Tag: Eddy Hiariej

  • Cegah Kekosongan Hukum, RUU Penyesuaian Pidana akan Akomodir Pasal Narkotika

    Cegah Kekosongan Hukum, RUU Penyesuaian Pidana akan Akomodir Pasal Narkotika

    Bisnis.com, JAKARTA – Kementerian Hukum bersama Komisi III DPR menggelar rapat membahas RUU Penyesuaian Pidana. Wakil Menteri Hukum Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy Hiariej akan memasukan pasal-pasal terkait narkotika ke RUU Penyesuaian Pidana.

    Eddy menjelaskan bahwa ada sejumlah pasal yang dicabut dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Untuk mengisi kekosongan tersebut, RUU Penyesuaian Pidana akan mengakomodir sejumlah pasal narkotika.

    “Pada saat itu kita berpikir Undang-Undang Narkotika akan selesai ternyata kan belum selesai sehingga pasal-pasal yang dicabut itu dikembalikan ke dalam KUHP,” katanya, Senin (1/12/2025).

    Dia menegaskan bahwa hal ini tidak mengubah unsur delik dan tetap sama dengan Undang-Undang Narkotika. Hanya saja, minimum khusus berubah bagi pengguna narkotika.

    Edy menyampaikan masuknya pasal-pasal narkotika ke RUU Penyesuaian Pidana menjadi ‘pintu darurat’ agar tidak terjadi kekosongan hukum. 

    Penyempurnaan secara detail, katanya, lebih lanjut tertuang dalam Undang-Undang narkotika dan psikotropika. 

    “Substansinya saja bahwa kita mengembalikan yang dalam Undang-Undang Narkotika itu masukkan ke penyesuaian pidana,” pungkasnya.

    RUU Penyesuaian Pidana direncanakan rampung sebelum masa reses berakhir atau pada bulan Desember ini. RUU ini akan berisi 3 Bab dan 9 Pasal.

  • Wamenkum Usul Aturan Batas Usia Maksimum Advokat, Ini Alasannya

    Wamenkum Usul Aturan Batas Usia Maksimum Advokat, Ini Alasannya

    Jakarta

    Wakil Menteri Hukum (Wamenkum) RI Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy Hiariej mengungkapkan telah menyetujui memasukkan revisi undang-undang advokat bersama Baleg DPR. Salah satu yang disoroti Eddy agar UU Advokat ini direvisi yakni mengenai batas usia.

    “Ini satu hal lagi bapak ibu. Mohon maaf. Harus ada batas usia untuk menjadi advokat. Mengapa saya katakan begitu? Ini mohon maaf. Saya cerita praktek di Indonesia ini. Bapak ibu bisa bayangkan, kalau mantan Hakim Agung, mantan Jaksa Agung,” kata Eddy dalam diskusi publik di Peradi Tower, Jakarta Timur, Jumat (28/11/2025).

    Eddy menyoroti, ketika ada mantan pimpinan tertinggi dari lembaga penegak hukum ketika pensiun menjadi advokat, akan menimbulkan beban bagi pihak penyidik. Dia menilai akan timbul masalah dalam proses penyidikan perkara.

    “Atau kan ada mantan Jaksa Agung jadi advokat itu kalau dia di pengadilan ketemu dengan jaksa yang kemarin sore, ya habis dia,” sambungnya.

    Eddy pun menilai penting untuk dilakukan pembatasan usia bagi profesi advokat. Dia mengatakan telah melakukan penelitian akan hal ini. Dia menyebut hasil penelitiannya menunjukkan tidak menemukan seorang pimpinan tertinggi sebuah lembaga penegak hukum menjadi advokat pasca pensiun.

    “Nah ini saya kira harus diperbaiki apa dalam usia? Untuk jadi advokat usia maksimum maksudnya. Bukan usia minimun. Bukan apa-apa kan memang tidak tidak masuk di akal itu,” ungkap Eddy.

    “Kita melakukan penelitian panjang 3 tahun 3 tahun untuk bagaimana jadi advokat bagaimana jadi polisi, bagaimana jadi jaksa dan tidak hanya di Indonesia kita melakukan perbandingan di negara lain di Belanda itu nggak mungkin orang habis jaksa terus jadi advokat nggak mungkin, justru sebaliknya,” imbuhnya.

    Halaman 2 dari 2

    (kuf/isa)

  • Peradi Gelar Diskusi Publik Sosialisasikan KUHP Baru, Otto: Tanggung Jawab Kita

    Peradi Gelar Diskusi Publik Sosialisasikan KUHP Baru, Otto: Tanggung Jawab Kita

    Jakarta

    Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) melakukan diskusi publik dan sosialisasi tentang akan berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tahun depan. Diskusi ini membahas tentang bagaimana penerapan dan dampak KUHP baru nantinya terhadap praktik advokat.

