Tag: Donald Trump

  • Trump Hentikan Pendanaan Media Kondang AS VOA, 1.300 Karyawan Dirumahkan Laptop Ikut Disita – Halaman all

    Trump Hentikan Pendanaan Media Kondang AS VOA, 1.300 Karyawan Dirumahkan Laptop Ikut Disita – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, WASHINGTON – Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump kembali merilis kebijakan kontroversial. Ia memangkas total pendanaan untuk media AS yang didanai pemerintah per Sabtu (15/3/2025).

    Informasi tersebut mencuat usai Kari Lake, penasihat senior yang ditunjuk Trump mengunggah pemberitahuan di platform X agar karyawan US Agency for Global Media yang menaungi Voice of America (VOA) memeriksa surat elektronik mereka.

    Dalam sebuah video pendek yang diunggah di platform X, Kari Lake menjelaskan bahwa pemerintah Trump saat ini tengah menggelar  pemangkasan dana, menargetkan program prodemokrasi lainnya yang didanai pemerintah.

    Lake menilai pemangkasan anggaran dilakukan karena lembaga-lembaga pemerintah, termasuk Badan Media Global AS dianggap sebagai pemborosan anggaran negara.

    Dengan melakukan pemotongan dana, bertujuan untuk memastikan pajak rakyat tidak lagi digunakan untuk propaganda radikal.

    Imbas kebijakan ini media massa kondang AS Voice of America (VOA) ikut terdampak, bahkan akibat pemangkasan anggaran yang dilakukan Trump, portal berita menyiarkan berita berbahasa Spanyol ke Kuba melalui TV dan Radio Marti ini harus memberhentikan 1.300 karyawan.

    Tak sampai disitu, para karyawan juga dilarang menggunakan fasilitas Agency for Global Media serta diminta mengembalikan perangkat kerja seperti ponsel dan laptop.

    Hal tersebut juga dibenarkan Direktur VOA Michael Abramowitz, ia mengungkap bahwa seluruh karyawan VOA, termasuk dirinya telah dirumahkan sementara akibat keputusan Trump.

    “Saya sangat sedih karena untuk pertama kalinya dalam 83 tahun, Voice of America yang tersohor itu dibungkam,” kata Direktur VOA, Michael Abramowitz, dalam pernyataan yang diunggah di akun Facebook pribadinya, dikutip dari Reuters, Minggu(16/3/2025).

    Ia mengakui bahwa VOA memang membutuhkan reformasi agar lebih baik. Namun, menurutnya, keputusan Trump memangkas anggaran justru menghambat misi VOA dalam menyampaikan berita dan program budaya kepada dunia.

    “VOA memang membutuhkan reformasi yang matang, dan kami telah membuat kemajuan ke arah itu. Namun, tindakan hari ini akan membuat VOA tidak dapat menjalankan misinya yang sangat penting,” ujar Abramowitz.

    Meski pemecatan ini berpotensi memicu gelombang pengangguran, namun dalam surat pemberitahuan yang dirilis kepada karyawan Gedung Putih menyatakan bahwa mereka akan tetap memberikan gaji dan tunjangan kepada karyawan terdampak hingga ada pemberitahuan lebih lanjut.

    Merespon keputusan terbaru Trump yang memicu gelombang pemecatan di VOA, mantan Kepala Keuangan Badan Media Global AS, Grant Turnet, menyebut keputusan pemberhentian karyawan VOA ini sebagai ‘Sabtu Berdarah’ bagi lembaga pers dan jaringannya.

    Turnet juga menyoroti bahwa keputusan ini berpotensi menghambat penyebaran berita, informasi, dan nilai-nilai Amerika ke seluruh dunia.

    Pernyataan ini dilontarkan lantaran pemangkasan anggaran negara tak hanya berpengaruh terhadap pembekuan media VOA.

    Namun juga berpotensi mengakhiri kontrak pemerintah dengan lembaga penyiaran internasional swasta yang didanai, seperti Radio Free Europe/Radio Liberty, Radio Free Asia, dan Middle East Broadcasting Networks.

    “Voice of America telah menjadi aset tak ternilai bagi Amerika Serikat, memainkan peran penting dalam perang melawan komunisme, fasisme, dan penindasan, serta dalam perjuangan untuk kebebasan dan demokrasi di seluruh dunia,” ujar Turnet​.

    “Butuh waktu puluhan tahun untuk membangun niat baik ini dan audiensi ratusan juta orang setiap minggu. Namun melihat pembakar membakar semuanya sungguh mengerikan,” imbuhnya.

    Senada dengan yang lainnya, kelompok advokasi Reporters Without Borders mengecam keputusan Trump, dengan mengatakan bahwa hal itu mengancam kebebasan pers di seluruh dunia dan meniadakan 80 tahun sejarah Amerika dalam mendukung arus informasi yang bebas.

  • AS Koordinasi ke Israel Soal Bombardemen ke Houthi Yaman, IRGC Iran Nyatakan Siap Perang – Halaman all

    AS Koordinasi ke Israel Soal Bombardemen ke Houthi Yaman, IRGC Iran Nyatakan Siap Perang – Halaman all

    AS Koordinasi ke Israel Soal Bombardemen ke Yaman, Iran Nyatakan Siap Perang

    TRIBUNNEWS.COM – Kementerian luar negeri Iran, Minggu (15/3/2025) mengutuk serangan mematikan Amerika Serikat (AS) terhadap kelompok Ansarallah Houthi Yaman yang didukung Teheran, dengan mengatakan serangan itu melanggar hukum internasional.

    Juru bicara Kementerian Esmaeil Baqaei dalam sebuah pernyataan menyatakan kalau Iran “mengutuk keras serangan udara brutal oleh AS” dan menyebutnya sebagai “pelanggaran berat terhadap prinsip-prinsip Piagam PBB”.

    Sebelumnya, Presiden AS Donald Trump memperingatkan Iran agar berhenti mendukung Houthi, dalam pernyataan yang dibuat pada Sabtu.

    Peringatan Trump itu dia lontarkan setelah mengumumkan apa yang tampaknya merupakan dimulainya serangan udara besar-besaran terhadap kelompok Yaman tersebut.

    Sebagai tanggapan, kepala Garda Revolusi Iran (IRGC) pada hari Minggu menyatakan pihaknya siap berperang dengan mengancam akan memberikan tanggapan “tegas” terhadap serangan apa pun.

    “Iran tidak akan melancarkan perang, tetapi jika ada yang mengancam, Iran akan memberikan tanggapan yang tepat, tegas, dan konklusif,” kata Hossein Salami dalam pidato yang disiarkan televisi.

    BOLA API – Tangkap layar bola api dari ledakan yang terjadi di Al-Jaffar, Sanaa, Yaman, Sabtu (15/3/2025) seusai dibom serangan udara Amerika Serikat. Kelompok Houthi Yaman bersumpah akan membalas serangan ini. (RNTV/TangkapLayar)

    AS Koordinasi dengan Israel 

    Adapun pihak AS rupanya melakukan koordinasi dengan Israel, musuh lama Iran, sebelum melakukan bombardemen ke Yaman.

    “Israel diberitahu oleh Amerika Serikat tentang operasi mereka terhadap Houthi sebelum serangan terhadap organisasi teroris itu dimulai,” kata seorang pejabat Israel kepada The Jerusalem Post pada Minggu pagi.

    Selain Israel, AS juga menginformasikan serangan mereka di Yaman tersebut ke pihak Rusia. 

    “Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio berbicara pada hari Sabtu dengan Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov untuk memberitahunya tentang serangan AS terhadap Houthi Yaman serta langkah selanjutnya setelah pertemuan di Arab Saudi,” kata Departemen Luar Negeri AS.

