Tag: Doni Monardo

  • Bencana Banjir Sumatra, Netizen Kangen Sutopo, Doni Monardo, dan Yurianto

    Bencana Banjir Sumatra, Netizen Kangen Sutopo, Doni Monardo, dan Yurianto

    Jakarta

    Banjir bandang dan longsor yang melanda Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Aceh sejak akhir November 2025 memicu gelombang keprihatinan publik. Di tengah duka lebih dari 200 korban jiwa dan hampir 300 ribu warga terdampak, jagat maya justru dipenuhi nostalgia. Netizen merindukan sosok-sosok BNPB era sebelumnya, seperti almarhum Sutopo Purwo Nugroho, Letjen (Purn) Doni Monardo, dan dr. Ahmad Yurianto.

    Kerinduan ini memuncak setelah pernyataan kontroversial Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto pada 28 November 2025. Dalam konferensi pers, ia menyebut banjir Sumatra ‘terlihat mencekam di media sosial’, dan belum layak ditetapkan sebagai bencana nasional. Pernyataan tersebut menuai kritik keras, apalagi ketika data BNPB menunjukkan 217 korban meninggal, 79 hilang, serta akses yang sulit dijangkau.

    Keesokan harinya, Suharyanto turun langsung ke Desa Aek Garoga, Tapanuli Selatan, dan menangis ketika melihat kerusakan hebat. Ia meminta maaf kepada Bupati Gus Irawan Pasaribu, mengakui bahwa situasi lapangan jauh lebih parah dari laporan awal. Meski begitu, permintaan maaf tersebut tidak sepenuhnya meredakan kemarahan publik.

    Kenang SutopoSutopo Purwo Nugroho Foto: Twitter dan Instagram Sutopo Purwo Nugroho

    Sejak 29 November,lini masa X dipenuhi tagar #PrayForSumatera dan unggahan rindu pada sosok alm Sutopo Purwo Nugroho. Sutopo yang wafat pada 2019 setelah berjuang melawan kanker paru-paru, dikenal sebagai ‘pahlawan informasi BNPB’. Meski sakit parah, ia rutin menggelar konferensi pers harian, meluruskan hoaks, dan memberikan data akurat soal gempa, tsunami, hingga erupsi gunung.

    Akun @SBKCF mengenang, “Wah banyak yg kangen sama pak @Sutopo_PN nih sama sy juga, setiap ada peristiwa bencana alam, langsung inget sama bapak.”

    “Saat bencana gini, keinget Beliau. Dulu waktu Beliau menjabat sebagai Kepala BNPB, informasinya selalu akurat dan tersampaikan dengan baik ke masyarakat. Alfatihah buat Pak Sutopo Purwo Nugroho,” ujar @irenejuliency.

    Kenang Doni MonardoDoni Munardo di Maumere NTT Foto: Doni Munardo di Maumere (dok. BNPB)

    Nama alm Letjen Doni Monardo, Kepala BNPB periode 2019-2021, juga sering disebut. “Putra asli Batusangkar, Sumbar, yg tidak pernah ‘asal ngomong’ tentang bencana, tegas, dan selalu berkerja keras”, ujar akun @s4br1na.

    Doni yang wafat pada 2023 akibat stroke, dikenang karena respons cepat dan cekatannya dalam berbagai situasi genting, antara lain saat gempa Cianjur 2022 dan banjir besar di Jawa. Ia sering turun langsung ke lokasi, berkoordinasi dengan TNI-Polri, dan memastikan logistik sampai ke korban.

    “Alm Bp Sutopo, alm Letjen Doni Monardo. Kangen dgn statementnya yg lembut dan menenangkan para korban musibah,” kata @are_inismyname.

