Tag: Dmitry Medvedev

  • Trump Ngamuk! AS Siap “Hajar” Negara yang Berbisnis dengan Rusia

    Trump Ngamuk! AS Siap “Hajar” Negara yang Berbisnis dengan Rusia

    Jakarta, CNBC Indonesia – Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump pada Minggu (16/11/2025) mengumumkan bahwa Partai Republik sedang menyusun undang-undang baru yang sangat keras, yang bertujuan menjatuhkan sanksi terhadap negara manapun di dunia yang tetap menjalin hubungan dagang dengan Rusia.

    Pengumuman ini menandai eskalasi signifikan dalam upaya AS untuk menekan Kremlin di tengah konflik yang berlarut-larut di Ukraina.

    Trump, ketika ditanya apakah sudah waktunya Kongres bertindak lebih keras terhadap Rusia, memberikan persetujuannya terhadap inisiatif dari anggota parlemen Republik.

    “Saya dengar mereka sedang melakukannya, dan itu tidak masalah bagi saya,” ujar Trump, dilansir Newsweek, Senin (17/11/2025).

    Langkah ini diambil setelah upaya Trump yang memposisikan dirinya sebagai “pembuat perdamaian” dalam konflik Ukraina-Rusia tidak membuahkan hasil, dan Presiden Rusia Vladimir Putin justru meningkatkan serangan. Desakan dari Ukraina dan sekutu-sekutu Eropa agar Trump mengambil tindakan yang lebih tegas kian meningkat.

    Trump menekankan bahwa undang-undang yang sedang dipersiapkan di Kongres AS ini akan memiliki cakupan yang sangat luas dan tegas. Sanksi ini tidak hanya menargetkan negara-negara yang membeli energi Rusia, tetapi juga negara-negara yang terlibat dalam perdagangan militer dan komoditas lainnya.

    “Mereka sedang mengesahkan undang-undang, Partai Republik sedang mengajukan undang-undang yang sangat keras, memberi sanksi dan lain-lain pada negara mana pun yang berbisnis dengan Rusia,” tegas Trump.

    “Negara manapun yang berbisnis dengan Rusia akan dikenakan sanksi yang sangat berat.”

    Sanksi baru ini diperkirakan akan menimbulkan dampak luas, bahkan mencakup beberapa sekutu AS sendiri. Data menunjukkan bahwa pelanggan energi utama Rusia adalah China (pembeli batu bara dan minyak mentah dominan), Turki (pembeli produk minyak utama), dan Uni Eropa (pembeli gas alam cair/LNG terbesar).

    Selain itu, sekutu AS di Asia seperti Jepang, Singapura, dan Korea Selatan juga tercatat membeli sejumlah kecil energi Rusia.

    Selain energi, negara-negara seperti India, Iran, China, Vietnam, dan Mesir juga diketahui membeli senjata dari Rusia, yang membuat mereka berpotensi menjadi target sanksi AS.

    Dmitry Medvedev, Wakil Ketua Dewan Keamanan Rusia, sebelumnya pada Oktober telah bereaksi terhadap sanksi AS dengan menegaskan bahwa AS adalah musuh Rusia, dan upaya damai yang dilakukan oleh Trump kini telah sepenuhnya mengambil jalur perang.

    Sementara itu, China, melalui juru bicara Kementerian Luar Negeri Guo Jiakun, selalu menekankan bahwa penyelesaian krisis Ukraina hanya dapat dicapai melalui “dialog dan negosiasi, bukan paksaan dan tekanan.”

    (tps/luc)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Siaga PD 3, Rusia Mulai Arahkan Senjata Nuklir ke Eropa-Amerika

    Siaga PD 3, Rusia Mulai Arahkan Senjata Nuklir ke Eropa-Amerika

    Jakarta, CNBC Indonesia – Rusia sedang memperkuat kehadirannya di sebuah pangkalan di Lingkaran Arktik, termasuk menempatkan senjata nuklir yang tertuju ke Amerika Serikat (AS), menurut Menteri Pertahanan Norwegia Tore Sandvik. Peringatan ini muncul di tengah ketegangan Timur-Barat yang memburuk, diperparah oleh pembatalan pertemuan puncak antara Presiden AS Donald Trump dan Presiden Rusia Vladimir Putin.

    Dalam wawancara dengan surat kabar Inggris, The Daily Telegraph, yang juga dikutip Newsweek, Sandvik secara spesifik merujuk pada wilayah Rusia di dalam Lingkaran Arktik, dekat Finlandia.

    “Rusia sedang membangun di Semenanjung Kola… tempat salah satu gudang senjata nuklir terbesar di dunia berada,” kata Sandvik, Minggu (26/10/2025) . “Senjata [nuklir] tersebut tidak hanya ditujukan ke Norwegia, tetapi juga ke Inggris dan melintasi kutub menuju Kanada dan AS.”

    Menteri Pertahanan Norwegia tersebut juga menekankan peran negaranya dalam aliansi NATO. Menurutnya, Moskow sedang mencoba memperkuat kekuatan nuklirnya di pintu aliansi itu.

