Tag: Djoko Setijowarno

  • Terjadi Lagi di Cipularang, Mau Sampai Kapan Rem Blong Jadi Pemicu Kecelakaan Maut?

    Terjadi Lagi di Cipularang, Mau Sampai Kapan Rem Blong Jadi Pemicu Kecelakaan Maut?

    Jakarta

    Kecelakaan maut lagi-lagi terjadi di Tol Cipularang. Kecelakaan ini dipicu oleh kendaraan barang yang mengalami rem blong. Lagi-lagi rem blong menjadi pemicu kecelakaan maut.

    Insiden tersebut terjadi pada Selasa (2/12/2025) sekitar pukul 13.40 WIB. Nahas akibat kecelakaan beruntun itu, 1 orang meninggal dan 5 orang lainnya luka-luka.

    Kendaraan yang terlibat dalam kecelakaan maut tersebut yakni delapan minibus dan satu unit truk boks. Pemicu kecelakaan tersebut yakni truk boks yang dikemudikan oleh Rian Hidayat. Truk boks itu mengalami rem blong. Pengemudi mengakui remnya sudah bermasalah sebelum terjadi kecelakaan maut.

    “Mobilnya nggak bisa ngerem, jadi memang penyebabnya ya mobil yang saya bawa,” kata Rian Hidayat dikutip detikJabar, Selasa (2/12/2025).

    Ia mengatakan truk yang ia kemudikan tak membawa muatan apa pun. Saat itu ia melakukan perjalanan dari Bandung menuju Jakarta. Ia mengaku sudah merasakan adanya hal yang tak beres pada kendaraannya.

    “Truk kosong, nggak bawa muatan. Jadi saya dari KM 116 itu memang sudah nggak bisa ngerem. Saya langsung buang ke kiri, tadi di jalur memang enggak ada tempat pembuangan yang di tol itu makanya langsung nabrak mobil di depannya,” kata Rian.

    Kecelakaan Maut Akibat Rem Blong Terjadi Berulang Kali

    Kecelakaan maut akibat rem blong sudah sering sekali terjadi. Pengamat transportasi Djoko Setijowarno mengatakan, kecelakaan maut akibat truk rem blong bakal terus terjadi kalau permasalahan intinya tidak diselesaikan.

    “Kecelakaan truk di jalan raya kerap dinilai terjadi akibat kelalaian dalam persiapan kendaraan. Selain kompetensi pengemudi, kondisi kendaraan yang kurang terawat membuat kecelakaan yang melibatkan angkutan barang terus terjadi. Kejadian-kejadian ini mencerminkan lemahnya tata kelola dan kurangnya upaya perbaikan yang seharusnya dilakukan pemerintah,” kata Djoko beberapa waktu lalu.

    Djoko menilai, permasalahan tabrakan beruntun yang berulang tidak pernah mendapatkan solusi dari negara. Kejadian seperti ini merupakan akumulasi karut marut penyelenggaraan atau tata kelola angkutan logistik di Indonesia.

    “Pemerintah harus segera mengambil langkah nyata dan terukur dalam meningkatkan keselamatan transportasi darat. Jika masalah ini terus diabaikan, masyarakat akan terus hidup dalam kecemasan dan harus mempertaruhkan nyawa setiap kali menggunakan moda transportasi darat. Kita tidak harus menunggu ada pejabat atau keluarga pejabat yang menjadi korban, sudah banyak nyawa hilang, sehingga harus segera dibenahi,” kata Djoko.

    Penyelidik Senior Komite KNKT Ahmad Wildan mengatakan, ada beberapa faktor yang menyebabkan kendaraan mengalami rem blong. Menurut Wildan, yang pertama kecelakaan rem blong terjadi pada jalan menurun dan memiliki pola yang sama yaitu pengemudi menggunakan gigi tinggi saat melalui jalan menurun, melakukan pengereman berulang, sehingga mengakibatkan rem tidak berfungsi, memindahkan gigi di jalan menurun saat rem tidak berfungsi sehingga menyebabkan gigi masuk ke posisi netral dan berakhir dengan tabrakan hebat karena kecepatan kendaraan bisa mencapai 100 km/jam bahkan lebih karena melaju pada jalan menurun dalam posisi gigi netral.

    “Kedua, kecelakaan rem blong yang dipicu rem tidak berfungsi karena mengalami malfunction pada sistem rem. Hal ini disebabkan karena pengemudi tidak melakukan pemeriksaan kendaraan sebelum beroperasi (pre-trip inspection),” kata Wildan.

    Wildan mewanti-wanti agar sopir melakukan pemeriksaan sebelum perjalanan (pre-trip inspection).

    (rgr/dry)

  • Senangnya Warga Jakut, Jam Operasional Kendaraan Berat Akhirnya Dibatasi
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        21 November 2025

    Senangnya Warga Jakut, Jam Operasional Kendaraan Berat Akhirnya Dibatasi Megapolitan 21 November 2025