    Kenang Ahmad YuriantoJuru Bicara Penanganan COVID-19 Achmad Yurianto (dok. BNPB) Foto: Juru Bicara Penanganan COVID-19 Achmad Yurianto (dok. BNPB)

    Tak ketinggalan, netizen juga mengenang mendiang dr. Ahmad Yurianto, juru bicara Covid-19 yang juga bagian BNPB. Netizen dengan akun @shura_ni menulis, “Juga almarhum pak Ahmad Yurianto, yang selama Covid selalu kasih update. Saya tahu banyak soal BNPB ya karena beliau2 ini. Al Fatihah buat pak Sutopo, pak Doni Monardo dan pak Ahmad Yurianto.”

    Yurianto, wafat pada 2022 karena kanker. Ia dikenal dengan konferensi pers rutinnya yang tenang, jelas, serta faktual. Ia menjadi ‘wajah’ pemerintah saat pandemi, dengan data kasus harian yang transparan.

    @Amelianovtrii mengenang, “Jadi inget alm Bapak Sutopo… Statement beliau juga gak asbun, kalo ada statement2 yg gak bener beliau jg langsung meluruskan.”

    Banyak netizen yang berharap BNPB punya juru bicara sekaliber ini lagi.

    (afr/afr)

  • Kasus APD Covid-19: Eks Pejabat Kemenkes Divonis 3 Tahun Bui dan Pengusaha 11 Tahun

    Kasus APD Covid-19: Eks Pejabat Kemenkes Divonis 3 Tahun Bui dan Pengusaha 11 Tahun

    Bisnis.com, JAKARTA — Tiga orang terdakwa kasus korupsi pengadaan alat pelindung diri (APD) Covid-19 di Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dinyatakan bersalah dan divonis hukuman pidana penjara. 

    Ketua Majelis Hakim Syofia Marlianti mengatakan salah satu dari tiga orang terdakwa itu yakni mantan Kepala Pusat Krisis Kesehatan Kemenkes, sekaligus Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) proyek APD, Budi Sylvana. Dua terdakwa lainnya adalah pengusaha yang menggarap proyek pengadaan APD sebanyak 5 juta set yakni Direktur Utama PT Energi Kita Indonesia (EKI) Satrio Wibowo, serta Direktur Utama PT Permana Putra Mandiri (PPM), Ahmad Taufik. 

    Terdakwa Budi mendapatkan hukuman yang jauh lebih ringan dari dua orang pengusaha itu yakni pidana penjara selama tiga tahun dan denda sebesar Rp100 juta subsidair kurungan 2 bulan.

    “Menyatakan Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama sehingga melanggar Pasal 3 juncto Pasal 16 Undang-Undang (UU) No.31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU No.20/2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, sebagaimana dakwaan alternatif kedua,” ujarnya di Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat, Kamis (5/6/2025). 

    Sementara itu, kedua pengusaha yang menggarap proyek APD selama pandemi Covid-19 dengan total 5 juta set itu mendapatkan masing-masing sekitar 11 tahun. 

    Bagi terdakwa Satrio, pengusaha itu dijatuhi vonis 11 tahun penjara dan 6 bulan, serta denda Rp1 miliar subsidair 4 bulan kurungan. Dia juga diminta untuk membayar uang pengganti Rp59,98 miliar subsidair 3 tahun penjara. 

    Sementara itu, terdakwa Taufik dijatuhi vonis 11 tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsidair 4 bulan kurungan. Uang pengganti yang diminta oleh Pengadilan untuk dibayar Taufik jauh lebih tinggi yakni Rp224,18 miliar subsidair 4 tahun penjara. 

    Keduanya terbukti menyebabkan kerugian keuangan negara sekitar Rp319 miliar sebagaimana audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). 

    “Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, sebagaimana dakwaan alternatif pertama,” terang Hakim Ketua. 

    Apabila dibandingkan dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), maka vonis kepada ketiga terdakwa lebih ringan dari tuntutan. Budi awalnya dituntut 4 tahun penjara, sedangkan Satrio 14 tahun dan 10 bulan penjara serta Taufik 14 tahun dan 4 bulan penjara. 

