Tag: Eisha Maghfiruha Rachbini

  • Perlu legalisasi UMKM agar insentif kenaikan PPN efektif

    Perlu legalisasi UMKM agar insentif kenaikan PPN efektif

    Ilustrasi UMKM dalam negeri. ANTARA/HO-Kementerian UMKM

    Ekonom: Perlu legalisasi UMKM agar insentif kenaikan PPN efektif
    Dalam Negeri   
    Editor: Novelia Tri Ananda   
    Kamis, 02 Januari 2025 – 06:00 WIB

    Elshinta.com – Kepala Pusat Ekonomi Digital dan UKM Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Eisha Maghfiruha Rachbini menyatakan pemerintah perlu menggencarkan legalisasi UMKM agar pemberian insentif terkait kenaikan PPN menjadi 12 persen berjalan efektif.

    Pemerintah memberikan insentif berupa perpanjangan masa berlaku PPh final 0,5 persen sepanjang 2025 sebagai upaya perlindungan kepada UMKM dan industri padat karya. Sementara UMKM dengan omzet di bawah Rp500 juta per tahun sepenuhnya dibebaskan dari pengenaan PPh tersebut.

    Saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Rabu, ia menyampaikan bahwa sebenarnya kedua insentif tersebut membantu UMKM untuk mengurangi potensi dampak yang diakibatkan oleh kenaikan PPN menjadi 12 persen di tengah daya beli masyarakat yang menurun saat ini.

    “Namun, yang paling banyak usaha mikro kecil itu kan masih informal ya, mereka tidak akan terdampak (insentif PPh) di situ, tidak akan menikmati kemudahan (insentif) tersebut karena mereka kan tidak masuk ke dalam sistem (perpajakan),” kata Eisha Maghfiruha Rachbini.

    Meskipun para pelaku usaha informal tidak terjangkau oleh insentif PPh final tersebut, ia menyatakan bahwa UMKM masih dapat menikmati penghapusan PPN terhadap sejumlah komoditas yang menjadi bahan baku produksi, seperti beras, kedelai, buah, sayur, jagung, gula, susu, ikan, udang, serta hasil ternak dan perikanan lainnya.

    “Ini sebenarnya sebagai penolong juga buat UMKM bahwa bahan baku dari UMKM, terutama mereka industri kecil menengah di bidang pengolahan makanan dan minuman, harganya tidak naik,” ujarnya.

    Eisha menuturkan bahwa UMKM yang bergerak di sektor perdagangan dan retail akan menjadi yang paling terdampak akibat kenaikan PPN tersebut, terutama yang menjual barang-barang kena pajak.

    Untuk meredam dampak tersebut, ia pun meminta pemerintah untuk terus mendorong UMKM agar dapat meningkatkan kapasitas mereka melalui berbagai pelatihan. Ia juga mengatakan bahwa para pelaku usaha kecil tersebut memerlukan dukungan akses yang lebih luas terhadap pasar, bahan baku, dan pembiayaan.

    “Terutama juga formalitas dari UMKM ini, legalitasnya juga harus didorong untuk mereka supaya mereka dapat akses,” kata Eisha.

    Menteri Keuangan Sri Mulyani meneken Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 131 Tahun 2024 tentang pengenaan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen pada 31 Desember 2024 yang mulai berlaku per 1 Januari 2025. Pasal 2 Ayat 2 dan 3 aturan tersebut menetapkan tarif PPN 12 persen dikenakan terhadap barang yang tergolong mewah, berupa kendaraan bermotor dan selain kendaraan bermotor yang dikenai pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM).

    Sementara untuk barang dan jasa di luar kelompok tersebut, PPN yang dikenakan adalah tarif efektif 11 persen, yang diperoleh melalui mekanisme dasar pengenaan pajak (DPP) nilai lain. Nilai lain yang dimaksud yaitu 11/12 dari nilai impor, harga jual, atau penggantian. Nilai lain kemudian dikalikan dengan tarif PPN 12 persen.

    Selama periode 1–31 Januari 2025, pengenaan tarif PPN terhadap barang mewah menggunakan DPP nilai lain. Artinya, selama kurun waktu itu, tarif PPN terhadap barang mewah tetap 11 persen. Sedangkan per 1 Februari 2025, tarif PPN 12 persen dikenakan secara penuh terhadap harga jual atau nilai impor barang mewah.

