Eko Patrio Dinyatakan Langgar Kode Etik DPR, Dinonaktifkan 4 Bulan
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI dalam putusannya menyatakan bahwa Eko Hendro Purnama alias Eko Patrio melanggar kode etik DPR RI.
Eko Patrio
dinyatakan melanggar Pasal Undang-Undang Nomor Tahun 2018 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD RI jo Pasal 2 Ayat 2 dan 4 jo Pasal 3 ayat 4 jo Pasal 5 Ayat 2 jo Pasal 9 ayat 1 Peraturan
DPR
RI Nomor 1 tahun 2015 tentang Kode Etik.
Oleh karenanya, MKD menjatuhkan hukuman terhadap Eko Patrio berupa penonaktifan sebagai Anggota DPR RI selama empat bulan.
“Menyatakan teradu 4 Eko Hendro Purnomo terbukti melanggar kode etik DPR RI. Menghukum teradu 4 Nonaktif selama empat bulan berlaku sejak tanggal putusan ini dibacakan yang dihitung sejak penonaktifan yang bersangkutan sebagaimana keputusan DPP Partai Amanat Nasional,” kata Wakil Ketua
MKD DPR
Adang Daradjatun, di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (5/11/2025).
Kemudian, terhadap Eko Patrio juga diputuskan tidak mendapatkan hak keuangan selama dinonaktifkan sebagai anggota dewan.
Dalam pertimbangannya, MKD menilai bahwa tidak ada niat dari Eko Patrio untuk menghina atau melecehkan siapa pun terkait aksinya berjoget dalam Sidang Tahunan MPR RI tanggal 15 Agustus 2025.
Hal itu dinilai setelah mempertimbangan keterangan dari saksi Deputi Persidangan Setjen DPR RI Suprihartini, Koordinator orkestra pada sidang tahunan Letkol Suwarko, ahli kriminologi Prof. Dr. Adrianus Eliasta, ahli hukum Dr. Satya Arinanto, ahli sosiologi Trubus Rahardiansyah, ahli analisis perilaku Gusti Aju Dewi, dan Wakil Koordinator Wartawan Parlemen Erwin Siregar.
Selain itu, MKD menyebut, aksi joget yang dilakukan Eko Patrio bukan untuk merespons adanya kenaikan gaji anggota DPR RI.
Sebab, menurut MKD, berdasarkan rekaman dari Sidang Tahunan MPR tersebut, tidak ada pengumuman kenaikan gaji atau tunjangan DPR.
Namun, majelis MKD berpandangan bahwa reaksi parodi yang disampaikan Eko Patrio setelah viral aksi jogednya kurang tepat karena bersifat defensif.
Oleh karena itu, terhadap Eko Patrio diperintahkan juga untuk berhati-hati dalam memberikan pendapat di muka umum.
Diketahui, Eko Patrio sebelumnya sudah dinonaktifkan sebagai Anggota DPR RI oleh
PAN
.
Penonaktifan tersebut buntut dari kontroversi yang dilakukan Eko karena mengunggah video parodi menanggapi kritikan terhadap anggota DPR yang berjoget saat Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2025.
Melalui akun TikTok pribadinya @ekopatriosuper, Eko Patrio mengunggah sebuah video parodi yang menampilkan dirinya sedang berakting menjadi DJ yang menyetel musik dengan sound horeg.
Tindakan itu Eko lakukan untuk membalas kritik publik atas sejumlah anggota dewan yang berjoget setelah Pidato Kenegaraan Presiden Prabowo Subianto, sementara situasi masyarakat sedang sulit.
“Biar jogednya lebih keren pakai sound ini aja,” tulis Eko.
Namun, akhirnya, Eko Patrio menyampaikan permintaan maaf atas video parodinya tersebut.
Meski sudah meminta maaf, perbuatan Eko dinilai berkontribusi pada eskalasi kemarahan publik yang mengkritik kenaikan tunjangan anggota DPR RI.
Masyarakat menggelar unjuk rasa memprotes kenaikan tunjangan anggota DPR RI pada 25 Agustus lalu.
Unjuk rasa kemudian berlanjut pada 28 Agustus, hari di mana driver ojek online (Ojol) Affan Kurniawan meninggal setelah dilindas mobil Brimob.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Tag: Eko Patrio
-
/data/photo/2025/11/05/690ad4c11d52a.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Eko Patrio Dinyatakan Langgar Kode Etik DPR, Dinonaktifkan 4 Bulan
-

MKD aktifkan lagi Adies Kadir dan Uya Kuya sebagai anggota DPR
Jakarta (ANTARA) – Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI dalam putusan terkait kasus dugaan pelanggaran kode etik anggota DPR nonaktif memutuskan untuk mengaktifkan kembali Adies Kadir dan Surya Utama alias Uya Kuya sebagai anggota DPR RI.