    “Kami adalah mata dan telinga NATO di area ini, dan kami melihat mereka sedang menguji senjata baru, misalnya rudal hipersonik, dan mereka menguji torpedo bertenaga nuklir dan hulu ledak nuklir,” ungkapnya.

    Sandvik berpendapat bahwa dalam skenario perang dengan NATO, Rusia kemungkinan akan menargetkan Bear Gap (yang memisahkan Pulau Svalbard dari Norwegia daratan) serta GIUK Gap (celah antara Inggris, Islandia, dan Greenland).

    “Putin perlu membangun apa yang disebut pertahanan Benteng (Bastion defence). Dia perlu mengontrol Bear Gap untuk memastikan bahwa dia dapat menggunakan kapal selamnya dan Armada Utara. Dan dia ingin menolak akses sekutu NATO ke GIUK Gap,” jelas Sandvik.

    Hubungan antara Moskow dan negara-negara Barat memburuk drastis pada Februari 2022 ketika Presiden Putin memerintahkan invasi skala penuh ke Ukraina. Pekan lalu, ketegangan semakin meningkat setelah Presiden Trump mengumumkan tidak menginginkan “pertemuan yang sia-sia” dengan Putin di Budapest, menyusul penolakan pemimpin Rusia terhadap tuntutan gencatan senjata segera dari AS dan Eropa.

    Trump juga memperkenalkan paket sanksi baru yang menargetkan raksasa minyak Rusia, Rosneft dan Lukoil. Hal ini bahkan memancing reaksi keras dari Mantan Presiden Rusia Dmitry Medvedev yang menyebut aksi ini sebagai tindakan perang

    Di tengah situasi ini, kekerasan di Ukraina terus berlanjut. Serangan drone massal melanda Ukraina pada hari Rabu, menewaskan sedikitnya tujuh orang. Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky mengatakan serangan itu menghantam “kota-kota biasa” serta infrastruktur energi.

    (tps/luc)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Video: Parade Militer Korut, Kim Jong Un Pamer Rudal Balistik Terbaru

    Video: Parade Militer Korut, Kim Jong Un Pamer Rudal Balistik Terbaru

    Jakarta, CNBC Indonesia- Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un mengawasi parade militer besar-besaran yang memamerkan rudal balistik antarbenua terbarunya di hadapan para tamu dan pejabat internasional pada Sabtu (11 Oktober 2025).

    Parade tersebut menandai ulang tahun ke-80 berdirinya Partai Buruh yang berkuasa di Korea Utara.

    Perdana Menteri Tiongkok Li Qiang, delegasi dari Rusia yang dipimpin oleh mantan Presiden Dmitry Medvedev, serta Ketua Partai Komunis Vietnam To Lam termasuk di antara para pejabat asing yang hadir di Pyongyang untuk peringatan tersebut.

    Dalam parade militer tersebut, Korea Utara yang bersenjata nuklir memamerkan rudal balistik antarbenua Hwasong-20 yang paling canggih, yang digambarkan oleh KCNA sebagai “sistem senjata strategis nuklir terkuat” negara itu.

  • Korut Gelar Parade Militer, Pamerkan Rudal Antarbenua Terbaru

    Korut Gelar Parade Militer, Pamerkan Rudal Antarbenua Terbaru

    Pyongyang

    Korea Utara (Korut) menggelar parade militer yang dihadiri para pejabat tinggi Rusia dan China pada Jumat (10/10) malam waktu setempat. Pyongyang memamerkan persenjataan tercanggih buatannya, termasuk rudal antarbenua terbaru, di hadapan tamu-tamu asing yang hadir.

    Laporan media pemerintah Korut, Korean Central News Agency (KCNA), seperti dilansir AFP, Sabtu (11/10/2025), menyebut “parade militer akbar” digelar untuk memperingati 80 tahun kekuasaan Partai Buruh Korea.

    Parade militer ini digelar saat Korut mendapatkan dukungan penting dari Rusia, setelah pemimpin negara itu, Kim Jong Un, mengerahkan ribuan tentaranya untuk membantu Moskow dalam perang melawan Ukraina.

    Wakil kepala dewan keamanan Rusia, Dmitry Medvedev, yang juga sekutu penting Presiden Vladimir Putin, hadir langsung menyaksikan parade militer di Pyongyang tersebut. Perdana Menteri (PM) China Li Qiang juga turut hadir memimpin delegasi Beijing.

    Tamu asing lainnya adalah Sekjen Partai Komunis Vietnam To Lam. Ketiga tamu asing itu semuanya duduk di dekat Kim Jong Un saat menyaksikan parade militer.

    “Sebuah parade militer akbar untuk merayakan ulang tahun ke-80 berdirinya Partai Buruh Korea digelar di Alun-alun Kim Il Sung pada 10 Oktober,” demikian dilaporkan oleh KCNA.

