Tag: Donald Trump

  • Bantuan Dipangkas, Rohingya di Bangladesh Ketar-ketir Lonjakan Kejahatan

    Bantuan Dipangkas, Rohingya di Bangladesh Ketar-ketir Lonjakan Kejahatan

    Jakarta

    Shafika adalah salah satu dari lebih dari 700.000 orang Rohingya yang melarikan diri ke Bangladesh dari Myanmar pada tahun 2017, ketika militer Myanmar melancarkan “operasi pembersihan” di Negara Bagian Rakhine di bagian barat negara itu.

    Kelompok etnis tersebut menghadapi diskriminasi dan status tanpa kewarganegaraan karena tidak mendapat status sebagai warga negara dan hak-hak lainnya di Myanmar.

    Nasib Shafika berakhir di kamp-kamp pengungsi yang penuh sesak di distrik Cox’s Bazar di selatan Bangladesh, tempat lebih dari satu juta orang Rohingya hidup di kamp tersebut..

    Pengungsi berusia 38 tahun itu, bersama dengan enam anggota keluarganya, tinggal di sebuah gubuk di Kutupalong, salah satu kamp pengungsi tertua di negara itu.

    Pasca kudeta militer pada tahun 2021, Myanmar dilanda konflik bersenjata yang dipandang sebagai perang saudara. Kondisi ini telah mendorong lebih banyak orang Rohingya untuk mencari perlindungan di Bangladesh.

    Para pengungsi bergantung pada jatah bantuan makanan yang disuplai Program Pangan Dunia PBB (WFP) untuk bertahan hidup. Namun, WFP baru-baru ini mengumumkan, mulai 1 April mendatang akan ada pemotongan jatah bantuan makanan yang dipasok ke Cox’s Bazar.

    Badan PBB itu menyebut kekurangan dana sebagai alasan di balik keputusan tersebut, tetapi tidak menjelaskan secara rinci kenapa bisa terjadi masalah kekurangan uang: “Tanpa pendanaan baru yang mendesak, jatah bulanan harus dikurangi setengahnya menjadi $6 (Rp98.000) per orang, turun dari $12,50 (Rp205.000) per orang,” tegas WFP dalam sebuah pernyataan minggu lalu.

    Pengungsi: Bagaimana kami bisa makan?

    Shafika mengatakan pengumuman WFP “rasanya seperti serangan jantung” bagi orang-orang yang tinggal di kamp.

    “Bagaimana kami bisa bertahan hidup jika mereka mengurangi jatah, dan apa yang akan kami makan? Kami tidak diizinkan bekerja di luar,” keluhnya kepada DW. “Kami ditangkap, diculik, atau bahkan dibunuh jika kami pergi bekerja. Kami kelaparan,” tambahnya.

    Shafika khawatir keamanan dan ketertiban di kamp-kamp pengungsian akan semakin memburuk, jika keputusan itu tidak dibatalkan. “Pencurian dan perampokan bisa meningkat jika jatah bantuan makanan dikurangi. Anak-anak kami akan diculik untuk minta tebusan. Dari mana kami akan mendapatkan uang untuk membebaskan mereka?” keluhnya lebih lanjut.

    Mohammad Esha, pengungsi Rohingya lainnya, menyuarakan pandangan serupa. Ia juga khawatir akan meningkatnya kejahatan jika pemotongan jatah makanan diberlakukan. “Kami ingin bekerja untuk bertahan hidup. Namun, LSM di sini tidak memberi kami pekerjaan. Toko-toko kami dihancurkan jika kami mencoba berbisnis. Kami tidak memiliki sumber pendapatan lain, yang membuat kami hanya bergantung pada jatah bantuan makanan,” kata Esha kepada DW.

    Apa penyebab kurangnya dana?

    Meskipun WFP tidak menjelaskan alasan di balik kekurangan dana tersebut, Komisaris Bantuan dan Pemulangan Pengungsi Bangladesh (RRRC), Mohammed Mizanur Rahman meyakini, keputusan Presiden AS Donald Trump untuk menghentikan segera sebagian besar bantuan luar negeri, dan membubarkan Badan Pembangunan Internasional AS – USAID, bisa jadi memainkan peran utama.

    Tak lama setelah kembali berkuasa di Gedung Putih, Trump menandatangani perintah eksekutif yang membekukan bantuan asing AS selama peninjauan 90 hari, sebuah langkah yang secara signifikan menghambat sektor bantuan kemanusiaan global.

    “Sejauh yang saya ketahui, 80% dana WFP berasal dari Amerika Serikat. Jika AS menarik keputusan pembekuan dana 90 hari yang diberlakukan pada 20 Januari, maka saya rasa peringatan yang dikeluarkan oleh WFP tidak akan dilaksanakan,” papar Rahman, yang bertanggung jawab untuk mengelola pengungsi Rohingya.

    Sementara itu,Uni Eropa telah mengumumkan akan meningkatkan bantuan keuangan bagi para pengungsi Rohingya di Bangladesh. “Pengungsi Rohingya di Bangladesh merupakan populasi tanpa kewarganegaraan terbesar di dunia. Kami berterima kasih kepada Bangladesh atas solidaritasnya dalam menampung mereka. UE telah meningkatkan bantuan kemanusiaan untuk mendukung pengungsi Rohingya di Bangladesh, di wilayah yang lebih luas dan untuk krisis Myanmar,” demikian bunyi cuitan komisaris UE untuk kesiapsiagaan dan manajemen krisis Hadja Lahbib, dalam kunjungannya ke Bangladesh awal bulan ini.