MKD memutuskan keduanya tidak terbukti melanggar kode etik DPR RI sehingga Adies Kadir dan Uya Kuya bisa kembali bertugas normal sebagai anggota DPR RI aktif mulai hari ini.
“Menyatakan teradu satu, Adies Kadir, diaktifkan sebagai anggota DPR terhitung sejak putusan ini dibacakan,” kata Wakil Ketua MKD DPR RI Adang Daradjatun yang membacakan putusan di kompleks parlemen, Jakarta, Rabu.
Hal tersebut diputuskan setelah MKD DPR RI membacakan berbagai pertimbangan berdasarkan keterangan saksi maupun ahli pada sidang-sidang sebelumnya.
Khusus untuk Adies Kadir, Wakil Ketua MKD mengingatkan agar pria yang sebelumnya menjabat Wakil Ketua DPR RI itu untuk berhati-hati dalam menyampaikan informasi, serta menjaga perilaku ke depannya. Namun, untuk Uya Kuya, MKD DPR RI tak membacakan poin peringatan apa pun.
Sedangkan untuk tiga anggota DPR RI nonaktif lainnya yang menjadi teradu dalam kasus itu, yakni Ahmad Sahroni, Nafa Urbach, dan Eko Hendro Purnomo, MKD menyatakan ketiganya terbukti melanggar kode etik.
Sebelumnya, pada akhir Agustus 2025, sejumlah partai politik memutuskan untuk menonaktifkan kadernya yang menjadi anggota DPR RI karena menuai sorotan publik yang juga terkait adanya demonstrasi besar-besaran pada akhir Agustus 2025.
Anggota DPR RI yang dinonaktifkan itu adalah Wakil Ketua DPR RI Adies Kadir dari Partai Golkar, Wakil Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni dan anggota DPR RI Nafa Urbach dari Partai NasDem, serta anggota DPR RI Eko Hendro Purnomo alias Eko Patrio dan Surya Utama alias Uya Kuya dari Partai Amanat Nasional.
Pewarta: Bagus Ahmad Rizaldi
Editor: Didik Kusbiantoro
Copyright © ANTARA 2025Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.
-

Adies Kadir paling terakhir tiba di DPR untuk sidang putusan MKD
Jakarta (ANTARA) – Anggota DPR RI nonaktif Adies Kadir yang sebelumnya menjabat sebagai Wakil Ketua DPR RI, paling terakhir tiba di kompleks parlemen, Jakarta, Rabu, setelah empat anggota DPR RI nonaktif lainnya hadir untuk menjalani sidang putusan kasus dugaan pelanggaran etik yang digelar Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI.
Dia tiba di Kantor MKD DPR RI yang berlokasi di Gedung Nusantara I sekitar pukul 11.57 WIB. Saat tiba, sidang yang beragendakan putusan kasus itu tengah berlangsung karena dimulai pada pukul 11.30 WIB.
Adies pun irit bicara kepada awak media ketika tiba di lokasi. Sebelum memasuki ruangan, Adies pun tampak menyalami sejumlah orang, termasuk para petugas pengamanan yang berjaga.
Selain Adies, sejumlah anggota DPR RI nonaktif yang menjadi teradu dalam kasus itu yakni Ahmad Sahroni, Nafa Urbach, Eko Hendro Purnomo alias Eko Patrio, hingga Surya Utama alias Uya Kuya.
Nafa menjadi pihak teradu yang paling pertama hadir ke ruangan MKD pada sekitar pukul 10.50 WIB. Kemudian disusul oleh Eko Patrio dan Uya Kuya yang hadir secara bersamaan, dan Ahmad Sahroni yang tampak berlari kecil ketika turun dari kendaraannya untuk menuju ruangan sidang.
Saat sidang dimulai, Ketua MKD DPR RI Nazaruddin Dek Gam membacakan identitas pengadu kasus dugaan pelanggaran etik itu serta identitas para teradu yakni para anggota DPR RI nonaktif.
Sejauh ini, menurut Dek Gam, MKD telah membacakan keterangan pengadu, mendengarkan saksi, dan keterangan ahli.