    Senangnya Warga Jakut, Jam Operasional Kendaraan Berat Akhirnya Dibatasi
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Sejumlah warga mengaku senang jam operasional kendaraan berat di atas delapan ton, seperti truk trailer dan kontainer di Jakarta Utara dibatasi.
    Ada dua titik yang kini diberlakukan jam pembatasan operasional
    kendaraan berat
    . Pertama di Plumpang-Semper kendaraan berat tak boleh lewat di jalur ini setiap hari Senin sampai Sabtu pukul 06.00 WIB hingga 09.00 WIB dan sore hari pukul 16.00 WIB hingga 21.00 WIB.
    Sedangkan di titik kedua yakni Jalan Raya Cilincing setiap Senin hingga Jumat, pukul 06.00 WIB hingga 09.00 WIB dan sore hari pukul 16.00 WIB hingga 21.00 WIB.
    Warga bernama Ruyati (42) mengaku senang karena akhirnya
    jam operasional
    kendaraan berat dibatasi.
    “Saya sih sangat menyambut antusias terkait dengan pembatasan kendaraan berat ini ya, jadi saya enggak was-was lagi, enggak takut lagi ketika pergi di pagi atau sore hari,” tutur Ruyati saat diwawancarai
    Kompas.com
    di lokasi, Kamis (20/11/2025).
    Sebab, sudah bertahun-tahun Ruyati selalu resah ketika melintas di Jalan Raya Cilincing, karena aksesnya yang sempit dan sering dilalui kendaraan berat.
    Pengamatan Kompas.com di lokasi, lebar Jalan Raya Cilincing hanya sekitar 15 hingga 16 meter dan terbagi menjadi dua jalur.
    Biasanya, pengendara sepeda motor melintas di sisi kiri jalan yang jaraknya hanya sekitar 15 sentimeter dari roda kontainer.
    Hampir setiap detiknya, kedua jalur tersebut dipadati kendaraan berat yang berlalu lalang dari pelabuhan.
    Ditambah lagi, banyak depo-depo kontainer yang berada di sepanjang Jalan Raya Cilincing hingga Marunda yang membuat kondisi jalan di lokasi ini semakin padat.
    Ruyati mengaku, meski sudah puluhan tahun tinggal di Cilincing, dirinya tetap selalu was-was ketika berkendara.
    “Sangat terganggu, ya, lewat Jalan Raya Cilincing tuh saya selalu deg-degan apalagi kalau bawa anak, meski saya orang sini. Karena jalanannya sempit, dipakai dua jalur, yang lewat truk trailer atau kontainer, paling motor cuma disisain jalan sedikit banget,” sambung Ruyati.
    Jika tidak ekstra berhati-hati, Ruyati bilang sepeda motornya mudah terlibat kecelakaan fatal dengan kendaraan berat.
    Oleh sebab itu, ibu satu anak tersebut berharap agar pembatasan jam operasional di Jalan Raya Cilincing bisa terus diterapkan ke depannya.
    Warga lain, Entin (51), juga berharap dengan adanya pembatasan jam operasional kendaraan berat, lalu lintas di Jalan Raya Cilincing bisa lebih kondusif.
    “Harapannya semoga ke depannya lalu lintas di Cilincing bisa lebih kondusif lah, minim kecelakaan enggak kayak dulu dengan adanya pembatasan jam operasional kendaraan berat ini,” tutur Entin.
    Kini, Entin bisa lebih leluasa ketika berkendara di pagi hari seperti mengantar cucunya sekolah atau ke pasar.
    Ketua Aliansi Jakarta Utara Menggugat (AJUM) Anung menyebut, diberlakukannya pembatasan jam operasional kendaraan berat di Jalan Raya Cilincing membuat masyarakat di Jakarta Utara merasa bahwa pemerintah kota hadir dalam menekan angka kecelakaan yang sering terjadi.
    Sebab, AJUM sendiri sudah meminta pembatasan jam operasional kendaraan berat di Jalan Raya Cilincing itu dilakukan sejak tahun 2021.
    Namun, karena beberapa kali ganti wali kota, sehingga kebijakan tersebut baru bisa dilaksanakan pada Senin, (17/11/2025).
    Ke depannya, Anung meminta agar pembatasan jam operasional tersebut juga bisa diberlakukan di wilayah Jakarta Utara lainnya.
    “Kita juga sudah bilang ke Dinas Perhubungan DKI Jakarta untuk memberlakukan jam pembatasan operasional ini di jalan terusan Plumpang-Semper, Tipar Cakung, Pegangsaan Dua, Gereja Tugu, itu juga akan diberlakukan, cuma mungkin akan bertahap dan diperlukan sosialisasi panjang,” jelas Anung.
    Kadishub Jakarta Utara Hendrico Tampubolon menyebut, pembatasan jam operasional kendaraan berat di wilayah lainnya memang sudah direncanakan dan tengah diupayakan.
    “Ada banyak, di Jalan Enggano dan Yos Sudarso. Ke depan, kita siapkan juga dari Plumpang Semper Greja Tugu, arah Kelapa Gading, ada beberapa jalan yang sudah disiapkan,” tutur Hendrico.
    Namun, pemberlakuan pembatasan jam operasional kendaraan berat di beberapa wilayah tersebut tengah dikaji mendalam.
    Sebab, Hendrico tak ingin jika pembatasan tersebut justru mendatangkan kemacetan di wilayah lain.
    Di sisi lain, kebijakan itu juga harus mempertimbangkan para pelaku ekonomi seperti pengusaha truk di Jakarta Utara.
    “Kedua, harus mendukung juga pertumbuhan ekonomi yang ada terhadap pelaku usaha sebagai penggerak ekonomi kita,” jelas Hendrico.
    Dampak uji coba pembatasan jam operasional kendaraan berat di Jalan Raya Cilincing sangat dirasakan oleh para pengusaha truk di Jakarta Utara, salah satunya Agung Al-Maliku (40).
    Agung menilai, dibatasinya jam operasional kendaraan berat, justru menimbulkan kemacetan dalam beberapa hari ini.
    Sebab, ketika jam pembatasan itu selesai, kendaraan berat langsung berbondong-bondong melintasi Jalan Raya Cilincing.
    “Pastinya sangat berdampak. Pertama, dari sisi kemacetan biasa kita mobil dua rit, jadi cuma satu rit, kadang-kadang kita tidak bisa narik besoknya karena macet,” jelas Agung.
    Agung mengaku, dirinya memiliki 150 truk yang biasanya beroperasi setiap hari. Namun, karena adanya pembatasan tersebut, kini tak semua truknya jalan dan membuat pendapatannya menurun.
    Kendati demikian, ia menyadari pembatasan jam operasional kendaraan berat di Jalan Raya Cilincing atau Plumpang-Semper cukup efektif dalam mencegah kecelakaan.
    “Agak membantu juga khususnya di daerah Cilincing, Plumpang itu masih banyak sekolah-sekolah, dan itu saya enggak tutup mata bahwa memang sering kecelakaan-kecelakaan seperti ketabrak, kelindas, dengan diperberlakukan jam khusus kendaraan berat itu mengurangi,” jelas Agung.
    Ketua Keluarga Besar Sopir Indonesia (KB-SI) Nuratmo (45) mengaku, merasa begitu dirugikan dengan adanya pembatasan jam operasional tersebut.
    “Kalau dari kami sopir memang dengan adanya pembatasan itu kami dirugikan, karena kita ambil contoh soal waktu, jam kerja kita enggak menentu,” tutur Nuratmo.
    Jam kerja yang tak menentu membuat para sopir sulit menyesuaikan pembatasan jam operasional kendaraan berat yang ada.
    Sebab, terkadang para sopir truk sudah selesai melakukan bongkar muat baik itu di pelabuhan atau gudang ketika sore hari sekitar pukul 16.00 WIB hingga 17.00 WIB.
    Namun, karena adanya pembatasan tersebut, maka para sopir tidak bisa langsung memulangkan truk ke garasi.
    Pasalnya, kebanyakan garasi atau depo kontainer berada di wilayah Cilincing atau Marunda. Jadi, ketika menuju ke sana, para sopir harus melalui Jalan Raya Cilincing.
    Para sopir terpaksa harus menunggu di pelabuhan atau pinggir jalan sampai pembatasan jam operasional itu selesai.
    “Harusnya bisa pulang kumpul bersama keluarga ini bisa terhambat,” tutur Nuratmo.
    Di sisi lain, pembatasan jam operasional tersebut membuat pendapatan para sopir truk menurun.
    Kini, para sopir hanya bisa mengantar barang satu kali perjalanan saja karena keterbatasan waktu.
    Padahal sebelum ada pembatasan tersebut, para sopir truk bisa mengantar barang sebanyak dua kali dalam satu hari.
    Pengamat Transportasi Djoko Setijowarno menilai kebijakan pembatasan jam operasional kendaraan berat di Jakarta Utara kurang tepat.
    “Kasihan lah mereka sopir truk karena dirugikan sehingga kebijakan seperti itu kurang tepat dan tidak menyelesaikan masalah,” kata Djoko.
    Akar permasalahan sering terjadinya kecelakaan di Jakarta Utara bukan hanya truk, melainkan jumlah pengendara motor yang begitu banyak.
    Djoko bilang, terkadang kecelakaan di Jakarta Utara bukan disebabkan karena sopir truk, melainkan pengendara motor yang tak sabaran dan maksa menyalip jalan.
    Beberapa pengendara seringkali gagal menyalip sehingga terjatuh ke ban truk dan terlindas.
    Oleh sebab itu, solusi efektif untuk menekan angka kecelakaan adalah dengan adanya pembatasan pembelian sepeda motor.
    “Pemerintah DKI Jakarta harus meminta ke Pemetintah Pusat terkait kebijakan motor harus dikaji ulang. Soalnya ini enggak menyelesaikan masalah, justru mendatangkan masalah baru,” jelas dia.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Libur Nataru Terancam Sepi, Masyarakat Tunggu Mudik Lebaran 2026