    Risiko kelaparan dan kekurangan gizi meningkat

    Namun, Rahman menunjukkan, Uni Eropa hanya menambah bantuannya beberapa juta dolar AS, yang menurutnya tidak cukup. Pejabat tersebut memperingatkan, pemotongan jatah bantuan makanan kemungkinan akan berdampak buruk pada populasi yang rentan:

    “Makanan yang diperoleh para pengungsi saat ini tidak cukup. Mereka memperoleh sekitar $0,13 (Rp2.100) per porsi makanan. Jumlah itu akan berkurang setengahnya jika WFP menerapkan pemotongan jatah bantuan baru,” jelas Rahman, seraya menambahkan: “Tidak mungkin untuk makan apa pun dengan $0,07(Rp1.100). Itu akan berdampak besar pada kesehatan dan gizi mereka. Mereka sudah menjadi salah satu komunitas yang paling rentan dalam hal kekurangan gizi.”

    Rahman mendesak masyarakat internasional untuk terus mendukung para pengungsi Rohingya. Direktur Fortify Rights, John Quinley, mendesak pemerintahan Trump untuk segera mengubah arah kebijakannya, dan mengizinkan USAID kembali beroperasi. “Pemotongan dana bantuan AS akan menciptakan ketidakamanan regional. Warga Rohingya mungkin akan terdorong untuk mencoba melarikan diri ke Thailand dan Malaysia, dan kita dapat melihat peningkatan penggunaan jaringan perdagangan manusia yang mengambil keuntungan dari para pengungsi yang rentan,” pungkasnya kepada DW.

    Artikel diadaptasi dari DW Bahasa Inggris

    Lihat juga Video: Imigrasi Aceh Usul Pulau Khusus untuk Menampung Pengungsi Rohingya

    (ita/ita)

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Oracle Dilaporkan Jadi Kandidat Utama untuk Jalankan TikTok di AS

    Oracle Dilaporkan Jadi Kandidat Utama untuk Jalankan TikTok di AS

    Bisnis.com, JAKARTA — Oracle dikabarkan kandidat utama sebagai mitra teknologi cloud untuk mengelola TikTok di Amerika Serikat (AS).

    Melansir dari Techcrunch, Jumat (14/3/2025) TikTok, aplikasi video berdurasi pendek yang tengah menghadapi ketidakpastian terkait masa depannya di Amerika Serikat, dilaporkan menjadikan Oracle sebagai pilihan utama untuk menjadi mitra.

    Hal ini terungkap melalui sebuah laporan dari The Information yang mencakup informasi dari sumber-sumber seperti investor, bankir, dan mantan eksekutif yang dekat dengan perusahaan induk TikTok, ByteDance.

    Menurut laporan tersebut, ByteDance lebih menyukai Oracle daripada penyedia cloud lainnya untuk menangani data pengguna TikTok di AS. 

    Sejak 2022, TikTok telah menggunakan server milik Oracle untuk menyimpan data penggunanya, yang menjadikan perusahaan teknologi ini sebagai kandidat kuat dalam kesepakatan ini. 

    Selain itu, laporan juga mencatat bahwa ByteDance masih ingin mempertahankan peran aktif dalam operasi TikTok, dengan Oracle sebagai mitra yang membantu menjalankan layanan di AS. 

    Dukungan terhadap Oracle semakin menguat setelah mantan Presiden Donald Trump menunjukkan keberpihakannya terhadap peran perusahaan ini dalam proses kesepakatan.

    Akan tetapi, hingga saat ini Oracle belum memberikan komentar resmi terkait laporan tersebut. 

    Diberitakan sebelumnya, Pemerintahan Presiden AS Donald Trump dikabarkan tengah merencanakan penyelamatan TikTok yang melibatkan perusahaan Oracle dan sekelompok investor luar untuk mengambil alih kendali operasi aplikasi tersebut.

    Melansir dari Reuters, Minggu (25/1/2025), berdasarkan kesepakatan yang dinegosiasikan oleh Gedung Putih, pemilik TikTok yang berbasis di China, ByteDance, akan tetap mempertahankan sebagian saham di perusahaan tersebut. 

    Namun, pengumpulan data dan pembaruan perangkat lunak akan diawasi oleh Oracle, yang telah menyediakan infrastruktur Web TikTok. Demikian sumber yang mengetahui pembicaraan.

    Kendati demikian, sumber menyebut bahwa syarat-syarat kesepakatan ini masih dapat berubah dan kemungkinan besar akan mengalami perubahan.

    Adapun salah satu sumber mengatakan bahwa cakupan pembicaraan secara keseluruhan belum ditetapkan dan bisa mencakup operasi di AS serta wilayah lain.

  • Putin Ngaku Setuju Gencatan Senjata di Ukraina, tapi Banyak Syaratnya

    Putin Ngaku Setuju Gencatan Senjata di Ukraina, tapi Banyak Syaratnya

    Jakarta

    Presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan dirinya setuju dengan ide gencatan senjata di Ukraina. Namun, Putin mengungkapkan beberapa kekhawatiran.

    Dilansir BBC, Jumat (14/3/2025), Putin mengatakan bahwa usulan gencatan senjata adalah ide yang benar dan mendukungnya. Tetapi, katanya, ada pertanyaan yang perlu kita bahas.

    Menurut Putin, gencatan senjata itu harus mengarah pada perdamaian abadi dan menghilangkan akar penyebab krisis. Dia mengaku akan menelepon Presiden AS Donald Trump.

    “Kita perlu bernegosiasi dengan kolega dan mitra Amerika kita. Mungkin saya akan menelepon Donald Trump,” katanya.

    Putin menganggap gencatan senjata 30 hari itu adalah hal baik bagi Ukraina. Tapi, dia mengaku akan tetap mewaspadainya.

    “Akan baik bagi pihak Ukraina untuk mencapai gencatan senjata selama 30 hari,” ujarnya.