Sebelumnya pada akhir Agustus 2025, sejumlah partai politik memutuskan untuk menonaktifkan kadernya yang menjadi anggota DPR RI karena menuai sorotan publik yang juga terkait adanya aksi demonstrasi besar-besaran pada akhir Agustus 2025.
Sejumlah anggota DPR RI yang dinonaktifkan itu, di antaranya Wakil Ketua DPR RI Adies Kadir dari Partai Golkar, Wakil Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni dan anggota DPR RI Nafa Urbach dari Partai NasDem, serta anggota DPR RI Eko Hendro Purnomo alias Eko Patrio dan anggota DPR RI Surya Utama alias Uya Kuya dari Partai Amanat Nasional.
Pewarta: Bagus Ahmad Rizaldi
Editor: Hisar Sitanggang
Copyright © ANTARA 2025Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.
-

Sahroni hingga Uya Kuya tiba di DPR hadiri sidang putusan MKD
Jakarta (ANTARA) – Anggota DPR RI yang dinonaktifkan, yakni Ahmad Sahroni hingga Surya Utama alias Uya Kuya, tiba di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, sebagai teradu untuk menghadiri sidang putusan atas kasus dugaan pelanggaran etik yang digelar Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI.
Selain Sahroni dan Uya Kuya, anggota DPR RI nonaktif lainnya yang menghadiri sidang adalah Nafa Urbach dan Eko Hendro Purnomo alias Eko Patrio. Sedangkan Adies Kadir yang juga turut menjadi teradu, diketahui masih dalam perjalanan dan belum tiba di lokasi.
“Ya (sidang MKD), sidang dulu ya,” kata Eko saat tiba di Kantor MKD DPR RI.
Ketika tiba dan turun dari kendaraannya, para anggota DPR RI nonaktif itu irit bicara dan langsung masuk ke gedung.
Mereka langsung masuk ke Kantor MKD yang berada di Gedung Nusantara I, kompleks parlemen. Sidang pun dimulai ketika Sahroni, Nafa, Uya, dan Eko sudah masuk ke ruangan, meski Adies Kadir terlambat hadir.
Saat sidang dimulai, Ketua MKD DPR RI Nazaruddin Dek Gam membacakan identitas pengadu kasus dugaan pelanggaran etik itu serta identitas para teradu, yakni para anggota DPR RI nonaktif.
Sejauh ini, menurut dia, MKD telah membacakan keterangan pengadu, mendengarkan saksi, dan keterangan ahli.
Sebelumnya, sejumlah partai politik memutuskan untuk menonaktifkan kadernya yang menjadi anggota DPR RI karena menuai sorotan publik yang juga terkait adanya aksi demonstrasi besar-besaran pada akhir Agustus 2025.
Anggota DPR RI yang dinonaktifkan itu adalah Wakil Ketua DPR RI Adies Kadir, Wakil Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni, serta Nafa Urbach, Eko Hendro Purnomo alias Eko Patrio, dan Surya Utama alias Uya Kuya (ketiganya anggota DPR).
Pewarta: Bagus Ahmad Rizaldi
Editor: Didik Kusbiantoro
Copyright © ANTARA 2025Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.
-

Ahli nilai Adies Kadir yang dinonaktifkan dari DPR tak langgar etik
Jakarta (ANTARA) – Ahli hukum tata negara dari Universitas Indonesia Profesor Satya Arinanto menilai Wakil Ketua DPR RI Adies Kadir yang dinonaktifkan karena ada polemik dan demo besar-besaran yang menyoroti DPR RI pada Agustus 2025, tidak melanggar etik.
Menurut dia, pernyataan Adies Kadir yang disoroti publik terkait tunjangan DPR RI hanya bersifat slip of tongue dan tidak mengandung unsur penghinaan terhadap masyarakat maupun pelanggaran etika sebagai anggota dewan.
“Beliau hanya menjelaskan soal kenaikan tunjangan beras dan transportasi. Keesokan harinya juga sudah diklarifikasi. Justru yang dikritik masyarakat itu sebenarnya soal tunjangan perumahan,” kata Satya dalam keterangannya di Jakarta, Selasa.
Menurut dia, langkah klarifikasi yang dilakukan Adies sehari setelah pernyataan tersebut merupakan sikap yang perlu dilakukan dan wajar bagi seorang pejabat publik.
“Itu sudah sewajarnya dilakukan. Artinya, beliau menyadari ada slip of the tongue dan segera memperbaikinya. Hal itu justru menunjukkan tanggung jawab,” katanya.