    Seorang juru bicara Departemen Luar Negeri mengatakan Rubio dan Lavrov “sepakat untuk terus berupaya memulihkan komunikasi antara Amerika Serikat dan Rusia.”

    KOBARAN API – Tangkap layar kobaran api dari ledakan yang terjadi di Al-Jaffar, Sanaa, Yaman, Sabtu (15/3/2025) seusai dibom serangan udara Amerika Serikat. Kelompok Houthi Yaman bersumpah akan membalas serangan ini. (RNTV/TangkapLayar)

    Serangan AS ke Houthi bisa Berlanjut Hingga Berminggu-minggu

    Serangan udara AS dan Inggris baru-baru ini yang menargetkan Houthi bukanlah peristiwa satu kali, melainkan awal dari serangkaian operasi yang dapat berlangsung selama berhari-hari atau bahkan berminggu-minggu, CNN mengutip sumber yang mengetahui masalah tersebut.

    Dalam pernyataan sebelumnya, Presiden AS Donald Trump mengatakan: “Kami tidak akan menoleransi segala serangan terhadap kepentingan kami atau ancaman terhadap keamanan kami, baik di laut maupun di tempat lain.”

    Trump menekankan bahwa serangan Houthi yang terus berlanjut terhadap kapal, pesawat, dan pesawat tak berawak Amerika telah menyebabkan Amerika Serikat mengambil tindakan tegas.

    Ia mengkritik tanggapan mantan Presiden AS Joe Biden terhadap serangan-serangan ini, menyebutnya “sangat lemah,” yang menurut Trump, (respons lemah Biden ini) memungkinkan kaum Houthi untuk melanjutkan tindakan-tindakan gegabah mereka.

    Trump lebih lanjut menyatakan bahwa eskalasi tersebut telah “mencekik pengiriman di salah satu jalur perairan paling kritis di dunia,” yang menyebabkan gangguan luas pada perdagangan global.

    Houthi: Jumlah Korban Tewas Serangan Udara AS di Yaman Meningkat 

    Terkait serangan AS itu, Kelompok Houthi di Yaman mengumumkan bahwa 13 orang tewas dan sembilan lainnya terluka dalam serangan udara terbaru di ibu kota, Sanaa.

    Menurut pernyataan kelompok tersebut, serangan AS menargetkan wilayah pemukiman di Sanaa, yang mengakibatkan korban sipil.

    Anis Al-Asbahi, juru bicara Kementerian Kesehatan Yaman, menyatakan: “Jumlah korban akibat agresi telah mencapai 13 orang syahid dan sembilan orang terluka, sebagian besar adalah warga sipil. Ini adalah jumlah korban sementara dan mungkin bertambah.”

    Ia menambahkan bahwa “agresi Amerika terhadap Yaman adalah eskalasi kriminal yang tidak akan mematahkan keinginan rakyat Yaman, tetapi hanya akan memperkuat tekad mereka untuk mendukung Gaza dan perlawanan.”

    Al-Asbahi mengutuk apa yang ia gambarkan sebagai “serangan yang menargetkan warga sipil dan wilayah permukiman di Sanaa timur hari ini, yang menandai eskalasi kriminal yang sistematis, pelanggaran terang-terangan terhadap semua hukum dan konvensi internasional, dan kejahatan perang yang menambah catatan poros kejahatan.”

    YAMAN DISERANG – Tangkap layar YouTube AlJazeera Arabic, memperlihatkan serangan AS-Inggris di ibu kota Yaman, Sanaa pada Sabtu (15/3/2025) malam waktu setempat. Serangan ini terjadi setelah Donald Trump menyerukan eskalasi terhadap kelompok Houthi. (Tangkap layar YouTube AlJazeera Arabic)

    Houthi Bersumpah Balas Serangan Udara AS

    Biro politik Ansar Allah (kelompok Houthi) mengeluarkan pernyataan yang memperingatkan bahwa serangan udara AS “tidak akan dibiarkan begitu saja” dan bahwa pasukan mereka “siap untuk meningkatkan serangan hingga kemenangan tercapai.”

    “Agresi Amerika tidak akan menghalangi rakyat kami untuk terus mendukung Palestina dan mendukung rakyat Gaza serta perlawanannya,” kata Houthi dalam sebuah pernyataan, seraya menambahkan bahwa “serangan AS dan Inggris merupakan respons langsung terhadap posisi Yaman dalam solidaritas dengan perjuangan Palestina.”

    Pernyataan tersebut selanjutnya menuduh Amerika Serikat “mengobarkan perang atas nama entitas Zionis,” dan menekankan bahwa “menargetkan warga sipil dan infrastruktur sipil merupakan kejahatan perang dan tindakan terorisme Amerika yang jelas terhadap negara-negara lain.”

    Rudal Houthi Jatuh di Sharm El Sheikh Mesir

    Houthi tampaknya langsung merespons serangan AS ini dengan menargetkan serangan rudal ke Israel.

    Namun, sebuah rudal, yang dilaporkan ditembakkan oleh Houthi Yaman, jatuh di kota Sharm el-Sheikh di Semenanjung Sinai Mesir, menurut Jerusalem Post, mengutip Radio Angkatan Darat Israel pada Minggu pagi.

    “Postingan tersebut melaporkan bahwa serangan rudal tersebut menimbulkan kekhawatiran, dan Pasukan Pendudukan Israel (IOF) meluncurkan penyelidikan untuk mengetahui apakah rudal tersebut dimaksudkan untuk menargetkan Israel,” tulis RNTV.

    Pemerintah Mesir belum mengeluarkan pernyataan resmi tentang insiden tersebut.

    Sebelumnya pada hari Sabtu, ledakan dahsyat mengguncang ibu kota Yaman menyusul serangan udara AS yang menargetkan beberapa lokasi Houthi di Sanaa barat laut.

    Kelompok Houthi di Yaman baru-baru ini mengumumkan bahwa 13 orang tewas dan sembilan lainnya terluka dalam serangan udara terbaru AS di ibu kota, Sanaa.

    Menurut pernyataan kelompok itu, serangan AS menargetkan wilayah pemukiman di Sanaa, yang mengakibatkan korban sipil.

     

    (oln/rntv/*)

  • Kritik Mengemuka Usai Kampus Top AS Malah Hukum Aktivis Pro-Palestina

    Kritik Mengemuka Usai Kampus Top AS Malah Hukum Aktivis Pro-Palestina

    New York

    Columbia University mengikuti keinginan Presiden Amerika Serikat (AS) Trump dengan menghukum para aktivis pro-Palestina. Langkah kampus top AS itu pun menuai kritik.

    Sebagai informasi, otoritas Imigrasi AS menangkap pemimpin aksi pro-Palestina di Columbia, Mahmoud Khalil pada Minggu (9/3/2025. Khalil telah memimpin demonstrasi yang menentang perang Israel di Jalur Gaza.

    Penangkapan ini dilakukan menyusul tekad Presiden AS Donald Trump untuk mendeportasi para mahasiswa asing yang ikut aksi pro-Palestina atau kedapatan mendukung Hamas. Departemen Keamanan Dalam Negeri (DHS), seperti dilansir AFP dan Al Arabiya, mengumumkan penangkapan Khalil itu.

    Khalil menjadi wajah paling menonjol dari gerakan protes di universitas-universitas AS menanggapi perang Gaza. DHS menyebut Khalil ‘memimpin aktivitas terkait Hamas, sebuah organisasi teroris’. Namun, DHS tidak menjelaskan lebih lanjut soal tuduhan tersebut.

