Tag: Edward Omar Sharif Hiariej

  • Cegah Kekosongan Hukum, RUU Penyesuaian Pidana akan Akomodir Pasal Narkotika

    Cegah Kekosongan Hukum, RUU Penyesuaian Pidana akan Akomodir Pasal Narkotika

    Bisnis.com, JAKARTA – Kementerian Hukum bersama Komisi III DPR menggelar rapat membahas RUU Penyesuaian Pidana. Wakil Menteri Hukum Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy Hiariej akan memasukan pasal-pasal terkait narkotika ke RUU Penyesuaian Pidana.

    Eddy menjelaskan bahwa ada sejumlah pasal yang dicabut dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Untuk mengisi kekosongan tersebut, RUU Penyesuaian Pidana akan mengakomodir sejumlah pasal narkotika.

    “Pada saat itu kita berpikir Undang-Undang Narkotika akan selesai ternyata kan belum selesai sehingga pasal-pasal yang dicabut itu dikembalikan ke dalam KUHP,” katanya, Senin (1/12/2025).

    Dia menegaskan bahwa hal ini tidak mengubah unsur delik dan tetap sama dengan Undang-Undang Narkotika. Hanya saja, minimum khusus berubah bagi pengguna narkotika.

    Edy menyampaikan masuknya pasal-pasal narkotika ke RUU Penyesuaian Pidana menjadi ‘pintu darurat’ agar tidak terjadi kekosongan hukum. 

    Penyempurnaan secara detail, katanya, lebih lanjut tertuang dalam Undang-Undang narkotika dan psikotropika. 

    “Substansinya saja bahwa kita mengembalikan yang dalam Undang-Undang Narkotika itu masukkan ke penyesuaian pidana,” pungkasnya.

    RUU Penyesuaian Pidana direncanakan rampung sebelum masa reses berakhir atau pada bulan Desember ini. RUU ini akan berisi 3 Bab dan 9 Pasal.

  • Wamenkum Usul Aturan Batas Usia Maksimum Advokat, Ini Alasannya

    Wamenkum Usul Aturan Batas Usia Maksimum Advokat, Ini Alasannya

    Jakarta

    Wakil Menteri Hukum (Wamenkum) RI Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy Hiariej mengungkapkan telah menyetujui memasukkan revisi undang-undang advokat bersama Baleg DPR. Salah satu yang disoroti Eddy agar UU Advokat ini direvisi yakni mengenai batas usia.

    “Ini satu hal lagi bapak ibu. Mohon maaf. Harus ada batas usia untuk menjadi advokat. Mengapa saya katakan begitu? Ini mohon maaf. Saya cerita praktek di Indonesia ini. Bapak ibu bisa bayangkan, kalau mantan Hakim Agung, mantan Jaksa Agung,” kata Eddy dalam diskusi publik di Peradi Tower, Jakarta Timur, Jumat (28/11/2025).

    Eddy menyoroti, ketika ada mantan pimpinan tertinggi dari lembaga penegak hukum ketika pensiun menjadi advokat, akan menimbulkan beban bagi pihak penyidik. Dia menilai akan timbul masalah dalam proses penyidikan perkara.

    “Atau kan ada mantan Jaksa Agung jadi advokat itu kalau dia di pengadilan ketemu dengan jaksa yang kemarin sore, ya habis dia,” sambungnya.

    Eddy pun menilai penting untuk dilakukan pembatasan usia bagi profesi advokat. Dia mengatakan telah melakukan penelitian akan hal ini. Dia menyebut hasil penelitiannya menunjukkan tidak menemukan seorang pimpinan tertinggi sebuah lembaga penegak hukum menjadi advokat pasca pensiun.

    “Nah ini saya kira harus diperbaiki apa dalam usia? Untuk jadi advokat usia maksimum maksudnya. Bukan usia minimun. Bukan apa-apa kan memang tidak tidak masuk di akal itu,” ungkap Eddy.

    “Kita melakukan penelitian panjang 3 tahun 3 tahun untuk bagaimana jadi advokat bagaimana jadi polisi, bagaimana jadi jaksa dan tidak hanya di Indonesia kita melakukan perbandingan di negara lain di Belanda itu nggak mungkin orang habis jaksa terus jadi advokat nggak mungkin, justru sebaliknya,” imbuhnya.

    Halaman 2 dari 2

    (kuf/isa)

  • Peradi Gelar Diskusi Publik Sosialisasikan KUHP Baru, Otto: Tanggung Jawab Kita

    Peradi Gelar Diskusi Publik Sosialisasikan KUHP Baru, Otto: Tanggung Jawab Kita

    Jakarta

    Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) melakukan diskusi publik dan sosialisasi tentang akan berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tahun depan. Diskusi ini membahas tentang bagaimana penerapan dan dampak KUHP baru nantinya terhadap praktik advokat.

    Ketum Peradi Otto Hasibuan menjelaskan diskusi publik ini menjadi langkah konkret Peradi sebagai organisasi advokat dalam membantu pemerintah mensosialisasikan KUHP baru yang akan berlaku. Terlebih, kata Otto, saat ini dirinya juga memiliki tanggung jawab sebagai Wamenko Bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Permasyarakatan (Kumham Imipas).

    “Tentunya Peradi sebagai organ negara yang melaksanakan fungsi negara juga mempunyai kewajiban untuk mensosialisasikan KUHP dan KUHAP ini, dan itu kewajiban kita. Dan apalagi, saya sebagai wakil menteri, saya tadi diundang sebagai wakil menteri koordinator, itu merasa tanggung jawab kita,” kata Otto kepada wartawan di Peradi Tower, Jakarta Timur, Jumat (28/11/2025).