    Libur Nataru Terancam Sepi, Masyarakat Tunggu Mudik Lebaran 2026

    Bisnis.com, JAKARTA — Pengamat mewaspadai adanya perilaku masyarakat menahan belanja rumah tangga kelompok tersier, alias liburan, pada momen Natal 2025 dan Tahun Baru 2026 (Nataru) mendatang.

    Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat Djoko Setijowarno menyampaikan, kondisi tersebut sangat mungkin terjadi karena momen Nataru dengan puasa dan Lebaran cukup berdekatan. 

    Tak heran bila nantinya banyak masyarakat yang akan mengurungkan niatnya untuk berlibur pada Nataru, dan lebih memilih untuk mempersiapkan kebutuhan Lebaran. 

    “Masyarakat tampaknya lebih memilih mudik [Lebaran]. Ada potensi menahan jalan saat Nataru karena kondisi ekonomi belum membaik,” ujarnya kepada Bisnis, Rabu (19/11/2025). 

    Puasa atau Ramadan diperkirakan akan jatuh pada tanggal 19 Februari 2026, sementara Lebaran atau Idulfitri akan jatuh pada 21 Maret. 

    Strategic Research Manager Center of Reform on Economic (Core) Yusuf Rendy Manilet pun melihat dinamika menjelang Nataru yang jaraknya semakin dekat dengan momentum puasa dan Lebaran tahun depan, membuat pola belanja akan cukup beragam antarkelompok pendapatan. 

    Untuk kelompok menengah atas, minat untuk bepergian relatif tidak banyak terpengaruh oleh kondisi ekonomi jangka pendek. Kelompok tersebut memiliki ruang belanja yang cukup, sehingga kemungkinan besar akan tetap menikmati liburan Nataru, termasuk untuk perjalanan udara yang memang diprediksi meningkat.

    Sementara itu, untuk kelompok menengah ke bawah, perilakunya lebih beragam. Di satu sisi, ada kebutuhan untuk menahan sebagian pengeluaran karena mereka juga perlu menyiapkan biaya mudik Lebaran, yang biasanya menjadi prioritas utama. 

    Namun di sisi lain, sebagian masyarakat di kelompok ini juga akan menerima stimulus pada kuartal IV/2025—diskon transportasi pesawat, kereta, dan kapal—yang sedikit banyak melonggarkan ruang konsumsi sehingga dapat melakukan pengeluaran tersier. 

    “Ditambah lagi, menjelang Lebaran nanti ada faktor THR yang historis selalu menjadi pendorong tambahan bagi konsumsi rumah tangga, terutama untuk kebutuhan perjalanan,” tuturnya kepada Bisnis.

    Adapun, potensi menahan belanja tetap ada dan akan berdampak pada pertumbuhan lapangan usaha transportasi maupun ekonomi secara umum. 

    Meski demikian, Yusuf memandang jika minat bepergian tetap terjaga, terutama dari segmen menengah atas, maka dampaknya akan positif terhadap pertumbuhan ekonomi kuartal I/2026 melalui peningkatan konsumsi rumah tangga. 

    Sementara bagi sektor transportasi dan pergudangan, peningkatan mobilitas menjelang Nataru berpotensi menjadi penopang awal, yang kemudian akan berlanjut ketika puncak arus mudik Lebaran tiba.  

    “Artinya, secara keseluruhan outlook pertumbuhan sektor ini masih cukup solid, meskipun sensitivitasnya terhadap sentimen harga dan pendapatan tetap harus diwaspadai,” tambahnya. 

    Pasalnya sejak 2022 atau pascapandemi Covid-19, lapangan usaha transportasi dan pergudangan tercatat tumbuh cenderung melambat. Dalam empat tahun terakhir, pertumbuhan tertinggi terjadi pada kuartal III/2022 sebesar 25,80% year on year (YoY). 

    Sementara pada kuartal III/2025 mampu tumbuh sebesar 8,62% YoY, lebih rendah dari kuartal III/2024 sebesar 8,62% dan pada kuartal III/2023 sebesar 14,74%. 

  • Strobo-Sirene Dibekukan, Kok Masih Ada Fortuner Pakai ‘Tot Tot Wuk Wuk’?

    Strobo-Sirene Dibekukan, Kok Masih Ada Fortuner Pakai ‘Tot Tot Wuk Wuk’?

    Jakarta

    Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri telah membekukan penggunaan strobo dan sirene. Tapi, kok masih ada pengguna Fortuner arogan yang memakai strobo sirene di jalan raya?

    Viral di media sosial pengendara Fortuner dengan strobo dan sirene berlaku arogan. Peristiwa itu memicu komentar publik, apalagi Korlantas Polri sudah membekukan penggunaan strobo dan sirene.

    Video viral tersebut diunggah akun TikTok Jennifer Thian. Video yang beredar di media sosial memperlihatkan adu mulut antara pengendara mobil dan pria pengendara Fortuner yang diduga melawan arah di kawasan Pluit, Jakarta Utara.

    Dalam video yang beredar itu, pengunggah mengaku diminta menepi oleh pengendara Fortuner yang menggunakan toa/sirene dan menyalakan lampu strobo. Namun, pengunggah video menolak memberikan jalan karena merasa sudah berada di jalur yang benar.