    Adapun pidana uang pengganti yang dijatuhkan kepada Satrio dan Taufik sama besarannya sebagaimana yang dituntut oleh JPU KPK. 

    Berdasarkan catatan Bisnis, anggaran yang digunakan untuk pengadaan APD itu berasal dari Dana Siap Pakai (DSP) milik Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Penyidik KPK pun mengendus dugaan penggelembungan harga pengadaan APD atau mark-up.

    Kasus dugaan korupsi itu bermula ketika pemerintah berupaya untuk memenuhi kebutuhan APD saat awal pandemi Covid-19 sekitar empat tahun lalu. Pengadaan dilakukan dengan turut melibatkan aparat seperti TNI dan Polri.  

    Bahkan, APD itu langsung diambil oleh TNI dari Kawasan Berikat berdasarkan instruksi Kepala BNBP yang saat itu memimpin Gugus Tugas Covid-19. Dia tidak lain dari Letjen TNI Doni Monardo, yang kini sudah meninggal dunia.  

    APD lalu diambil aparat pada 21 Maret 2020 untuk disebar ke 10 provinsi. Namun, pengambilan dilakukan tanpa kelengkapan dokumentasi, bukti pendukung, serta surat pemesananan.

  • Sumur Artesis Dinilai sebagai Solusi Menghadapi Kekeringan Sumber Air Bersih – Halaman all

    Sumur Artesis Dinilai sebagai Solusi Menghadapi Kekeringan Sumber Air Bersih – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Setiap tetes air bersih kini menjadi harapan baru bagi warga Kampung Kagungan, Kelurahan Gerem, Kecamatan Grogol, Kota Cilegon. Setelah bertahun-tahun hidup dengan distribusi air bersih yang tak menentu, kini mereka bisa menarik napas lega.

    Sebuah sumur artesis sedalam 100 meter telah dibangun dan mulai mengalirkan air bersih ke rumah-rumah mereka.

    Sumur artesis bukanlah sumur biasa. Ia menembus lapisan batuan keras hingga mencapai akuifer dalam tanah, tempat air bawah tanah terkumpul dalam tekanan tinggi.

    Berbeda dengan sumur dangkal yang kerap mengering saat musim kemarau, sumur artesis mampu menyemburkan air secara alami, bahkan tanpa pompa. Itulah sebabnya teknologi ini sangat dibutuhkan di wilayah-wilayah dengan kondisi geologis sulit seperti di Kampung Kagungan, yang berbukit dan berbatu.

    “Selama ini kami hanya mendapat giliran air dua hari sekali. Kalau telat, ya harus menunggu besok lusa,” ujar Rosmiati (48), warga setempat, dalam keterangannya, Kamis (17/4/2025).

    Dia mengaku kadang harus menampung air hujan atau mengambil air sejauh beberapa kilometer saat distribusi air tak kunjung datang. Bahkan untuk kebutuhan mendasar seperti mandi dan bersuci, warga kerap harus berbagi air dengan tetangga.

    Kondisi ini berubah pada Agustus 2024 lalu. Memperingati Hari Ulang Tahun ke-54, Krakatau Steel menghadirkan program Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) dengan membangun sumur artesis di wilayah tersebut. Proyek ini merupakan hasil kolaborasi dengan Bank Negara Indonesia (Persero) dan Kodim 0623 Cilegon melalui program TNI Manunggal Masuk Desa (TMMD).

    Air bersih adalah kebutuhan paling mendasar. Melalui kolaborasi ini, dan manajemen perusahaan berharap dapat menghadirkan solusi nyata dan berkelanjutan untuk masyarakat.

    Tantangan Geologis

    Kampung Kagungan memiliki topografi yang menantang: perbukitan, lapisan batu keras, serta letak perumahan warga yang terpencar. Pengeboran biasa sering kali gagal karena air tanah tidak cukup atau bor tidak mampu menembus batuan keras.

    Menurut keterangan dari tim teknis TMMD, pengeboran sumur artesis di lokasi ini membutuhkan waktu hampir dua minggu, melibatkan alat berat, dan pengujian sumber air secara menyeluruh.