    DHS menyebut penangkapan dilakukan untuk mendukung perintah eksekutif Presiden Trump yang melarang antisemitisme atau anti-Yahudi dan dalam koordinasi dengan Departemen Luar Negeri. Student Workers of Columbia Union mengatakan Khalil telah ditahan sejak Sabtu (8/3) waktu setempat. Organisasi itu menggambarkan Khalil sebagai seorang lulusan Columbia dari Palestina dan kepala negosiator untuk kamp solidaritas Gaza musim semi lalu.

    Kampus-kampus AS, termasuk Universitas Columbia yang ada di New York diguncang oleh aksi protes mahasiswa terhadap perang Israel di Jalur Gaza setelah serangan mengejutkan Hamas pada 7 Oktober 2023 serta serangan mematikan Israel ke Gaza. Aksi protes pro-Palestina itu memicu tuduhan anti-Semitisme.

    Aksi-aksi protes tersebut, sebagian berubah menjadi aksi kekerasan dan menyebabkan gedung-gedung kampus diduduki dan kuliah diganggu, melibatkan mahasiswa-mahasiswa yang memprotes aksi militer Israel melawan demonstran pro-Tel Aviv.

    “Kami akan mencabut visa dan/atau green card para pendukung Hamas di Amerika sehingga mereka dapat dideportasi,” ucap Menteri Luar Negeri (Menlu) AS Marco Rubio dalam pernyataan via media sosial X.

    Selain itu, Trump juga membekukan hibah federal senilai USD 400 juta atau sekitar Rp 6,5 triliun ke Columbia. Trump menuding Universitas Columbia gagal dalam meredam antisemitisme di kampusnya sebagai alasan di balik pembatalan tersebut.

    Picu Demo di New York

    Demonstrasi di New York tuntut pembebasan Mahmoud Khalil. (AFP/LEONARDO MUNOZ)

    Penangkapan Khalil itu memicu gelombang demonstrasi di New York. Pada Kamis (13/3/2025), ratusan demonstran Yahudi menyerbu Trump Tower di New York untuk mendukung warga Palestina serta menuntut pembebasan Khalil yang ditahan oleh otoritas AS. Mereka juga menuntut AS berhenti mempersenjatai Israel.

    Dilansir AFP, Minggu (16/3/2025), para demonstran mengenakan kaus merah dengan tulisan ‘Orang Yahudi katakan berhenti mempersenjatai Israel’. Kelompok tersebut berunjuk rasa selama lebih dari satu jam di dalam gedung pencakar langit Manhattan itu.

    Gedung tersebut merupakan tempat kantor pusat bisnis keluarga Presiden AS Donald Trump dan tempat tinggal pribadinya. Gedung tersebut juga merupakan lokasi di mana Trump menaiki eskalator emas pada tahun 2015 untuk mengumumkan pencalonan pertamanya sebagai presiden.

    Polisi menangkap 98 orang yang berdemo di bawah panji kelompok yang menamai dirinya sebagi ‘Jewish Voice for Peace’ atas kejahatan termasuk pelanggaran hukum. Kelompok tersebut meneriakkan ‘lawan Nazi, bukan mahasiswa’ yang merujuk pada tindakan keras Trump terhadap mahasiswa asing yang terlibat dalam protes pro-Palestina.

    Pembuat film dan Profesor Columbia, James Schamus, mengatakan orang-orang Yahudi di New York datang untuk menuntut pembebasan Khalil. Dia menuding Trump telah menangkap Khalil tanpa dasar.

    “Menuntut agar ke-Yahudian kita tidak dijadikan senjata untuk mencuri hak-hak warga negara Amerika dan mengakhiri demokrasi kita. Rezim Trump-Musk telah menjelaskan bahwa mereka tidak mendakwa Mahmoud Khalil dengan kejahatan apa pun, bahwa mereka menuduhnya memiliki pendapat yang mereka katakan ‘berpihak pada Hamas’,” ujarnya.

    Kepala Polisi setempat, John Chell, mengatakan protes tersebut berlangsung tanpa korban luka atau kerusakan dan atrium telah dibersihkan dari pengunjuk rasa dalam waktu 2 jam.

    “Sebagai orang Yahudi yang memiliki hati nurani, kami tahu sejarah kami dan kami tahu ke mana arahnya. Inilah yang dilakukan kaum fasis saat mereka memperkuat kendali,” kata anggota Jewish Voice for Peace, Jane Hirschmann, seorang Yahudi New York yang kakek dan pamannya diculik oleh Nazi.

    Penangkapan Khalil telah memicu kemarahan dari para kritikus pemerintahan Trump serta para pendukung kebebasan berbicara, termasuk beberapa dari kalangan politik kanan, yang mengatakan bahwa tindakan tersebut memiliki efek yang mengerikan terhadap kebebasan berekspresi. Selain di Trump Tower, demonstrasi juga terjadi di Times Square, New York, pada Sabtu (15/3). Para demonstran yang merupakan aktivis pro-Palestina memegang plakat dan melambaikan bendera dengan tema ‘Perjuangkan Hak Kami’.

    Demonstrasi juga terjadi di luar pengadilan New York untuk memprotes penangkapan dan penahanan Khalil. Seorang hakim federal di New York akan mendengarkan argumen yang mendukung dan menentang Khalil yang kini dipindahkan ke sebuah fasilitas di Jena, Louisiana, tempat dia ditahan.

    Columbia University Dikritik gegara Hukum Aktivis

    Demonstrasi di luar Pengadilan New York. (Getty Images via AFP/MICHAEL M. SANTIAGO)

    Columbia University, yang merupakan salah satu kampung elite di AS, memutuskan memberi hukuman kepada para mahasiswa dan alumninya yang terlibat demonstrasi pro-Palestina tahun lalu. Langkah kampus anggota Ivy League itu langsung menuai kritik.

    Dilansir Reuters dan NBC News, Minggu (16/3/2025), Columbia mengumumkan telah memberikan berbagai hukuman kepada mahasiswa yang menduduki gedung kampus pada musim semi lalu selama protes pro-Palestina. Pengumuman itu muncul seminggu setelah pemerintahan Trump membatalkan hibah dan kontrak federal senilai USD 400.

    Presiden atau Rektor sementara Universitas Columbia, Katrina Armstrong, menyebut kekhawatiran pemerintahan Trump sah dan mengatakan lembaganya bekerja sama dengan pemerintah untuk mengatasinya. Protes di kampus dan protes balasan pro-Israel telah menuai tuduhan antisemitisme, Islamofobia, dan rasisme.

    Universitas tersebut mengatakan dalam sebuah pernyataan pada Kamis (13/3) bahwa ‘dewan peradilannya menetapkan temuan dan mengeluarkan sanksi kepada mahasiswa mulai dari penangguhan selama beberapa tahun, pencabutan gelar sementara, dan pengusiran terkait dengan pendudukan Hamilton Hall musim semi lalu’.

    Dewan peradilan universitas terdiri dari mahasiswa, fakultas, dan staf yang dipilih oleh senat universitas. Namun, Columbia tidak merilis nama-nama mahasiswa yang didisiplinkan dan tidak menyebutkan berapa banyak mahasiswa yang menghadapi hukuman dengan alasan pembatasan privasi hukum. Mahasiswa dapat mengajukan banding atas hukuman mereka.

    Serikat pekerja yang mewakili pekerja mahasiswa Columbia, UAW Lokal 2710, mengatakan mantan pemimpinnya, Grant Miner, termasuk di antara mahasiswa yang dikeluarkan satu hari sebelum negosiasi kontrak dengan universitas akan dimulai. Langkah itu disebut oleh serikat pekerja sebagai ‘serangan terbaru terhadap hak Amandemen Pertama’. Sementara, juru bicara universitas mengatakan mereka tidak mengomentari pernyataan serikat tersebut.