    Diskusi turut mengundang Wakil Menteri Hukum (Wamenkum) Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy Hiariej sebagai pemateri. Otto mengatakan masih ada sejumlah advokat belum mengetahui secara rinci mengenai KUHP dan KUHAP yang baru.

    “Jangankan masyarakat umum, para advokat pun dan penegak umum yang lain, belum semuanya memahami betul tentang hal itu. Karena begitu banyak pasalnya dan banyak perubahan-perubahan yang betul-betul baik Jadi inilah yang kita lakukan,” ungkap Otto.

    Otto tak menampik soal adanya protes yang muncul atas KUHP baru ini termasuk dari Peradi. Meski begitu, menuturnya, kehadiran KUHP baru telah mengedepankan mengenai hak asasi manusia (HAM).

    “Ya di sana-sini selalu ada protes, ada kritik. Kami juga dari Peradi juga ada ketidakpuasan, tetapi lebih banyak puasnya. Yang penting, KUHP dan khususnya KUHAP sudah mengedepankan tentang perlindungan kepada hak asasi manusia,” ujar Otto.

    Roadshow Sosialisasikan KUHP Baru

    Otto menyampaikan Peradi akan turut terlibat dalam upaya menyosialisasikan KUHP baru ke publik. Peradi, sebutnya, akan melakukan roadshow ke sejumlah daerah.

    “Jadi kita nanti, Peradi ini, akan road show ke daerah-daerah untuk bisa mensosialisasikan. Saya tahu sebenarnya secara formal itu adalah tanggung jawab negara, tapi seperti saya katakan tadi, Peradi ini bukan organisasi biasa, dia adalah organ negara yang melaksanakan fungsi negara walaupun dari sifatnya independen. Nah ini sosialisasi dilakukan,” kata Otto.

    Otto mengatakan KUHP baru merupakan produk monumental yang berhasil dibuat oleh bangsa Indonesia. Dia menyebut, bangsa Indonesia telah berhasil bebas dari aturan hukum yang sebelumnya dibuat oleh kolonial Belanda.

    “Kita tahu KUHP ini adalah karya monumental dari bangsa Indonesia. Karena kita sudah sekian tahun menggunakan KUHP berasal dari kolonial, sekarang terjadi dekolonisasi, berhasil kita,” ungkap Otto.

    “Nah ini harus kita sosialisasikan. Karena begini ya, ada fiksi di masyarakat, dalam hukum, setiap orang dianggap mengetahui hukum, meskipun dia tidak tahu. Jadi dianggap dia tahu, itu namanya fiksi hukum. Jadi bayangkan aja, kalau tiba-tiba KUHP ini berlaku, dia tidak tahu hukumnya, kan kaget gitu. Nah ini tugas kita bersama ini,” imbuhnya.

    Halaman 2 dari 2

    (fca/fca)

  • Wamenkum: Penyusunan Perpres dan PP Turunan KUHAP Baru Sudah 80 Persen
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        26 November 2025

    Wamenkum: Penyusunan Perpres dan PP Turunan KUHAP Baru Sudah 80 Persen Nasional 26 November 2025

    Wamenkum: Penyusunan Perpres dan PP Turunan KUHAP Baru Sudah 80 Persen
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Wakil Menteri Hukum (Wamenkum) Edward Omar Sharif Hiariej menyatakan bahwa penyusunan aturan pelaksana dari Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang baru sudah mencapai 80 persen.
    Peraturan pelaksana
    tersebut berbentuk satu peraturan presiden (Perpres) dan dua peraturan pemerintah (PP) yang ditargetkan rampung pada akhir tahun ini.

    KUHAP baru
    itu memberi perintah ada 25 item untuk selanjutnya diatur dalam Peraturan Pemerintah. Tapi bukan berarti ada 25 Peraturan Pemerintah. Nanti hanya ada tiga aturan turunan. Satu Perpres, dua PP,” ujar Edward di Gedung DPR RI, Rabu (26/11/2025).
    Dia menjelaskan bahwa Perpres yang dimaksud adalah Perpres tentang Sistem Peradilan Pidana Berbasis Teknologi Informasi.
    Pria yang akrab disapa Eddy Hiariej itu memastikan penyusunannya sudah mendekati rampung.
    “Itu sudah 80 persen tuh. Udah, udah ada,” tegasnya.
    Selain itu, lanjut Eddy, pemerintah juga tengah memfinalisasi PP tentang mekanisme
    restorative justice
    .
    Menurut Edward, rancangan regulasi tersebut sudah pernah dibahas dalam bentuk RUU dan kini diarahkan menjadi PP.
    “Itu juga sudah 80 persen karena sudah ada RUU-nya. Cuma RUU itu kita jadikan PP,” kata Eddy.
    Adapun satu PP lainnya merupakan aturan pelaksanaan KUHAP secara keseluruhan yang akan mengakomodasi ketentuan normatif yang diamanatkan undang-undang.
    Edward menekankan, pemerintah dapat mempercepat penyusunan aturan-aturan tersebut, karena sebagian norma sudah diberlakukan dalam bentuk regulasi teknis oleh lembaga penegak hukum.
    “Yang merupakan perintah KUHAP itu sudah ada di dalam Peraturan Kapolri, ada dalam Peraturan Jaksa Agung, ada dalam Peraturan Mahkamah Agung. Hanya tinggal dikompilasi. Dinaikkan ke PP,” tuturnya.
    Kendati demikian, masih ada dua materi yang belum difinalisasi dan perlu pembahasan lebih lanjut bersama aparat penegak hukum terkait.
    “Hanya ada dua materi yang sama sekali belum, belum, harus kita bahas. Yaitu adalah peraturan terkait denda damai oleh Kejaksaan, dan peraturan terkait plea bargaining. Dia hanya dua, dua substansi itu,” katanya.
    Namun, Eddy optimistis seluruh aturan pelaksana dapat diterbitkan sesuai tenggat waktu pemberlakuan KUHAP baru.
    “Jadi Insya Allah sebelum Januari 2026 sudah selesai,” pungkasnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Wamenkum Sebut RUU Penyesuaian Pidana Berisi 3 Bab, Ini Rinciannya