    “Biaya pengeboran sumur seperti ini bisa mencapai ratusan juta rupiah jika dilakukan sendiri. Karenanya, bantuan dari Krakatau Steel sangat berarti bagi kami,” ujar Ketua RW setempat, Ahmad Subkhi.

    Air dari sumur artesis kini telah dialirkan melalui jaringan pipa ke beberapa titik penampungan umum. Warga bisa mengambil air setiap saat, dan bahkan telah mulai membuat sistem distribusi ke rumah-rumah dengan dana swadaya.

    Bagi perusahaan baja milik negara ini program ini merupakan wujud dari komitmen terhadap Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB), terutama poin ke-6: akses air bersih dan sanitasi untuk semua. Tak hanya di Cilegon, perusahaan juga merancang inisiatif serupa untuk kawasan industri di wilayah lain yang mengalami kelangkaan air.

    Program sumur artesis ini juga menjadi bukti bahwa sinergi antar-BUMN dan institusi negara seperti TNI dapat menciptakan dampak sosial yang signifikan. Kolaborasi tersebut memudahkan akses logistik, perizinan, dan kepercayaan masyarakat.

    Upaya itu mendapat perhatian dari berbagai kalangan, termasuk tokoh nasional Irma Natalia Hutabarat, yang dikenal sebagai seorang jurnalis, presenter, dan aktivis sosial Indonesia.

    “Langkah ini bukan hanya soal tanggung jawab sosial, tetapi soal kepekaan terhadap realitas rakyat. Air bersih adalah fondasi peradaban. Dengan membantu masyarakat yang selama ini termarjinalkan oleh infrastruktur, Krakatau Steel telah menunjukkan bahwa industri dan kemanusiaan bisa berjalan beriringan,” ujar Irma saat dihubungi secara terpisah.

    Irma Hutabarat adalah pendiri gerakan Citarum Harum bersama Letjen TNI (Purn) Doni Monardo (almarhum). Dia masih memiliki banyak rencana ke depan untuk pelestarian lingkungan, termasuk kerja sama dengan Krakatau Steel dan Pemerintah Provinsi Cilegon.

    Menurut Irma, sumur artesis adalah sumber air bersih yang diambil dari lapisan akuifer di dalam tanah. Meski sangat membantu masyarakat di daerah kekeringan, pengambilan air dari akuifer perlu dilakukan secara bijak agar tidak merusak keseimbangan lingkungan.

    Kini, suara air yang mengalir dari pipa-pipa di Kampung Kagungan bukan sekadar bunyi latar. Ia adalah simbol harapan dan peradaban. Bagi warga seperti Rosmiati dan keluarganya, air tak lagi sekadar kebutuhan tapi juga anugerah yang telah lama dinantikan. 

     

  • Deretan Komandan Paspampres yang Sukses Jadi Danjen Kopassus, Nomor 2 Pernah Melawan Perompak Somalia

    Deretan Komandan Paspampres yang Sukses Jadi Danjen Kopassus, Nomor 2 Pernah Melawan Perompak Somalia

    loading…

    Sertijab Danjen Kopassus dari Mayjen TNI Agus Sutomo kepada Mayjen TNI Doni Monardo beberapa waktu lalu. Foto/SindoNews

    JAKARTA – Komandan Pasukan Pengamanan Presiden (Danpaspampres) yang sukses menjadi Danjen Kopassus menarik untuk diulas. Sebab tidak banyak perwira tinggi (Pati) TNI AD yang bisa menduduki jabatan sebagai orang nomor 1 di Korps Baret Merah Kopassus.

    Berdasarkan data yang dihimpun SindoNews hingga Kamis (6/3/2025) tercatat 30 Pati TNI dari tiga matra yang pernah atau sedang menjabat sebagai Danpaspampres.