    Setelah debat sengit di tengah jalan, pengendara Fortuner itu akhirnya kembali ke jalur semestinya dan melanjutkan perjalanan. Tapi, pengendara Fortuner itu melontarkan kata-kata kasar.

    Sebenarnya penggunaan strobo dan sirene telah dibekukan oleh Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri. Korlantas telah mengambil langkah tegas soal penggunaan strobo dan sirene di jalan raya. Mereka membekukan pemakaian dua perangkat tersebut.

    “Kami menghentikan sementara penggunaan suara-suara itu, sembari dievaluasi secara menyeluruh. Pengawalan tetap bisa berjalan, hanya saja untuk penggunaan sirene dan strobo sifatnya dievaluasi. Kalau memang tidak prioritas, sebaiknya tidak dibunyikan,” ujar Kepala Korps Lalu Lintas (Kakorlantas) Polri Irjen Pol Agus Suryonugroho, beberapa pekan lalu.

    Lebih jauh, Agus menekankan, penggunaan sirene hanya boleh dilakukan pada kondisi tertentu yang benar-benar membutuhkan prioritas. Bukan asal-asalan demi mengejar kecepatan.

    “Kalaupun digunakan, sirene itu untuk hal-hal khusus, tidak sembarangan. Sementara ini sifatnya imbauan agar tidak dipakai bila tidak mendesak,” tegasnya.

    Namun, masih ada saja pengguna kendaraan pribadi yang menyalahgunakan strobo dan sirene. Bahkan, mereka sampai berlaku arogan meminta jalan ke pengendara lain.

    Penggunaan sirene dan strobo sejatinya sudah diatur dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Jalan. Di situ tertulis penggunaan warna strobo dan sirene hanya untuk kendaraan tertentu.

    Lampu isyarat warna biru dan sirene digunakan untuk Kendaraan Bermotor petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. Lampu isyarat warna merah dan sirene digunakan untuk Kendaraan Bermotor tahanan, pengawalan Tentara Nasional Indonesia, pemadam kebakaran, ambulans, palang merah, rescue, dan jenazah. Lampu isyarat warna kuning tanpa sirene digunakan untuk Kendaraan Bermotor patroli jalan tol, pengawasan sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, perawatan dan pembersihan fasilitas umum, menderek Kendaraan, dan angkutan barang khusus.

    Sementara itu, untuk kendaraan yang mendapat hak utama di jalan raya cuma ada tujuh golongan. Mereka adalah:

    (a) kendaraan pemadam kebakaran yang sedang melaksanakan tugas;

    (b) ambulans yang mengangkut orang sakit;

    (c) kendaraan untuk memberikan pertolongan pada kecelakaan lalu lintas;

    (d) kendaraan pimpinan Lembaga Negara Republik Indonesia;

    (e) kendaraan pimpinan dan pejabat negara asing serta lembaga internasional yang menjadi tamu negara;

    (f) iring-iringan pengantar jenazah; dan

    (g) konvoi dan/atau kendaraan untuk kepentingan tertentu menurut pertimbangan petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.

    Ada sanksi jika melakukan pelanggaran ketentuan tersebut. Berdasarkan Pasal 287 ayat (4) Undang-Undang No. 22 Tahun 2009, kendaraan yang melanggar ketentuan mengenai penggunaan atau hak utama bagi Kendaraan Bermotor yang menggunakan alat peringatan dengan bunyi dan sinar dapat dipidana kurungan maksimal satu bulan atau denda paling banyak Rp 250 ribu.

    Sayangnya, sanksi itu dinilai terlalu rendah. Alhasil, masih banyak pengguna jalan yang melakukan pelanggaran tersebut tanpa kapok.

    “Sanksi yang diberikan terlalu rendah dan sudah seharusnya masuk dalam revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Sanksi pidana dan denda harus ditinggikan, sehingga ada efek jera bagi yang melanggar aturan itu,” kata pengamat transportasi Djoko Setijowarno belum lama ini.

    (rgr/dry)

  • Pengamat: Pulau Jawa Butuh Reaktivasi Jalur, Bukan Kereta Cepat

    Pengamat: Pulau Jawa Butuh Reaktivasi Jalur, Bukan Kereta Cepat

    Bisnis.com, JAKARTA — Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) menilai kebutuhan transportasi di Pulau Jawa bukanlah penambahan kereta cepat, tetapi reaktivasi jalur kereta api yang saat ini berhenti beroperasi. 

    Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah MTI Pusat, Djoko Setijowarno menjelaskan pada dasarnya reaktivasi hanya mengaktifkan kembali jalan rel potensial yang tidak dioperasikan lagi, sekaligus melanjutkan operasional yang sebelumnya terhenti. 

    Djoko mengamini bahwa pulau-pulau selain Jawa memang membutuhkan jalur kereta api untuk memudahkan arus logistik dan mengurangi keberadaan truk di jalan. Namun, khusus untuk Jawa, pemerintah perlu fokus melakukan reaktivasi jalur sebagaimana tercantum dalam Rencana Induk Perkeretaapian Nasional (Ripnas) 2030. 

    “Artinya kalau Pulau Jawa itu reaktivasi aja, nggak usah kereta cepat,” ujarnya kepada Bisnis, Senin (10/11/2025). 

    Djoko menyoroti bahwa pengembangan kereta di Jawa, termasuk kereta cepat sampai dengan Surabaya dan kabarnya berlanjut sampai dengan Banyuwangi. Wacana ini terus bergulir di tengah masih banyaknya jalur yang mati.  

    Dalam dokumen Ripnas 2030, memang rencana kereta cepat sampai Surabaya sudah tercantum. Namun, tercatat pula adanya 13 jalur kereta api di Jawa yang akan dihidupkan kembali. 

    Beberapa di antaranya, yakni rute Sukabumi—Cianjur—Padalarang, Cicalengka—Jatinangor—Tanjungsari, Kedungjati—Ambarawa, hingga Kamal—Sumenep. 

    Lebih lanjut, Djoko mengungkapkan bahwa di pulau lain seperti Sumatra dan Sulawesi pun, perlu meneruskan jalur kereta yang sudah ada. Sementara di Kalimantan, tinggal melanjutkan rencana pembangunan infrastruktur kereta api logistik di Kalimantan Timur.

    Catatan penting dari Djoko, yakni pemerintah daerah maupun pusat perlu turut menyediakan transportasi pendukung di perkotaan dan permukiman sekitar jalur kereta api yang direaktivasi tersebut.  

    Secara umum, dirinya mendukung pengembangan jalur kereta di pulau selain Jawa, dengan tujuan penguatan logistik. Dengan demikian, hasil bumi maupun industri di daerah-daerah dapat dengan mudah diangkut ke pelabuhan.  

    “Itu saja dahulu [reaktivasi dan melanjutkan jalur yang ada]. Sembari itu, nantinya baru daerah lain dikembangkan,” tuturnya. 