    Ketum Peradi Otto Hasibuan menjelaskan diskusi publik ini menjadi langkah konkret Peradi sebagai organisasi advokat dalam membantu pemerintah mensosialisasikan KUHP baru yang akan berlaku. Terlebih, kata Otto, saat ini dirinya juga memiliki tanggung jawab sebagai Wamenko Bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Permasyarakatan (Kumham Imipas).

    “Tentunya Peradi sebagai organ negara yang melaksanakan fungsi negara juga mempunyai kewajiban untuk mensosialisasikan KUHP dan KUHAP ini, dan itu kewajiban kita. Dan apalagi, saya sebagai wakil menteri, saya tadi diundang sebagai wakil menteri koordinator, itu merasa tanggung jawab kita,” kata Otto kepada wartawan di Peradi Tower, Jakarta Timur, Jumat (28/11/2025).

    Diskusi turut mengundang Wakil Menteri Hukum (Wamenkum) Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy Hiariej sebagai pemateri. Otto mengatakan masih ada sejumlah advokat belum mengetahui secara rinci mengenai KUHP dan KUHAP yang baru.

    “Jangankan masyarakat umum, para advokat pun dan penegak umum yang lain, belum semuanya memahami betul tentang hal itu. Karena begitu banyak pasalnya dan banyak perubahan-perubahan yang betul-betul baik Jadi inilah yang kita lakukan,” ungkap Otto.

    Otto tak menampik soal adanya protes yang muncul atas KUHP baru ini termasuk dari Peradi. Meski begitu, menuturnya, kehadiran KUHP baru telah mengedepankan mengenai hak asasi manusia (HAM).

    “Ya di sana-sini selalu ada protes, ada kritik. Kami juga dari Peradi juga ada ketidakpuasan, tetapi lebih banyak puasnya. Yang penting, KUHP dan khususnya KUHAP sudah mengedepankan tentang perlindungan kepada hak asasi manusia,” ujar Otto.

    Roadshow Sosialisasikan KUHP Baru

    Otto menyampaikan Peradi akan turut terlibat dalam upaya menyosialisasikan KUHP baru ke publik. Peradi, sebutnya, akan melakukan roadshow ke sejumlah daerah.

    “Jadi kita nanti, Peradi ini, akan road show ke daerah-daerah untuk bisa mensosialisasikan. Saya tahu sebenarnya secara formal itu adalah tanggung jawab negara, tapi seperti saya katakan tadi, Peradi ini bukan organisasi biasa, dia adalah organ negara yang melaksanakan fungsi negara walaupun dari sifatnya independen. Nah ini sosialisasi dilakukan,” kata Otto.

    Otto mengatakan KUHP baru merupakan produk monumental yang berhasil dibuat oleh bangsa Indonesia. Dia menyebut, bangsa Indonesia telah berhasil bebas dari aturan hukum yang sebelumnya dibuat oleh kolonial Belanda.

    “Kita tahu KUHP ini adalah karya monumental dari bangsa Indonesia. Karena kita sudah sekian tahun menggunakan KUHP berasal dari kolonial, sekarang terjadi dekolonisasi, berhasil kita,” ungkap Otto.

    “Nah ini harus kita sosialisasikan. Karena begini ya, ada fiksi di masyarakat, dalam hukum, setiap orang dianggap mengetahui hukum, meskipun dia tidak tahu. Jadi dianggap dia tahu, itu namanya fiksi hukum. Jadi bayangkan aja, kalau tiba-tiba KUHP ini berlaku, dia tidak tahu hukumnya, kan kaget gitu. Nah ini tugas kita bersama ini,” imbuhnya.

    Halaman 2 dari 2

    (fca/fca)

  • Wamenkum Sebut RUU Penyesuaian Pidana Ubah Hukuman Kurungan jadi Denda

    Wamenkum Sebut RUU Penyesuaian Pidana Ubah Hukuman Kurungan jadi Denda

    Bisnis.com, JAKARTA — Wakil Menteri Hukum (Wamenkum) Eddy Hiariej mengungkapkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyesuaian Pidana mengatur agar pidana kurungan disesuaikan atau dikonversi menjadi pidana denda.

    Dia menjelaskan bahwa hal itu disesuaikan karena Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru sudah tidak lagi mengenal pidana kurungan. Untuk itu, menurut dia, belasan ribu peraturan daerah yang memiliki pidana kurungan dikonversi dengan pidana denda.

    “Dengan ketentuan jika Perda itu dia pidana kurungan tunggal, maka dikonversi menjadi denda,” kata Eddy dikutip dari Antara, Rabu (26/11/2025).

    Selain itu, dia mengatakan bahwa jika pidana itu pidana denda tunggal, maka pidana denda tunggal diubah berdasarkan subjek hukum.

    Dalam RUU tersebut, menurut dia, diatur juga kategori untuk denda sesuai dengan KUHP baru.

    “Jika pelakunya orang perseorangan, maka paling banyak Kategori II, berarti 10 juta. Tapi kalau pelakunya korporasi, itu diubah menjadi paling banyak Kategori V. Kategori V itu sekitar 500 juta,” kata dia.