    Dari jumlah tersebut, hanya ada dua Pati TNI yang kemudian menjabat sebagai Danjen Kopassus usai bertugas menjaga keamanan dan keselamatan Presiden Republik Indonesia sebagai Danpaspampres.

    Siapa dua Pati TNI AD tersebut, berikut ini ulasannya:

    1. Letjen TNI (Purn) Agus Sutomo

    Letjen TNI Agus Sutomo tercatat sebagai Danpaspampres ke-20. Jenderal kelahiran Klaten, Jawa Tengah pada 14 Agustus 1980 ini bertugas di lingkaran Istana Kepresidenan di masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2011.

    Abituran Akademi Militer (Akmil) 1984 dari satuan Infanteri Kopassus ini merupakan Jenderal TNI AD yang memiliki karier cemerlang. Berbagai jabatan penting di TNI pernah diembannya.

    Antara lain, Danyonif 202/Tajimalela, kemudian Dandim 0507/Kota Bekasi. Agus kemudian dimutasi menjadi Wadan Grup A Paspampres, lalu Waasops Danpaspampres.

    Kariernya terus meningkat, Agus kemudian dipercaya menjadi Dan Grup A Paspampres selama empat tahun sejak 2004-2008. Lama bertugas di Istana Kepresidenan Agus kemudian dipercaya memimpin territorial dengan menjabat sebagai Danrem 061/Suryakencana pada 2008-2009. Kemudian Kasdivif 1/Kostrad pada 2010.

    Agus kemudian kembali ke kesatuan yang membesarkannya dengan menjabat sebagai Wadanjen Kopassus pada 2010-2011. Tak lama kemudian dia ditarik kembali untuk bertugas di Istana Kepresidenan dengan menjabat sebagai Danpaspampres pada 2011–2012.

    Setahun bertugas mengawal dan menjaga keamanan Presiden SBY, Agus kemudian dimutasi menjadi Danjen Kopassus pada 2012-2014. Saat menjabat sebagai orang nomor 1 di Korps Baret Merah, beberapa anggotanya sempat terlibat dalam peristiwa penyerangan LP Cebongan di Yogyakarta.

    Agus kemudian dimutasi menjadi Pangdam Jaya pada 2014–2015 yang bertugas mengamankan Ibu Kota Jakarta di masa peralihan kepemimpinan nasional dari Presiden SBY ke Presiden Joko Widodo (Jokowi).

    Kariernya terus meningkat, Agus kemudian mendapat promosi jabatan menjadi Dankodiklat TNI AD pada 2015–2016, kemudian Dansesko TNI hingga Irjen Kementerian Pertahanan (Kemhan) RI pada 2017-2018).

  • Tak Hanya Mark Up, KPK Duga Ada Monopoli di Kasus APD Covid-19

    Tak Hanya Mark Up, KPK Duga Ada Monopoli di Kasus APD Covid-19

    Bisnis.com, JAKARTA — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap adanya dugaan monopoli yang dilakukan oleh sejumlah perusaahaans swasta pada pengadaan APD Covid-19, yang kini disebut merugikan keuangan negara Rp319 miliar. 

    Hal itu diungkap oleh Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron pada konferensi pers penahanan tersangka kasus APD, Jumat (1/11/2024). Tersangka dimaksud yakni Direktur Utama PT Permana Putra Mandiri (PPM) Ahmad Taufik.

    Dua tersangka lain yakni Direktur Utama PT Energi Kita Indonesia (EKI) Satrio Wibowo serta mantan pejabat pembuat komitmen (PPK) di Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Budi Sylvana telah ditahan awal Oktober 2024 lalu. 

    Ghufron menjelaskan bahwa dalam pengadaan APD saat pagebluk 2020 lalu, perusahaan-perusahaan yang berperan sebagai produsen maupun distributor hazmat diduga melakukan praktik monopoli. Beberapa perusahaan di antaranya adalah PT PPM milik Ahmad Taufik, PT EKI milik Satrio, serta PT Yoon Shin Jaya (YS) milik Shin Dong Keun yang mewakili para produsen APD. 

