Tag: Djarot Saiful Hidayat

  • Koster laporkan ke DPP kader PDIP tembus 230 ribu se-Bali

    Koster laporkan ke DPP kader PDIP tembus 230 ribu se-Bali

    Denpasar (ANTARA) – Ketua DPD PDI Perjuangan Bali Wayan Koster melaporkan capaiannya dalam konferensi daerah bahwa hingga saat ini keanggotaan mereka di Bali mencapai 230 ribu orang.

    “Realisasi kartu anggota juga berjalan dengan cukup baik, total anggota itu mencapai 230 ribu se-Bali, nanti ke depan harus ditingkatkan mencapai 500 ribu,” kata Koster di Denpasar, Sabtu.

    Dalam konferda yang juga akan menentukan Ketua DPD PDIP Bali baru itu dihadiri jajaran DPP PDIP yaitu Ketua Bidang Ideologi dan Kaderisasi Djarot Saiful Hidayat, Wakil Sekretaris Jenderal Bidang Komunikasi Adian Yunus Yusak Napitupulu, Ketua Bidang Keanggotaan dan Organisasi Andreas Hugo Pareira, dan Ketua Bidang Industri, Perdagangan, dan Tenaga Kerja Darmadi Durianto.

    Selama lima tahun lebih dipimpinnya, Wayan Koster memastikan bahwa di Bali partai moncong putih dari tingkat DPD hingga anak ranting terbentuk kuat dan kokoh.

    “Begitu juga sistem dan manajemen partai berjalan dengan sangat baik, struktur partai di Bali ini sudah sangat kuat, kemudian status kantor DPD PDIP Bali lahan seluas 10 are sekarang sudah menjadi milik DPD nilai belinya adalah Rp5,5 milyar, uangnya diperoleh dari gotong royong eksekutif dan legislatif PDIP,” ujarnya.

    Menurut politisi yang merupakan Gubernur Bali itu, kader partai merupakan tulang punggung jalannya organisasi, dituntut untuk memahami program dan tugas-tugas kepartaian di tengah masyarakat sehingga mereka diberikan pendidikan politik.

    “Pendidikan politik DPD, DPC, PAC sampai ke ranting dengan menggunakan dana partai, juga dilakukan sosialisasi haluan pembangunan Bali masa depan, dilakukan pelatihan transformasi digital dan sosialisasi monitoring perjuangan partai sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, jadi partai semakin adaptif,” kata Wayan Koster.

    Politisi asal Buleleng itu merasa keberhasilan dalam mengelola sumber daya partai juga tercermin dari berhasilnya kader PDIP di Bali menempati posisi-posisi strategis berkat budaya kaderisasi, kekuatan organisasi, dan disiplin.

    “Maka kita berhasil menempatkan sejumlah kader di posisi eksekutif maupun legislatif, menduduki jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah serta ketua DPRD se-Bali, ini perjuangan semua kecuali Kabupaten Karangasem di Pilkada 2024, kita di Bali sekarang cukup kokoh,” ujarnya.

    Ketua Bidang Ideologi dan Kaderisasi DPP PDIP Djarot Saiful Hidayat menambahkan bahwa untuk bisa memenangkan Pemilu dan Pilkada 2029 bergantung pada kader yang mengurus organisasi di tingkat terbawah.

    Oleh karena itu DPP mendorong DPD PDIP Bali sebagai DPD pertama yang memulai menggelar konferda dan konfercab agar memilih kader-kader terbaik.

    “Supaya mereka yang masuk kepengurusan bukan hanya namanya saja tapi betul-betul aktif turun ke bawah karena yang memenangkan PDIP adalah rakyat, rakyat melihat kinerja kita, rekrut orang-orang terbaik kita harus membuka diri,” kata Mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta itu.

    Pewarta: Ni Putu Putri Muliantari
    Editor: Budi Suyanto
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • RI latih pelaut dari 13 negara Afrika perkuat diplomasi maritim global

    RI latih pelaut dari 13 negara Afrika perkuat diplomasi maritim global

    sebetulnya ini tujuannya untuk memperkuat peran kita di dunia internasional

    Jakarta (ANTARA) – Badan Pengembangan SDM Perhubungan (BPSDMP) Kementerian Perhubungan RI melatih puluhan pelaut dari 13 negara Afrika Barat dan Tengah guna memperkuat diplomasi maritim Indonesia di kancah internasional.

    Kepala BPSDMP Kemenhub Djarot Tri Wardhono mengatakan kegiatan itu menjadi bentuk nyata kerja sama dan Triangular Cooperation yang telah disepakati Indonesia dalam forum International Maritime Organization (IMO).

    “Jadi sebetulnya ini tujuannya untuk memperkuat peran kita di dunia internasional. Kemudian kita juga sebagai mitra International Maritime Organization. Dan sebetulnya ini juga menjadikan peran kita mencari dukungan untuk lobi-lobi di dalam IMO tersendiri,” kata Djarot di Jakarta, Jumat.

    Dia menyampaikan program pelatihan itu meliputi Training of Trainers (ToT) dan Training of Examiners (ToE) berbasis standar IMO, yang bertujuan menyiapkan pengajar serta penguji profesional di sektor maritim global.

    Adapun pelatihan tersebut melibatkan negara anggota Maritime Organization of West and Central Africa (MOWCA) di antaranya Ghana, Guinea Bissau, Sierra Leone, Nigeria, Kamerun, Angola, Congo Brazaville, Gabon, Liberia, dan Senegal, dengan total peserta mencapai 84 orang terpilih.