    Parade militer tersebut, menurut KCNA, menampilkan beberapa senjata tercanggih negara itu, termasuk rudal balistik antarbenua (ICBM) Hwasong-20 yang paling baru, yang disebut oleh KCNA sebagai “sistem senjata strategis nuklir terkuat”.

    Ribuan orang dengan pakaian tradisional berwarna-warni memenuhi jalanan ibu kota Pyongyang saat parade militer itu digelar tengah malam. Mereka melambaikan bendera nasional Korut dan bersorak saat senjata-senjata buatan negara terisolasi itu dipamerkan di jalanan utama.

    Kim Jong Un didampingi oleh para pejabat tinggi Rusia, China, dan Vietnam saat parade militer pada Jumat (10/10) malam Foto: AFP PHOTO/KCNA VIA KNS

    Di antara senjata-senjata yang dipamerkan adalah rudal-rudal jelajah strategis jarak jauh, kendaraan peluncur drone, serta rudal darat-ke-udara dan rudal darat-ke-darat dipamerkan satu demi satu.

    Parade militer itu, menurut KCNA, menampilkan “potensi teknologi pertahanan negara kami yang tak habis-habisnya dan laju perkembangannya yang mengagumkan yang tidak dapat lagi diabaikan dunia”.

    Saat berpidato dalam parade militer itu, Kim Jong Un mengatakan bahwa pasukan Korut yang “tidak terkalahkan” akan “selalu menggandakan kekuatan upaya partai kita untuk mengatasi kesulitan dan mewujudkan masa depan yang cerah”.

    Dia tampaknya memberikan penghormatan kepada tentara-tentara Korut yang bertempur bersama tentara Rusia dalam perang melawan Ukraina.

    “Semangat juang heroik yang telah ditunjukkan, dan kemenangan telah diraih, oleh angkatan bersenjata revolusioner kami di medan perang asing demi keadilan internasional … menunjukkan kesempurnaan ideologis dan spiritual,” kata Kim Jong Un dalam pidatonya, menurut KCNA.

    Menurut laporan Korea Selatan (Korsel), sedikitnya 600 tentara Korut telah tewas dan ribuan tentara lainnya mengalami luka-luka saat bertempur untuk Rusia.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/idh)

  • Rusia Sudah Menang Lawan Ukraina, Trump ‘Keok’ Depan Putin

    Rusia Sudah Menang Lawan Ukraina, Trump ‘Keok’ Depan Putin

    Daftar Isi

    Jakarta, CNBC Indonesia – Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dan Presiden Rusia Vladimir Putin mengadakan pertemuan di Alaska, Jumat (15/8/2025). Pertemuan ini digelar untuk mencari solusi atas perang antara Moskow dan tetangganya, Ukraina, yang telah berlangsung selama lebih dari 3 tahun terakhir.

    Dalam beberapa jam pertemuan itu dilangsungkan, Putin nampak berhasil mendorong keinginannya di depan Trump untuk mencari perdamaian yang hakiki dibandingkan gencatan senjata sesaat. Hal ini meruntuhkan upaya Barat yang selama bertahun-tahun berusaha mengisolasi dirinya.

    Hal ini membuat banyak pengamat menilai Putin keluar sebagai pemenang dari “KTT Alaska”, sementara media pemerintah Rusia menggambarkan Trump sebagai negarawan berhati-hati, meski di Barat kritik keras diarahkan padanya karena dianggap tidak siap menghadapi Putin.

    Media Rusia menyoroti detail simbolis, mulai dari penyambutan karpet merah, pertunjukan fly-over militer, hingga momen ketika Trump menunggu Putin dan mengajaknya menaiki limosin kepresidenan AS, “The Beast”.

    “Media Barat kini dalam kondisi yang bisa digambarkan sebagai kegilaan yang mendekati histeria,” kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia, Maria Zakharova, dilansir Reuters.

    “Selama tiga tahun mereka berbicara tentang isolasi Rusia, dan hari ini mereka melihat karpet merah digelar untuk menyambut Presiden Rusia di Amerika Serikat,” ujarnya.

    Namun capaian terbesar Putin ada pada isu Ukraina. Trump sebelumnya datang dengan agenda mendorong gencatan senjata cepat, bahkan mengancam Rusia dan China dengan sanksi.

    Tetapi usai pertemuan, ia menyatakan setuju dengan Putin agar negosiasi langsung diarahkan pada penyelesaian damai permanen, bukan sekadar jeda pertempuran.

    “Posisi Presiden AS telah berubah setelah berbicara dengan Putin, dan kini diskusi akan fokus pada akhir perang, serta tatanan dunia baru. Persis seperti yang diinginkan Moskow,” tulis pembawa acara talkshow Rusia, Olga Skabeyeva, di Telegram.

    ‘Buronan’ yang Menang

    Terlaksananya pertemuan itu saja sudah menjadi kemenangan diplomatik bagi Putin. Pasalnya, ia masih berstatus buron Mahkamah Pidana Internasional (ICC) atas tuduhan kejahatan perang terkait deportasi anak-anak Ukraina.