    “Kerja Sama antara PT PPM, PT EKI, PT YS dan para produsen APD merupakan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. Hal tersebut berlawanan dengan Pasal 4 Undang-undang No.5/1999 di mana pengusaha dilarang secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan pemasaran sehingga terbentuk monopoli,” jelasnya pada konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Jumat (1/11/2024). 

    Selain monopoli, terdapat sejumlah perbuatan melawan hukum lain yang diduga dilakukan perusahaan-perusahaan itu. PT EKI dan PT YS disebut tidak memiliki Izin Penyalur Alat Kesehatan (IPAK) kendati terlibat dalam mata rantai pengadaan APD. 

    Kemudian, PT EKI dan PT PPM disebut tidak menyiapkan dan menyerahkan bukti pendukung kewajaran harga kepada PPK sehingga melanggar prinsip pengadaan barang/jasa pemerintah dalam penanganan keadaan darurat. 

    “PT EKI ditetapkan sebagai penyedia APD, padahal tidak mempunyai pengalaman untuk mengadakan APD sebelumnya,” lanjut Ghufron. 

    DUGAAN MARK UP

    Pada konferensi pers sebelumnya, Oktober 2024 lalu, Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur Rahayu menjelaskan asal usul kerugian keuangan negara sebesar Rp319 miliar yang dihasilkan dari audit bersama dengan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

    Awalnya, anggaran pengadaan APD oleh pemerintah bersumber dari Dana Siap Pakai (DSP) Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Dalam proses pengadaan, penyidik KPK mengendus dugaan penggelembungan harga atau mark-up.

    Asep menduga kerugian negara Rp319 miliar itu seharusnya tidak terjadi apabila APD langsung dipasok dari PT PPM ke Kemenkes, tanpa harus ada pelibatan PT EKI. 

    “Jadi secara garis besar bahwa ada penambahan harga, ada mark up harga antara PT PPM dengan Kemenkes, di tengahnya ada PT EKI. Jadi, seharusnya kalau misalkan langsung ke PT PPM itu harganya lebih rendah. Sehingga di situ ada kenaikan harga, peningkatan harga, mark-up lah,” ujar Jenderal Polisi bintang satu itu. 

    Asep menjelaskan bahwa kasus dugaan korupsi itu bermula ketika pemerintah berupaya untuk memenuhi kebutuhan APD saat awal pandemi Covid-19 sekitar empat tahun lalu. Pengadaan dilakukan dengan turut melibatkan aparat seperti TNI dan Polri. Bahkan, APD itu langsung diambil oleh TNI dari Kawasan Berikat berdasarkan instruksi Kepala BNBP yang saat itu dipimpin Letjen TNI Doni Monardo.

    APD lalu diambil aparat pada 21 Maret 2020 untuk disebar ke 10 provinsi. Namun, pengambilan dilakukan tanpa kelengkapan dokumentasi, bukti pendukung, serta surat pemesananan.

    Menurut Asep, inti permasalahan dalam kasus tersebut adalah perbedaan harga yang cukup lebar. Awalnya, APD untuk Kemenkes hanya dipasok langsung oleh PT PPM. 

    Perusahaan milik Ahmad Taufik itu merupakan perusahaan yang ditunjuk sebagai distributor utama oleh para produsen APD. Salah satunya yakni oleh Direktur Utama PT Yoon Shin Jaya Shin Dong Keun. Pada saat itu, Kemenkes membeli 10.000 set APD dari PT PPM dengan harga hanya Rp379.500 per set. 

    Namun, setelahnya Shin Dong Keun turut menandatangani kontrak kesepakatan dengan Direktur Utama PT EKI Satrio Wibowo untuk menjadi authorized seller. Kontraknya yakni sebanyak 500.000 set APD dengan harga dinamis atau tergantung nilai tukar rupiah terhadap dolar AS saat pemesanan. 