    Kampus Columbia menjadi pusat protes anti-Israel yang kemudian menyebar ke beberapa kampus di AS. Demonstrasi dimulai setelah serangan Hamas terhadap Israel pada 7 Oktober 2023 dan serangan Israel yang didukung AS berikutnya terhadap Gaza hingga menyebabkan puluhan ribu warga tewas. Saat itu, para pengunjuk rasa menuntut agar dana abadi universitas ditarik dari kepentingan Israel dan agar AS mengakhiri bantuan militer ke Israel.

    Grant Miner yang mewakili ribuan pekerja mahasiswa Columbia yang dipecat dan diusir minggu ini telah menyampaikan pidato di hadapan publik. Dia menggambarkan penahanan Mahmoud Khalil gara-gara memimpin demo pro-Palestina sebagai ‘kampanye ketakutan’.

    “Kita harus bersatu untuk memberi tahu Trump dan kawan-kawan miliardernya bahwa kita tidak akan membiarkan intimidasi dan kemunduran hak-hak sipil di negara ini,” katanya.

    Dia juga mengkritik kampusnya gara-gara memilih mengikuti keinginan Trump. Dia menganggap Columbia hanya mementingkan uang.

    “Saya tidak terkejut bahwa universitas memilih untuk mengorbankan mahasiswa dan pekerjanya demi uang hibah. Kita tahu persis berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk membeli moralitas Columbia,” ujar Miner.

    AS Bakal Gunakan UU Terorisme Terhadap Aktivis Pro-Palestina

    Bendera AS. (Tom Pennington/Getty Images)

    Departemen Kehakiman AS mengatakan pihaknya sedang menyelidiki apa yang disebut sebagai kemungkinan pelanggaran undang-undang terorisme selama protes atas perang Gaza di Universitas Columbia. Dilansir Reuters, Wakil Jaksa Agung AS Todd Blanche mengatakan penyelidikan tersebut merupakan bagian dari ‘misi Presiden Donald Trump untuk mengakhiri antisemitisme di negara ini’.

    Dia menyebutnya sebagai tindakan balasan yang sudah lama tertunda. Pendukung hak-hak sipil langsung mengkritik langkah tersebut.

    Mereka mengatakan para pengunjuk rasa dilindungi oleh Amandemen Pertama Konstitusi AS yang melindungi hak-hak termasuk kebebasan berbicara. Pengumuman tersebut merupakan yang terbaru dalam serangkaian kebijakan pemerintahan Trump yang tidak berniat melonggarkan tindakan keras terhadap aktivis mahasiswa pro-Palestina.

    Awal minggu ini, Departemen Pendidikan AS memperingatkan bahwa mereka sedang menyelidiki 60 sekolah karena dianggap menoleransi lingkungan yang tidak bersahabat bagi orang Yahudi. Mereka juga menyelidiki pengaduan bahwa 45 universitas terlibat dengan program keberagaman yang menetapkan kelayakan berdasarkan ras. Kegiatan itu dianggap melanggar undang-undang hak sipil tahun 1964.

    Pengacara senior di American Civil Liberties Union dan bagian dari tim hukum Khalil, Brian Hauss, mengatakan penyelidikan Departemen Kehakiman itu salah alamat.

    “Amandemen Pertama tidak memperbolehkan adanya alasan untuk mencampuradukkan antara pro-Palestina dan pro-Hamas,” katanya dalam sebuah pengarahan.

    Presiden sementara Columbia University Katrina Armstrong menyebut agen dari Departemen Keamanan Dalam Negeri AS melakukan penggeledahan asrama setelah memberikan surat perintah yang ditandatangani oleh hakim federal. Dia mengatakan tidak ada yang ditahan, tidak ada barang yang dipindahkan, dan tidak ada tindakan lebih lanjut yang diambil.

    Penggeledahan tersebut merupakan bagian dari penyelidikan apakah Universitas Columbia menampung imigran di kampusnya yang berada di negara itu secara ilegal. Mahasiswa mengatakan agen imigrasi federal telah berulang kali terlihat di asrama dan perumahan mahasiswa di sekitar kampus Manhattan Columbia.

    Di antara tuntutan dalam surat hari Kamis kepada sekolah tersebut, pemerintahan Trump mengatakan Columbia harus secara resmi mendefinisikan antisemitisme, melarang penggunaan topeng ‘yang dimaksudkan untuk menyembunyikan identitas atau mengintimidasi’ dan menempatkan departemen Studi Timur Tengah, Asia Selatan, dan Afrika di bawah ‘kepengurusan akademis’ yang akan mengambil alih kendali dari tangan fakultas mereka.

    Ratusan pendukung Khalil pun berdemonstrasi di gerbang utama Columbia pada hari Jumat (14/3). Seorang mahasiswa pascasarjana, Demetri, mengatakan suasana di kampus itu menyedihkan.

    “Pemerintah federal tidak dapat mendikte apa dan siapa yang diajarkan dan tidak diajarkan, seperti siapa yang dapat dan tidak dapat diterima,” katanya.

    Halaman 2 dari 4

    (haf/haf)

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Iran Tolak Perintah Trump, Tegaskan AS Tak Punya Hak Atur Kebijakan Otoritas Teheran  – Halaman all

    Iran Tolak Perintah Trump, Tegaskan AS Tak Punya Hak Atur Kebijakan Otoritas Teheran  – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM –  Pemerintah Iran menegaskan, Amerika Serikat tidak memiliki wewenang apapun untuk mengatur kebijakan luar negeri Iran.

    “AS tidak memiliki wewenang, atau urusan, yang mendikte kebijakan luar negeri Iran,” tegas Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araghchi, sebagaimana dikutip dari BBC International.

    Dalam cuitannya di media sosial X, Araghchi juga mendesak agar pemerintahan AS di bawah kepemimpinan Donald Trump menghentikan pembunuhan terhadap rakyat Yaman.

    “Akhiri dukungan terhadap genosida dan terorisme Israel. Hentikan pembunuhan terhadap warga Yaman,” imbuh Araghchi.

    Pernyataan ini, dilontarkan Araghchi tepat setelah Presiden AS Donald Trump memerintahkan militernya untuk menyerang ibu kota Yaman, Sanaa, pada Sabtu (15/3/2025). 

    Pasca perintah dirilis, sejumlah jet tempur AS tampak lepas landas dari kapal induk menuju ke beberapa wilayah di Yaman, termasuk ibu kota Sanaa.

    Tak hanya di ibu kota Sanna, serangan dilakukan militer AS ke sejumlah wilayah Yaman lainnya, seperti Provinsi utara Saada dan Hajjah, menewaskan setidaknya 10 orang.

    Sementara saluran TV lokal, Al-Masirah TV melaporkan, empat serangan udara dilakukan AS dengan menargetkan permukiman Shoab di Sanaa timur, serta Provinsi tengah Bayda, Marib, Dhamar, dan Provinsi barat daya Taiz.

    Imbas serangan ini,sebanyak 31 warga sipil Yaman dilaporkan tewas, sementara 50 orang lainnya dilaporkan luka-luka pada akhir pekan ini.

    “Mereka telah melancarkan kampanye pembajakan, kekerasan, dan terorisme yang tak henti-hentinya terhadap kapal, pesawat, dan pesawat nirawak Amerika, dan lainnya.” tegas Trump di X.

    Kedekatan Iran dan Houthi

    Presiden AS, Donald Trump, mengatakan serangan tersebut dilakukan sebagai tanggapan atas aksi balasan atas tindakan Houthi terhadap kapal-kapal yang berlayar melalui Terusan Suez dan Laut Merah selatan.

    Namun serangan tersebut memicu kecaman, termasuk pemerintah Iran yang merupakan sekutu dekat Houthi.

    Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araghchi, mengatakan pemerintah AS tidak memiliki wewenang, atau urusan, yang mendikte kebijakan luar negeri Iran, termasuk memutuskan hubungan Iran dengan Houthi.