    Rusia membantah tuduhan tersebut, dengan alasan pihaknya hanya mengevakuasi anak-anak yang tidak memiliki pendamping dari zona konflik. Amerika Serikat dan Rusia sama-sama bukan anggota ICC.

    Mantan Presiden Rusia Dmitry Medvedev menyebut pertemuan ini sebagai terobosan besar bagi pemulihan hubungan Moskow-Washington. “Mekanisme pertemuan tingkat tinggi antara Rusia dan Amerika Serikat telah sepenuhnya dipulihkan,” ujarnya.

    Meski begitu, Putin tidak meraih semua yang diinginkannya. Trump menolak memberikan “reset ekonomi” yang sangat dibutuhkan Rusia untuk menopang perekonomian yang mulai tertekan setelah tiga tahun perang dan sanksi Barat.

    Putin bahkan membawa menteri keuangan dan kepala dana kekayaan negara Rusia ke Alaska, berharap dapat membicarakan peluang kerja sama di bidang Arktik, energi, ruang angkasa, dan teknologi. Namun, Trump menegaskan kepada wartawan sebelum pertemuan dimulai bahwa bisnis tidak akan berjalan sampai perang Ukraina benar-benar berakhir.

    Trump juga menahan diri dari langkah yang paling dikhawatirkan Eropa dan Ukraina: menjual kepentingan Kyiv demi kesepakatan dengan Putin. Ia menekankan bahwa keputusan akhir tetap ada di tangan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky.

    Meski demikian, Trump memperingatkan bahwa Zelensky harus realistis. “Rusia adalah kekuatan yang sangat besar, dan Ukraina bukan,” katanya usai pertemuan.

    Medvedev menilai pernyataan itu menandai pergeseran tanggung jawab pada Kyiv dan Eropa. “Poin utamanya adalah kedua pihak langsung menempatkan tanggung jawab pada Kyiv dan Eropa untuk mencapai hasil dalam negosiasi,” ujarnya.

    Zelensky Akui Putin Perkasa di Medan Perang

    Di medan tempur, pasukan Rusia perlahan terus maju dan mengancam kota-kota penting Ukraina di kawasan Donetsk.

    Putin menyampaikan kepada Trump bahwa ia bersedia membekukan garis depan di Zaporizhzhia dan Kherson jika Kyiv mau mundur dari Donetsk dan Luhansk-dua wilayah yang menjadi jantung kawasan industri Donbas, yang secara terang-terangan diklaim Moskow. 

    Menurut laporan New York Times, Trump bahkan menyampaikan kepada para pemimpin Eropa bahwa pengakuan Ukraina atas Donbas sebagai wilayah Rusia bisa membuka jalan menuju kesepakatan. Kanselir Jerman Friedrich Merz menambahkan bahwa AS siap menjadi bagian dari jaminan keamanan bagi Ukraina.

    Sumber Reuters menyebut Zelensky menolak tuntutan itu. Ia hingga kini menolak keras usulan Trump terkait “tukar-menukar wilayah”, yang dinilai melanggar konstitusi dan kedaulatan Ukraina.

    Walau begitu, Zelensky juga menilai KTT tersebut sejauh ini memang memberi keuntungan bagi Putin.

    “Putin akan menang dalam hal ini. Dia butuh foto dengan Presiden Trump,” ujarnya.

    Pertemuan Zelensky-Trump

    Sementara itu, sejumlah pemimpin Eropa berbondong-bondong menuju Washington untuk memberikan dukungan politik kepada Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky menjelang pertemuannya dengan Presiden Amerika Serikat Donald Trump, Senin (18/8/2025).

    Kanselir Jerman Friedrich Merz, Presiden Prancis Emmanuel Macron, dan Perdana Menteri Inggris Keir Starmer pada Minggu menggelar pertemuan para sekutu untuk memperkuat posisi Zelensky. Mereka berupaya memastikan jaminan keamanan yang kuat bagi Ukraina, termasuk keterlibatan langsung Amerika Serikat.

    Para pemimpin Eropa ingin menghindari pengulangan pertemuan Ruang Oval terakhir Zelensky pada Februari lalu yang berakhir buruk, di mana Trump dan Wakil Presiden JD Vance menegur Zelensky di depan umum karena dianggap tidak tahu berterima kasih.

    Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen, Presiden Finlandia Alexander Stubb-yang memiliki kedekatan pribadi dengan Trump-serta Perdana Menteri Italia Giorgia Meloni juga akan ikut ke Washington.

    Dalam pernyataan bersama, Inggris, Prancis, dan Jerman menegaskan siap mengerahkan “pasukan penjamin keamanan setelah pertempuran berhenti, membantu mengamankan udara dan laut Ukraina, serta meregenerasi angkatan bersenjatanya.”

    Namun, sejumlah negara Eropa masih ragu untuk terlibat langsung secara militer, menunjukkan betapa rumitnya diskusi perdamaian ini bahkan di antara sekutu Kyiv sendiri.

