhentikan sementara tetap memperoleh hak keuangan sesuai ketentuan perundang-undangan.
    Hak tersebut mencakup gaji pokok dan berbagai tunjangan, mulai dari tunjangan keluarga, jabatan, komunikasi, hingga tunjangan beras.
    Dengan demikian, meskipun tidak aktif bekerja di parlemen, secara finansial mereka masih mendapat hak penuh sebagai anggota dewan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Sindir Pernyataan Menkomdigi tentang Penutupan Live TikTok, Fedi Nuril: Bohong

    Sindir Pernyataan Menkomdigi tentang Penutupan Live TikTok, Fedi Nuril: Bohong

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Aktor sekaligus publik figur kritis, Fedi Nuril memberikan sindiran pedas ke Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi), Meutya Hafid.

    Ini berkaitan dengan pernyataan yang mengatakan fitur live media sosial tersebut ditutup di Indonesia merupakan sukarela dari pihak aplikasinya.

    Menyindir terkait hal ini, Fedi Nuril lewat cuitan di akun media sosial X pribadinya menyampaikan sindirannya.

    Ia yang mengutip pernyataan dari Meutya menyebut apa yang dikatakannya itu bohong

    “Kami pun melihat pemberitahuan yang dilakukan oleh TikTok, bahwa mereka melakukan secara sukarela untuk penutupan fitur live,” kata Meutya,” tulisnya dikutip Selasa (2/9/2025).

    “Bohong! @meutya_hafid,” tegasnya.

    Sebelumnya, soal fitur live di TikTok yang ditutup di Indonesia merupakan sukarela dari pihak aplikasinya.

    “Kami pun melihat pemberitahuan yang dilakukan oleh TikTok bahwa mereka melakukan secara sukarela untuk penutupan fitur live, dan kami justru berharap bahwa ini berlangsung tidak lama,” kata Meutya.

    Pemblokiran yang dilakukan pada Sabtu (30/8) itu bertepatan dengan ramainya siaran langsung demonstrasi besar-besaran di berbagai daerah, termasuk di Jakarta.

    Dalam siaran itu bahkan terekam momen penjarahan rumah sejumlah politisi dan pejabat, mulai dari Ahmad Sahroni, Eko Patrio, Uya Kuya hingga Menteri Keuangan Sri Mulyani. (Erfyansyah/fajar)