    Diketahui, salah satu area yang diperdebatkan adalah wilayah Kursk milik Rusia. Putin mengatakan tempat itu dipakai Ukraina melancarkan serangan militer tahun lalu dan merebut beberapa wilayah.

    “Mereka mencoba pergi, tetapi kami yang memegang kendali. Peralatan mereka telah ditinggalkan. Ada dua pilihan bagi warga Ukraina di Kursk, menyerah atau mati,” katanya.

    Terkait gencatan senjata ini, Putin juga memikirkan banyak pertanyaan dan kemungkinan mengenai bagaimana gencatan senjata Rusia-Ukraina akan berjalan.

    “Bagaimana 30 hari itu akan digunakan? Untuk Ukraina memobilisasi? Mempersenjatai kembali? Melatih orang? Atau tidak sama sekali? Lalu pertanyaannya, bagaimana itu akan dikendalikan?” ujarnya.

    “Siapa yang akan memberi perintah untuk mengakhiri pertempuran? Berapa biayanya? Siapa yang memutuskan siapa yang telah melanggar gencatan senjata yang mungkin, sejauh lebih dari 2.000 Km? Semua pertanyaan itu membutuhkan kerja keras dari kedua belah pihak. Siapa yang mengawasinya?” sambung Putin.

    Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky mengatakan Putin secara langsung mengatakan tidak. Dia menganggap Putin sedang mempersiapkan penolakan.

    “Putin, tentu saja, takut untuk memberi tahu Presiden Trump secara langsung bahwa dia ingin melanjutkan perang ini, ingin membunuh orang Ukraina,” kata Zelensky.

    “Pemimpin Rusia telah menetapkan begitu banyak prasyarat sehingga tidak ada yang akan berhasil sama sekali,” sambungnya.

    Lihat juga Video: Syarat dari Putin Jika Ukraina Ingin Berdamai

    (zap/haf)

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Donald Trump Ancang-ancang Deportasi Massal Warga Asing Pakai UU Musuh Asing – Halaman all

    Donald Trump Ancang-ancang Deportasi Massal Warga Asing Pakai UU Musuh Asing – Halaman all

     

    TRIBUNNEWS.COM, AS – Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump diperkirakan akan menerapkan Undang-Undang (UU) Musuh Asing untuk memberlakukan deportasi massal warga asing.

    Ini adalah UU masa perang yang memberikan wewenang kepada presiden untuk menahan atau mendeportasi warga negara musuh.

    Demikian penjelasan  dua pejabat AS yang mengetahui masalah tersebut  kepada ABC News dikutip pada Jumat (14/3/2025).

    Trump diperkirakan akhir minggu ini akan kembali melaksanakan deportasi massal.

    Mengapa Hal Ini Penting

    Undang-Undang Musuh Asing adalah undang-undang masa perang yang disahkan pada tahun 1798 sebagai bagian dari Undang-Undang Alien dan Penghasutan di bawah Presiden John Adams.

    Undang-undang ini memberikan wewenang kepada presiden AS untuk menahan, membatasi, atau mendeportasi warga negara asing dari negara yang sedang berperang dengan Amerika Serikat.

    Tidak seperti ketentuan lain dalam Undang-Undang Alien dan Penghasutan, yang telah kedaluwarsa atau dicabut, Undang-Undang Musuh Asing masih berlaku hingga saat ini.

    Hal yang Perlu Diketahui

    Undang-Undang Musuh Asing dapat memungkinkan Trump untuk segera mendeportasi migran yang dianggap sebagai bagian dari “invasi atau serangan predator”.

    Partai Republik sering menggambarkan imigrasi ilegal sebagai invasi dan menggambarkan migran sebagai penjahat berbahaya.

    Menurut ABC News, Departemen Pertahanan diperkirakan tidak akan terlibat, meskipun undang-undang tersebut dapat memungkinkan deportasi beberapa migran tanpa sidang.

    Beberapa sumber mengatakan kepada ABC News bahwa diskusi dalam pemerintahan telah berlangsung mengenai penerapan undang-undang tersebut.

    Trump sebelumnya menyatakan selama kampanye bahwa ia bermaksud menerapkan undang-undang tersebut sebagai bagian dari strategi penegakan hukum imigrasinya.

    “Saya akan menerapkan Undang-Undang Musuh Asing tahun 1798 untuk menargetkan dan membubarkan setiap jaringan kriminal migran yang beroperasi di tanah Amerika,” kata Trump pada rapat umum tanggal 4 November .

    Para kritikus berpendapat bahwa interpretasi Trump terhadap undang-undang tersebut merupakan tindakan yang sangat berlebihan.

    Alasannya karena undang-undang tersebut dirancang untuk digunakan terhadap warga negara dari negara yang bermusuhan, bukan terhadap individu yang diduga melakukan aktivitas kriminal di AS.

    Apa itu Undang-Undang Musuh Asing?

    Undang-Undang Musuh Asing tahun 1798 “dirancang untuk memungkinkan presiden mengesahkan relokasi, penangkapan, atau deportasi pria mana pun yang berusia lebih dari 14 tahun yang berasal dari negara yang berperang dengan Amerika Serikat.”

    Undang-Undang Musuh Asing terakhir kali digunakan selama Perang Dunia II untuk menahan puluhan ribu warga negara non-AS keturunan Jepang, Jerman, dan Italia di fasilitas militer.

    Penahanan warga Amerika keturunan Jepang disahkan secara terpisah dan kemudian ditegakkan oleh Mahkamah Agung. 

    Puluhan tahun kemudian, Kongres mengeluarkan permintaan maaf resmi dan memberikan ganti rugi, mengakui ketidakadilan yang dihadapi oleh mereka yang terdampak.