Dia juga menilai penonaktifan sejumlah anggota DPR oleh partai politiknya masing-masing yang terjadi secara serentak setelah rapat di Istana, tidak sepenuhnya sejalan dengan prosedur penegakan etik di DPR.
“Kalau memang melakukan pelanggaran, seharusnya saat itu juga diumumkan. Tapi, penonaktifan itu baru terjadi setelah rapat di Istana. Saya tidak tahu rapatnya apa, tapi terlihat tidak konsisten,” katanya.
Saat ini Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) tengah memproses sidang perkara terkait lima anggota DPR RI yang dinonaktifkan partai politiknya karena menuai sorotan publik.
Lima anggota DPR RI nonaktif itu, yakni Adies Kadir, Ahmad Sahroni, Nafa Urbach, Eko Hendro Purnomo alias Eko Patrio, dan Surya Utama alias Uya Kuya. Sejauh ini persidangan baru memeriksa sejumlah saksi dan belum memanggil para anggota DPR RI nonaktif tersebut.
Pewarta: Bagus Ahmad Rizaldi
Editor: Didik Kusbiantoro
Copyright © ANTARA 2025Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.
-

Setjen DPR Sebut Aksi Joget Uya Kuya Cs di Sidang Tahunan Bukan Soal Kenaikan Gaji
Bisnis.com, JAKARTA — Sekretariat Jenderal (Setjen) DPR menegaskan aksi joget anggota parlemen saat rangkaian acara sidang tahunan MPR pada Agustus lalu merupakan spontanitas.
Pernyataan itu diungkap Suprihatini selaku Deputi Bidang Persidangan Sekretariat Jenderal DPR saat sidang terkait lima anggota DPR yang dinonaktifkan pada Senin (3/11/2025).
Kelima anggota DPR itu yakni Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach dari Fraksi Nasdem, Adies Kadir dari Fraksi Golkar, serta Eko Hendro Purnomo (Eko Patrio) dan Surya Utama (Uya Kuya) dari Fraksi PAN.
Mulanya, anggota Mahkamah Kehormatan Dewan (MHK) Habiburokhman menanyakan kepada saksi Suprihartini soal pemutaran musik dalam sidang tahunan itu.
“Lagu yang dipilih itu lagu daerah ya? Bukan Pop, bukan ya? Pertimbangannya apa?” ujar Habiburokhman dalam sidang MKD.
Suprihartini menjelaskan bahwa pemilihan lagu ini merupakan bentuk apresiasi kepada budaya daerah untuk acara kenegaraan. Setelahnya, Habiburokhman kembali bertanya soal kaitan anggota parlemen yang berjoget dengan pemutaran lagu daerah itu.
“Jadi ada anggota DPR menikmati lagu tersebut ikut berjoget itupun apresiasi terhadap budaya daerah?” tanya Habiburokhman.
“Memberikan apresiasi Betul, terhadap budaya daerah,” jawab Suprihatini.
Selanjutnya, anggota MKD lainnya yakni TB Hasanuddin ikut bertanya kepada Suprihartini. Pertanyaannya masih seputar pemutaran lagu daerah dan diiringi aksi joget anggota parlemen.
Hasanuddin pun bertanya bagaimana tanggapan Suprihatini terkait kondisi kebatinan anggota parlemen yang berjoget dalam sidang tahunan itu.
“Ketika ada orang merespons dengan baik dalam suasana yang tadi disampaikan kebatinan gembira kemudian selesai bekerja keras, menurut saksi kira kira bagaimana kondisi situasi saat itu?” tanya TB Hasanuddin.
“Baik yang mulia, menurut pandangan kami itu bentuk apresiasi peserta sidang terhadap persembahan lagu daerah dan dilakukan spontanitas tanpa kami ada arahan dan sebagainya,” jawab Suprihatini.
Lebih lanjut, Suprihatini menegaskan bahwa pihaknya tidak pernah membahas soal kenaikan gaji atau tunjangan lainnya sebelum para anggota Parlemen berjoget di ruang sidang.
“Tidak ada pembahasan kenaikan gaji atau tunjangan lainnya,” pungkasnya.
-

MKD DPR RI Sidangkan Kasus Ahmad Sahroni Cs, Ismail Fahmi Beber Adanya Penggiringan Opini
FAJAR.CO.ID, JAKARTA – Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI mulai menyidangkan kasus lima anggota DPR RI yang dinonaktifkan partainya di kompleks parlemen, Jakarta, Senin (3/11).