    Selain itu, kategori denda juga bisa dikenakan didasarkan dengan keuntungan finansial. Jika pidana dilakukan perseorangan maka kategorinya lebih rendah dari pidana yang dilakukan oleh korporasi.

    Kemudian, dia menyebut jika pidana denda bersama-sama dengan pidana kurungan, berarti hal itu adalah pidana kumulasi. Untuk itu, pidana kurungan dihapus dan pidana denda disesuaikan berdasarkan ketentuan pidana denda tunggal.

    Untuk pidana penjara, dia mengatakan bahwa jika pidana penjara bersama-sama dengan pidana denda, maka ketentuan konversinya adalah pidana kumulatif diubah menjadi kumulatif alternatif.

    Saat ini, kata dia, banyak undang-undang di luar KUHP yang selalu memberikan pidana penjara dan pidana denda. Hal itu, kata dia, akan diubah dalam RUU Penyesuaian Pidana menjadi “pidana penjara dan/atau denda”.

    “Jadi memberikan kebebasan kepada hakim. Tetapi kita tidak perlu khawatir, karena di dalam KUHP baru itu ada pedoman pemidanaan,” kata dia.

  • Wamenkum: Penyusunan Perpres dan PP Turunan KUHAP Baru Sudah 80 Persen
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        26 November 2025

    Wamenkum: Penyusunan Perpres dan PP Turunan KUHAP Baru Sudah 80 Persen Nasional 26 November 2025

    Wamenkum: Penyusunan Perpres dan PP Turunan KUHAP Baru Sudah 80 Persen
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Wakil Menteri Hukum (Wamenkum) Edward Omar Sharif Hiariej menyatakan bahwa penyusunan aturan pelaksana dari Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang baru sudah mencapai 80 persen.
    Peraturan pelaksana
    tersebut berbentuk satu peraturan presiden (Perpres) dan dua peraturan pemerintah (PP) yang ditargetkan rampung pada akhir tahun ini.

    KUHAP baru
    itu memberi perintah ada 25 item untuk selanjutnya diatur dalam Peraturan Pemerintah. Tapi bukan berarti ada 25 Peraturan Pemerintah. Nanti hanya ada tiga aturan turunan. Satu Perpres, dua PP,” ujar Edward di Gedung DPR RI, Rabu (26/11/2025).
    Dia menjelaskan bahwa Perpres yang dimaksud adalah Perpres tentang Sistem Peradilan Pidana Berbasis Teknologi Informasi.
    Pria yang akrab disapa Eddy Hiariej itu memastikan penyusunannya sudah mendekati rampung.
    “Itu sudah 80 persen tuh. Udah, udah ada,” tegasnya.
    Selain itu, lanjut Eddy, pemerintah juga tengah memfinalisasi PP tentang mekanisme
    restorative justice
    .
    Menurut Edward, rancangan regulasi tersebut sudah pernah dibahas dalam bentuk RUU dan kini diarahkan menjadi PP.
    “Itu juga sudah 80 persen karena sudah ada RUU-nya. Cuma RUU itu kita jadikan PP,” kata Eddy.
    Adapun satu PP lainnya merupakan aturan pelaksanaan KUHAP secara keseluruhan yang akan mengakomodasi ketentuan normatif yang diamanatkan undang-undang.
    Edward menekankan, pemerintah dapat mempercepat penyusunan aturan-aturan tersebut, karena sebagian norma sudah diberlakukan dalam bentuk regulasi teknis oleh lembaga penegak hukum.
    “Yang merupakan perintah KUHAP itu sudah ada di dalam Peraturan Kapolri, ada dalam Peraturan Jaksa Agung, ada dalam Peraturan Mahkamah Agung. Hanya tinggal dikompilasi. Dinaikkan ke PP,” tuturnya.
    Kendati demikian, masih ada dua materi yang belum difinalisasi dan perlu pembahasan lebih lanjut bersama aparat penegak hukum terkait.
    “Hanya ada dua materi yang sama sekali belum, belum, harus kita bahas. Yaitu adalah peraturan terkait denda damai oleh Kejaksaan, dan peraturan terkait plea bargaining. Dia hanya dua, dua substansi itu,” katanya.
    Namun, Eddy optimistis seluruh aturan pelaksana dapat diterbitkan sesuai tenggat waktu pemberlakuan KUHAP baru.
    “Jadi Insya Allah sebelum Januari 2026 sudah selesai,” pungkasnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Wamenkum Sebut RUU Penyesuaian Pidana Berisi 3 Bab, Ini Rinciannya

    Wamenkum Sebut RUU Penyesuaian Pidana Berisi 3 Bab, Ini Rinciannya

    Bisnis.com, JAKARTA — Wakil Menteri Hukum Edward Omar Sharif Hiariej menyampaikan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyesuaian Pidana akan terdiri dari 3 bab. Hal ini dia sampaikan saat rapat bersama Komisi III, Senin (21/11/2025).