    Permasalahan utama soal pembangunan ini, lanjut Djoko, yakni ketersediaan anggaran. Meski pemerintah telah memiliki rencana matang, implementasinya kerap tertahan oleh dana. 

    Sebagaimana Direktur Lalu Lintas dan Angkutan Kereta Api DJKA Kemenhub Arif Anwar sebutkan, sederet program Ripnas 2030 membutuhkan total Rp853 triliun untuk periode 2010-2030. 

    Dia juga tidak menampik bahwa anggaran menjadi masalah dalam pelaksanaan pengembangan kereta api tersebut. Untuk itu, pelaksanaan dari program itu juga akan bergantung pada ketersediaan anggaran yang pemerintah pusat kucurkan. 

    “Tetapi memang saat ini kita terkendala dengan anggaran, jadi saya rasa tergantung dari kebijakan anggaran yang disampaikan. Jadi apakah nanti akan direaktivasi atau belum, tetapi di dalam Ripnas kami punya program untuk reaktivasi tersebut,” ujarnya, dikutip pada Selasa (30/9/2025).

  • Prabowo Mau Kereta Cepat Tembus Banyuwangi, MTI: Bukan Kebutuhan Mendesak

    Prabowo Mau Kereta Cepat Tembus Banyuwangi, MTI: Bukan Kebutuhan Mendesak

    Bisnis.com, JAKARTA — Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) memandang, pemerataan transportasi di perkotaan, desa, dan pemukiman, lebih mendesak ketimbang memikirkan pembangunan Kereta Cepat sampai dengan Surabaya maupun ujung Timur Pulau Jawa. 

    Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah MTI Pusat, Djoko Setijowarno menyampaikan, pembangunan kereta cepat hingga Surabaya sebaiknya dipandang sebagai keinginan, bukan kebutuhan mendesak.  

    Pasalnya, di samping riuh persoalan utang Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB) alias Whoosh, Presiden Prabowo Subianto meminta proyek kereta cepat sampai ke Banyuwangi, tak hanya berhenti di Surabaya.

    “Kereta cepat hingga Surabaya adalah sebuah keinginan, padahal yang kita butuhkan di Pulau Jawa adalah pondasi transportasi yang kuat dan merata,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Minggu (9/11/2025). 

    Djoko menegaskan bahwa kebutuhan vital infrastruktur transportasi di Jawa saat ini adalah fokus pada peningkatan angkutan umum perkotaan dan pedesaan, reaktivasi jalur rel, layanan angkutan kota dalam provinsi (AKDP), serta kemantapan jaringan jalan hingga ke pelosok desa. 

    Konektivitas transportasi antar kota di Pulau Jawa sudah terbilang memadai berkat keberadaan Tol Trans Jawa dan jalur rel ganda (double track). Namun, tantangan yang belum teratasi adalah integrasi transportasi di kawasan perkotaan, perdesaan, dan permukiman. Oleh karena itu, percepatan pembenahan transportasi umum menjadi sangat mendesak.

    Pondasi ini berarti transportasi umum perkotaan dan pedesaan yang andal, menghidupkan kembali jalur rel mati (reaktivasi jalan rel), memaksimalkan angkutan AKDP, dan memastikan setiap pelosok desa terjangkau oleh jaringan jalan yang mantap.

    Penting untuk diingat, lanjut Djoko, bahwa Indonesia adalah negara kepulauan, bukan daratan. Oleh karena itu, pembangunan infrastruktur dan transportasi tidak seharusnya hanya terpusat di Pulau Jawa. 

    “Percepatan pembangunan harus beralih dan difokuskan pada wilayah-wilayah di luar Jawa,” tambahnya. 

    Transprotasi Umum Masih Minim

    Mengambil contoh Jawa, dengan 30 kota di dalamnya, baru 9 kota (30%) yang memiliki transportasi umum modern dengan skema pembelian layanan. Dari 85 kabupaten di Pulau Jawa, baru 4 kabupaten (4,7%) yang memiliki transportasi umum modern, yakni Kab. Banyumas, Kab. Bekasi, Kab. Tuban dan Kab. Bangkalan.

    Menurutnya, transportasi perkotaan berbasis jalan raya dan kereta yang harus terbangun. Commuter line di Bandung Raya dan Surabaya dapat segera dibangun, ketimbang Kereta Cepat. Selain itu, transportasi perintis perdesaan wajib diadakan di Pulau Jawa.

    Secara nasional per September 2025, hanya 29 kota di Indonesia yang memiliki layanan transportasi publik formal. Sementara sebagian besar kualitasnya masih di bawah Standar Pelayanan Minimal. 

    Berdasarkan data terbaru dari berbagai sumber, termasuk Badan Pusat Statistik (BPS) dan pemerintah provinsi, jumlah desa di Pulau Jawa, total desa di Pulau Jawa adalah sekitar 24.772 desa. Di Provinsi Jawa Tengah terdapat 8.563 desa, Provinsi Jawa Timur (8.576 desa), Provinsi Jawa Barat (5.957 desa), Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (438 desa) dan Provinsi Banten (1.238 desa). 

    Angkutan pedesaan yang beroperasi kurang dari 5% dengan kondisi armada yang rata-rata usianya sudah lebih dari 10 tahun. 

    Untuk itu, Djoko mendorong agar pemerintah segera mengalihkan fokusnya kepada pemerataan transportasi. 

  • 3
                    
                        Pengamat: Jawa Tak Butuh Kereta Cepat Jakarta-Surabaya, Bisa Matikan Tol dan Bandara
                        Regional