Lima anggota DPR RI yang dinonaktifkan, yakni Ahmad Sahroni, Adies Kadir, Uya Kuya, Eko Patrio, dan Nafa Urbach. Mereka dinonaktifkan partai karena ditengarai memicu kemarahan publik hingga terjadi demo dan kerusuhan pada Agustus lalu.
Dalam sidang yang digelar Senin, MKD DPR RI menghadirkan pakar media sosial, Ismail Fahmi. Mereka dimintai pendapat terkait terkait serentetan insiden pasca Sidang Tahunan MPR pada 15 Agustus 2025 lalu.
Ismail mengatakan ada pergeseran narasi yang diduga terjadi secara terstruktur, untuk berdemo di DPR dan melampiaskan amarah kepada beberapa pihak.
“Yang kami analisis adalah, kami menemukan pada tanggal 10 Agustus, memang akan ada demo buruh di tanggal 25 (Agustus). Namun saya perhatikan tanggal 14 mulai ada di TikTok, Instagram, Twitter, arahan-arahan tertentu. Saya lihat ini kok bukan dari buruh ya? Biasanya mulai diarahkan ke DPR,” kata Ismail Fahmi dalam persidangan MKD DPR RI, Senin.
Ismail juga menyebut trend narasi demo DPR melonjak pesat dalam kurun waktu beberapa hari selanjutnya, tepatnya mulai tanggal 19 Agustus hingga 25 Agustus 2025.
“Jadi saya lihat memang ada penggiringan opini dari awal yang sudah diciptakan. Oleh akun siapa? Ya tadi, oleh akun-akun anonim juga memang, gitu. Dan ini seperti memanfaatkan momen,” ujarnya.
Ismail berharap untuk ke depannya, lembaga negara bisa lebih memperhatikan isu-isu liar yang berkembang di sosial media.
-
/data/photo/2025/11/03/690824c46e370.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
10 Nafa Urbach Dilaporkan ke MKD karena Hedon dan Tamak, Uya Kuya-Eko Patrio Rendahkan DPR Nasional
Nafa Urbach Dilaporkan ke MKD karena Hedon dan Tamak, Uya Kuya-Eko Patrio Rendahkan DPR
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Ketua Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR Nazaruddin Dek Gam membeberkan sejumlah alasan kenapa lima anggota nonaktif DPR diadukan ke MKD DPR.
Adapun lima
anggota DPR nonaktif
yang dimaksud adalah Adies Kadir, Ahmad Sahroni, Nafa Urbach, Surya Utama (Uya Kuya), dan Eko Hendro Purnomo (Eko Patrio).
Hal tersebut Dek Gam ungkapkan dalam persidangan MKD di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (3/11/2025).
“Pada tanggal 4, 9, dan 30 September 2025 yang lalu, Mahkamah Kehormatan Dewan telah menerima pengaduan yang mengadukan sejumlah anggota DPR RI atas dugaan pelanggaran kode etik. Antara lain, satu, teradu satu saudara Adies Kadir atas pernyataan terkait tunjangan anggota DPR RI yang keliru dan menimbulkan reaksi luas dalam masyarakat,” ujar Dek Gam.
Lalu, untuk Nafa Urbach, Dek Gam menyebut politisi Nasdem itu dilaporkan karena hedon dan tamak. Menurutnya, kala itu, Nafa Urbach menyampaikan pernyataan bahwa kenaikan gaji dan tunjangan anggota DPR pantas.
“Dua, teradu Saudari Nafa Urbach atas pernyataannya yang telah memberikan kesan hedon dan tamak, dengan menyampaikan bahwa kenaikan gaji dan tunjangan itu sebuah kepantasan dan wajar bagi anggota DPR RI,” tuturnya.
Selanjutnya, lanjut Dek Gam, Uya Kuya dianggap merendahkan DPR dengan berjoget di sidang tahunan 2025.
Eko Patrio juga dilaporkan karena alasan yang sama dengan Uya Kuya, yang mana mereka sama-sama berasal dari PAN.
“Tiga, teradu Saudara Surya Utama atas gestur yang merendahkan lembaga DPR RI dengan cara berjoget dalam sidang tahunan MPR RI 2025, dan sidang bersama DPR RI dan DPD RI tanggal 15 Agustus 2025,” jelas Dek Gam.