    Apa yang terjadi selanjutnya

    Jika diterapkan, kebijakan ini dapat menyebabkan deportasi cepat ribuan orang, yang berpotensi menyapu bersih orang-orang yang belum dihukum atau bahkan dituduh melakukan kejahatan.

    Sumber: ABC/Newsweek

     

  • Harga Minyak Tergelincir Imbas Kekhawatiran Tarif Dagang Donald Trump – Page 3

    Harga Minyak Tergelincir Imbas Kekhawatiran Tarif Dagang Donald Trump – Page 3

    Sebelumnya, harga minyak naik tipis pada Rabu pagi, didukung oleh melemahnya dolar, namun kekhawatiran yang meningkat terhadap perlambatan ekonomi AS dan dampak tarif terhadap pertumbuhan ekonomi global membatasi kenaikan tersebut.

    Dikutip dari CNBC, Kamis (13/3/2025), Futures Brent naik 27 sen, atau 0,39%, menjadi USD 69,83 per barel pada pukul 01:10 GMT, sementara futures minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) AS naik 29 sen, atau 0,44%, menjadi USD 66,54 per barel.

    Meskipun prospek ekonomi melemah, harga minyak tetap bertahan di posisi positif, kata Daniel Hynes, ahli strategi komoditas senior di ANZ. “Ini menandakan bahwa permintaan jangka pendek terhadap minyak mentah masih kuat.”

    Dolar AS Loyo

    Indeks dolar, yang turun 0,5% ke level terendah tahun 2025 pada Selasa, mendorong harga minyak dengan membuat minyak mentah lebih murah bagi pembeli yang menggunakan mata uang lain.

    Namun, harga saham AS, yang juga memengaruhi pasar minyak, kembali jatuh pada Selasa, menambah aksi jual terbesar dalam beberapa bulan terakhir. Investor terguncang oleh peningkatan tarif impor dan menurunnya sentimen konsumen.

    Kebijakan proteksionis Trump telah mengguncang pasar global. Ia telah memberlakukan, kemudian menunda, tarif terhadap pemasok minyak utama seperti Kanada dan Meksiko, serta meningkatkan tarif terhadap China, yang memicu tindakan balasan.

    Pada akhir pekan, Trump mengatakan bahwa “periode transisi” kemungkinan akan terjadi dan tidak menutup kemungkinan terjadinya resesi di AS.

     

     

  • Putin Setujui Gencatan Senjata 30 Hari dengan Ukraina, tapi Ada Syarat dan Pertanyaan Penting – Halaman all

    Putin Setujui Gencatan Senjata 30 Hari dengan Ukraina, tapi Ada Syarat dan Pertanyaan Penting – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Presiden Rusia Vladimir Putin menyetujui usulan Amerika Serikat (AS) untuk gencatan senjata selama 30 hari dengan Ukraina, tetapi ia mengajukan persyaratan.

    AS sebelumnya berharap Rusia tidak mengajukan persyaratan apa pun, tetapi Putin mengatakan masih banyak pertanyaan yang belum terjawab mengenai usulan tersebut.

    “Kami setuju dengan usulan untuk mengakhiri permusuhan di Ukraina, asalkan hal itu mengarah pada perdamaian jangka panjang dan menawarkan solusi untuk akar konflik,” kata Putin dalam konferensi pers dengan Presiden Belarusia, Alexander Lukashenko, pada Kamis (13/3/2025).

    Putin menggambarkan gencatan senjata 30 hari yang diusulkan oleh pemerintahan Presiden AS Donald Trump sebagai ide yang bagus.

    Namun, Putin menekankan ada pertanyaan serius tentang hal itu dan rincian tepat yang perlu dipelajari.

    “Mengapa mereka membutuhkan gencatan senjata selama 30 hari? Untuk memobilisasi atau memasok senjata kepada Ukraina? Atau tidak satupun dari hal ini akan dilakukan?” katanya.

    Ia mencatat itu akan bermanfaat bagi Ukraina untuk memobilisasi pasukan dan memasok senjata, mengingat isolasi total pasukan Ukraina yang telah menyusup ke wilayah Rusia di Kursk.

    “Apakah mereka yang ada di sana akan keluar tanpa perlawanan? Haruskah kita membebaskan mereka dari sana setelah mereka melakukan banyak kejahatan terhadap warga sipil? Atau akankah pimpinan Ukraina memberikan perintah untuk menyerah?” kata Putin mempertanyakan tentang pasukan Ukraina yang masih berada di wilayahnya di Kursk.

    Ia menambahkan akan sangat sulit untuk memantau kepatuhan terhadap gencatan senjata.

    “Siapa yang akan memberi perintah kepada pasukan Ukraina dan berapa harga perintah tersebut?” tanyanya, khawatir jika terjadi pelanggaran.

    Putin juga mempertanyakan siapa yang akan memantau penerapan gencatan senjata selama 30 hari terutama di garis depan.

    “Siapa yang akan memantau gencatan senjata? Garis depan membentang sejauh 2.000 kilometer,” lanjutnya, seperti diberitakam RBC.

    Sebelumnya pada bulan lalu, Trump mengusulkan untuk menempatkan pasukan perdamaian Eropa di wilayah Ukraina jika terjadi gencatan senjata, sebuah usulan yang ditolak Rusia karena pasukan apa pun dari Eropa dianggap sebagai pasukan NATO.

    Putin mengatakan Rusia harus membahas isu terkait gencatan senjata di Ukraina dengan Amerika Serikat, dan mungkin dengan Presiden Trump, berdasarkan situasi di lapangan.