    Sejumlah pemimpin Eropa menekankan pentingnya gencatan senjata sebelum negosiasi damai. “Anda tidak bisa berunding untuk perdamaian di bawah bom yang terus berjatuhan,” tegas Kementerian Luar Negeri Polandia.

    (tps/luc)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Rusia Akhirnya Lepaskan “Pengaman” Nuklir, Langsung Tunjuk AS-Eropa

    Rusia Akhirnya Lepaskan “Pengaman” Nuklir, Langsung Tunjuk AS-Eropa

    Jakarta, CNBC Indonesia – Rusia menyatakan pada hari Senin bahwa mereka tidak lagi terikat oleh moratorium yang diberlakukan sendiri atas pengerahan rudal nuklir jarak menengah berbasis darat. Hal ini terjadi saat Moskow bersitegang dengan Amerika Serikat (AS) dan Eropa lantaran perang di Ukraina.

    Dalam sebuah keterangan resmi, Kementerian Luar Negeri Rusia menyebut rencana ini dilakukan karena manuver Amerika Serikat (AS) dan NATO untuk menempatkan senjata serupa di Eropa dan Asia-Pasifik. Mereka menyebut Washington juga ikut melanggar hal ini sehingga tidak ada dasar Rusia juga menaatinya.

    “Pengerahan tersebut, termasuk aktivitas rudal AS baru-baru ini di Denmark, Filipina, dan Australia, menimbulkan ‘ancaman langsung’ terhadap keamanan Rusia. Kami akan mengambil langkah-langkah ‘teknis-militer’ sebagai tanggapan untuk memulihkan apa yang disebutnya keseimbangan strategis,” tuturnya, dilansir Newsweek, Selasa (5/8/2025).

    “Secara spesifik, sejak 2023, kami telah mencatat preseden transfer sistem Amerika yang mampu meluncurkan rudal jarak menengah berbasis darat ke negara-negara NATO Eropa untuk ‘menguji’ senjata-senjata ini selama latihan yang memiliki fokus anti-Rusia yang jelas.”

    Senin malam, mantan Presiden Rusia Dmitry Medvedev menyalahkan negara-negara NATO atas pencabutan moratorium rudal nuklir jarak pendek dan menengah dan mengatakan Moskow akan mengambil langkah lebih lanjut sebagai tanggapan.

    “Pernyataan Kementerian Luar Negeri Rusia tentang pencabutan moratorium pengerahan rudal jarak menengah dan pendek merupakan akibat dari kebijakan anti-Rusia negara-negara NATO,” tulis Medvedev dalam bahasa Inggris di X. “Ini adalah kenyataan baru yang harus dihadapi oleh semua lawan kita. Nantikan langkah-langkah selanjutnya.”

    Ketegangan antara Washington dan Moskow telah mencapai titik didih dalam beberapa bulan terakhir. Hal ini utamanya terkait dengan upaya pemerintahan Trump untuk merundingkan gencatan senjata dalam perang Rusia melawan negara tetangga Ukraina.

    (tps/luc)

    [Gambas:Video CNBC]

  • AS Siap Hadapi Perang Nuklir

    AS Siap Hadapi Perang Nuklir

    GELORA.CO – Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengatakan bahwa ia tidak bisa menganggap enteng pembicaraan tentang senjata nuklir dan bahwa AS harus selalu “siap sepenuhnya” menghadapi potensi konfrontasi apa pun, termasuk perang dengan senjata pemusnah massal tersebut. Hal ini disampaikan Trump sebagai tanggapan atas apa yang ia sebut sebagai “ancaman” yang tidak pantas dari mantan Presiden Rusia, Dmitry Medvedev.

    Berbicara kepada para wartawan di Gedung Putih, Trump menjelaskan perintahnya untuk menempatkan dua kapal selam nuklir lebih dekat ke perairan Rusia, dengan mengatakan bahwa langkah itu diperlukan demi menjamin keamanan nasional.

    “Ya, kami harus melakukannya. Kami harus berhati-hati. Sebuah ancaman telah dilontarkan, dan kami pikir itu tidak pantas,” kata Trump, sebagaimana dilansir RT. “Jadi, saya mengambil langkah itu demi keselamatan rakyat kami. Ancaman telah dilontarkan oleh mantan presiden Rusia, dan kami akan melindungi rakyat kami.”

    “Nah, Anda tinggal baca saja apa yang dia (Medvedev) katakan. Dia bicara soal nuklir. Kalau bicara nuklir, kita harus siap. Dan kita sudah benar-benar siap.”

    Sebelumnya, pada Jumat, Trump mengumumkan melalui sebuah unggahan di Truth Social bahwa ia telah memerintahkan pengerahan dua kapal selam nuklir AS ke apa yang disebutnya sebagai “wilayah yang tepat,” sebagai tanggapan atas pernyataan Medvedev di media sosial. Trump mengecam retorika mantan pemimpin Rusia itu sebagai “bodoh dan provokatif,” serta memperingatkan bahwa “kata-kata sangat penting, dan seringkali dapat menyebabkan konsekuensi yang tidak diinginkan.”