    Pria yang akrab dipanggil Eddy Hiariej mengatakan, Bab I akan menjelaskan penyesuaian pidana di luar Undang-Undang KUHP yang diantaranya memuat penghapusan pidana kurungan sebagai pidana pokok. Lalu, penyesuaian kategori pidana denda dengan mengacu pada buku ke-1 KUHP.

    Lebih lanjut, menjelaskan penyelesaian ancaman pidana penjara untuk menjaga Personalitas dan menghilangkan disparitas, serta penataan ulang pidana tambahan agar sesuai dengan sistem sanksi dalam KUHP.

    “Penyesuaian dilakukan untuk memberikan satu standar pemidanaan yang konsisten secara nasional,” katanya Senin (24/11/2025).

    Pada Bab II terkait penyesuaian pidana dalam peraturan daerah. Dia menyebut, materi yang diatur dalam bab ini adalah pembatasan pidana denda yang dapat diatur dalam peraturan daerah yang paling tinggi kategori ke-3 sesuai sistem KUHP.

    Kemudian penghapusan pidana kurungan dalam seluruh peraturan daerah, dan penegasan bahwa peraturan daerah hanya dapat memuat ketentuan pidana untuk norma tertentu yang bersifat administratif dan berskala lokal.

    “Ketentuan ini menjaga proporsionalitas pemidanaan, dan mencegah over regulation,” lanjutnya.

    Pada Bab III, kata Eddy, terkait penyesuaian dan penyempurnaan KUHP, di mana akan memperbaiki kesalahan redaksional, dan teknis penulisan, penegasan ruang lingkup norma, serta harmonisasi ancaman pidana agar tidak lagi mengandung minimum khusus atau rumusan kumulatif yang tidak sesuai dengan sistem baru.

    Menurutnya, perubahan ini diperlukan untuk menjamin penetapan KUHP berjalan secara efektif dan tidak menimbulkan multitafsir.

    Dalam kesempatan yang sama, pemerintah menyerahkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) kepada Komisi III serta penetapan Panitia Kerja (Panja) yang dipimpin oleh Dede Indra Permana Soediro.

    RUU Penyesuaian Pidana akan mulai dibahas pekan ini dan ditargetkan rampung di bulan Desember.

  • Komisi III DPR mulai susun RUU Penyesuaian Pidana pekan depan

    Komisi III DPR mulai susun RUU Penyesuaian Pidana pekan depan

    Jakarta (ANTARA) – Komisi III DPR RI bakal mulai menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Penyesuaian Pidana pada pekan depan guna mempersiapkan penerapan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang akan diberlakukan 2026.

    Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman mengatakan pihaknya bersama Kementerian Hukum sudah menggelar rapat secara internal pada Kamis ini untuk membahas penyusunan RUU tersebut.

    “Persiapan rapat hari Senin (24/11). Undang-Undang Penyesuaian Pidana,” kata Habiburokhman di kompleks parlemen, Jakarta, Kamis.

    Sementara itu, Wakil Menteri Hukum Eddy Hiariej yang juga turut hadir dalam rapat itu menjelaskan bahwa RUU Penyesuaian Pidana adalah perintah dari Pasal 613 KUHP. Dalam jangka waktu tiga tahun setelah disahkan, KUHP baru harus disesuaikan antara Undang-Undang lainnya, termasuk hingga peraturan daerah.

    “Harus selesai. Kalau nggak, KUHP baru nggak bisa dilaksanakan,” kata Eddy.

    Dia menjelaskan bahwa RUU Penyesuaian Pidana hanya sedikit karena terdiri dari 35 pasal yang terbagi ke dalam tiga bab.

    “Bab,m satu, penyesuaian antara UU di luar KUHP, ini mengenai ketentuan pidana. Dua, penyesuaian Perda dengan KUHP nasional. Dan yang ketiga kan di KUHP ada beberapa typo, nah itu yang kita betulin,” katanya.

    Sebelumnya, Komisi III DPR RI segera berlanjut ke pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyesuaian Pidana setelah RUU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah disetujui untuk menjadi undang-undang.

    Komisi III DPR RI pun berharap RUU itu bisa segera rampung di sisa waktu masa persidangan ini sebelum memasuki masa reses pada 10 Desember 2025.

    Pewarta: Bagus Ahmad Rizaldi
    Editor: Hisar Sitanggang
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Penyandang Disabilitas Mental Bebas dari Tanggung Jawab Pidana, Apakah Tepat?

    Penyandang Disabilitas Mental Bebas dari Tanggung Jawab Pidana, Apakah Tepat?