    Wamenkum Sebut RUU Penyesuaian Pidana Berisi 3 Bab, Ini Rinciannya

    Bisnis.com, JAKARTA — Wakil Menteri Hukum Edward Omar Sharif Hiariej menyampaikan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyesuaian Pidana akan terdiri dari 3 bab. Hal ini dia sampaikan saat rapat bersama Komisi III, Senin (21/11/2025).

    Pria yang akrab dipanggil Eddy Hiariej mengatakan, Bab I akan menjelaskan penyesuaian pidana di luar Undang-Undang KUHP yang diantaranya memuat penghapusan pidana kurungan sebagai pidana pokok. Lalu, penyesuaian kategori pidana denda dengan mengacu pada buku ke-1 KUHP.

    Lebih lanjut, menjelaskan penyelesaian ancaman pidana penjara untuk menjaga Personalitas dan menghilangkan disparitas, serta penataan ulang pidana tambahan agar sesuai dengan sistem sanksi dalam KUHP.

    “Penyesuaian dilakukan untuk memberikan satu standar pemidanaan yang konsisten secara nasional,” katanya Senin (24/11/2025).

    Pada Bab II terkait penyesuaian pidana dalam peraturan daerah. Dia menyebut, materi yang diatur dalam bab ini adalah pembatasan pidana denda yang dapat diatur dalam peraturan daerah yang paling tinggi kategori ke-3 sesuai sistem KUHP.

    Kemudian penghapusan pidana kurungan dalam seluruh peraturan daerah, dan penegasan bahwa peraturan daerah hanya dapat memuat ketentuan pidana untuk norma tertentu yang bersifat administratif dan berskala lokal.

    “Ketentuan ini menjaga proporsionalitas pemidanaan, dan mencegah over regulation,” lanjutnya.

    Pada Bab III, kata Eddy, terkait penyesuaian dan penyempurnaan KUHP, di mana akan memperbaiki kesalahan redaksional, dan teknis penulisan, penegasan ruang lingkup norma, serta harmonisasi ancaman pidana agar tidak lagi mengandung minimum khusus atau rumusan kumulatif yang tidak sesuai dengan sistem baru.

    Menurutnya, perubahan ini diperlukan untuk menjamin penetapan KUHP berjalan secara efektif dan tidak menimbulkan multitafsir.

    Dalam kesempatan yang sama, pemerintah menyerahkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) kepada Komisi III serta penetapan Panitia Kerja (Panja) yang dipimpin oleh Dede Indra Permana Soediro.

    RUU Penyesuaian Pidana akan mulai dibahas pekan ini dan ditargetkan rampung di bulan Desember.