    Hubungan antara Iran dan Houthi di Yaman sejak dulu terjalin cukup dekat

    Kedekatan ini bahkan membuat Iran aktif memberikan dukungan politik, militer, dan logistik kepada kelompok Houthi. 

    Kedekatan antara Iran dan Houthi terjalin lantaran Iran, yang merupakan negara mayoritas Syiah yang memiliki kesamaan ideologi dan agama dengan Houthi.

    Selain itu, Iran melihat Houthi sebagai bagian dari strategi lebih luas untuk membangun sekutu di kawasan yang lebih luas,.

    Termasuk di Irak, Suriah, dan Lebanon, melalui apa yang sering disebut sebagai “Poros Perlawanan” (Axis of Resistance) yang melawan pengaruh Barat dan sekutunya, seperti Arab Saudi dan negara-negara Teluk lainnya.

    Atas dasar ini, Iran diduga memberikan dukungan berupa pasokan senjata, pelatihan militer, dan bantuan logistik kepada Houthi. 

    Meskipun Iran membantah terlibat langsung dalam pemberontakan Houthi, banyak negara, termasuk Arab Saudi dan negara-negara Barat, yang menganggap Iran sebagai pendukung utama Houthi.

    Bahkan, sejumlah analis menyebut, Iran secara diam-diam memberikan pasokan senjata kepada Houthi, termasuk roket, rudal balistik, dan senjata api.

    Iran turut diduga memberikan teknologi dan dukungan terkait pembuatan rudal balistik dan drone, yang kemudian digunakan oleh Houthi untuk menyerang target di dalam Yaman dan negara-negara tetangga, termasuk Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA).

    Lebih lanjut, Iran diduga memberikan pelatihan kepada pejuang Houthi dalam taktik tempur, penggunaan senjata berat, dan pembuatan senjata. 

    Adapun pelatihan ini kemungkinan dilakukan oleh pasukan Garda Revolusi Iran (IRGC) atau pasukan militer lainnya yang memiliki pengalaman dalam konflik di kawasan Timur Tengah.

    (Tribunnews.com / Namira)

  • Dukungan Kanada untuk Ukraina, PM Carney Desak Putin Berunding – Halaman all

    Dukungan Kanada untuk Ukraina, PM Carney Desak Putin Berunding – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Perdana Menteri Kanada, Mark Carney, menegaskan komitmen negaranya untuk memberikan dukungan berkelanjutan kepada Ukraina dalam menghadapi invasi Rusia.

    Dalam pernyataan yang disampaikan melalui media sosial, Carney juga mengajak Presiden Rusia, Vladimir Putin, untuk segera duduk di meja perundingan.

    Dukungan untuk Gencatan Senjata

    Carney menekankan pentingnya segera dilakukannya gencatan senjata di Ukraina. “Rusia sekarang harus berhenti mengulur waktu dan menghentikan serangan,” ujar Carney yang dikutip dari Suspilne.

    Komitmen Kelompok Tujuh (G7)

    PM Carney juga menyatakan bahwa Kelompok Tujuh (G7) akan memperkuat pemantauan terhadap sanksi yang dijatuhkan kepada Rusia untuk memastikan kepatuhan terhadap aturan internasional. “Kami akan memastikan bahwa Ukraina memiliki dukungan militer yang dibutuhkan untuk mempertahankan diri sekarang dan di masa depan,” tegasnya.

    Pertemuan Ukraina dan AS

    Sebelumnya, pada 11 Maret 2025, Ukraina dan Amerika Serikat mengadakan pertemuan di Arab Saudi yang berujung pada kesepakatan untuk melaksanakan gencatan senjata selama 30 hari.

    Pada 13 Maret 2025, Putin mengungkapkan bahwa Rusia setuju untuk melaksanakan gencatan senjata tersebut, meskipun dengan syarat tertentu.

    Ia optimis bahwa gencatan senjata ini akan membuka jalan bagi perdamaian jangka panjang.

    Harapan untuk Penyelesaian

    Di saat yang sama, mantan Presiden AS, Donald Trump, menyampaikan harapannya agar Rusia mematuhi penghentian permusuhan ini.

    Ia juga menyoroti bahwa masalah wilayah dan kendali atas PLTN Zaporizhia menjadi bagian dari pembahasan.

    Dengan ketegangan yang terus meningkat, berbagai pihak internasional mendesak Rusia untuk segera menghentikan agresinya dan menempuh jalur diplomasi demi perdamaian yang lebih stabil di kawasan tersebut.

    Konten ini disempurnakan menggunakan Kecerdasan Buatan (AI).

  • Trump Hentikan Pendanaan VOA: Apa Dampaknya? – Halaman all

    Trump Hentikan Pendanaan VOA: Apa Dampaknya? – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Kebijakan terbaru Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, yang memutuskan untuk memangkas pendanaan untuk media yang didanai pemerintah, telah menuai kontroversi.

    Keputusan ini tidak hanya berdampak pada Voice of America (VOA), tetapi juga berpengaruh pada keberlangsungan berita dan informasi yang disampaikan kepada masyarakat.

    Mengapa Trump Memangkas Anggaran Media?

    Pada 15 Maret 2025, Kari Lake, penasihat senior yang ditunjuk oleh Trump, mengumumkan melalui platform X bahwa pemangkasan dana ini ditujukan untuk program-program prodemokrasi yang didanai pemerintah.

    Dalam video yang diunggahnya, Lake menyatakan bahwa lembaga-lembaga pemerintah, termasuk Badan Media Global AS, dianggap sebagai pemborosan anggaran.

    Lake berpendapat bahwa pemotongan anggaran bertujuan untuk memastikan bahwa pajak rakyat tidak lagi digunakan untuk apa yang ia sebut sebagai “propaganda radikal”.

    Dengan kebijakan ini, mereka berusaha untuk merampingkan organisasi yang dianggap tidak efisien.

    Dampak Pemangkasan Anggaran Terhadap Voice of America

    Akibat dari kebijakan ini, Voice of America, media kondang yang dikenal menyiarkan berita berbahasa Spanyol ke Kuba melalui TV dan Radio Marti, terpaksa memberhentikan 13.000 karyawan.

    Karyawan juga diminta untuk mengembalikan perangkat kerja, seperti ponsel dan laptop.

    Direktur VOA, Michael Abramowitz, mengungkapkan bahwa keputusan ini sangat menyedihkan, karena untuk pertama kalinya dalam 83 tahun, VOA mengalami pemutusan kegiatan. “Saya sangat sedih karena untuk pertama kalinya dalam 83 tahun Voice of America yang tersohor itu dibungkam,” ujar Abramowitz.

    Ia mengakui bahwa VOA memang membutuhkan reformasi, tetapi langkah yang diambil Trump justru menghambat misi lembaga untuk menyampaikan berita dan program budaya.

    Reaksi Terhadap Kebijakan Pemecatan

    Mantan Kepala Keuangan Badan Media Global AS, Grant Turnet, juga mengkritik keputusan ini, menyebutnya sebagai “Sabtu Berdarah” bagi lembaga pers.

    Menurutnya, pemangkasan anggaran ini tidak hanya akan mengganggu VOA, tetapi juga dapat mengakhiri kontrak dengan lembaga penyiaran internasional swasta lainnya, seperti Radio Free Europe dan Radio Free Asia.

    Turnet menekankan pentingnya VOA sebagai aset bagi Amerika Serikat dalam perang melawan komunisme, fasisme, dan penindasan.

    Ia mengungkapkan bahwa membangun kredibilitas media ini memerlukan waktu puluhan tahun dan mengkhawatirkan dampak kebijakan yang seolah membakar semua pencapaian tersebut.