    Sumber : Antara

  • Ekonom: Perlu legalisasi UMKM agar insentif kenaikan PPN efektif

    Ekonom: Perlu legalisasi UMKM agar insentif kenaikan PPN efektif

    Jakarta (ANTARA) – Kepala Pusat Ekonomi Digital dan UKM Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Eisha Maghfiruha Rachbini menyatakan pemerintah perlu menggencarkan legalisasi UMKM agar pemberian insentif terkait kenaikan PPN menjadi 12 persen berjalan efektif.

    Pemerintah memberikan insentif berupa perpanjangan masa berlaku PPh final 0,5 persen sepanjang 2025 sebagai upaya perlindungan kepada UMKM dan industri padat karya. Sementara UMKM dengan omzet di bawah Rp500 juta per tahun sepenuhnya dibebaskan dari pengenaan PPh tersebut.

    Saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Rabu, ia menyampaikan bahwa sebenarnya kedua insentif tersebut membantu UMKM untuk mengurangi potensi dampak yang diakibatkan oleh kenaikan PPN menjadi 12 persen di tengah daya beli masyarakat yang menurun saat ini.

    “Namun, yang paling banyak usaha mikro kecil itu kan masih informal ya, mereka tidak akan terdampak (insentif PPh) di situ, tidak akan menikmati kemudahan (insentif) tersebut karena mereka kan tidak masuk ke dalam sistem (perpajakan),” kata Eisha Maghfiruha Rachbini.

    Meskipun para pelaku usaha informal tidak terjangkau oleh insentif PPh final tersebut, ia menyatakan bahwa UMKM masih dapat menikmati penghapusan PPN terhadap sejumlah komoditas yang menjadi bahan baku produksi, seperti beras, kedelai, buah, sayur, jagung, gula, susu, ikan, udang, serta hasil ternak dan perikanan lainnya.

    “Ini sebenarnya sebagai penolong juga buat UMKM bahwa bahan baku dari UMKM, terutama mereka industri kecil menengah di bidang pengolahan makanan dan minuman, harganya tidak naik,” ujarnya.

    Eisha menuturkan bahwa UMKM yang bergerak di sektor perdagangan dan retail akan menjadi yang paling terdampak akibat kenaikan PPN tersebut, terutama yang menjual barang-barang kena pajak.

    Untuk meredam dampak tersebut, ia pun meminta pemerintah untuk terus mendorong UMKM agar dapat meningkatkan kapasitas mereka melalui berbagai pelatihan.

    Ia juga mengatakan bahwa para pelaku usaha kecil tersebut memerlukan dukungan akses yang lebih luas terhadap pasar, bahan baku, dan pembiayaan.

    “Terutama juga formalitas dari UMKM ini, legalitasnya juga harus didorong untuk mereka supaya mereka dapat akses,” kata Eisha.

    Menteri Keuangan Sri Mulyani meneken Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 131 Tahun 2024 tentang pengenaan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen pada 31 Desember 2024 yang mulai berlaku per 1 Januari 2025.

    Pasal 2 Ayat 2 dan 3 aturan tersebut menetapkan tarif PPN 12 persen dikenakan terhadap barang yang tergolong mewah, berupa kendaraan bermotor dan selain kendaraan bermotor yang dikenai pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM).

    Sementara untuk barang dan jasa di luar kelompok tersebut, PPN yang dikenakan adalah tarif efektif 11 persen, yang diperoleh melalui mekanisme dasar pengenaan pajak (DPP) nilai lain.

    Nilai lain yang dimaksud yaitu 11/12 dari nilai impor, harga jual, atau penggantian. Nilai lain kemudian dikalikan dengan tarif PPN 12 persen.

    Selama periode 1–31 Januari 2025, pengenaan tarif PPN terhadap barang mewah menggunakan DPP nilai lain. Artinya, selama kurun waktu itu, tarif PPN terhadap barang mewah tetap 11 persen.

    Sedangkan per 1 Februari 2025, tarif PPN 12 persen dikenakan secara penuh terhadap harga jual atau nilai impor barang mewah.