  • DPR Kebut Pembahasan RUU Penyesuaian Pidana agar Kelar Sepekan

    DPR Kebut Pembahasan RUU Penyesuaian Pidana agar Kelar Sepekan

    DPR Kebut Pembahasan RUU Penyesuaian Pidana agar Kelar Sepekan
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Komisi III DPR RI dan pemerintah mengebut pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyesuaian Pidana agar bisa rampung dalam pekan ini.
    Wakil Ketua Komisi III
    DPR RI
    Dede Indra Permana Soediro mengatakan, hasil pembahasan yang dimulai pada Selasa (15/11/2025) besok bisa langsung disepakati pada 1 Desember 2025, dan dibawa ke rapat paripurna DPR RI pada pekan depan.
    “Tanggal 25-26 November 2025 rapat Panja RUU tentang Penyesuaian Pidana. Setelahnya, tanggal 27 November 2025 rapat Tim Perumus dan Tim Sinkronisasi RUU tentang Penyesuaian Pidana,” ujar Dede dalam rapat di Gedung DPR RI, Senin (24/11/2025).
    “Tanggal 1 Desember 2025 rapat kerja pembahasan tingkat 1 atau pengambilan keputusan atas RUU tentang Penyesuaian Pidana,” sambungnya.
    Sementara itu, Wakil Menteri Hukum
    Edward Omar Sharif Hiariej
    mengatakan, percepatan pembahasan ini untuk memastikan regulasi pelengkap Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (
    KUHP
    ) tersebut dapat selesai sebelum KUHP mulai berlaku pada 2 Januari 2026.
    “Yang jelas
    RUU Penyesuaian Pidana
    ini harus diselesaikan sebelum KUHP baru berlaku. Kalau tadi kita melihat susunan rencana kerja, pada hari Selasa dan hari Rabu akan dilakukan pembahasan. Kemudian pada hari Senin akan ada persetujuan tingkat pertama, kemudian akan masuk di Paripurna,” ujar Eddy saat ditemui di Gedung DPR RI, Senin (24/11/2025).
    Eddy meyakini bahwa pembahasan RUU ini tidak akan menghadapi persoalan substansial.
    Sebab, beleid itu hanya untuk menyesuaikan berbagai peraturan yang ada dengan ketentuan di KUHP terbaru.
    “Jadi sebetulnya tidak ada isu yang kritikal, karena ini semata-mata adalah masalah teknis. Jadi kita mengubah sekian banyak undang-undang di luar KUHP itu untuk disesuaikan dengan KUHP Nasional. Demikian juga dengan belasan ribu Peraturan Daerah yang harus disesuaikan dengan KUHP Nasional. Makasih ya,” kata Eddy.
    Pemerintah pun telah menyerahkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU Penyesuaian Pidana kepada Komisi III DPR RI.
    Dalam paparannya di ruang rapat, Eddy menjelaskan bahwa RUU tersebut terdiri atas tiga bab dan disiapkan sebagai aturan turunan dari KUHP.
    “Bapak Ibu Pimpinan dan anggota Komisi III DPR RI yang kami muliakan, secara garis besar RUU ini berisi 3 Bab. Bab I Penyesuaian Pidana dalam Undang-Undang di luar KUHP,” ucap Eddy dalam rapat kerja di Komisi III DPR RI, Senin (24/11/2025).
    Pada Bab I, pemerintah mengusulkan penghapusan pidana kurungan sebagai pidana pokok dan penyesuaian kategori pidana denda agar sesuai dengan Buku I KUHP.
    Harmonisasi tersebut dilakukan untuk memastikan keseragaman pemidanaan nasional.
    “Penyelesaian ancaman pidana penjara untuk menjaga personalitas dan menghilangkan disparitas. Penataan ulang pidana tambahan agar sesuai dengan sistem sanksi dalam KUHP. Penyesuaian dilakukan untuk memberikan satu standar pemidanaan yang konsisten secara nasional,” kata Eddy.
    Bab II RUU memuat penataan aturan pidana dalam peraturan daerah (Perda), termasuk larangan memuat kembali pidana kurungan dalam Perda.
    Pembatasan tersebut ditujukan agar regulasi pemidanaan di daerah tetap proporsional.
    “Bab II penyesuaian pidana dalam peraturan daerah. Adapun materi yang diatur: Satu, pembatasan pidana denda yang dapat diatur dalam peraturan daerah yang paling tinggi kategori ke-3 sesuai sistem KUHP. Dua, penghapusan pidana kurungan dalam seluruh peraturan daerah,” jelas Eddy.
    “Tiga, penegasan bahwa peraturan daerah hanya dapat memuat ketentuan pidana untuk norma tertentu yang bersifat administratif dan berskala lokal,” sambungnya.
    Adapun Bab III berisi penyesuaian dan penyempurnaan KUHP.
    Menurut Eddy, perubahan redaksional dan teknis penulisan diperlukan untuk menghindari multitafsir saat KUHP diberlakukan.
    “Bab III penyesuaian dan penyempurnaan KUHP. Penyesuaian terhadap UU KUHP dilakukan pada pasal-pasal yang memerlukan perbaikan redaksional dan teknis penulisan, penegasan ruang lingkup norma, dan harmonisasi ancaman pidana agar tidak lagi mengandung minimum khusus atau rumusan kumulatif yang tidak sesuai dengan sistem baru,” ujarnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Penyandang Disabilitas Mental Bebas dari Tanggung Jawab Pidana, Apakah Tepat?

    Penyandang Disabilitas Mental Bebas dari Tanggung Jawab Pidana, Apakah Tepat?