“Empat, teradu Saudara Eko Hendro Purnomo atas gestur yang merendahkan lembaga DPR RI dengan cara berjoget dalam sidang tahunan MPR RI 2025 dan sidang bersama DPR RI dan DPD RI tanggal 15 Agustus 2025,” sambungnya.
Sementara itu, Dek Gam menyebut Ahmad Sahroni dilaporkan karena menggunakan diksi tak pantas di hadapan publik.
“Lima, teradu Saudara Ahmad Sahroni atas teradu, ucapannya atau pernyataan langsung di hadapan publik dengan menggunakan diksi yang tidak pantas,” imbuh Dek Gam.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/09/01/68b519ea25167.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Setelah Kasus Rahayu, Sidang Etik Sahroni dkk Jadi Pertaruhan DPR
Setelah Kasus Rahayu, Sidang Etik Sahroni dkk Jadi Pertaruhan DPR
Sejak 2006 berkecimpung di dunia broadcast journalism, dari Liputan6 SCTV, ANTV dan Beritasatu TV. Terakhir menjadi produser eksekutif untuk program Indepth, NewsBuzz, Green Talk dan Fakta Data
MALAPETAKA
di akhir Agustus 2025, meninggalkan duka dan luka, terutama kepada keluarga Affan Kurniawan serta sembilan keluarga lainnya di sejumlah kota. Sepuluh orang itu pergi untuk selamanya.
Apakah peristiwa kelam itu mampu memberi pelajaran kepada bangsa Indonesia, khususnya elite politik di DPR, pemerintah serta petinggi partai politik?
Publik mempertanyakan hal ini manakala dalam dua bulan terakhir, tidak mendapat kepastian tentang pembentukan tim gabungan pencari fakta (TGPF) untuk mengusut malapetaka di akhir Agustus itu.
DPR juga kembali ke “stelan pabrik”–terutama dalam memutuskan pengunduran diri Rahayu Saraswati sebagai anggota DPR.
Sebelumnya terungkap kenaikan dana reses dari Rp 400 juta (2019-2024) menjadi Rp 702 juta (2024-2029). Naik hampir dua kali lipat.
Belakangan, Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad menyatakan kenaikan dana reses itu mulai bulan Mei 2025, karena indeksnya naik dan jumlah titik yang dikunjungi anggota DPR bertambah (
Hukumonline
, 11 Oktober 2025).
Dana reses tidak diberikan setiap bulan. Dalam setahun, anggota DPR dijadwalkan melakukan empat hingga lima kali reses untuk menyerap aspirasi rakyat.
Pokok kata menjadi wakil rakyat itu nikmat karena dimanjakan dengan aneka fasilitas—bahkan negara harus merogoh kocek lebih dalam untuk membiayai agenda “menyerap aspirasi” rakyat di daerah pemilihan 580 anggota DPR.
Saban kali reses, idealnya 580 anggota DPR itu turun ke 84 daerah pemilihan (dapil). Urusan menyerap aspirasi–sesuatu yang inheren menjadi tugas wakil rakyat–tak cukup dibiayai dengan gaji dan sekian tunjangan yang melekat pada anggota DPR, tapi dibiayai dengan mata anggaran bernama dana reses.
Jika peristiwa di akhir Agustus 2025 jadi pelajaran, mestinya DPR tidak
ngeyel
dengan dana reses sebesar Rp 702 juta itu. Besaran dana reses sebaiknya kembali ke skema DPR periode 2019-2024.
Mari tengok jumlah dapil dan jumlah anggota DPR dalam tiga pemilihan umum terakhir. Pada 2014, Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan 77 daerah pemilihan (distrik) untuk memilih 560 anggota DPR.
Lima tahun berselang, Pemilu 2019, jumlah dapil bertambah menjadi 80 untuk memilih 575 anggota DPR. Dengan pemekaran provinsi di Papua, jumlah dapil di Pemilu 2024 meningkat menjadi 84. Kali ini untuk memilih 580 anggota DPR.
Data ini menjelaskan jumlah dapil DPR periode 2024-2029 cuma bertambah empat. Anggota DPR pun bertambah lima orang, dari 575 menjadi 580.
Penambahan dana reses dari Rp 400 juta menjadi Rp 702 juta per anggota layak ditanyakan. Apakah anggota DPR dari dapil Papua X contohnya juga turun ke dapil Papua Y saat reses? Kalau iya, apa relevansinya?
Pemimpin DPR dan sekretariat jenderal DPR perlu menjelaskan berapa titik atau lokasi di dapil tertentu yang dikunjungi anggota DPR? Dan berapa biaya untuk berkunjung ke titik atau lokasi reses?