    Pewarta: Uyu Septiyati Liman
    Editor: Bambang Sutopo Hadi
    Copyright © ANTARA 2025

  • Video: 100 Ekonom RI Bahas Peluang & Tantangan Ekonomi Era Prabowo

    Video: 100 Ekonom RI Bahas Peluang & Tantangan Ekonomi Era Prabowo

    Jakarta, CNBC Indonesia- CNBC Indonesia Bersama Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Kembali menyelenggarakan Sarasehan 100 Ekonom Indonesia dengan tema “Estafet Kepemimpinan Baru Menuju Akselerasi Ekonomi”. Kegiatan ini bertujuan untuk memberikan sumbangsih pemikiran, Ide, dan gagasan terbaru yang disampaikan oleh para ekonom kepada pemerintah baru sebagai strategi atas perbaikan kondisi perekonomian saat ini dan yang akan datang.

    Seperti apa penyelenggaraan Sarasehan 100 Ekonom RI tahun 2024 ini? Selengkapnya simak sambutan Steering Committee, Eisha Maghfiruha Rachbini dalam Sarasehan 100 Ekonom Indonesia, CNBC Indonesia (Selasa, 03/12/2024)

  • INDEF minta Prabowo-Gibran beri dukungan UMKM produksi bernilai tambah

    INDEF minta Prabowo-Gibran beri dukungan UMKM produksi bernilai tambah

    Perlu dukungan fiskal bagi UMKM di sektor prioritas, misalnya UMKM pada sektor industri berbasis produksi bernilai tambah untuk mendukung hilirisasi dan berorientasi eksporJakarta (ANTARA) – Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menyatakan bahwa pemerintahan presiden dan wakil presiden terpilih Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka perlu memberikan dukungan fiskal kepada pelaku UMKM berbasis produksi bernilai tambah.

    “Perlu dukungan fiskal bagi UMKM di sektor prioritas, misalnya UMKM pada sektor industri berbasis produksi bernilai tambah untuk mendukung hilirisasi dan berorientasi ekspor,” ujar Kepala Pusat Ekonomi Digital dan UKM INDEF Eisha Maghfiruha Rachbini saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Jumat.

    Ia juga menyarankan pemerintahan mendatang untuk memberikan insentif pajak kepada UMKM sesuai kapasitas dan fase perkembangan usaha mereka untuk mendorong peningkatan produktivitas para pelaku usaha tersebut.

    Terkait rencana pembebasan pajak selama dua tahun pertama untuk UMKM yang baru berdiri dan terdaftar secara resmi seperti yang tertuang dalam Dokumen Asta Cita Prabowo-Gibran, Eisha pun menyambut baik hal tersebut.

    Menurutnya, upaya tersebut dapat menjadi insentif dalam meningkatkan formalisasi dan legalitas UMKM.

    “Banyak UMKM yang masih informal. Dengan lebih banyak lagi UMKM yang formal, maka akan meningkatkan akses pembiayaan, sumber daya, peningkatan pelatihan dan kapasitas, serta fasilitas pemerintah untuk pemberdayaan UMKM,” ucapnya.

    Selain memberikan pembebasan pajak bagi UMKM baru, Prabowo-Gibran juga berencana untuk menurunkan tarif PPh 21 agar mendorong aktivitas ekonomi dalam rangka menaikkan rasio pajak (tax ratio).

    Eisha menilai bahwa upaya tersebut dapat menjadi stimulus pertumbuhan ekonomi, terutama di tengah daya beli masyarakat yang menurun saat ini.

    “Ketika pajak yang dikenakan turun, harapannya konsumsi bisa naik, lalu mendorong pertumbuhan ekonomi,” katanya.

    Namun, ia menegaskan bahwa penerimaan negara tetap harus perlu didorong, meskipun pemerintah nantinya jadi menurunkan PPh 21 tersebut.

    Hal tersebut dikarenakan kini rasio pajak di Indonesia masih cukup rendah, yakni sekitar 10 persen, sementara pemerintahan Prabowo-Gibran menargetkan peningkatan rasio penerimaan negara terhadap produk domestik bruto (PDB) menjadi 23 persen.

    “Agar tax ratio bisa naik, maka penerimaan pajak harus ditingkatkan, salah satunya adalah masalah kepatuhan pajak. Selain itu, perlu juga diimbangi dengan upaya digitalisasi sistem pajak,” imbuhnya.

    Baca juga: Kemenkeu sosialisasikan berakhirnya tarif pajak UMKM 0,5 persen 

    Pewarta: Uyu Septiyati Liman
    Editor: Ahmad Wijaya
    Copyright © ANTARA 2024