    Penyandang Disabilitas Mental Bebas dari Tanggung Jawab Pidana, Apakah Tepat?
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Pembahsaan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) membuahkan sebuah ketentuan baru, yakni pelaku tindak pidana dengan disabilitas mental atau intelektual berat tidak dapat dijatuhi pidana.
    Komisi III DPR dan pemerintah telah sepakat bahwa pelaku dengan
    disabilitas mental
    tidak dipidana, melainkan akan dilakukan
    rehabilitasi
    atau perawatan.
    “Poin ini merupakan usulan dari LBH Apik dan Koalisi Nasional Organisasi Disabilitas. Mereka mengusulkan adanya pengaturan tambahan untuk menjamin pemberian keterangan secara bebas tanpa hambatan,” oleh perwakilan Tim Perumus dan Tim Sinkronisasi
    RUU KUHAP
    , David, dalam rapat panitia kerja Komisi III dan pemerintah di Gedung DPR RI, Rabu (12/11/2025).
    Dalam draf RUU KUHAP yang dibacakan David, usulan itu dituangkan dalam Pasal 137A.
    Ayat (1) berbunyi, “Terhadap pelaku tindak
    pidana
    yang tidak dapat dimintai pertanggungjawaban karena penyandang disabilitas mental dan/atau intelektual berat sebagaimana dimaksud dalam KUHP, pengadilan dapat menetapkan tindakan berupa rehabilitasi atau perawatan.” Selanjutnya, ayat (2) mengatur bahwa tindakan tersebut ditetapkan dengan penetapan hakim dalam sidang terbuka untuk umum.
    Ayat (3) menegaskan bahwa penetapan tindakan bukan merupakan putusan pemidanaan.
    Adapun tata cara pelaksanaannya akan diatur melalui peraturan pemerintah (ayat 4).
    Tim perumus menekankan bahwa ketentuan tidak adanya pertanggungjawaban pidana bagi penyandang disabilitas mental telah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru yang bakal berlaku efektif pada 2 Januari 2026.
    “Ini mengakomodir agar penyandang disabilitas mental mendapat rehabilitasi, bukan pemidanaan. Termasuk menyesuaikan dengan ketentuan dalam KUHP,” kata David.
    Wakil Menteri Hukum Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy Hiariej menyatakan, pemerintah sependapat dengan usulan tersebut karena sesuai dengan prinsip pertanggungjawaban pidana dalam KUHP baru.
    “Mohon maaf, Pak Ketua. Jadi, dalam KUHP itu Pasal 38 dan 39 tentang pertanggungjawaban pidana memang menyebutkan bahwa bagi penyandang disabilitas mental, mereka dianggap tidak mampu bertanggung jawab,” ujar Edward.
    “Sehingga memang putusannya bukan pemidanaan, tetapi bisa merupakan suatu tindakan yang di dalamnya adalah rehabilitasi. Koalisi disabilitas juga sudah menemui kami, dan kami setuju dengan usulan dari LBH Apik ini,” ucap dia.
    Sependapat dengan Eddy, Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman menegaskan aspek
    mens rea
    atau niat jahat sebagai faktor kunci.
    Oleh sebab itu, Komisi III menilai, penyandang disabilitas mental tidak memiliki niat jahat ketika melakukan tindak pidana.
    Namun, tidak semua pihak sependapat dengan kesepakatan DPR dan pemerintah tersebut.
    Misalnya, Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS), organisasi advokasi perlindungan dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas mental (PDM) di Indonesia.
    Kepada
    Kompas.com
    , Koordinator Advokasi PJS Nena Hutahaean menilai rumusan
    revisi KUHAP
    yang menyebut penyandang disabilitas mental atau intelektual berat “tidak dapat dipidana” adalah keliru dan justru memperkuat stigma.
    “Saya menolak rumusan RKUHAP yang menyatakan penyandang disabilitas mental ‘tidak bisa dipidana’ karena formulasi tersebut menyuburkan stigma bahwa kami tidak mampu bertanggung jawab, tidak memahami salah dan benar, dan pada akhirnya dianggap layak dicabut kapasitas hukumnya,” kata Nena.
    Nena menegaskan bahwa prinsip tersebut bertentangan dengan Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD), konvensi internasional tentang hak-hak penyandang disabilitas yang diadopsi Majelis Umum PBB pada 2006.
    Indonesia sudah meratifikasi CRPD melalui UU Nomor 19 Tahun 2011.
    “Ini bertentangan dengan Pasal 12 CRPD yang menegaskan bahwa penyandang disabilitas memiliki kapasitas hukum yang sama dengan non-disabilitas dan tidak boleh dicabut dalam kondisi apa pun, termasuk dalam bahaya dan konteks pemidanaan,” ujar dia.
    Menurut Nena, pemerintah juga keliru merujuk Pasal 38 dan 39 KUHP baru.
    Dia menekankan bahwa dua pasal yang dijadikan acuan dalam rumusan Pasal 137A RUU KUHAP tidak mengatur secara eksplisit bahwa penyandang disabilitas mental tidak bisa dipidana.
    “Bahkan Pasal 38 dan 39 KUHP baru, yang dijadikan dasar usulan Pasal 137A, tidak pernah menyatakan bahwa penyandang disabilitas mental tidak dapat dipidana. Kedua pasal tersebut hanya mengatur bahwa dalam kondisi kekambuhan akut dengan gambaran psikotik, pidana dapat dikurangi dan/atau diganti dengan tindakan, yang berarti kemampuan pertanggungjawaban pidananya tetap diakui,” kata Nena.
    Dalam kesempatan ini, Nena pun menegaskan bahwa kondisi disabilitas mental bersifat episodik, bukan permanen.
    “Kekambuhan pada disabilitas mental bersifat episodik, bukan permanen, sehingga tidak dapat dijadikan dasar seseorang tidak dapat dipidana,” kata dia.
    Yang penting, kata dia, adalah menilai hubungan antara kondisi mental dan tindak pidananya.
    “Yang harus dipastikan adalah apakah tindakan dilakukan karena gambaran psikotik (adanya halusinasi atau waham) atau dalam kondisi stabil dan sadar penuh. Hal ini krusial karena menentukan ada tidaknya
    mens rea
    . Tanpa penilaian ini, pemidanaan berisiko salah sasaran dan melanggar prinsip keadilan,” ujar Nena.
    Di sisi lain, pakar hukum pidana Albert Aries menjelaskan bahwa konsep putusan berupa tindakan (
    measure
    ) harus dipahami dalam konteks
    double track system
    yang diperkenalkan KUHP baru.
    Hal ini dapat berlaku kepada penyandang disabilitas mental yang terjerat tindak pidana.
    “Putusan berupa tindakan (
    measure
    ) adalah konsekuensi dari sistem dua jalur (
    double track system
    ) yang diperkenalkan dalam KUHP Baru. Jadi selain sanksi pidana (
    punishment
    ) ada pula tindakan (
    measure
    ),” ujar Albert.
    Dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti ini menegaskan bahwa KUHP baru membedakan kondisi “tidak mampu” dan “kurang mampu” bertanggung jawab.
    “KUHP Baru sudah membedakan antara tidak mampu dan kurang mampu bertanggung jawab bagi penyandang disabilitas mental dan disabilitas intelektual sebagaimana diatur dalam Pasal 38 dan 39 KUHP Baru,” katanya.
    Dalam kondisi akut dengan gejala psikotik tertentu, kata Albert, pidana tidak dapat dijatuhkan kepada penyandang disabilitas.
    “Maka terhadap yang bersangkutan tidak dijatuhi sanksi pidana apa pun, tapi dapat dikenai tindakan misalnya berupa perawatan di lembaga tertentu atau menjalani pemulihan secara terpadu agar bisa melaksanakan fungsi sosial bermasyarakat sebagai perwujudan dari keadilan rehabilitatif,” kata dia.
    Albert menekankan bahwa untuk kondisi “kurang mampu bertanggung jawab”, pemidanaan tetap dimungkinkan dilakukan terhadap penyandang disabilitas.
    “Sedangkan bagi penyandang disabilitas mental dan disabilitas intelektual yang pada saat melakukan tindak pidana kondisinya kurang mampu bertanggung jawab, maka terhadap yang bersangkutan sanksi pidananya bisa dikurangi namun dikenai tindakan pula,” imbuh dia.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Kejar Tayang Pengesahan RUU KUHAP