    Perselisihan memanas setelah Trump menyebut Medvedev sebagai pemimpin yang “gagal” dan memperingatkannya untuk “berhati-hati dalam berbicara.” Medvedev, yang kini menjabat sebagai wakil ketua Dewan Keamanan Rusia, menanggapi dengan pesan keras yang memperingatkan agar tidak memprovokasi Moskow terlalu jauh, merujuk pada sistem pembalasan nuklir otomatis ‘Perimetr’ yang legendaris—yang berasal dari era Soviet dan diperkirakan masih ada di Rusia.

    “Dan tentang ‘ekonomi mati’ India dan Rusia, serta ‘memasuki wilayah yang sangat berbahaya’—ya, biarkan dia mengingat film-film favoritnya tentang ‘orang mati berjalan’, dan betapa berbahayanya ‘Dead Hand’ yang legendaris itu,” tulis Medvedev.

    Meskipun Rusia belum pernah secara resmi mengonfirmasi keberadaan sistem ‘Dead Hand’, para analis Barat secara luas meyakini bahwa sistem ini berfungsi sebagai pencegah terakhir jika terjadi serangan yang memutus rantai kepemimpinan Rusia.

    Sistem ini memastikan Rusia tetap dapat melancarkan serangan nuklir balasan sekalipun kepemimpinannya telah musnah.

    Gedung Putih dan Pentagon belum memberikan komentar lebih lanjut, dan klaim Trump tentang penempatan ulang kapal selam tersebut tidak dapat diverifikasi, mengingat lokasi pasti dan area patroli kapal selam nuklir AS merupakan rahasia militer yang sangat dijaga.

  • Kala Trump dan Eks Presiden Rusia Saling Ancam Kerahkan Nuklir

    Kala Trump dan Eks Presiden Rusia Saling Ancam Kerahkan Nuklir

    Jakarta

    Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengeluarkan perintah pengerahan dua kapal selam nuklir pada Jumat (1/8) waktu setempat. Trump menyebut langkah ini sebagai tanggapan atas apa yang disebutnya “pernyataan yang sangat provokatif” dari eks presiden Rusia yang kini menjabat Wakil Ketua Dewan Keamanan Rusia, Dmitry Medvedev.

    Trump mengumumkan pengerahan kapal selam nuklir itu dalam sebuah unggahan pada Jumat (1/8) di platform Truth Social miliknya. Ia tidak merinci secara spesifik ke mana kapal selam tersebut akan ditempatkan atau kemampuan apa yang dimiliki kapal selam tersebut.

    “Berdasarkan pernyataan yang sangat provokatif dari mantan Presiden Rusia, Dmitry Medvedev, yang sekarang menjabat sebagai Wakil Ketua Dewan Keamanan Federasi Rusia, saya telah memerintahkan dua Kapal Selam Nuklir untuk ditempatkan di wilayah yang sesuai, untuk berjaga-jaga jika pernyataan bodoh dan provokatif ini lebih dari sekadar itu,” tulis Trump.

    “Kata-kata sangat penting, dan seringkali dapat menyebabkan konsekuensi yang tidak diinginkan, saya harap ini tidak akan menjadi salah satunya,” tambahnya, dilansir ABC News, Sabtu (2/8/2025).

    Awal Mula

    Trump dan Dmitry Medvedev, mantan presiden Rusia yang kini menjabat Wakil Ketua Dewan Keamanan Rusia, telah berseteru di media sosial selama beberapa hari terakhir. Namun, ribut-ribut itu memanas setelah Medvedev mengatakan agar Trump mengingat bahwa Rusia memiliki kemampuan serangan nuklir era Uni Soviet sebagai pilihan terakhir.

    Mantan Presiden Rusia, Dmitry Medvedev. Dia kini menjabat sebagai Wakil Ketua Dewan Keamanan Federasi Rusi (Foto: Sputnik/Valentin Yegorshin/Pool via REUTERS)

    Dilansir kantor berita AFP, Sabtu (2/8/2025), hal ini disampaikan sekutu Presiden Rusia Vladimir Putin itu setelah Trump meminta Medvedev untuk “berhati-hati dengan ucapannya.”

    Trump, dalam sebuah unggahan di media sosial Truth miliknya, mengkritik tajam Medvedev. Ini disampaikan Trump setelah Medvedev mengatakan bahwa ancaman Trump untuk menjatuhkan tarif hukuman kepada Rusia dan para pembeli minyaknya adalah “permainan ultimatum”, dan selangkah lebih dekat menuju perang antara Rusia dan Amerika Serikat.

    “Beri tahu Medvedev, mantan Presiden Rusia yang gagal, yang merasa dirinya masih Presiden, untuk berhati-hati dengan ucapannya. Dia memasuki wilayah yang sangat berbahaya!” tulis Trump, dalam peringatannya kepada Medvedev, dilansir kantor berita Reuters.