    3 Pengamat: Jawa Tak Butuh Kereta Cepat Jakarta-Surabaya, Bisa Matikan Tol dan Bandara Regional

    Pengamat: Jawa Tak Butuh Kereta Cepat Jakarta-Surabaya, Bisa Matikan Tol dan Bandara
    Tim Redaksi
    SEMARANG, KOMPAS.com
    – Wacana perpanjangan rute Kereta Cepat Indonesia-China (KCIC) atau Whoosh dari Jakarta–Bandung hingga Surabaya menuai kritik dari berbagai pihak.
    Pasalnya, proyek KCIC Jakarta–Bandung sendiri masih meninggalkan utang besar mencapai Rp 116 triliun tanpa kepastian penyelesaian.
    Pengamat transportasi dari Universitas Katolik (Unika) Soegijapranata Semarang, Djoko Setijowarno, menilai pembangunan kereta cepat di Pulau Jawa tidak mendesak karena wilayah ini sudah memiliki jaringan transportasi darat dan udara yang memadai.
    “Bagaimana kalau sampai Surabaya? Nah, ini jadi persoalan. Jawa itu enggak butuh kereta cepat karena sudah terkoneksi. Jalan tol ada, bandara sudah terbangun,” ujar Djoko melalui sambungan telepon, Selasa (28/10/2025).
    Menurutnya, proyek tersebut justru berpotensi mengancam keberlangsungan moda transportasi lain yang sudah berjalan.
    “Kalau Whoosh dibangun sampai di Surabaya, ada yang dimatikan. Pesawat mati, padahal bandaranya sudah investasi dan sudah terbangun,” tegasnya.
    Daripada memperpanjang jalur kereta cepat, Djoko menyarankan agar pemerintah fokus meningkatkan layanan kereta konvensional milik PT Kereta Api Indonesia (KAI).
    “Sudahlah, kereta yang ada sekarang ditingkatkan lagi kecepatannya dengan perbaikan geometrik. Nah, kemarin ini dari kecepatan 90 km per jam jadi 120 km per jam, ke 160 masih bisa,” jelasnya.
    Ia mencontohkan praktik di China, di mana pembangunan kereta cepat dibarengi dengan optimalisasi jalur konvensional untuk angkutan logistik.
    “Di China, kereta cepat dibangun tapi kereta konvensional dialihkan untuk angkutan barang. Jadi tidak ada yang mubazir,” imbuhnya.
    Djoko juga menyoroti bahwa tarif kereta cepat saat ini masih disubsidi karena belum sebanding dengan daya beli masyarakat.
    Menurutnya, jika proyek diperpanjang dengan dukungan dana negara, hal itu akan menciptakan ketimpangan karena daerah di luar Jawa masih kekurangan infrastruktur transportasi dasar.
    “Pendanaan dari anggaran negara tidak adil bagi wilayah di luar Jawa yang juga membutuhkan infrastruktur transportasi. Misalnya Aceh dan wilayah selatan Indonesia belum punya sistem kereta yang memadai,” ujarnya.
    Ia menekankan, pembangunan yang lebih dibutuhkan di Jawa adalah peningkatan angkutan perkotaan dan perdesaan serta integrasi antarmoda.
    “Yang dibutuhkan itu bukan kereta cepat, tapi transportasi perkotaan dan perdesaan yang terintegrasi,” tambahnya.
    Djoko menilai proyek KCIC Jakarta–Bandung sebaiknya dianggap cukup sebagai contoh atau proyek percontohan (prototipe), bukan dilanjutkan menjadi prioritas nasional.
    “Sudah selesai cukup Jakarta–Bandung
    prototipe
    -nya kan. Pokoknya kita punya aja lah kereta cepat walaupun pendek. Meskipun enggak efisien, ya sudah,” katanya.
    Menurutnya, pemerintah sebaiknya fokus memperluas pembangunan transportasi publik di wilayah yang belum tersentuh, ketimbang memperbanyak proyek besar di Pulau Jawa.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 1
                    
                        Jokowi Sebut Kereta Whoosh Bukan Cari Laba, Pengamat Transportasi: Persoalannya KAI Enggak Sanggup Tanggung Rp 2,2 Triliun
                        Regional

    1 Jokowi Sebut Kereta Whoosh Bukan Cari Laba, Pengamat Transportasi: Persoalannya KAI Enggak Sanggup Tanggung Rp 2,2 Triliun Regional

    Jokowi Sebut Kereta Whoosh Bukan Cari Laba, Pengamat Transportasi: Persoalannya KAI Enggak Sanggup Tanggung Rp 2,2 Triliun
    Tim Redaksi
    SEMARANG, KOMPAS.com –
    Pengamat transportasi dari Universitas Katolik (Unika) Soegijapranata, Djoko Setijowarno, menyoroti sejumlah aspek pembangunan dan operasional Kereta Cepat Whoosh Jakarta–Bandung.
    Mulai dari skema pembiayaan, tarif, hingga rute yang tidak langsung menghubungkan pusat kota.
    Djoko menilai proyek kereta cepat sebaiknya diposisikan sebagai prototipe, bukan sebagai prioritas nasional, mengingat daya beli masyarakat dan kebutuhan transportasi di luar Pulau Jawa yang dinilai lebih mendesak.
    “Persoalannya yang nanggungnya itu PT Kereta Api Indonesia (KAI), itu yang jadi berat karena sebenarnya dia enggak sanggup lah sebesar itu Rp 2,2 triliun. Tapi kalau masuk APBN, saya juga enggak setuju. APBN itu jangan hanya bangun untuk di Jawa, di luar Jawa juga butuh. Lebih tepat memang itu ya (dikelola) di Danantara,” ujar Djoko saat dihubungi, Senin (27/10/2025).
    Menurutnya, pembiayaan proyek Whoosh melalui skema Danantara lebih tepat dibandingkan membebani APBN.
    Ia menilai opsi pendanaan dari anggaran negara tidak adil bagi wilayah lain yang juga membutuhkan pembangunan transportasi.
    Djoko menjelaskan, skema konsesi jangka panjang seperti pada jalan tol dapat diterapkan dalam pengelolaan Whoosh.
    Ia mencontohkan praktik di Belanda yang bahkan mencapai 100 tahun masa konsesi.
    Terkait tarif, Djoko menilai harga ideal tiket Rp 750.000 belum bisa diterapkan saat ini karena daya beli masyarakat belum mendukung.
    “Masalahnya bukan soal perubahan perilaku masyarakat, tapi kemampuan ekonomi untuk menggunakan fasilitas tersebut,” ujarnya.
    Djoko pun menyarankan agar kenaikan tarif dilakukan bertahap, menyesuaikan kondisi ekonomi masyarakat agar tidak memberatkan pengguna.
    Lebih lanjut, Djoko mengkritik rute Kereta Cepat Whoosh yang tidak menghubungkan pusat kota seperti di negara lain.
    Rute yang dimulai dari Stasiun Halim (Jakarta) dan berakhir di Tegalluar (Bandung) disebut menyulitkan penumpang karena harus berpindah moda transportasi untuk mencapai pusat kota.
    “Whoosh ini dari awal juga saya bilang ini aneh kereta cepat Indonesia. Di luar negeri kereta cepat dari tengah kota menuju pusat kota, kita enggak dari pinggir kota menuju pinggir kota. Coba berangkatnya dari Manggarai atau Gambir masuk tengah Bandung,” lanjutnya.
    Menanggapi wacana perpanjangan jalur Whoosh hingga Surabaya, Djoko menilai hal itu tidak mendesak karena Pulau Jawa sudah memiliki konektivitas kuat melalui jalan tol dan kereta konvensional.
    Ia menilai pembangunan jalur baru berisiko mematikan moda transportasi lain, termasuk pesawat dan kereta logistik.
    “Justru Jawa itu yang dibutuhkan sekarang angkutan perkotaan, angkutan perdesaan, lalu integrasinya, dan yang keempat (KAI) dapat mengaktifkan jalan rel. Sudah itu saja. Kalau Whoosh dibangun sampai di Surabaya, ada yang dimatikan. Pesawat mati. Padahal bandaranya sudah investasi dan sudah terbangun,” ujarnya.
    Djoko mendorong pemerintah untuk mengalihkan fokus pembangunan transportasi ke luar Jawa, seperti Aceh dan wilayah selatan Indonesia yang belum memiliki sistem perkeretaapian memadai.
    “Sudah selesai cukup Jakarta–Bandung prototipe-nya kan. Pokoknya kita punya aja lah kereta cepat walaupun pendek. Meskipun enggak efisien kan ya sudah,” tuturnya.
    Sebelumnya,  Mantan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) menegaskan bahwa Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) atau Whoosh dibangun bukan untuk mencari keuntungan finansial, melainkan sebagai investasi sosial bagi masyarakat.
    Pernyataan tersebut disampaikan Jokowi saat ditemui di Mangkubumen, Banjarsari, Kota Solo, pada Senin (27/10/2025).
    Jokowi menjelaskan, pembangunan dan operasional Whoosh berawal dari masalah kemacetan parah yang telah melanda wilayah Jabodetabek dan Bandung selama 20 hingga 40 tahun terakhir.
    “Dari kemacetan itu negara rugi secara hitung-hitungan. Kalau di Jakarta saja sekitar Rp 65 triliun per tahun. Kalau Jabodetabek plus Bandung kira-kira sudah di atas Rp 100 triliun per tahun,” ujar Jokowi.
    Menurutnya, kerugian ekonomi akibat kemacetan menjadi pendorong utama pemerintah membangun berbagai moda transportasi massal, seperti KRL, MRT, LRT, Kereta Bandara, hingga Whoosh.
    “Tujuannya agar masyarakat beralih dari kendaraan pribadi ke transportasi massal sehingga kerugian akibat kemacetan dapat ditekan,” jelas Jokowi.
    Jokowi menegaskan, prinsip dasar pembangunan transportasi massal bukan untuk mencari laba, melainkan untuk memberikan layanan publik.
    “Prinsip dasar transportasi massal itu layanan publik, bukan mencari laba. Jadi, transportasi umum tidak diukur dari keuntungan finansial, tetapi dari keuntungan sosial,” tegasnya.
    Menurut Jokowi, keuntungan sosial yang dimaksud meliputi penurunan emisi karbon, peningkatan produktivitas masyarakat, pengurangan polusi udara, serta efisiensi waktu tempuh.
    “Di situlah keuntungan sosial dari pembangunan transportasi massal. Jadi, kalau ada subsidi, itu adalah investasi, bukan kerugian seperti MRT,” ujarnya.
    Jokowi menilai pembangunan proyek seperti Whoosh adalah langkah jangka panjang untuk menciptakan sistem transportasi yang efisien, ramah lingkungan, dan berorientasi pada kesejahteraan masyarakat, bukan keuntungan semata.
     