    Kejar Tayang Pengesahan RUU KUHAP

    Jakarta, Beritasatu.com – Komisi III DPR dan pemerintah sudah rampung membahas Revisi Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP). Dalam rapat, Kamis (13/11/2025), disepakati RUU tersebut dibawa untuk disahkan dalam sidang paripurna pada pekan depan. Namun, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP mengingatkan RUU ini masih memuat sejumlah pasal bermasalah. Presiden Prabowo Subianto diminta segera menarik kembali drafnya.

    Pembahasan RUU KUHAP sudah dimulai sejak Maret 2025 dan terus dikebut. Targetnya bisa disahkan sebelum akhir tahun agar Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku efektif pada awal 2026, bisa dijalankan. 

    “Ini memang semaksimal mungkin bisa diselesaikan pada 2025, karena KUHAP itu akan berlaku pada 2 Januari 2026,” kata Wakil Menteri Hukum Edward Omar Sharif Hiariej alias Eddy Hiariej dalam rapat panitia kerja (panja) RUU KUHAP Bersama Baleg DPR di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (13/11/2025).

    Menurutnya, mulai awal 2026, KUHP lama sudah tidak berlaku lagi. Jika RUU KUHAP tidak disahkan, maka aparat penegak hukum akan kehilangan legitimasi untuk melakukan upaya paksa.

    Pemerintah dan Komisi III DPR melanjutkan rapat panja revisi Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada Kamis, 13 November 2025. – (Beritasatu.com/Ilham Oktafian)

    Akhirnya, dalam rapat itu, seluruh peserta termasuk delapan fraksi di DPR setuju RUU KUHAP untuk dibawa ke paripurna untuk disahkan.