    Sebelumnya pada 29 Juli, Trump mengatakan Rusia memiliki “10 hari dari hari ini” untuk menyetujui gencatan senjata di Ukraina atau akan dikenakan tarif, bersama dengan para pembeli minyaknya. Moskow, yang telah menetapkan persyaratan perdamaiannya sendiri, sejauh ini belum mengindikasikan akan mematuhi tenggat waktu Trump.

    Pernyataan Trump itu ditanggapi keras oleh Medvedev. “Trump sedang memainkan permainan ultimatum dengan Rusia: 50 hari atau 10 hari… Dia harus ingat 2 hal: 1. Rusia bukanlah Israel atau bahkan Iran. 2. Setiap ultimatum baru adalah ancaman dan langkah menuju perang. Bukan antara Rusia dan Ukraina, tetapi dengan negaranya sendiri,” tulis Medvedev di media sosial X awal pekan lalu.

    Kemudian dalam postingannya pada hari Kamis (31/7) waktu AS, Trump mengatakan ia tidak peduli apa yang dilakukan India — salah satu pembeli minyak terbesar Rusia bersama China — terhadap Rusia.

    “Mereka bisa bersama-sama menghancurkan ekonomi mereka yang mati, terserah saya. Kita hanya berbisnis sedikit dengan India, tarif mereka terlalu tinggi, termasuk yang tertinggi di dunia. Demikian pula, Rusia dan AS hampir tidak berbisnis bersama. Mari kita pertahankan seperti itu,” ujarnya.

    Medvedev pun merespons dengan mengatakan bahwa pernyataan Trump tersebut menunjukkan bahwa Rusia harus melanjutkan kebijakannya saat ini.

    “Jika beberapa kata dari mantan presiden Rusia memicu reaksi gugup seperti itu dari presiden Amerika Serikat yang berwibawa, maka Rusia melakukan segalanya dengan benar dan akan terus berjalan di jalurnya sendiri,” kata Medvedev dalam sebuah unggahan di Telegram.

    Trump seharusnya ingat, katanya, “betapa berbahayanya ‘Tangan Mati’ yang legendaris itu,” sebuah referensi terhadap sistem komando semi-otomatis rahasia Rusia yang dirancang untuk meluncurkan rudal nuklir Moskow, jika kepemimpinannya telah dilumpuhkan dalam serangan pemenggalan kepala oleh musuh.

    Menanggapi pernyataan Medvedev, Trump mengatakan bahwa ia telah memerintahkan pengerahan dua kapal selam nuklir ke “wilayah yang sesuai”. Trump menyebut langkah ini sebagai tanggapan atas apa yang disebutnya “pernyataan yang sangat provokatif” dari Medvedev.

    Halaman 2 dari 2

    (kny/idh)

  • Rusia Ancam Lenyapkan AS dengan Nuklir, Trump Kerahkan 2 Kapal Selam Siaga

    Rusia Ancam Lenyapkan AS dengan Nuklir, Trump Kerahkan 2 Kapal Selam Siaga

    GELORA.CO – Presiden AS Donald Trump mengumumkan pada Kamis malam bahwa ia telah memerintahkan penempatan dua kapal selam nuklir AS di wilayah yang tepat, menanggapi pernyataan terbaru mantan Presiden Rusia Dmitry Medvedev yang digambarkan Trump sebagai sangat provokatif.

    Dalam sebuah postingan di Social Truth, Trump menulis:

    Berdasarkan pernyataan yang sangat provokatif dari Mantan Presiden Rusia, Dmitry Medvedev, yang sekarang menjabat sebagai Wakil Ketua Dewan Keamanan Federasi Rusia, saya telah memerintahkan penempatan dua Kapal Selam Nuklir di wilayah yang tepat, untuk berjaga-jaga jika pernyataan bodoh dan provokatif ini lebih dari sekadar itu. 

    Kata-kata sangatlah penting, dan seringkali dapat menyebabkan konsekuensi yang tidak diinginkan, saya harap ini tidak termasuk salah satunya. Terima kasih atas perhatian Anda terhadap masalah ini!

    Postingan Trump tidak menjelaskan secara spesifik mengenai perintah militernya, atau apakah perintah tersebut dikoordinasikan dengan Departemen Pertahanan. 

    Namun, langkah tersebut tampaknya merupakan unjuk rasa pencegahan di depan publik menyusul ancaman nuklir yang dilancarkan Medvedev.

    Awal pekan ini, Medvedev memperingatkan bahwa dukungan AS yang berkelanjutan untuk Ukraina — khususnya dalam bentuk sistem senjata jarak jauh dan dukungan politik — dapat memicu konflik global. 

    Dalam sebuah postingan di Telegram, Medvedev menulis:

    Jika Amerika Serikat melanjutkan kebijakan agresifnya terhadap Rusia, dan jika pasukan NATO dikerahkan di Ukraina atau fasilitas strategis ditargetkan di tanah Rusia, responsnya akan segera dan menghancurkan. Rusia adalah kekuatan nuklir, dan mereka yang membuat keputusan di Washington tidak boleh melupakan hal ini.

    Ia menambahkan dengan nada mengancam, “Akibatnya, kota-kota Anda sendiri mungkin akan lenyap.”