    Kecaman dari Kelompok Advokasi

    Kelompok advokasi Reporters Without Borders juga mengecam keputusan Trump, dengan menyatakan bahwa kebijakan ini mengancam kebebasan pers di seluruh dunia.

    Mereka menilai bahwa hal ini akan meniadakan 80 tahun sejarah Amerika dalam mendukung arus informasi yang bebas dan akurat.

    Dengan segala dampak yang dihasilkan oleh kebijakan ini, banyak pihak berharap akan ada perubahan positif yang bisa menjaga integritas dan keberlangsungan media yang mendukung kebebasan informasi.

    Bagaimana langkah ke depan dalam menjaga kebebasan pers dan kualitas informasi di era yang penuh tantangan ini?

    Konten ini disempurnakan menggunakan Kecerdasan Buatan (AI).

  • Rudal Houthi Jatuh di Sharm el-Sheikh Mesir, Diduga Mau Serang Israel Seusai Yaman Dibombardir AS – Halaman all

    Rudal Houthi Jatuh di Sharm el-Sheikh Mesir, Diduga Mau Serang Israel Seusai Yaman Dibombardir AS – Halaman all

    Rudal Houthi Jatuh di Sharm el-Sheikh Mesir, Mau Serang Israel Seusai Yaman Dibombardir AS?

    TRIBUNNEWS.COM – Sebuah rudal, yang dilaporkan ditembakkan oleh Houthi Yaman, jatuh di Kota Sharm el-Sheikh di Semenanjung Sinai Mesir, menurut Jerusalem Post, mengutip Radio Angkatan Darat Israel pada Minggu (16/3/2025).

    Laporan tersebut menyatakan kalau serangan rudal tersebut menimbulkan kekhawatiran bagi entitas Israel.

    “Pasukan Pendudukan Israel (IDF) meluncurkan penyelidikan untuk mengetahui apakah rudal tersebut dimaksudkan untuk menargetkan Israel,” kata laporan tersebut.

    Pemerintah Mesir belum mengeluarkan pernyataan resmi tentang insiden tersebut.

    BOLA API – Tangkap layar bola api dari ledakan yang terjadi di Al-Jaffar, Sanaa, Yaman, Sabtu (15/3/2025) seusai dibom serangan udara Amerika Serikat. Kelompok Houthi Yaman bersumpah akan membalas serangan ini.

    AS Bombardir Sanaa

    Sebelumnya pada Sabtu, ledakan dahsyat mengguncang ibu kota Yaman menyusul serangan udara AS yang menargetkan beberapa lokasi Houthi di Sanaa barat laut.

    Kelompok Houthi di Yaman baru-baru ini mengumumkan bahwa 13 orang tewas dan sembilan lainnya terluka dalam serangan udara terbaru AS di ibu kota, Sanaa.

    Menurut pernyataan kelompok itu, serangan AS menargetkan wilayah pemukiman di Sanaa, yang mengakibatkan korban sipil.

    Militan Houthi Yaman mengecam keras agresi berbahaya AS di ibu kota Yaman, Sanaa yang telah menewaskan 31 orang, Minggu (16/3/2025).

    Kecaman itu diungkap militan Houthi, tepat setelah AS melakukan lebih dari 40 serangan udara pada Sabtu sore dan berlanjut hingga Minggu pagi.

    Menurut laporan penduduk setempat, serangan di Sanna menargetkan depot amunisi dan roket di dekat stasiun televisi negara yang dikuasai Houthi di lingkungan Al-Jarraf. 

    Serangan yang membabi buta memicu Asap putih mengepul dari lingkungan tersebut, serta serangkaian ledakan besar yang terdengar hingga jarak belasan meter.

    Tak hanya di ibu kota Sanna, serangan juga dilakukan militer AS ke sejumlah wilayah Yaman  lainnya, seperti Provinsi utara Saada dan Hajjah, menewaskan setidaknya 10 orang.

    Sementara saluran TV lokal, Al-Masirah TV melaporkan empat serangan udara dilakukan AS dengan menargetkan permukiman Shoab di Sanaa timur. Kemudian serangan udara di Provinsi tengah Bayda, Marib dan Dhamar, serta Provinsi barat daya Taiz.

    Presiden AS Donald Trump mengatakan bahwa serangan tersebut dilakukan sebagai tanggapan atas aksi balasan atas tindakan Houthi terhadap kapal-kapal yang berlayar melalui Terusan Suez dan Laut Merah selatan.

    “Amerika akan meminta pertanggungjawaban Anda sepenuhnya dan, kami tidak akan bersikap baik tentang hal itu!,” kata Trump. 

    Houthi Ancam Serangan Balik AS

    Merespon serangan mematikan yang dilakukan AS, Juru bicara Houthi, Mohammed Abdul-Salam buka suara.

    Ia menuduh AS melebih-lebihkan ancaman terhadap operasi kelompoknya terhadap kapal-kapal di Laut Merah untuk mempengaruhi opini publik. 

    Biro politik kelompok itu juga menyatakan tak akan tinggal diam terhadap serangan AS. Mereka bersumpah membalas AS.

    “Agresi itu tidak akan dibiarkan begitu saja, dan angkatan bersenjata Yaman sepenuhnya siap menghadapi eskalasi dengan eskalasi,” ujar Houthi, sebagaimana dikutip dari Arab News.

    Lebih lanjut, Houthi yang didukung Iran, bersumpah serangan AS tak akan menghalangi Yaman dalam mendukung rakyat Gaza.

    lebih dari setahun, kelompok itu telah melakukan serangan terhadap kapal-kapal kargo dalam apa yang disebutnya sebagai balas dendam terhadap Israel atas operasi militernya di Gaza, yang menyebabkan krisis berkepanjangan di koridor pelayaran yang sibuk di laut tersebut.

    Kelompok Houthi berjanji akan menghentikan serangan terhadap kapal-kapal di Laut Merah selama kesepakatan gencatan senjata antara Israel dan Hamas dipertahankan. 

    Namun Israel terus melanggar kesepakatan gencatan senjata di Gaza, hal ini yang membuat Houthi geram hingga pekan lalu militan Yaman melayangkan ancaman kepada kapal-kapal Israel yang berlayar di Laut Merah.

    Milisi Houthi Yaman memberi Israel tenggat waktu empat hari untuk mencabut blokade bantuan ke Gaza. 

    Jika perintah tersebut diabaikan, Houthi mengancam bakal melanjutkan operasi angkatan laut melawan Israel.

    “Larangan ini akan terus berlanjut hingga penyeberangan ke Jalur Gaza dibuka dan kebutuhan akan makanan dan obat-obatan diizinkan masuk,” kata Houthi pada hari Selasa.

    “Ini bukan kejadian yang hanya sekali saja. Ini adalah awal dari serangkaian kejadian yang akan berlangsung selama berhari-hari atau bahkan berminggu-minggu. Tidak ada invasi atau pasukan di darat. Namun, akan ada serangkaian serangan strategis yang sedang berlangsung.” imbuh Houthi.

  • Trump Bekukan Media yang Didanai Pemerintah AS, Termasuk Voice of America

    Trump Bekukan Media yang Didanai Pemerintah AS, Termasuk Voice of America

    Washington DC

    Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump memberi cuti kepada jurnalis di Voice of America dan lembaga penyiaran lain yang didanai AS. Dia tiba-tiba membekukan media yang telah berdiri selama puluhan tahun yang telah lama dianggap penting untuk melawan serangan informasi Rusia dan China.

    Dilansir AFP, Minggu (16/3/2025), ratusan staf di VOA, Radio Free Asia, Radio Free Europe, dan media lain menerima email akhir pekan yang isinya menyatakan mereka akan dilarang masuk ke kantor dan harus menyerahkan kartu pers serta perlengkapan yang disediakan kantor.