    Penyandang Disabilitas Mental Bebas dari Tanggung Jawab Pidana, Apakah Tepat?
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Pembahsaan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) membuahkan sebuah ketentuan baru, yakni pelaku tindak pidana dengan disabilitas mental atau intelektual berat tidak dapat dijatuhi pidana.
    Komisi III DPR dan pemerintah telah sepakat bahwa pelaku dengan
    disabilitas mental
    tidak dipidana, melainkan akan dilakukan
    rehabilitasi
    atau perawatan.
    “Poin ini merupakan usulan dari LBH Apik dan Koalisi Nasional Organisasi Disabilitas. Mereka mengusulkan adanya pengaturan tambahan untuk menjamin pemberian keterangan secara bebas tanpa hambatan,” oleh perwakilan Tim Perumus dan Tim Sinkronisasi
    RUU KUHAP
    , David, dalam rapat panitia kerja Komisi III dan pemerintah di Gedung DPR RI, Rabu (12/11/2025).
    Dalam draf RUU KUHAP yang dibacakan David, usulan itu dituangkan dalam Pasal 137A.
    Ayat (1) berbunyi, “Terhadap pelaku tindak
    pidana
    yang tidak dapat dimintai pertanggungjawaban karena penyandang disabilitas mental dan/atau intelektual berat sebagaimana dimaksud dalam KUHP, pengadilan dapat menetapkan tindakan berupa rehabilitasi atau perawatan.” Selanjutnya, ayat (2) mengatur bahwa tindakan tersebut ditetapkan dengan penetapan hakim dalam sidang terbuka untuk umum.
    Ayat (3) menegaskan bahwa penetapan tindakan bukan merupakan putusan pemidanaan.
    Adapun tata cara pelaksanaannya akan diatur melalui peraturan pemerintah (ayat 4).
    Tim perumus menekankan bahwa ketentuan tidak adanya pertanggungjawaban pidana bagi penyandang disabilitas mental telah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru yang bakal berlaku efektif pada 2 Januari 2026.
    “Ini mengakomodir agar penyandang disabilitas mental mendapat rehabilitasi, bukan pemidanaan. Termasuk menyesuaikan dengan ketentuan dalam KUHP,” kata David.
    Wakil Menteri Hukum Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy Hiariej menyatakan, pemerintah sependapat dengan usulan tersebut karena sesuai dengan prinsip pertanggungjawaban pidana dalam KUHP baru.
    “Mohon maaf, Pak Ketua. Jadi, dalam KUHP itu Pasal 38 dan 39 tentang pertanggungjawaban pidana memang menyebutkan bahwa bagi penyandang disabilitas mental, mereka dianggap tidak mampu bertanggung jawab,” ujar Edward.
    “Sehingga memang putusannya bukan pemidanaan, tetapi bisa merupakan suatu tindakan yang di dalamnya adalah rehabilitasi. Koalisi disabilitas juga sudah menemui kami, dan kami setuju dengan usulan dari LBH Apik ini,” ucap dia.
    Sependapat dengan Eddy, Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman menegaskan aspek
    mens rea
    atau niat jahat sebagai faktor kunci.
    Oleh sebab itu, Komisi III menilai, penyandang disabilitas mental tidak memiliki niat jahat ketika melakukan tindak pidana.
    Namun, tidak semua pihak sependapat dengan kesepakatan DPR dan pemerintah tersebut.
    Misalnya, Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS), organisasi advokasi perlindungan dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas mental (PDM) di Indonesia.
    Kepada
    Kompas.com
    , Koordinator Advokasi PJS Nena Hutahaean menilai rumusan
    revisi KUHAP
    yang menyebut penyandang disabilitas mental atau intelektual berat “tidak dapat dipidana” adalah keliru dan justru memperkuat stigma.
    “Saya menolak rumusan RKUHAP yang menyatakan penyandang disabilitas mental ‘tidak bisa dipidana’ karena formulasi tersebut menyuburkan stigma bahwa kami tidak mampu bertanggung jawab, tidak memahami salah dan benar, dan pada akhirnya dianggap layak dicabut kapasitas hukumnya,” kata Nena.
    Nena menegaskan bahwa prinsip tersebut bertentangan dengan Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD), konvensi internasional tentang hak-hak penyandang disabilitas yang diadopsi Majelis Umum PBB pada 2006.
    Indonesia sudah meratifikasi CRPD melalui UU Nomor 19 Tahun 2011.
    “Ini bertentangan dengan Pasal 12 CRPD yang menegaskan bahwa penyandang disabilitas memiliki kapasitas hukum yang sama dengan non-disabilitas dan tidak boleh dicabut dalam kondisi apa pun, termasuk dalam bahaya dan konteks pemidanaan,” ujar dia.
    Menurut Nena, pemerintah juga keliru merujuk Pasal 38 dan 39 KUHP baru.
    Dia menekankan bahwa dua pasal yang dijadikan acuan dalam rumusan Pasal 137A RUU KUHAP tidak mengatur secara eksplisit bahwa penyandang disabilitas mental tidak bisa dipidana.
    “Bahkan Pasal 38 dan 39 KUHP baru, yang dijadikan dasar usulan Pasal 137A, tidak pernah menyatakan bahwa penyandang disabilitas mental tidak dapat dipidana. Kedua pasal tersebut hanya mengatur bahwa dalam kondisi kekambuhan akut dengan gambaran psikotik, pidana dapat dikurangi dan/atau diganti dengan tindakan, yang berarti kemampuan pertanggungjawaban pidananya tetap diakui,” kata Nena.
    Dalam kesempatan ini, Nena pun menegaskan bahwa kondisi disabilitas mental bersifat episodik, bukan permanen.
    “Kekambuhan pada disabilitas mental bersifat episodik, bukan permanen, sehingga tidak dapat dijadikan dasar seseorang tidak dapat dipidana,” kata dia.
    Yang penting, kata dia, adalah menilai hubungan antara kondisi mental dan tindak pidananya.
    “Yang harus dipastikan adalah apakah tindakan dilakukan karena gambaran psikotik (adanya halusinasi atau waham) atau dalam kondisi stabil dan sadar penuh. Hal ini krusial karena menentukan ada tidaknya
    mens rea
    . Tanpa penilaian ini, pemidanaan berisiko salah sasaran dan melanggar prinsip keadilan,” ujar Nena.
    Di sisi lain, pakar hukum pidana Albert Aries menjelaskan bahwa konsep putusan berupa tindakan (
    measure
    ) harus dipahami dalam konteks
    double track system
    yang diperkenalkan KUHP baru.
    Hal ini dapat berlaku kepada penyandang disabilitas mental yang terjerat tindak pidana.
    “Putusan berupa tindakan (
    measure
    ) adalah konsekuensi dari sistem dua jalur (
    double track system
    ) yang diperkenalkan dalam KUHP Baru. Jadi selain sanksi pidana (
    punishment
    ) ada pula tindakan (
    measure
    ),” ujar Albert.
    Dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti ini menegaskan bahwa KUHP baru membedakan kondisi “tidak mampu” dan “kurang mampu” bertanggung jawab.
    “KUHP Baru sudah membedakan antara tidak mampu dan kurang mampu bertanggung jawab bagi penyandang disabilitas mental dan disabilitas intelektual sebagaimana diatur dalam Pasal 38 dan 39 KUHP Baru,” katanya.
    Dalam kondisi akut dengan gejala psikotik tertentu, kata Albert, pidana tidak dapat dijatuhkan kepada penyandang disabilitas.
    “Maka terhadap yang bersangkutan tidak dijatuhi sanksi pidana apa pun, tapi dapat dikenai tindakan misalnya berupa perawatan di lembaga tertentu atau menjalani pemulihan secara terpadu agar bisa melaksanakan fungsi sosial bermasyarakat sebagai perwujudan dari keadilan rehabilitatif,” kata dia.
    Albert menekankan bahwa untuk kondisi “kurang mampu bertanggung jawab”, pemidanaan tetap dimungkinkan dilakukan terhadap penyandang disabilitas.
    “Sedangkan bagi penyandang disabilitas mental dan disabilitas intelektual yang pada saat melakukan tindak pidana kondisinya kurang mampu bertanggung jawab, maka terhadap yang bersangkutan sanksi pidananya bisa dikurangi namun dikenai tindakan pula,” imbuh dia.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Koalisi Sipil Kritik Revisi KUHAP Tak Alami Perubahan Signifikan, Khususnya Mekanisme Penangkapan