    Presiden Rusia mengisyaratkan ia mungkin perlu menelepon Trump untuk menyampaikan rasa terima kasihnya kepada presiden AS atas minatnya dalam menengahi negosiasi perang antara Rusia dan Ukraina.

    “Saya ingin menyampaikan rasa terima kasih saya kepada Presiden AS Trump atas minat besar yang diberikannya terhadap penyelesaian di Ukraina,” kata Putin.

    Selain itu, ia menekankan semua rencana militer di Oblast Kursk dan di garis depan lainnya akan dilaksanakan untuk melanjutkan kemajuan yang diraih pasukan Rusia baru-baru ini.

    Putin mengatakan pasukan Rusia sedang berupaya untuk memblokir unit yang cukup besar dari Angkatan Bersenjata Ukraina di Kursk.

    “Berdasarkan situasi di lapangan, kami akan menyepakati langkah selanjutnya untuk mengakhiri konflik dan mencapai kesepakatan yang dapat diterima semua pihak,” tegasnya.

    (Tribunnews.com/Yunita Rahmayanti)

    Berita lain terkait Konflik Rusia VS Ukraina

  • Rudal Balistik Rusia Porak-porandakan Kota Pelabuhan Ukraina

    Rudal Balistik Rusia Porak-porandakan Kota Pelabuhan Ukraina

    Jakarta

    Serangan rudal balistik Rusia memporak-porandakan Kota Pelabuhan Ukraina. Ada korban tewas dalam insiden ini.

    Dirangkum detikcom, Kamis (13/3/2025), rudal Rusia menghantam kota pelabuhan Odesa di Ukraina bagian selatan. Sedikitnya empat orang tewas, dengan sebuah kapal kargo berbendera Barbados mengalami kerusakan akibat serangan rudal tersebut.

    Serangan rudal Moskow itu, seperti dilansir AFP, menghantam wilayah Ukraina pada Selasa (11/3) tengah malam, saat otoritas Kyiv menyatakan dukungan terhadap usulan Amerika Serikat (AS) untuk gencatan senjata selama 30 hari dan setuju untuk segera berunding dengan Rusia.

    Para pejabat Ukraina mengatakan serangan rudal terjadi saat kapal kargo tersebut sedang memuat pasokan gandum yang dimaksudkan untuk dikirim ke Aljazair.

    “Sayangnya, empat orang tewas — warga negara Suriah. Korban termuda berusia 18 tahun, yang paling tua berusia 24 tahun. Dua orang lainnya mengalami luka-luka — seorang warga Ukraina dan seorang warga Suriah,” kata wakil perdana menteri untuk rekonstruksi, Oleksiy Kuleba, dalam pernyataan via media sosial.

    “Rusia menyerang infrastruktur Ukraina, termasuk pelabuhan yang terlibat dalam memastikan keamanan pangan dunia,” tuduhnya

    Secara terpisah, Gubernur wilayah Dnipropetrovsk melaporkan seorang wanita berusia 47 tahun tewas akibat serangan rudal Rusia yang menghantam pusat kota Kryvyi Rig, yang merupakan kota kelahiran Presiden Volodymyr Zelensky.

    Serangan Rudal Rusia

    Foto: State Emergency Service of Ukraine in Dnipropetrovsk region via REUTERS

    Angkatan Udara Ukraina, dalam pernyataannya, menyebut Rusia secara total telah menembakkan tiga rudal ke wilayah Ukraina dalam semalam, juga meluncurkan 133 drone berbagai jenis, termasuk drone tempur jenis Shahed buatan Iran.

    Pertahanan udara Ukraina, menurut Angkatan Udara Kyiv, telah menembak jatuh 98 drone di antaranya.

    Sebelumnya, Zelensky menyatakan dukungan terhadap usulan AS untuk gencatan senjata selama 30 hari di Ukraina. Dia meminta Washington untuk membujuk Rusia agar turut menerima usulan tersebut.

    Usulan AS itu dibahas dalam pertemuan antara pejabat AS dan Ukraina yang digelar di Arab Saudi pada Selasa (11/3) waktu setempat, yang dilaporkan berlangsung selama delapan jam.

    Penasihat keamanan nasional AS, Mike Waltz, yang menghadiri pertemuan di Saudi tersebut, seperti dilansir Associated Press, mengatakan bahwa negosiator “membahas perincian substantif tentang bagaimana perang ini akan berakhir secara permanen”, termasuk jaminan keamanan jangka panjang.

    Waltz juga mengatakan bahwa Presiden Donald Trump setuju untuk segera mencabut penangguhan dalam penyediaan bantuan militer AS senilai miliaran dolar Amerika dan melanjutkan kembali aktivitas berbagi informasi intelijen.

    Halaman 2 dari 2

    (whn/isa)

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Masih Dirawat di RS, Paus Fransiskus Peringati 12 Tahun Jabatannya sebagai Kepala Gereja Katolik – Halaman all

    Masih Dirawat di RS, Paus Fransiskus Peringati 12 Tahun Jabatannya sebagai Kepala Gereja Katolik – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Paus Fransiskus menandai 12 tahun masa jabatannya sebagai pemimpin Gereja Katolik pada Kamis (13/3/2025).

    Pada 13 Maret 2013, setelah pengunduran diri Paus Benediktus XVI, Kardinal Jorge Mario Bergoglio dari Argentina terpilih sebagai Paus baru.

    Selama 12 tahun masa jabatannya, Paus Fransiskus dikenal karena belas kasih dan seruan perdamaian, Al Jazeera melaporkan.

    Ia telah mereformasi pemerintahan Vatikan dan mengambil tindakan keras terhadap kasus pelecehan anak oleh pendeta.

    Terhitung sudah empat minggu setelah Paus Fransiskus dirawat di rumah sakit akibat pneumonia ganda.