    Trump, yang telah mengecam keras badan bantuan global AS dan Departemen Pendidikan, pada hari Jumat mengeluarkan perintah eksekutif yang mencantumkan Badan Media Global AS sebagai salah satu ‘elemen birokrasi federal yang telah ditetapkan presiden sebagai tidak diperlukan’.

    Pendukung Trump yang bersemangat dan ditugaskan memimpin badan media tersebut, Kari Lake, mengatakan dalam email kepada media tersebut bahwa uang hibah federal tidak lagi melaksanakan prioritas badan tersebut. Gedung Putih mengatakan pemotongan itu dilakukan agar para pembayar pajak tidak lagi terikat pada ‘propaganda radikal’ yang menandai perubahan nada dramatis terhadap jaringan media dengan tujuan memperluas pengaruh AS di luar negeri.

    Pejabat pers Gedung Putih Harrison Fields menulis ‘selamat tinggal’ di X dalam 20 bahasa, sebuah sindiran terhadap liputan multibahasa media tersebut. Direktur VOA Michael Abramowitz mengatakan dia termasuk di antara 1.300 staf yang diberhentikan pada hari Sabtu (15/3).

    “VOA membutuhkan reformasi yang matang, dan kami telah membuat kemajuan dalam hal itu. Namun tindakan hari ini akan membuat Voice of America tidak dapat melaksanakan misi vitalnya,” katanya di Facebook yang mencatat bahwa liputannya — dalam 48 bahasa — telah menjangkau 360 juta orang setiap minggu.

    “Para ayatollah Iran, pemimpin komunis China, dan para otokrat di Moskow dan Minsk akan merayakan kehancuran RFE/RL setelah 75 tahun,” kata pemimpin RFE, Stephen Capus, dalam sebuah pernyataan.

    Media yang didanai AS telah mengubah orientasi mereka sejak berakhirnya Perang Dingin, dengan menghentikan sebagian besar program yang ditujukan untuk negara-negara Eropa Tengah dan Timur yang baru demokratis dan berfokus pada Rusia dan China. Media yang didanai negara China telah memperluas jangkauan mereka secara tajam selama dekade terakhir, termasuk dengan menawarkan layanan gratis kepada outlet di negara-negara berkembang yang seharusnya membayar kantor berita Barat.

    Kebijakan tersebut telah membuat marah beberapa orang di sekitar Trump, yang telah lama mencela media dan menyarankan agar outlet yang didanai pemerintah mempromosikan kebijakannya. Langkah untuk mengakhiri media yang didanai AS kemungkinan akan menghadapi tantangan, seperti pemotongan besar-besaran Trump lainnya.

    Kongres, bukan presiden, memiliki kekuasaan konstitusional atas keuangan dan Radio Free Asia khususnya telah menikmati dukungan bipartisan di masa lalu. Selain itu, kelompok advokasi Reporters Without Borders mengecam keputusan tersebut dengan mengatakan bahwa hal itu mengancam kebebasan pers di seluruh dunia dan meniadakan 80 tahun sejarah Amerika dalam mendukung arus informasi yang bebas.

    Gregory Meeks, politikus Demokrat tingkat atas di Komite Urusan Luar Negeri DPR, dan anggota kongres senior Demokrat Lois Frankel mengatakan dalam sebuah pernyataan bersama bahwa langkah Trump akan menyebabkan kerusakan yang bertahan lama pada upaya AS untuk melawan propaganda di seluruh dunia. Seorang karyawan VOA, yang meminta untuk tidak disebutkan namanya, menggambarkan pesan hari Sabtu sebagai ‘contoh sempurna dari kekacauan dan sifat proses yang tidak siap’ dengan staf VOA berasumsi bahwa program yang dijadwalkan dibatalkan tetapi tidak diberitahu secara langsung.

    Seorang karyawan Radio Free Asia berkata hal ini bukan hanya tentang kehilangan penghasilan.

    “Kami memiliki staf dan kontraktor yang takut akan keselamatan mereka. Kami memiliki wartawan yang bekerja di bawah radar di negara-negara otoriter di Asia. Kami memiliki staf di AS yang takut dideportasi jika visa kerja mereka tidak berlaku lagi. Melenyapkan kami dengan goresan pena sungguh mengerikan,” ujar staf tersebut.

    (haf/haf)

    Hoegeng Awards 2025

    Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

  • Agresi AS-Inggris terhadap Yaman Akibatkan 50 Korban Tewas dan Terluka – Halaman all

    Agresi AS-Inggris terhadap Yaman Akibatkan 50 Korban Tewas dan Terluka – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Agresi militer yang dipimpin oleh AS-Inggris terhadap Yaman menewaskan dan melukai 50 orang pada akhir pekan ini.

    Serangan ini terjadi setelah Yaman memberlakukan kembali larangan terhadap kapal-kapal Israel yang melintasi perairan tertentu di wilayah tersebut.

    Pada Sabtu (15/3/2025), serangan udara koalisi AS-Inggris menghantam lingkungan permukiman di distrik Sha’ub, utara ibu kota Sanaa.

    Menurut juru bicara Kementerian Kesehatan Yaman, Anis al-Asbahi, 13 warga sipil tewas dan sembilan lainnya terluka, sebagian besar dengan kondisi serius.

    Tim Pertahanan Sipil Yaman terus bekerja untuk menyelamatkan korban di daerah yang terdampak serangan.

    Koalisi agresi juga melancarkan serangan udara di provinsi Saada, Dhamar, dan al-Bayda, Al Mayadeen melaporkan.

    Sumber militer AS menyatakan bahwa pesawat tempur AS meluncurkan serangan dari kapal induk USS Harry Truman yang beroperasi di Laut Merah.

    Serangan ini terus berlanjut pada Minggu pagi, dengan fokus pada wilayah Attan di Sanaa dan Dahyan di Saada.

    Serangan ini juga menargetkan infrastruktur sipil, termasuk dua pembangkit listrik yang menyebabkan pemadaman listrik di beberapa wilayah.

    Jumlah korban terus bertambah, dengan sekitar 25 warga sipil tewas dan 23 lainnya terluka pada Minggu (16/3/2025) pagi.

    Sebagian besar korban adalah wanita dan anak-anak yang berada di daerah perumahan yang terkena serangan.

    Presiden AS Trump Ancam Serangan yang Lebih Besar

    Presiden AS Donald Trump mengumumkan serangan militer terhadap kelompok Ansar Allah di Yaman, menanggapi operasi kelompok tersebut di Laut Merah.

    Trump memperingatkan bahwa jika serangan terhadap kapal-kapal komersial Israel dan kapal perang AS tidak dihentikan, “neraka akan menghujani kalian,” kata Trump dalam postingannya di Truth Social.

    Trump juga memperingatkan Iran untuk menghentikan dukungannya terhadap kelompok Houthi.

    Ancaman ini menunjukkan potensi eskalasi lebih lanjut di kawasan tersebut.

    Serangan Militer AS Akan Terus Berlanjut

    Menurut pejabat AS, serangan udara terhadap Yaman akan berlangsung selama beberapa hari.

    Sasaran utama serangan ini adalah sistem pertahanan udara dan radar Angkatan Bersenjata Yaman.

    Serangan ini dilakukan setelah Yaman mengumumkan akan melanjutkan larangan terhadap kapal-kapal yang berafiliasi dengan Israel.

    Tindakan ini mengikuti ancaman Yaman terhadap Israel, yang menolak mencabut blokade bantuan militer ke Gaza.

    Pemimpin gerakan Ansar Allah, Sayyed Abdul-Malik al-Houthi, telah mengancam akan melanjutkan serangan terhadap kapal-kapal yang terkait dengan Israel jika bantuan kemanusiaan tidak dapat mencapai Gaza.