    “Pengesahan minggu depan, (dalam rapat paripurna) terdekat,” kata Ketua Komisi III DPR Habiburokhman.

    Politisi Partai Gerindra itu menjelaskan ada 14 substansi utama dalam RUU KUHAP yang akan dibawa ke rapat paripurna DPR. 

    Pertama, penyesuaian hukum acara pidana dengan perkembangan hukum nasional dan internasional. 

    Kedua, penyesuaian pengaturan hukum acara pidana dengan nilai-nilai KUHP baru yang menekankan orientasi restoratif, rehabilitatif, dan restitutif guna mewujudkan pemulihan keadilan substansi dan hubungan sosial antara pelaku, korban, dan masyarakat.

    Ketiga, penegasan prinsip diferensiasi fungsional dalam sistem peradilan pidana, yaitu pembagian peran yang proporsional antara penyidik, penuntut umum, hakim, advokat, dan pemimpin kemasyarakatan.

    Keempat, perbaikan pengaturan mengenai kewenangan penyelidik, penyidik, dan penuntut umum serta penguatan koordinasi antarlembaga untuk meningkatkan efektivitas dan akuntabilitas sistem peradilan pidana. 

    Kelima, penguatan hak-hak tersangka, terdakwa, korban, dan saksi, termasuk hak atas bantuan hukum, peradilan yang adil, dan perlindungan terhadap ancaman atau kekerasan.

    Keenam, penguatan peran advokat sebagai bagian integral sistem peradilan pidana, termasuk kewajiban pendampingan dan pemberian bantuan hukum cuma-cuma oleh negara.

    Ketujuh, pengaturan mekanisme keadilan restoratif (restorative justice) sebagai alternatif penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan. 

    Kedelapan, perlindungan khusus terhadap kelompok rentan, termasuk penyandang disabilitas, perempuan, anak, dan lanjut usia, disertai kewajiban aparat untuk melakukan asesmen dan menyediakan sarana pemeriksaan yang ramah. 

    Kesembilan, penguatan perlindungan penyandang disabilitas dalam setiap tahap pemeriksaan.  

    Kesepuluh, perbaikan pengaturan tentang upaya paksa dengan memperkuat perlindungan HAM dan asas due process of law, termasuk pembatasan waktu dan kontrol yudisial oleh pengadilan. 

    Kesebelas, pengenalan mekanisme hukum baru, seperti pengakuan bersalah bagi terdakwa yang kooperatif dengan imbalan keringanan hukuman serta perjanjian penundaan penuntutan bagi pelaku korporasi.

    Kedua belas, pengaturan prinsip pertanggungjawaban pidana korporasi.

    Ketiga belas, pengaturan hak kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi sebagai hak korban dan pihak yang dirugikan akibat kesalahan prosedur penegakan hukum. 

    Keempat belas, modernisasi hukum acara pidana untuk mewujudkan peradilan yang cepat, sederhana, transparan, dan akuntabel.

    Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP menilai proses pembahasan RUU KUHAP dan substansi yang diputuskan dalam rapat tersebut bermasalah.

    “Proses pembahasan tampak terburu-buru untuk mengejar pengesahan KUHAP agar dapat berlaku bersamaan dengan KUHP baru pada Januari 2026,” kata Koordinator Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP Muhammad Isnur, Jumat (14/11/2025).

    Menurutnya, Panja RUU KUHAP tidak mengakomodasi masukan-masukan yang disampaikan oleh Koalisi Masyarakat Sipil sehingga RUU KUHAP yang disetuju dibawa ke paripurna tersebut masih memuat pasal-pasal bermasalah, pasal karet, dan pasal yang menyuburkan praktik penyalahgunaan wewenang.

    Tangkapan layar draf DIM RUU KUHAP. – (Beritasatu.com/Sukarjito)

    Dia menyoroti operasi operasi undercover buy (pembelian terselubung) dan controlled delivery (pengiriman di bawah pengawasan) yang sebelumnya hanya menjadi kewenangan penyidikan kasus narkotika, tetapi dalam RUU KUHAP berpotensi bisa digunakan untuk pidana lain tanpa batas dan pengawasan hakim (Pasal 16). Kewenangan yang sangat luas ini dinilai bisa membuka peluang terjadinya penjebakan (entrapment), karena aparat dapat merekayasa siapa pelaku dalam rangka menentukan ada atau tidaknya tindak pidana pada tahap penyelidikan.

    Kemudian pada Pasal 5 RUU KUHAP, menurutnya, semua bisa saja ditangkap dan ditahan pada tahap penyelidikan meski belum terkonfirmasi tindak pidana, karena aparat diberi kewenangan melakukan itu. Padahal, dalam KUHAP yang masih berlaku, aparat tidak boleh melakukan penahanan pada tahap penyelidikan.  