    PT PPM dan PT EKI lalu memutuskan untuk menandatangani kontrak kerja sama distribusi. PT PPM mendapatkan margin keuntungan 18,5%.

    Adapun penawaran harga APD melonjak dari Rp379.500 per set menjadi US$60 atau hampir mendekati Rp1 juta per set. Kemudian, Sestama BNPB saat itu, Harmensyah, selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) DSP BNPB melakukan negosiasi harga dengan Satrio agar harga APD diturunkan menjadi US$50 (sekitar Rp700.000) per set. 

    Harga itu pun tetap hampir dua kali lipat yang dibayar oleh Kemenkes ke PT PPM awalnya yakni Rp379.500 per set. “Jadi ini sangat jauh perbedaan harganya antara yang dibeli oleh Kemenkes kemenkes sebesar Rp370.000 per set, dengan yang diadakan oleh KPA. Itu saudara HM [Harmensyah] dengan saudara SW [Satrio],” jelas Asep.

    Di sisi lain, PT PPM juga akan menagih 170.000 set APD gelombang pertama yang telah didistribusikan oleh TNI sebelumnya dengan harga sekitar Rp700.000 per set. 

    Tidak hanya itu, Satrio juga diduga menghubungi Kepala BNPB Doni Monardo untuk segera menyelesaikan pembayaran 170.000 set APD yang diambil TNI. Dia juga meminta agar diberikan SPK dari BNPB agar sesuai dengan pengamanan raw material dari Korea Selatan. 

    Pada 25 Maret 2020, PT EKI dan perusahaan Shin Dong Keun merealisasikan kontrak mereka dengan pemesanan 500.000 set APD. Pemesanan dilakukan dengan menyerahkan giro Rp113 miliar bertanggal 30 Maret 2020. 

    Akan tetapi, pemesanan menggunakan dokumen kepabeanan PT PPM karena PT EKI tidak memiliki izin penyaluran alat kesehatan, gudang serta bukan perusahaan kena pajak (PKP). 

    KPK mencatat, ada dua kali pembayaran dari negara kepada PT PPM. Pertama, Rp10 miliar ketika belum ada kontrak atau surat pesanan. Kedua, Rp109 miliar yang diserahkan oleh Pusat Krisis Kesehatan. 

    Setelah itu, pada 28 Maret 2020, Budi Sylvana ditunjuk sebagai PPK dari Kemenkes menggantikan Eri Gunawan menggunakan surat bertanggal backdate sehari. Pada kesempatan yang sama, surat pesanan APD dari Kemenkes diterbitkan untuk sebanyak 5 juta set dengan harga US$48,4 per set.

    Surat itu diteken oleh Budi, Taufik dan Satrio. Namun, KPK menyebut surat itu tidak mencantumkan spesifikasi pekerjaan, waktu pelaksanaan, pembayaran, serta hak dan kewajiban para pihak. Tidak hanya itu, surat yang hanya ditujukan kepada PT PPM juga ikut ditandatangani oleh PT EKI. 

    Adapun Kemenkes mencatat telah menerima 3.140.200 set APD PT PPM dari total 5.000.000 set yang dipesan sampai dengan 18 Mei 2020. Dari waktu pemesanan sampai dengan saat itu, telah dilakukan negosiasi antara Kemenkes dengan PT PPM untuk menurunkan harga.

    Kedua pihak menyepakati negosiasi yakni 503.500 set APD yang dikirim dari periode 27 Apil sampai dengan 7 Mei 2020 dihargai sebesar Rp366.850 per set. Setelahnya, satu set APD akan dihargai Rp294.000. 

    Asep menuturkan, hasil audit final yang dilakukan BPKP menunjukkan adanya kerugian negara yang timbul akibat pengadaan APD itu senilai Rp319 miliar. Dia memastikan penyidik bakal menelusuri lebih jauh ke mana saja aliran uang tersebut. 

    “Atas pengadaan tersebut, audit BPKP menyatakan telah mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp319 miliar,” terang Asep.