     
     
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Kenapa Kecelakaan Maut Bus Terulang Terus?

    Kenapa Kecelakaan Maut Bus Terulang Terus?

    Jakarta

    Lagi-lagi kecelakaan maut akibat bus diduga mengalami rem blong terjadi. Kenapa kecelakaan maut bus pariwisata terulang terus?

    Kecelakaan maut yang melibatkan bus pariwisata lagi-lagi terjadi. Bus pariwisata yang mengangkut 34 orang penumpang itu kecelakaan di Tol Trans Jawa Km 312B arah Semarang-Jakarta, Pemalang, Jawa Tengah. Insiden itu terjadi Sabtu (25/10/2025) pukul 08.25 WIB. Empat orang dilaporkan meninggal dunia akibat kecelakaan ini.

    “Korban meninggal dunia ada empat orang, satu luka berat, dan 13 luka ringan. Sementara 16 lainnya selamat,” kata Kasat Lantas Polres Pemalang, AKP Arief Wiranto, dikutip detikJateng.

    Diduga bus maut itu mengalami rem blong. Hal itu diamini oleh penumpang selamat yang menceritakan detik-detik kecelakaan maut tersebut. Riyan (35), tour leader (TL) yang ikut dalam rombongan wisata tersebut mengungkapkan adanya dugaan kegagalan sistem rem bus. Menurutnya, sebelum kecelakaan terjadi, sopir sempat mengeluhkan kondisi rem yang tidak berfungsi.

    “Sopir sempat bilang remnya los, nggak bisa ngerem,” kata Riyan.

    Meski sopir sudah berusaha mengendalikan kendaraan dengan menurunkan gigi dan menarik rem tangan, namun bus tetap tak bisa dikendalikan. Bus itu akhirnya terguling di tikungan.

    “Transmisi sudah dikurangi, rem tangan juga sudah main, tapi remnya tetap nggak bisa,” tutur Riyan.

    Kenapa Kecelakaan Maut Bus Terulang Terus?

    Ini bukan kali pertama bus pariwisata mengalami rem blong dan mengakibatkan kecelakaan maut. Praktisi keselamatan berkendara sekaligus Instruktur & Founder Jakarta Defensive Driving Consulting (JDDC) Jusri Pulubuhu memprediksi, kejadian semacam ini akan terus terulang kalau penyebab tidak langsungnya belum teratasi.

    “Ini akan terulang-ulang. Kenapa pemerintah tidak melihat penyebab tidak langsungnya? Mereka hanya fokus ke penyebab langsungnya. Harusnya fokusnya kepada penyebab tidak langsung. Rem blong tadi ada dua penyebab, secara langsung dan tidak langsung. Penyebab tidak langsung mulai dari praperjalanan, dari sistem perawatan di perusahaan angkutan, mulai dari sistem rekrutmen, lemahnya pemerintah dalam pengawasan kepada pengusaha-pengusaha terhadap aturan-aturan kelaikan. Ini yang namanya penyebab tidak langsung. Karena penyebab tidak langsung akan memicu penyebab langsung,” ujar Jusri kepada detikOto beberapa waktu lalu.

    Menurut Jusri, proses rekrutmen pengemudi kendaraan besar harus disoroti. Sebab, kebanyakan sopir truk dan bus adalah sopir yang ‘naik kelas’ dari kernet. Namun, sopir itu hanya berangkat dari pengalaman, bukan pengetahuan.

    Jusri mengatakan, kalau sistem rekrutmen sopir sudah salah, maka akan melahirkan driver yang tidak berkualitas. Tak cuma rekrutmen, juga harus ada pengembangan dan pelatihan untuk sopir-sopir truk.