Hal lain menyangkut pertanggungjawaban dana reses itu. Kenaikan dana reses dari Rp 400 juta menjadi Rp 702 juta itu sangat besar. Rakyat perlu bertanya karena dana itu berasal dari uang pajak yang ditarik dari rakyat pula.
Pada kasus Rahayu Saraswati, Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR menolak pengunduran diri keponakan Presiden Prabowo Subianto itu.
“Mempertimbangkan aspek hukum, ketentuan tata beracara serta putusan Majelis Kehormatan Partai Gerindra” begitu antara lain penjelasan MKD.
Aspek internal Gerindra, yakni Mahkamah Kehormatan Partai Gerindra, yang diacu MKD DPR condong formalistik dan administratif. Salah satunya karena tidak menerima pengajuan pengunduran diri secara tertulis dari Rahayu Saraswati.
Mahkamah juga menilai tuduhan yang menyebut Rahayu Saraswati merendahkan kelompok tertentu tidak terbukti (
Kompas.com
, 30/10/2025).
Keputusan ini menyimpan teka-teki. Pertama, Rahayu menunjukkan keteladanan yang baik sebagai wakil rakyat. Ia merasa perkataan atau kalimatnya telah melukai perasaan rakyat.
Karena itu, ia memilih mengundurkan di momen ketika amarah rakyat masih tinggi selepas kejadian akhir Agustus, tepatnya pada 10 September 2025.
Entahlah, apakah keputusan itu terjadi lantaran tekanan publik atau inisiatif moral dan etis yang peka terhadap perasaan rakyat.
Yang pasti: Rahayu mengumumkan pengunduran dirinya ke publik. Rasanya ini lebih dari cukup–bahkan tanpa berkirim surat kepada DPP Partai Gerindra.
Kedua, soal konten yang diduga menyebabkan terlukanya perasaan rakyat itu asli atau hasil editan, tidak sepatutnya diputuskan secara sepihak oleh Partai Gerindra.
Sudahkah diverifikasi kepada pakar yang kompeten? Jangan sampai kasus Rahayu ini justru menyudutkan publik karena dinilai telah mengedit atau memodifikasi konten-konten berbeda waktu dan konteks milik Rahayu. Bagaimana jika faktanya bukan hasil editan atau modifikasi?
Ketiga, inisiatif mengundurkan diri datang dari Rahayu. Seyogyanya yang bersangkutan ditanya apakah bersedia dan ingin aktif kembali menjadi anggota DPR.
Lebih elok jika Mahkamah Kehormatan Partai Gerindra dan MKD DPR membiarkan Rahayu untuk memilih keputusan secara otonom.
Ini ujian karena ada lima anggota DPR lain dari tiga partai politik yang akan menghadapi sidang etik MKD DPR. Publik mencerna partai politik defensif dalam kasus Ahmad Sahroni, Nafa Urbach, Eko Patrio, Uya Kuya dan Adies Kadir.
Alih-alih menempuh mekanisme pergantian antarwaktu atau PAW, Partai Nasdem, PAN dan Golkar cuma menon-aktifkan mereka dari DPR. Pernyataan dan tindakan lima anggota DPR ini dituding telah menyulut demonstrasi besar, akhir Agustus 2025.
Sidang etik terhadap lima anggota DPR ini adalah pertaruhan besar bagi MKD. Sedangkan keputusan MKD terhadap Rahayu cuma “awalan” dari hal yang lebih besar itu.
Musababnya, sidang etik terhadap Ahmad Sahroni dkk itu akan digelar ketika dinamika politik sudah berubah. Pengawasan publik telah menyusut drastis. Beda halnya jika sidang etik di depan MKD itu dilaksanakan pada bulan September lalu.
Di sini pertaruhannya. Mungkinkah objektivitas mendapat ruang yang lebar dalam persidangan MKD? Adakah keadilan mampu ditegakkan tanpa pandang bulu–adil buat anggota DPR yang bakal “diadili”, juga adil bagi publik luas yang merasa terluka akibat perkataan dan tindakan lima orang wakil rakyat itu.
Marwah MKD pernah mencapai pucuknya pada Desember 2015 silam, ketika memutus kasus “Papa minta saham” yang dituduhkan kepada Ketua DPR 2014-2019, Setya Novanto.