    Koalisi Sipil Kritik Revisi KUHAP Tak Alami Perubahan Signifikan, Khususnya Mekanisme Penangkapan

    Koalisi Sipil Kritik Revisi KUHAP Tak Alami Perubahan Signifikan, Khususnya Mekanisme Penangkapan
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaharuan KUHAP menilai Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) yang akan segera disahkan DPR RI tidak mengalami perubahan signifikan.
    Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR)
    Iftitahsari
    menjelaskan, hasil revisi tersebut masih menyisakan banyak persoalan mendasar, terutama terkait mekanisme
    penangkapan dan penahanan
    .
    Bahkan, selama dua hari pembahasan terakhir antara pemerintah dan DPR, hampir tidak ada perbaikan berarti dibandingkan draf
    RUU KUHAP
    resmi yang dipublikasikan sejak beberapa bulan lalu.
    “Ya, sebetulnya dari 2 hari proses pembahasan kemarin memang tidak ada perubahan signifikan, dari yang kita suarakan dari bulan Juli yang lalu,” ujar Iftitahsari dalam konferensi pers, Minggu (16/11/2025).
    Dia mengingatkan, substansi revisi KUHAP seharusnya menjawab masalah-masalah utama dalam praktik penegakan hukum.
    Misalnya, terkait penangkapan dan penahanan yang selama ini rawan penyalahgunaan.
    “Jadi dari draft Juli dan kemudian kita melihat apa yang berubah di 2 hari itu, sebetulnya itu tidak menjawab masalah-masalah kami utamanya yang paling utama sebetulnya soal penangkapan dan penahanan,” ujarnya.
    Iftitahsari pun menyinggung aksi demonstrasi pada akhir Agustus 2025 lalu, yang masih menunjukkan persoalan dalam praktik penangkapan dan penahanan yang dinilai serampangan.
    “Kemarin di demo Agustus kan itu sangat
    clear
    bagaimana proses penangkapan dan penahanan itu sangat serampangan dan itu polisi, penyidik tidak punya kontrol dan itu kita harap bisa diselesaikan melalui draft RUU KUHAP ini,” ucapnya.
    “Tapi sayangnya dalam beberapa bulan dari Juli sampai kemarin November itu juga sama sekali tidak dibahas, dalam 2 hari pembahasan memang super singkat,” sambungnya.
    Iftitahsari menilai, DPR dan pemerintah justru hanya membahas isu-isu teknis dan superfisial tanpa dasar yang jelas dalam memilih poin-poin revisi yang dibahas.
    “Kita tidak tahu juga
    filtering
    dari poin-poin yang dibahas di 2 hari itu dasarnya apa dan kenapa itu dipilih, nah itu kita tidak tahu,” jelas Iftitahsari.
    Akibat hasil pembahasan tersebut, lanjut Iftitahsari, mekanisme
    check and balances
    dalam penangkapan dan penahanan tidak berubah sejak KUHAP diberlakukan sekitar 40 tahun lalu.
    “Padahal yang paling krusial sebetulnya di masalah penangkapan-penahanan itulah yang seharusnya kita berubah dari 40 tahun, soal penangkapan dan penahanan yang harus dibawa ke hakim,” ucapnya.
    “Jadi itu yang kita harap paling penting yang harus berubah, harusnya, tapi sayangnya itu tidak berubah,” lanjutnya.
    Dalam kesempatan yang sama, Wakil Ketua YLBHI Arif Maulana kembali menegaskan tuntutan koalisi agar pemerintah dan DPR menarik draf revisi KUHAP dari agenda paripurna.
    “Pertama, kami mendesak kepada Presiden untuk menarik draft RUU KUHAP agar tidak dilanjutkan dalam pembahasan tingkat dua sidang paripurna DPR RI,” ujar Arif.
    Dia juga meminta DPR membuka seluruh draf dan hasil pembahasan resmi, termasuk hasil Panja per 13 November 2025.
    Selain itu, koalisi mendesak pemerintah dan DPR merombak substansi revisi KUHAP dan membahas ulang arah konsep perubahan untuk memperkuat
    judicial scrutiny
    serta mekanisme
    check and balances
    .
    “Kami mendesak pemerintah dan DPR RI merombak substansi draft RUU KUHAP per 13 November 2025, dan membahas ulang arah konsep perubahan RUU KUHAP,” kata Arif.
    Koalisi juga meminta pemerintah dan DPR tidak menggunakan alasan menyesatkan publik untuk memburu-buru pengesahan revisi KUHAP.
    Sebelumnya diberitakan, pembahasan revisi KUHAP di DPR telah memasuki tahap akhir.
    Komisi III DPR RI dan pemerintah sepakat membawa RUU KUHAP ke pembicaraan tingkat II atau rapat paripurna.
    Kesepakatan itu diambil dalam rapat pleno Komisi III dan pemerintah pada Kamis (13/11/2025) di Kompleks Parlemen, Jakarta.
    “Hadirin yang kami hormati. Kami meminta persetujuan kepada anggota Komisi III dan pemerintah. Apakah naskah rancangan UU KUHAP dapat dilanjutkan dalam pembicaraan tingkat 2…? Setuju?” kata Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman.
    Seluruh peserta rapat menyatakan setuju sebelum Habiburokhman mengetuk palu.
    Ia memastikan paripurna akan digelar pekan depan.
    “Ya, minggu depan, (paripurna) yang terdekat ya,” ujarnya.
    Rapat tersebut dihadiri Mensesneg Prasetyo Hadi, Wamensesneg Bambang Eko Suhariyanto, dan Wakil Menteri Hukum Edward Omar Sharif Hiariej.
    Habiburokhman mengatakan revisi KUHAP mendesak dilakukan untuk menjawab tantangan sistem peradilan pidana modern, termasuk tuntutan transparansi, akuntabilitas, dan perlindungan kelompok rentan, mulai dari tersangka, korban, perempuan, hingga penyandang disabilitas.
    “RUU KUHAP harus memastikan setiap individu yang terlibat, baik sebagai tersangka maupun korban, tetap mendapatkan perlakuan yang adil dan setara,” ujarnya.
    Dia juga menyampaikan permohonan maaf karena tidak seluruh masukan masyarakat dapat diakomodasi.
    “Tentu kami mohon maaf bahwa tidak bisa semua masukan dari semua orang kami akomodasi di sini… Inilah realitas parlemen, kita harus saling berkompromi,” kata Habiburokhman.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Kejar Tayang Pengesahan RUU KUHAP