    “Kalau rekrutmen benar tapi tidak ada development, training, pendidikan dan lain-lain, otomatis kualitas driver kacau juga. Belum lagi sistem perawatan (kendaraan), perusahaan berpikir komponen masih bisa dipakai meski sudah diajukan permohonan untuk diganti. Mereka tidak berpikir pasca kecelakaan cost-nya berapa kali. Karena kesadaran keselamatan masih menjadi kelemahan masyarakat Indonesia,” ujarnya.

    Untuk itu, Jusri menilai hal-hal yang jadi penyebab tidak langsung kecelakaan lalu lintas itu perlu dibenahi. Kalau tidak, kata dia, kecelakaan serupa bisa terus terjadi berulang kali.

    “(Mengatasi) penyebab tidak langsung merupakan solusi yang paling tepat di dalam menyikapi masalah-masalah yang berulang-ulang terus. Karena ini akan ada terus kalau tidak dibenahi,” ucapnya.

    Status Uji Berkala

    Sebagai informasi, angkutan umum seperti bus pariwisata harus memenuhi syarat laik jalan. Untuk itu, bus atau angkutan umum harus melakukan uji berkala setiap enam bulan sekali.

    Namun, bus pariwisata dengan pelat nomor DK 9296 AH itu tidak ditemukan status uji berkalanya. detikOto mengecek status laik jalan bus yang mengalami kecelakaan maut di tol Pemalang tersebut. Berdasarkan data di aplikasi Mitra Darat Kementerian Perhubungan, bus dengan nomor polisi DK 9296 AH itu tidak terdaftar.

    Padahal, menurut pengamat transportasi Djoko Setijowarno, setiap kendaraan bermotor yang dioperasikan di jalan harus memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan.

    “Untuk memastikan hal itu, ada beberapa pihak yang harus bertanggung jawab, yakni pengemudi serta pemilik kendaraan, baik perorangan, badan hukum, maupun pemerintah. Keselamatan lalu lintas penting untuk menjaga keselamatan pengguna jalan, serta menekan angka kecelakaan,” kata Djoko belum lama ini.

    Djoko menyebut, keselamatan transportasi masih menjadi masalah serius bangsa ini. Mengacu pada data dari Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, sekitar 51 persen dari bus pariwisata telah melanggar aturan. Sekitar 66 persen pelanggaran berkaitan dengan perizinan dan 34 persen karena izin uji kendaraan bermotor atau KIR mati.

    “Pelanggaran ini terjadi karena pihak perusahaan hanya ingin mendapatkan keuntungan dengan mengabaikan keselamatan. Situasi pasar juga turut mempengaruhi hal itu. Banyak konsumen yang menginginkan harga sewa bus murah tanpa memeriksa lagi apakah bus yang mereka gunakan itu laik atau tidak,” ungkap Djoko.

    (rgr/dry)

  • Kecelakaan Maut Bus di Pemalang, Gimana Status Uji Berkalanya?

    Kecelakaan Maut Bus di Pemalang, Gimana Status Uji Berkalanya?

    Jakarta

    Bus pariwisata lagi-lagi mengalami kecelakaan diduga akibat rem blong. Kecelakaan yang terjadi di tol Pemalang tersebut menewaskan empat orang.

    Diberitakan detikJateng, bus pariwisata yang mengangkut 34 orang penumpang itu kecelakaan di Tol Trans Jawa Km 312B arah Semarang-Jakarta, Pemalang, Jawa Tengah. Insiden itu terjadi Sabtu (25/10/2025) pukul 08.25 WIB. Empat orang dilaporkan meninggal dunia akibat kecelakaan ini.

    “Korban meninggal dunia ada empat orang, satu luka berat, dan 13 luka ringan. Sementara 16 lainnya selamat,” kata Kasat Lantas Polres Pemalang, AKP Arief Wiranto, dikutip detikJateng.

    Diduga bus maut itu mengalami rem blong. Hal itu diamini oleh penumpang selamat yang menceritakan detik-detik kecelakaan maut tersebut. Riyan (35), tour leader (TL) yang ikut dalam rombongan wisata tersebut mengungkapkan adanya dugaan kegagalan sistem rem bus. Menurutnya, sebelum kecelakaan terjadi, sopir sempat mengeluhkan kondisi rem yang tidak berfungsi.

    “Sopir sempat bilang remnya los, nggak bisa ngerem,” kata Riyan.

    Ia menjelaskan, saat itu bus melaju dengan kecepatan sekitar 50 km/jam dan tengah bersiap keluar dari gerbang tol.

    “Awalnya nggak kenceng, soalnya baru mau keluar exit tol. Sudah mau belok, remnya tiba-tiba blong,” ujarnya.

    Meski sopir sudah berusaha mengendalikan kendaraan dengan menurunkan gigi dan menarik rem tangan, namun bus tetap tak bisa dikendalikan. Bus itu akhirnya terguling di tikungan.

    “Transmisi sudah dikurangi, rem tangan juga sudah main, tapi remnya tetap nggak bisa,” tutur Riyan.

    Status Uji Berkala

    Sebagai informasi, angkutan umum seperti bus pariwisata harus memenuhi syarat laik jalan. Untuk itu, bus atau angkutan umum harus melakukan uji berkala setiap enam bulan sekali.

    Namun, bus pariwisata dengan pelat nomor DK 9296 AH itu tidak ditemukan status uji berkalanya. detikOto mengecek status laik jalan bus yang mengalami kecelakaan maut di tol Pemalang tersebut. Berdasarkan data di aplikasi Mitra Darat Kementerian Perhubungan, bus dengan nomor polisi DK 9296 AH itu tidak terdaftar.

    Data Uji Berkala Bus Maut Pemalang Foto: Aplikasi Mitra Darat

    Padahal, menurut pengamat transportasi Djoko Setijowarno, setiap kendaraan bermotor yang dioperasikan di jalan harus memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan.

    “Untuk memastikan hal itu, ada beberapa pihak yang harus bertanggung jawab, yakni pengemudi serta pemilik kendaraan, baik perorangan, badan hukum, maupun pemerintah. Keselamatan lalu lintas penting untuk menjaga keselamatan pengguna jalan, serta menekan angka kecelakaan,” kata Djoko belum lama ini.

    Djoko menyebut, keselamatan transportasi masih menjadi masalah serius bangsa ini. Mengacu pada data dari Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, sekitar 51 persen dari bus pariwisata telah melanggar aturan. Sekitar 66 persen pelanggaran berkaitan dengan perizinan dan 34 persen karena izin uji kendaraan bermotor atau KIR mati.

    “Pelanggaran ini terjadi karena pihak perusahaan hanya ingin mendapatkan keuntungan dengan mengabaikan keselamatan. Situasi pasar juga turut mempengaruhi hal itu. Banyak konsumen yang menginginkan harga sewa bus murah tanpa memeriksa lagi apakah bus yang mereka gunakan itu laik atau tidak,” ungkap Djoko.

    (rgr/sfn)