    Komentar Medvedev merupakan yang terbaru dari serangkaian peringatan nuklir yang meningkat dari para pejabat senior Rusia seiring berlanjutnya perang di Ukraina. 

    Sejak dimulainya invasi pada Februari 2022, Kremlin telah berulang kali menggunakan persenjataan nuklirnya untuk mencegah keterlibatan Barat. 

    Baru-baru ini, Rusia menggelar latihan senjata nuklir taktis di dekat perbatasannya dengan negara-negara NATO, termasuk Polandia dan Negara-negara Baltik.

    Pernyataan Trump muncul di tengah gelombang ketegangan geopolitik yang lebih luas seputar penggunaan — atau ancaman — senjata nuklir. 

    Meskipun Putin belum mengomentari unggahan Trump atau pernyataan terbaru Medvedev, para pejabat AS telah berulang kali memperingatkan Moskow agar tidak menggunakan ancaman nuklir, dengan menyebut ancaman tersebut sembrono dan mengganggu stabilitas.

    Masih belum jelas apakah kapal selam yang dirujuk Trump telah dikerahkan atau apakah Pentagon telah diajak berkonsultasi dengan cara apa pun.(*)

  • Panas! Sekutu Putin Ingatkan Trump Soal Kemampuan Serangan Nuklir Rusia

    Panas! Sekutu Putin Ingatkan Trump Soal Kemampuan Serangan Nuklir Rusia

    Jakarta

    Panas! Mantan Presiden Rusia Dmitry Medvedev mengatakan agar Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengingat bahwa Rusia memiliki kemampuan serangan nuklir era Uni Soviet sebagai pilihan terakhir. Hal ini disampaikan sekutu Presiden Rusia Vladimir Putin itu setelah Trump meminta Medvedev untuk “berhati-hati dengan ucapannya.”

    Trump, dalam sebuah unggahan di media sosial Truth miliknya, mengkritik tajam Medvedev, yang merupakan Wakil Ketua Dewan Keamanan Rusia. Ini disampaikan Trump setelah Medvedev mengatakan bahwa ancaman Trump untuk menjatuhkan tarif hukuman kepada Rusia dan para pembeli minyaknya adalah “permainan ultimatum”, dan selangkah lebih dekat menuju perang antara Rusia dan Amerika Serikat.

    “Beri tahu Medvedev, mantan Presiden Rusia yang gagal, yang merasa dirinya masih Presiden, untuk berhati-hati dengan ucapannya. Dia memasuki wilayah yang sangat berbahaya!” tulis Trump, dalam peringatannya kepada Medvedev, dilansir kantor berita Reuters, Jumat (1/8/2025).

    Sebelumnya pada 29 Juli, Trump mengatakan Rusia memiliki “10 hari dari hari ini” untuk menyetujui gencatan senjata di Ukraina atau akan dikenakan tarif, bersama dengan para pembeli minyaknya. Moskow, yang telah menetapkan persyaratan perdamaiannya sendiri, sejauh ini belum mengindikasikan akan mematuhi tenggat waktu Trump.

    Dalam postingannya pada hari Kamis (31/7) waktu AS, Trump mengatakan ia tidak peduli apa yang dilakukan India — salah satu pembeli minyak terbesar Rusia bersama China — terhadap Rusia.

    “Mereka bisa bersama-sama menghancurkan ekonomi mereka yang mati, terserah saya. Kita hanya berbisnis sedikit dengan India, tarif mereka terlalu tinggi, termasuk yang tertinggi di dunia. Demikian pula, Rusia dan AS hampir tidak berbisnis bersama. Mari kita pertahankan seperti itu,” ujarnya.

    Medvedev mengatakan bahwa pernyataan Trump menunjukkan bahwa Rusia harus melanjutkan kebijakannya saat ini.

    “Jika beberapa kata dari mantan presiden Rusia memicu reaksi gugup seperti itu dari presiden Amerika Serikat yang berwibawa, maka Rusia melakukan segalanya dengan benar dan akan terus berjalan di jalurnya sendiri,” kata Medvedev dalam sebuah unggahan di Telegram.

    Trump seharusnya ingat, katanya, “betapa berbahayanya ‘Tangan Mati’ yang legendaris itu,” sebuah referensi terhadap sistem komando semi-otomatis rahasia Rusia yang dirancang untuk meluncurkan rudal nuklir Moskow, jika kepemimpinannya telah dilumpuhkan dalam serangan pemenggalan kepala oleh musuh.

    Medvedev telah muncul sebagai salah satu tokoh garis keras anti-Barat Rusia yang paling vokal sejak Rusia mengirim pasukan ke Ukraina pada tahun 2022. Para kritikus Kremlin mencemoohnya sebagai orang yang tidak bertanggung jawab, meskipun beberapa diplomat Barat mengatakan pernyataannya memberikan gambaran pemikiran di kalangan pembuat kebijakan senior Kremlin.

    Halaman 2 dari 2

    (ita/ita)