    Kejar Tayang Pengesahan RUU KUHAP

    Jakarta, Beritasatu.com – Komisi III DPR dan pemerintah sudah rampung membahas Revisi Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP). Dalam rapat, Kamis (13/11/2025), disepakati RUU tersebut dibawa untuk disahkan dalam sidang paripurna pada pekan depan. Namun, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP mengingatkan RUU ini masih memuat sejumlah pasal bermasalah. Presiden Prabowo Subianto diminta segera menarik kembali drafnya.

    Pembahasan RUU KUHAP sudah dimulai sejak Maret 2025 dan terus dikebut. Targetnya bisa disahkan sebelum akhir tahun agar Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku efektif pada awal 2026, bisa dijalankan. 

    “Ini memang semaksimal mungkin bisa diselesaikan pada 2025, karena KUHAP itu akan berlaku pada 2 Januari 2026,” kata Wakil Menteri Hukum Edward Omar Sharif Hiariej alias Eddy Hiariej dalam rapat panitia kerja (panja) RUU KUHAP Bersama Baleg DPR di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (13/11/2025).

    Menurutnya, mulai awal 2026, KUHP lama sudah tidak berlaku lagi. Jika RUU KUHAP tidak disahkan, maka aparat penegak hukum akan kehilangan legitimasi untuk melakukan upaya paksa.

    Pemerintah dan Komisi III DPR melanjutkan rapat panja revisi Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada Kamis, 13 November 2025. – (Beritasatu.com/Ilham Oktafian)

    Akhirnya, dalam rapat itu, seluruh peserta termasuk delapan fraksi di DPR setuju RUU KUHAP untuk dibawa ke paripurna untuk disahkan.

    “Pengesahan minggu depan, (dalam rapat paripurna) terdekat,” kata Ketua Komisi III DPR Habiburokhman.

    Politisi Partai Gerindra itu menjelaskan ada 14 substansi utama dalam RUU KUHAP yang akan dibawa ke rapat paripurna DPR. 

    Pertama, penyesuaian hukum acara pidana dengan perkembangan hukum nasional dan internasional. 

    Kedua, penyesuaian pengaturan hukum acara pidana dengan nilai-nilai KUHP baru yang menekankan orientasi restoratif, rehabilitatif, dan restitutif guna mewujudkan pemulihan keadilan substansi dan hubungan sosial antara pelaku, korban, dan masyarakat.

    Ketiga, penegasan prinsip diferensiasi fungsional dalam sistem peradilan pidana, yaitu pembagian peran yang proporsional antara penyidik, penuntut umum, hakim, advokat, dan pemimpin kemasyarakatan.

    Keempat, perbaikan pengaturan mengenai kewenangan penyelidik, penyidik, dan penuntut umum serta penguatan koordinasi antarlembaga untuk meningkatkan efektivitas dan akuntabilitas sistem peradilan pidana. 

    Kelima, penguatan hak-hak tersangka, terdakwa, korban, dan saksi, termasuk hak atas bantuan hukum, peradilan yang adil, dan perlindungan terhadap ancaman atau kekerasan.

    Keenam, penguatan peran advokat sebagai bagian integral sistem peradilan pidana, termasuk kewajiban pendampingan dan pemberian bantuan hukum cuma-cuma oleh negara.

    Ketujuh, pengaturan mekanisme keadilan restoratif (restorative justice) sebagai alternatif penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan. 

    Kedelapan, perlindungan khusus terhadap kelompok rentan, termasuk penyandang disabilitas, perempuan, anak, dan lanjut usia, disertai kewajiban aparat untuk melakukan asesmen dan menyediakan sarana pemeriksaan yang ramah. 

    Kesembilan, penguatan perlindungan penyandang disabilitas dalam setiap tahap pemeriksaan.  