    Ia dirawat di rumah sakit Gemelli di Roma sejak 14 Februari

    “Paus telah menghabiskan malam yang tenang,” menurut pernyataan dari Vatikan.

    Hasil rontgen dada mengonfirmasi adanya perbaikan pada kondisinya.

    Dokter menyatakan kalau Paus Fransiskus tidak lagi di ambang kematian.

    Meski demikian, kondisinya masih dipantau dengan cermat.

    Lebih lanjut, masa jabatan Paus Fransiskus tidak lepas dari tantangan dan kritik, baik dari dalam Gereja maupun luar.

    Diplomasi dan Aksi Internasional

    Fransiskus melakukan 47 perjalanan ke luar negeri.

    Selama kunjungannya, Paus memprioritaskan negara-negara dengan komunitas Katolik yang kecil atau terpinggirkan.

    Ia terus menyerukan perdamaian di wilayah rawan konflik seperti Sudan, Gaza, dan Ukraina.

    Pada November 2023, ia menyerukan penyelidikan mengenai tuduhan genosida yang dilakukan Israel di Gaza.

    Sebagai putra imigran Italia di Argentina, Paus Fransiskus juga membela hak-hak migran dan mengkritik kebijakan deportasi massal Presiden AS Donald Trump.

    Fransiskus juga seorang juru kampanye vokal untuk lingkungan hidup.

    Dalam ensikliknya yang terkenal, “Laudato Si” (Semoga Engkau Selalu Terpuji), yang diterbitkan pada 2015, ia mendesak dunia untuk bertindak cepat terhadap perubahan iklim, dengan menekankan tanggung jawab negara-negara kaya.

    Kasih Sayang, Keadilan Sosial, dan Reformasi Gereja

    Sebagai seorang liberal, Paus Fransiskus berupaya membangun Gereja Katolik yang lebih inklusif.

    Ia mendukung perubahan dalam aturan perceraian dan lebih terbuka terhadap anggota LGBTQ.

    Keputusannya pada 2023 untuk mengizinkan pemberkatan pasangan sesama jenis dalam beberapa kasus sempat memicu kontroversi, terutama di Afrika dan Amerika Serikat.

    Fransiskus juga telah melaksanakan reformasi mendasar di Kuria Roma, pemerintahan pusat Vatikan.

    Reformasi tersebut mencakup desentralisasi kekuasaan, meningkatkan transparansi, serta memberikan peran lebih besar kepada kaum awam dan perempuan.

    Pada 2022, ia mengesahkan konstitusi yang mengatur ulang departemen-departemen Vatikan.

    Salah satu langkah utamanya adalah membersihkan keuangan Vatikan yang ternoda oleh skandal dan korupsi.

    Fransiskus juga membentuk sekretariat khusus untuk ekonomi Vatikan pada tahun 2014, yang berupaya memberantas korupsi serta meningkatkan pengawasan terhadap investasi dan Bank Vatikan.

    Dalam reformasi kelembagaannya, Paus Fransiskus juga melibatkan lebih banyak anggota awam, termasuk perempuan, dalam Sinode, badan diskusi Katolik yang melihat masa depan Gereja.

    Beberapa keputusan penting, seperti perempuan diakon, akan diputuskan pada Juni 2025.

    Tantangan dan Pertentangan

    Meskipun banyak mendapat pujian atas reformasinya, Paus Fransiskus juga menghadapi kritik, terutama dari kalangan tradisionalis.

    Beberapa menganggapnya bertindak tirani, terutama terkait kebijakan dan perubahan yang ia lakukan dalam Gereja.

    Paus Fransiskus tetap melanjutkan misinya untuk mengubah Gereja Katolik menjadi lebih terbuka dan inklusif, meski tak lepas dari pertentangan keras dari beberapa pihak.

    Perjuangan Paus Fransiskus Melawan Pelecehan Seksual di Gereja Katolik

    Paus Fransiskus dihadapkan pada tantangan besar sejak awal masa jabatannya pada tahun 2013, yaitu pelecehan seksual oleh pendeta dan upaya penutupan kasus-kasus tersebut di seluruh dunia.

    Salah satu momen penting dalam perjuangannya terjadi pada 2018 saat ia mengunjungi Cile.

    Awalnya, Paus Fransiskus membela seorang uskup Cile yang dituduh menutupi kejahatan seorang pendeta.

    Paus Fransiskus bahkan menuntut agar para penuduh menunjukkan bukti yang jelas.

    Namun, setelah kritik yang keras, Paus Fransiskus mengakui telah membuat “kesalahan serius” dan meminta maaf atas tindakannya.

    Ini adalah pengakuan pertama dari seorang Paus yang mengakui kesalahan dalam penanganan kasus pelecehan.

    Sebagai langkah lanjutan, Paus memanggil semua uskup Cile ke Vatikan, dan mereka semua mengajukan pengunduran diri sebagai bentuk pertanggungjawaban.

    Pada tahun yang sama, Paus Fransiskus mencabut gelar kardinal dari Theodore McCarrick, seorang pendeta asal AS yang terbukti melakukan pelecehan.

    Pada 2019, McCarrick juga kehilangan statusnya sebagai pendeta.

    Tak hanya itu, Paus Fransiskus juga mengadakan pertemuan puncak yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk mendengarkan keluhan dari para korban pelecehan, dan berjanji untuk melakukan “pertempuran habis-habisan” melawan pelecehan oleh pendeta.

    Sebagai langkah nyata, Vatikan membuka arsip gereja terkait pelecehan dan memperkenalkan pengadilan awam untuk kasus-kasus ini.

    Paus Fransiskus juga mewajibkan pelaporan segala dugaan pelecehan seksual kepada otoritas Gereja untuk mencegah upaya penutupan kasus tersebut.