    Yaman Tegaskan Dukungan untuk Palestina

    Meskipun menghadapi serangan besar-besaran, Yaman tetap teguh dalam mendukung rakyat Palestina.

    Sayyed al-Houthi menegaskan bahwa jika Israel terus memblokir pengiriman bantuan ke Gaza, Yaman akan melanjutkan serangan terhadap kapal-kapal yang berafiliasi dengan Israel.

    Sumber militer senior Yaman menegaskan kesiapan mereka untuk melakukan tindakan lebih lanjut terhadap pendudukan Israel jika kebijakan pemblokadeannya berlanjut.

    Al-Houthi juga mengkritik kebijakan AS di bawah Presiden Trump.

    Ia menganggap bahwa kebijakan tersebut memperburuk situasi dengan mendukung pendudukan Israel dan kebijakan pemindahan paksa terhadap warga Palestina.

    Peningkatan Ketegangan di Gaza dan Yaman
    Konflik ini terus memburuk seiring dengan ketegangan yang meningkat antara Yaman dan Israel.

    Ancaman Yaman terhadap Israel dan langkah-langkah agresif oleh AS semakin memperburuk situasi di kawasan ini.

    (Tribunnews.com, Andari Wulan Nugrahani) 

  • Profesor Tamer Qarmout Sebut Pemindahan Paksa Warga Palestina ke Afrika sebagai ‘Menjijikkan’ – Halaman all

    Profesor Tamer Qarmout Sebut Pemindahan Paksa Warga Palestina ke Afrika sebagai ‘Menjijikkan’ – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM – Profesor madya di Institut Studi Pascasarjana Doha, Tamer Qarmout mengecam usulan pemindahan paksa warga Palestina ke Afrika sebagai “garis merah yang tidak boleh dilampaui.”

    Dalam wawancara dengan Al Jazeera, Qarmout menyatakan pemerintah dunia memiliki tanggung jawab untuk menghentikanusulan yang “menjijikkan” dan tidak boleh terlibat dalam skenario tersebut, terutama jika melibatkan pemindahan warga Palestina ke negara-negara Afrika yang masih berjuang melawan warisan kolonial.

    “Sudan dan Somalia masih dilanda perang akibat warisan kolonial,” katanya, dikutip dari Al Jazeera.

    “Mereka (pemerintah Israel) harus diekspos dan dimasukkan ke dalam daftar orang-orang yang harus dipermalukan,” ujar Qarmout.

    Menurut laporan, Amerika Serikat dan Israel dilaporkan melakukan pembicaraan diam-diam dengan beberapa negara Afrika Timur, termasuk Somaliland, mengenai kemungkinan penerimaan warga Palestina yang dipindahkan.

    Sebagai imbalannya, berbagai insentif – finansial, diplomatik, dan keamanan – diperkirakan akan ditawarkan kepada pemerintah tersebut.

    Seorang pejabat AS yang terlibat dalam upaya ini mengonfirmasi kepada Associated Press AS telah melakukan pembicaraan dengan Somaliland mengenai bidang-bidang tertentu yang bisa mereka bantu, dengan imbalan pengakuan internasional untuk wilayah yang memisahkan diri tersebut.

    Namun, pejabat Somaliland, Abdirahman Dahir Adan, Menteri Luar Negeri Somaliland, membantah bahwa pihaknya telah menerima atau membahas usulan tersebut.

    “Saya belum menerima usulan seperti itu, dan tidak ada pembicaraan dengan siapa pun terkait Palestina,” katanya kepada Reuters.

    Qarmout menilai usulan pemindahan paksa ini sebagai tindakan yang “keterlaluan” dan mendesak masyarakat internasional untuk menentangnya.

    Ia menegaskan bahwa negara-negara seperti Sudan dan Somalia, yang masih menghadapi tantangan besar akibat warisan kolonial, seharusnya tidak dilibatkan dalam rencana ini.

    AS-Israel Lirik Afrika untuk Pindahkan Warga Gaza

    Amerika Serikat (AS) dan Israel telah menghubungi pejabat dari tiga negara di Afrika Timur untuk mendiskusikan kemungkinan penggunaan wilayah mereka sebagai tempat penampungan bagi warga Palestina dari Gaza.

    Laporan ini muncul dari Associated Press pada Jumat (14/3/2025), yang mengutip sumber dari pejabat AS dan Israel.

    Namun, Sudan menolak tawaran tersebut, sementara Somalia dan Somaliland menyatakan ketidaktahuan mengenai usulan itu.

    Pejabat Sudan secara tegas menolak tawaran untuk menampung warga Gaza.

    Sementara itu, Somalia dan Somaliland mengaku tidak menerima informasi terkait tawaran tersebut.

    Hal ini menunjukkan ketidakpastian dan penolakan dari negara-negara yang diharapkan dapat menampung pengungsi.

    Langkah AS dan Israel ini berlawanan dengan pernyataan Presiden AS Donald Trump sebelumnya.

    Dalam sebuah konferensi pers di Gedung Putih pada Kamis (13/2/2025), Trump menegaskan, “Tidak ada yang akan diusir dari Gaza.”

    Pernyataan ini disampaikan ketika ia bertemu dengan Perdana Menteri Irlandia, Michel Martin.

    Rencana Kontroversial AS

    Pada Februari 2025, Trump mengusulkan rencana yang kontroversial untuk mengambil alih Gaza, merelokasi penduduk Palestina, dan mengubah wilayah tersebut menjadi “Riviera Timur Tengah.”

    Dalam pertemuan dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, Trump menyatakan keyakinannya bahwa Yordania dan Mesir tidak akan menolak permintaannya untuk menyambut pengungsi Gaza.

    Baik Yordania maupun Mesir menolak usulan tersebut, dengan Presiden Mesir Abdel Fattah al-Sisi dan Raja Yordania Abdullah sepakat bahwa Gaza harus dibangun kembali tanpa mengusir warga Palestina.

    Mesir bahkan mengusulkan rencana rekonstruksi senilai $53 miliar untuk Gaza, yang berfokus pada pembangunan infrastruktur dan layanan penting, tanpa melibatkan Hamas dalam kepemimpinan masa depan.

    Israel dan AS menolak rencana Mesir karena dianggap tidak menawarkan solusi yang jelas untuk mengeluarkan Hamas dari kekuasaan dan tidak mengatasi masalah keamanan serta pemerintahan jangka panjang.

    Dengan situasi yang terus berkembang, langkah AS dan Israel untuk mencari tempat penampungan di Afrika menambah kompleksitas dalam upaya penyelesaian konflik Palestina-Israel.

    Pasukan Israel Tangkap 8 Warga Palestina dalam Penggerebekan di Tepi Barat

    Pasukan Israel menangkap delapan warga Palestina dalam serangkaian penggerebekan yang terjadi di berbagai kota di Tepi Barat, menurut laporan terbaru dari kantor berita Wafa.

    Lima pemuda dari keluarga Al-Zalbani ditangkap selama penyerbuan di kota Anata, timur laut Yerusalem.

    Sebelumnya pada malam itu, seorang pemuda terluka setelah ditembak di perut dengan peluru tajam dalam bentrokan dengan tentara Israel di kota yang sama.

    Selain itu, pasukan Israel menangkap tiga warga Palestina dari kota Silwad, timur Ramallah, menurut sumber keamanan setempat.

    Pasukan Israel juga melakukan serangan di kota Anabta dan Bal’a, timur Tulkarem, serta kota Yerikho.

    Serangkaian penangkapan dan penggerebekan ini terjadi di tengah ketegangan yang meningkat di wilayah tersebut.

    (Tribunnews.com, Andari Wulan Nugrahani)