Dalam sidang MKD saat itu, sembilan anggota menyatakan Setnov telah melanggar etik kategori sedang. Adapun enam anggota MKD menganggap politikus Golkar itu telah melakukan pelanggaran berat (
BBCIndonesia.com
, 16 Desember 2015).
Akibat sidang etik oleh MKD itu, Setnov mengundurkan diri dari kursi ketua DPR dan MKD menyetujui surat pengunduran tersebut.
Dulu, Setnov dilaporkan ke MKD oleh menteri ESDM saat itu, yakni Sudirman Said yang memperhatikan pengelolaan PT Freeport Indonesia.
Sebuah kekayaan sumber daya mineral di pojok Papua yang terus memercik kontroversi lantaran penguasaan saham oleh pihak asing.
Saat ini, siapa gerangan “Sudirman Said” dalam perkara etik yang dituduhkan kepada Ahmad Sahroni dkk? Akankah MKD bisa diharapkan mengembalikan martabatnya serta memulihkan citra institusi DPR yang berada di titik nadir akibat kejadian di akhir Agustus 2025 itu?
Saya kira, bakal sangat ditentukan dua faktor. Pertama, Presiden Prabowo. Isyarat dan
political will
dari Prabowo akan menentukan nasib lima anggota DPR itu.
Kedua, para pemimpin DPR yang terdiri atas satu ketua dan empat wakil ketua. Puan Maharani sedang mengawal perubahan di DPR. Setidaknya begitu dia berjanji.
“Dengan penuh kerendahan hati, atas nama anggota dan pimpinan DPR RI, kami meminta maaf kepada rakyat Indonesia apabila belum sepenuhnya dapat menjalankan tugas kami sebagai wakil rakyat secara sempurna,” kata Puan saat menyampaikan Laporan Kinerja DPR Tahun Sidang 2024-2025 di Kompleks DPR-MPR Senayan, Jakarta, 2 Oktober 2025.
Menjalankan tugas sebagai wakil rakyat perlu kepekaan terhadap nasib dan penderitaan rakyat. Jangan sampai ucapan, tindakan dan keputusan politik DPR dan pemerintah justru menjauhkan mereka dari amanat rakyat.
Dari malapetaka di akhir Agustus 2025, bangsa kita mendapat pelajaran teramat penting: Dengar dan camkan suara rakyat. Merekalah pemilik kedaulatan yang sah.
Eksekutif, legislatif, dan yudikatif cuma meminjam kekuasaan rakyat. Tidak kurang, tidak lebih.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

MKD Setuju Lanjutkan Perkara 5 Anggota DPR Nonaktif, dari Sahroni hingga Uya Kuya
Bisnis.com, JAKARTA — Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR menyatakan perkara lima anggota DPR RI nonaktif disetujui untuk ditindaklanjuti karena telah memenuhi ketentuan tata beracara MKD.
Ketua MKD DPR RI Nazaruddin Dek Gam mengatakan lima anggota DPR RI nonaktif yang berperkara itu, yakni Adies Kadir, Ahmad Sahroni, Nafa Urbach, Eko Hendro Purnomo alias Eko Patrio, dan Surya Utama alias Uya Kuya.
“Menyetujui penanganan lanjutan terhadap beberapa Anggota DPR RI berstatus nonaktif,” kata Dek Gam dilansir dari Antara, Kamis (30/10/2025).
Dia menyampaikan keputusan itu diambil dalam rapat Internal pada Rabu (29/10) yang berlangsung tertutup dan dihadiri empat dari lima unsur pimpinan, delapan anggota MKD, serta Sekretariat dan Tenaga Ahli MKD.
Rapat itu membahas perkembangan perkara pengaduan yang masuk ke MKD DPR RI tersebut serta surat-surat resmi dari pihak terkait yang memerlukan tindak lanjut.
Dia pun memastikan MKD akan terus menjalankan tugas konstitusionalnya secara profesional, independen, dan berpedoman pada prinsip-prinsip penegakan etik dalam menjaga marwah dan kehormatan lembaga legislatif.
Sebelumnya, sejumlah partai politik memutuskan untuk menonaktifkan kadernya yang menjadi anggota DPR RI karena menuai sorotan publik yang juga terkait adanya aksi demonstrasi besar-besaran pada akhir Agustus 2025.
Sejumlah anggota DPR RI yang dinonaktifkan itu adalah Wakil Ketua DPR RI Adies Kadir, Wakil Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni, serta Nafa Urbach, Eko Hendro Purnomo alias Eko Patrio, dan Surya Utama alias Uya Kuya (ketiganya anggota).