    Meskipun sudah ada beberapa perubahan signifikan, aktivis seperti Anne Barrett Doyle mengkritik langkah-langkah Paus.

    Dia mengatakan bahwa secara struktural, Gereja Katolik masih memiliki banyak masalah terkait transparansi, pengawasan eksternal, dan kurangnya sanksi tegas bagi pelaku, AFP melaporkan.

    Anne menilai bahwa meskipun ada niat baik, gereja masih belum melakukan cukup banyak untuk memberantas masalah ini secara mendalam.

    (Tribunnews.com, Andari Wulan Nugrahani) 

  • Israel dan Hamas Lanjutkan Perundingan Gencatan Senjata di Gaza – Halaman all

    Israel dan Hamas Lanjutkan Perundingan Gencatan Senjata di Gaza – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Negosiasi yang dimediasi antara Israel dan Hamas mengenai perpanjangan gencatan senjata di Gaza atas usulan Amerika Serikat (AS) berlanjut di Doha.

    Rencananya gencatan senjata Gaza akan diperpanjang selama 60 hari.

    Selain itu, perundingan ini juga membahas pembebasan 10 tawanan Israel yang masih hidup.

    Utusan Gedung Putih,Steve Witkoff datang ke Qatar dan bergabung dalam dialog tidak langsung antara Israel dan Hamas, yang mulai diadakan minggu ini.

    Pembicaraan ini merupakan pertemuan pertama sejak Presiden Donald Trump menjabat pada Januari 2025.

    Tahap pertama dari kesepakatan gencatan senjata baru berakhir pada 1 Maret 2024 kemarin, BBC melaporkan.

    Israel kini berharap agar AS bisa mendorong perpanjangan gencatan senjata selama dua bulan, yang diharapkan dapat dimulai dengan pembebasan sebagian dari sandera yang masih hidup.

    Hamas sejauh ini menolak usulan tersebut.

    Kelompok pejuang yang menguasai Gaza itu meminta perundingan tahap kedua dari gencatan senjata segera dimulai.

    Diharapakan di fase kedua, perang dapat dihentikan dan pasukan Israel ditarik secara penuh dari wilayah Gaza.

    Keresahan warga Gaza

    Warga Gaza, seperti Husam Rustom, seorang pembuat roti, merasa sangat tertekan karena kelangkaan bahan pangan dan kenaikan harga yang pesat.

    Serangan baru-baru ini oleh Israel ke Gaza juga menambah ketegangan. Israel mengklaim bahwa serangan udara mereka menyasar “teroris” yang dianggap mengancam pasukan Israel.

    Namun, banyak warga yang tewas dalam serangan ini, termasuk seorang pria yang hanya sedang mengambil barang-barang dari kamp pengungsi.

    Di sisi lain, gerakan Houthi dari Yaman mengancam akan melanjutkan serangan terhadap kapal-kapal Israel di Laut Merah dan Teluk Aden sebagai respons terhadap pemblokiran bantuan ke Gaza.

    Mereka menganggap ini sebagai bentuk solidaritas dengan warga Palestina yang menderita akibat perang.

    Sementara itu, keluarga dan pendukung warga Israel yang masih ditawan terus menuntut pembebasan mereka.

    Beberapa di antaranya berkemah di luar Kementerian Pertahanan Israel di Tel Aviv, meminta agar pemerintah segera menyelesaikan masalah gencatan senjata untuk membawa kembali para sandera.

    Di tengah perundingan yang intens, terdapat perbedaan pandangan di Israel mengenai siapa yang lebih peduli terhadap nasib para sandera: Presiden AS Donald Trump atau Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.

    Sebuah jajak pendapat menunjukkan bahwa 50 persen warga Israel percaya Trump lebih peduli, dibandingkan hanya 29 persen yang percaya Netanyahu.

    Meskipun ada tekanan internasional dan mediasi dari Qatar, Mesir, serta AS, pihak Hamas diyakini tidak akan melepaskan banyak sandera tanpa memastikan pertempuran di Gaza benar-benar berakhir.

    Mereka melihat sandera sebagai alat tawar-menawar yang sangat penting.

    Hingga saat ini, meskipun gencatan senjata belum membuahkan hasil yang signifikan, baik Israel maupun Hamas masih menghindari eskalasi besar-besaran.

    Namun, serangan udara harian dari Israel menunjukkan bahwa ketegangan tetap tinggi.

    Mesir sambut baik keputusan Trump untuk tidak menggusur warga Palestina

    Mesir mengatakan pihaknya menghargai pernyataan Trump yang tidak menuntut penduduk Gaza meninggalkan daerah kantong itu, menurut pernyataan dari Kementerian Luar Negeri.

    Pernyataan itu muncul setelah Trump mengatakan “tidak ada yang mengusir warga Palestina dari Gaza” saat menanggapi pertanyaan selama pertemuan di Gedung Putih  dengan Taoiseach Irlandia Micheal Martin, Rabu (12/3/2025).

    “Sikap ini mencerminkan pemahaman akan perlunya mencegah memburuknya situasi kemanusiaan di Gaza dan pentingnya menemukan solusi yang adil dan berkelanjutan untuk masalah Palestina,” tambah Kementerian Luar Negeri Mesir.

    Trump mengirimkan gelombang kejutan ke seluruh Timur Tengah dan sekitarnya bulan lalu ketika ia mengusulkan pengambilalihan Gaza oleh AS dan mengusulkan agar penduduk Palestina di wilayah yang dilanda perang itu dipindahkan secara permanen ke negara-negara tetangga.

    Hamas Desak Aksi Internasional Cegah Bencana Kelaparan di Gaza

    Juru bicara Hamas, Abdel-Latif al-Qanou, mengeluarkan pernyataan yang menanggapi blokade Israel terhadap bantuan ke Gaza.