    Kesepuluh, perbaikan pengaturan tentang upaya paksa dengan memperkuat perlindungan HAM dan asas due process of law, termasuk pembatasan waktu dan kontrol yudisial oleh pengadilan. 

    Kesebelas, pengenalan mekanisme hukum baru, seperti pengakuan bersalah bagi terdakwa yang kooperatif dengan imbalan keringanan hukuman serta perjanjian penundaan penuntutan bagi pelaku korporasi.

    Kedua belas, pengaturan prinsip pertanggungjawaban pidana korporasi.

    Ketiga belas, pengaturan hak kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi sebagai hak korban dan pihak yang dirugikan akibat kesalahan prosedur penegakan hukum. 

    Keempat belas, modernisasi hukum acara pidana untuk mewujudkan peradilan yang cepat, sederhana, transparan, dan akuntabel.

    Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP menilai proses pembahasan RUU KUHAP dan substansi yang diputuskan dalam rapat tersebut bermasalah.

    “Proses pembahasan tampak terburu-buru untuk mengejar pengesahan KUHAP agar dapat berlaku bersamaan dengan KUHP baru pada Januari 2026,” kata Koordinator Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP Muhammad Isnur, Jumat (14/11/2025).

    Menurutnya, Panja RUU KUHAP tidak mengakomodasi masukan-masukan yang disampaikan oleh Koalisi Masyarakat Sipil sehingga RUU KUHAP yang disetuju dibawa ke paripurna tersebut masih memuat pasal-pasal bermasalah, pasal karet, dan pasal yang menyuburkan praktik penyalahgunaan wewenang.

    Tangkapan layar draf DIM RUU KUHAP. – (Beritasatu.com/Sukarjito)

    Dia menyoroti operasi operasi undercover buy (pembelian terselubung) dan controlled delivery (pengiriman di bawah pengawasan) yang sebelumnya hanya menjadi kewenangan penyidikan kasus narkotika, tetapi dalam RUU KUHAP berpotensi bisa digunakan untuk pidana lain tanpa batas dan pengawasan hakim (Pasal 16). Kewenangan yang sangat luas ini dinilai bisa membuka peluang terjadinya penjebakan (entrapment), karena aparat dapat merekayasa siapa pelaku dalam rangka menentukan ada atau tidaknya tindak pidana pada tahap penyelidikan.

    Kemudian pada Pasal 5 RUU KUHAP, menurutnya, semua bisa saja ditangkap dan ditahan pada tahap penyelidikan meski belum terkonfirmasi tindak pidana, karena aparat diberi kewenangan melakukan itu. Padahal, dalam KUHAP yang masih berlaku, aparat tidak boleh melakukan penahanan pada tahap penyelidikan.  

    Koalisi juga menyorot pasal yang mengatur upaya paksa penangkapan dan penahanan dalam RUU KUHAP yang dinilai bisa memberi ruang kesewenang-wenangan bagi aparat tanpa melalui mekanisme pengawasan pengadilan.

    RUU KUHAP juga dinilai memberikan kewenangan kepada penyidik untuk menyadap tanpa izin hakim, sehingga semua warga negara berpotensi terkena sadap, blokir, hingga penyitaan atas penilaian subjektivitas aparat.

  • Ketua Komisi III DPR Ingatkan MA: Jangan Buat Aturan Menyimpang dari KUHAP

    Ketua Komisi III DPR Ingatkan MA: Jangan Buat Aturan Menyimpang dari KUHAP

    Liputan6.com, Jakarta – Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman mengingatkan Mahkamah Agung (MA) agar tidak membuat peraturan yang menyimpang dari ketentuan dalam Revisi Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

    Menurutnya, seluruh substansi hukum acara pidana kini sudah diatur secara komprehensif dalam revisi KUHAP, sehingga tidak lagi ada ruang bagi MA untuk menambah atau menafsirkan aturan di luar ketentuan undang-undang.

    “Besok-besok MA jangan bikin peraturan lagi yang menyimpang dari KUHAP. Jadi tidak ada celah,” tegas Habiburrokhman dalam rapat panitia kerja (Panja) KUHAP antara Komisi III DPR dan pemerintah di Gedung DPR RI, Jakarta, Kamis (13/11/2025).

    Pernyataan itu disampaikan menanggapi penjelasan Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham), Edward Omar Sharif Hiariej (Eddy Hiariej), yang memaparkan alasan dimasukkannya Pasal 113B dalam draft revisi KUHAP.

    Pasal tersebut mengatur tata cara penyitaan terhadap benda yang tidak diketahui pemiliknya, sebuah mekanisme yang sebelumnya hanya diatur melalui Peraturan Mahkamah Agung (Perma).

    “Ini kami ambil dari peraturan Mahkamah Agung yang cukup rinci mengatur terkait penyitaan terhadap benda yang pemiliknya tidak diketahui. Jadi kita mengangkat ke KUHAP dari peraturan MA,” kata Eddy Hiariej dalam rapat.

    Menanggapi hal itu, Habiburrokhman menilai langkah pemerintah mengadopsi aturan tersebut ke dalam KUHAP sudah tepat. Namun ia menegaskan, setelah revisi KUHAP disahkan, MA tidak boleh lagi membuat Perma baru yang melampaui atau bertentangan dengan undang-undang.

     

     

    Presiden Prabowo Subianto menggunakan, haknya memulihkan nama baik dua guru Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan (Sulsel) yakni Abdul Muis dan Rasnal. Mereka dijatuhi sanksi pecat dan divonis penjara satu tahun dua bulan oleh Mahkamah Agung (MA).