    Koalisi juga menyorot pasal yang mengatur upaya paksa penangkapan dan penahanan dalam RUU KUHAP yang dinilai bisa memberi ruang kesewenang-wenangan bagi aparat tanpa melalui mekanisme pengawasan pengadilan.

    RUU KUHAP juga dinilai memberikan kewenangan kepada penyidik untuk menyadap tanpa izin hakim, sehingga semua warga negara berpotensi terkena sadap, blokir, hingga penyitaan atas penilaian subjektivitas aparat.

  • Kemarin, rangkap jabatan Polri hingga sengketa pertanahan daerah

    Kemarin, rangkap jabatan Polri hingga sengketa pertanahan daerah

    Jakarta (ANTARA) – Beragam berita hukum telah diwartakan Kantor Berita Antara. Berikut kami rangkum lima berita politik terpopuler kemarin yang layak dibaca kembali sebagai sumber informasi untuk mengawali pagi Anda.

    Dasco: DPR segera kaji putusan MK soal Polri mundur dari jabatan sipil

    Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad memastikan bahwa DPR RI segera mengkaji putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal anggota Polri yang harus mundur atau pensiun dini jika ingin duduk di jabatan sipil.

    Secara pribadi, dia mengatakan baru akan mempelajari putusan tersebut. Secara kebetulan, dia pun bertemu dengan Wakil Menteri Hukum Eddy Hiariej di kompleks parlemen.

    “Saya baru mau pelajari, kebetulan ada Wakil Menteri Hukum. Jadi, secara jelasnya di pertimbangan dan lain-lain kita masih pelajari,” kata Dasco di kompleks parlemen, Jakarta, Kamis.

    Selengkapnya klik di sini.

    Pemkot Surabaya terima penyerahan aset waduk senilai Rp176 miliar

    Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya menerima penyerahan aset berupa waduk seluas 21.832 meter persegi dari Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Timur senilai Rp176 miliar di Surabaya, Kamis.

    Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi di Surabaya mengatakan selama bertahun-tahun waduk yang berada di depan Kampus UNESA, Lidah Wetan itu, tidak bisa dikelola oleh Pemkot Surabaya karena status kepemilikannya dikuasai pihak lain.

    “Yang namanya waduk yang bertahun-tahun tidak bisa kita apa-apakan karena ini menjadi milik orang lain. Alhamdulillah berkat Kejaksaan Tinggi Jawa Timur maka waduk ini menjadi milik Pemerintah Kota Surabaya kembali,” ujar Wali Kota Eri Cahyadi.

    Selengkapnya klik di sini.

    Komisi III DPR setujui RUU KUHAP rampung dibawa ke rapat paripurna

    Komisi III DPR RI menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang telah rampung dibahas untuk dibawa ke tingkat rapat paripurna.

    “Kami meminta persetujuan kepada anggota Komisi III dan pemerintah apakah naskah RUU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dapat dilanjutkan pada pembicaraan tingkat II yaitu pengambilan keputusan atas RUU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang akan dijadwalkan pada rapat paripurna DPR RI terdekat, setuju?,” kata Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman yang dijawab setuju oleh para Anggota DPR RI yang hadir di kompleks parlemen, Jakarta, Kamis.

    Selengkapnya klik di sini.

    Komisi II DPR apresiasi langkah Presiden rehabilitasi guru di Luwu Utara

    Anggota Komisi II DPR RI Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Indrajaya, mengapresiasi langkah Presiden Prabowo Subianto atas keputusan merehabilitasi dua guru SMA di Luwu Utara, Sulawesi Selatan, Abdul Muis dan Rasnal yang sebelumnya diberhentikan dari status Aparatur Sipil Negara (ASN).

    “Presiden telah menunjukkan keberpihakannya kepada para guru yang bekerja dengan tulus demi kemajuan pendidikan bangsa,” ujar Indrajaya dalam siaran pers yang diterima ANTARA di Jakarta, Kamis

    Selengkapnya klik di sini.

    Kemendagri fasilitasi daerah tangani sengketa dan konflik pertanahan

    Direktorat Jenderal (Ditjen) Bina Administrasi Kewilayahan (Adwil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) akan memfasilitasi pemerintah daerah (Pemda) dalam penyelesaian permasalahan dan sengketa pertanahan.

    Direktur Kawasan, Perkotaan, dan Batas Negara Ditjen Bina Adwil Amran mengatakan Kemendagri berperan memfasilitasi penyelesaian permasalahan tersebut, sementara upaya penyelesaiannya menjadi kewenangan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN).

    “Perlu diingat bahwa kami bukan yang menyelesaikan permasalahan (pertanahan), tetapi yang memfasilitasi, sama juga dengan teman-teman pemerintah daerah,” kata Amran dalam keterangannya di Jakarta, Kamis.

    Selengkapnya klik di sini.

    Pewarta: Fianda Sjofjan Rassat
    Editor: Hisar Sitanggang
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.