    Dalam komentarnya yang diterjemahkan, al-Qanou menyampaikan keprihatinannya terkait penderitaan yang dialami oleh penduduk Gaza akibat pengepungan yang telah berlangsung selama dua minggu.

    Al-Qanou menekankan bahwa blokade tersebut mencegah masuknya makanan, obat-obatan, dan bahan bakar, yang berisiko menyebabkan kelaparan bagi penduduk Gaza.

    Ia mengingatkan bahwa jika masyarakat internasional tidak segera mengambil langkah untuk membantu, penduduk Gaza akan menghadapi bencana kelaparan pada bulan suci Ramadan mendatang.

    “Hamas menyerukan kepada para mediator internasional untuk memberikan lebih banyak tekanan kepada Israel agar membuka penyeberangan, mengizinkan aliran bantuan, dan menghentikan hukuman kolektif terhadap penduduk Gaza,” ungkap al-Qanou dalam pernyataannya.

    (Tribunnews.com, Andari Wulan Nugrahani) 

  • Jajaki Garis Depan Pertempuran, Putin Kenakan Seragam Militer untuk Pertama Kalinya Sejak Perang – Halaman all

    Jajaki Garis Depan Pertempuran, Putin Kenakan Seragam Militer untuk Pertama Kalinya Sejak Perang – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Presiden Rusia Vladimir Putin mengenakan seragam militer lengkap untuk pertama kalinya sejak melancarkan invasi besar-besaran ke Ukraina pada Rabu (12/3/2025).

    Dilansir Newsweek, keputusan Putin untuk mengenakan seragam militer tampaknya bertujuan memperkuat citranya sebagai pemimpin di masa perang.

    Putin juga dinilai ingin meningkatkan moral tentaranya menjelang kemungkinan perundingan damai untuk mengakhiri konflik.

    Ia mengenakan pakaian militer tersebut saat mengunjungi pos komando di garis depan pertempuran wilayah Kursk, Rusia bagian barat, yang berbatasan dengan Ukraina.

    Di sana, ia mengusulkan pembentukan “zona penyangga” di sepanjang perbatasan.

    Kunjungan ke Kursk ini merupakan yang pertama bagi Putin sejak wilayah tersebut diserang oleh Ukraina pada Agustus lalu.

    Dalam kunjungannya, Putin menyerukan agar pasukannya segera memukul mundur pasukan Ukraina dari wilayah tersebut secepat mungkin, demikian menurut laporan media pemerintah Rusia.

    Pasukan Rusia, yang dibantu oleh tentara Korea Utara, dilaporkan berhasil merebut kembali kendali atas beberapa desa di wilayah Kursk baru-baru ini.

    “Saya berharap semua tugas tempur yang dihadapi unit kita dapat diselesaikan, dan wilayah Kursk segera dibebaskan sepenuhnya dari musuh,” ujar Putin.

    “Tentu saja, saya ingin meminta Anda untuk mempertimbangkan pembentukan zona penyangga di sepanjang perbatasan negara di masa mendatang,” tambahnya saat mengunjungi pos komando.

    “Pasukan Ukraina akan diperlakukan sebagai teroris sesuai dengan hukum Federasi Rusia,” tegas Putin.

    Potensi Perundingan Damai

    Kemunculan Putin dengan seragam tempur bertepatan dengan agenda kunjungan utusan Presiden AS Donald Trump, Steve Witkoff, ke Moskow minggu ini. 

    Witkoff disebut membawa usulan gencatan senjata untuk Kremlin serta membahas ketentuan perjanjian damai.

    Menurut juru bicara Gedung Putih Caroline Leavitt, Witkoff akan berada di Moskow dari 12 Maret hingga 16 Maret. 

    Namun, dia tidak mengungkapkan dengan siapa Witkoff akan bertemu.

    Laporan dari Bloomberg menyatakan bahwa Witkoff diperkirakan akan bertemu langsung dengan Putin. 

    Sebelumnya pada 11 Maret di Jeddah, Amerika Serikat mengusulkan rencana gencatan senjata Rusia-Ukraina selama 30 hari.

    Ukraina menyetujui usulan tersebut, yang membuat AS untuk melanjutkan pembagian informasi intelijen dan bantuan keamanan.

    Setelah itu, Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio mengonfirmasi bahwa usulan gencatan senjata akan secara resmi disampaikan kepada Rusia. 

    Namun, Putin berulang kali menyatakan bahwa Rusia tidak menginginkan gencatan senjata sementara.

    Ia beralasan bahwa negara-negara NATO dapat menggunakan jeda tersebut untuk mempersenjatai kembali Ukraina.

    Meski Rusia belum secara resmi merespons usulan gencatan senjata 30 hari tersebut, dua sumber yang mengetahui masalah tersebut, mengatakan bahwa Kremlin telah memberikan daftar tuntutannya.

    Dilansir Reuters dan Sky News, para pejabat dari kedua belah pihak telah membahas persyaratan tersebut selama tiga minggu terakhir, ujar sumber tersebut.

    Tuntutan dari Rusia meliputi:

    1. Tidak ada keanggotaan NATO untuk Ukraina

    2. Perjanjian untuk tidak mengerahkan pasukan asing di Ukraina

    3. Pengakuan internasional atas klaim Vladimir Putin atas Krimea dan empat provinsi Ukraina (Luhansk, Donetsk, Zaporizhzhia, dan Kherson) 

    Namun komitmen Putin terhadap kemungkinan perjanjian gencatan senjata masih belum pasti, dengan rincian yang belum diselesaikan.

    (Tribunnews.com, Tiara Shelavie)