    Djarot menjelaskan anggaran sebesar Rp18,2 miliar diberikan Lembaga Dana Kerja Sama Pembangunan Internasional (LDKPI) Kementerian Keuangan untuk mendukung dua gelombang pelatihan tersebut sepanjang tahun 2025.

    “Kami bekerja sama dengan LDKPI, saya mengucapkan terima kasih kepada Kementerian Keuangan yang sudah mempercayai dananya kepada kami untuk melatih rekan-rekan kita dari Afrika Barat maupun Afrika Tengah,” tuturnya.

    Menurut dia, langkah itu merupakan strategi memperluas jejaring diplomasi Indonesia sekaligus memperkuat posisi negara sebagai anggota Dewan IMO kategori C dengan dukungan dari negara-negara Afrika.

    Selain memperkuat kerja sama teknis, pelatihan itu juga membuka peluang bisnis baru bagi industri pelayaran dan teknologi maritim Indonesia di kawasan Afrika.

    “Nah apa manfaatnya bagi kita? Jadi tentunya kita memberikan suatu political engagement terhadap negara-negara di Afrika sehingga kita juga memiliki kekuatan di IMO dari dukungan negara-negara di Afrika tersebut,” katanya pula.

    Djarot berharap keberhasilan pelatihan ini menjadi landasan bagi Indonesia untuk memimpin kolaborasi pengembangan SDM maritim dunia dan memperkuat peran strategis dalam forum internasional IMO.

    “Secara manfaat ekonomi juga meningkatkan eksistensi kita sebagai anggota IMO dimana kita juga memperkuat sumber daya manusia di bidang maritim. Kemudian juga eksistensi terhadap kompetensi kita (diakui) dalam mendidik pelaut maupun orang-orang yang bekerja di bidang maritim,” kata Djarot.

    Pewarta: Muhammad Harianto
    Editor: Agus Salim
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Wiranto Tegaskan Ujaran Kebencian Jadi Alat Politik dalam Sejarah Hari Ini, 16 Oktober 2017

    Wiranto Tegaskan Ujaran Kebencian Jadi Alat Politik dalam Sejarah Hari Ini, 16 Oktober 2017

    JAKARTA – Sejarah hari ini, delapan tahun yang lalu, 16 Oktober 2017, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam), Wiranto tegaskan ujaran kebencian cenderung meningkat kala memasuki tahun politik 2018 dan 2019. Ujaran kebencian digunakan sebagai alat politik untuk menang.

    Satu hal yang kemudian jadi ancaman keberagaman. Sebelumnya, Pilkada DKI Jakarta 2017 jadi kontestasi politik yang tak terlupakan. Ajang itu tak hanya jadi tempat bertarung gagasan. Namun, Pilkada DKI Jakarta justru bak arena menebar benih kebencian hanya untuk menang.

    Pilkada DKI Jakarta kerap membawa kehebohan. Kondisi itu karena siapa yang terpilih punya peluang besar untuk dikenal di seantero Indonesia. Syukur-syukur bisa beranjak dari kursi Gubernur DKI Jakarta ke Presiden Indonesia seperti Joko Widodo (Jokowi).

    Wiranto yang kala itu menjadi Panglima ABRI melepas tanda kepangkatan di pundak Prabowo Subianto sebagai simbol pemberhentian dari dinas kemiliteran, 24 Agustus 1998. (Le Journal)

    Alhasil, pertarungan memperebutkan kursi Gubernur DKI Jakarta selalu menarik. Ambil contoh pada Pilkada DKI Jakarta 2017. Petahana Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) memastikan langkah untuk mencalonkan diri sebagai cagub.

    Demikian pula Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Anies Baswedan. Belum lagi anak dari Mantan Presiden Indonesia ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono, Agus Harimurti Yudhono ikut sebagai penantang dalam Pilkada DKI Jakarta 2017.

    Aroma persaingan meninggi. Pertarungan itu dinantikan banyak pihak. Namun, penantian itu banyak diciderai dengan aksi simpatisan menyebar ujaran kebencian kepada salah satu calon. Ujaran kebencian dan SARA kian deras pula hadir kepada sosok Ahok.

    Wiranto dan Prabowo Subianto di Hambalang, Bogor, 1 Mei 2023. (Gerindra)

    Latar belakang agama yang dianutnya terus dibahas. Catatan buruk Ahok – termasuk isu penistaan agama terus-terusan diangkat. Belum lagi urusan warga yang mendukungnya mendapatkan intimidasi. Bahkan, pendukung Ahok yang menganut agama Islam diancam tak disalatkan kala meninggal.

    Potret itu membuat PIlkada DKI Jakarta 2017 jadi buruk. Ujaran kebencian seolah-olah jadi senjata penting untuk meraih kekuasaan.

    “Jangan sampai terulang lagi. Urusan pilkada kalau diseret ke masalah etika agama itu tidak baik dan menurut saya itu tindakan tidak beradab. Tolong maafkan mereka yang suka mengkafir-kafirkan, jangan ada benci. Biarkan saja tidak apa-apa. Mungkin mereka belum sadar, mereka masih tertutup hatinya,” ungkap pasangan Ahok dalam pilkada DKI Jakarta, Djarot Saiful Hidayat sebagaimana dikutip laman CNN Indonesia, 13 Maret 2017.

    Efek Pilkada DKI Jakarta besar. Menkopolhukam, Wiranto pun angkat bicara pada 16 Oktober 2017. Ia menegaskan bahwa ujaran kebencian akan cenderung meningkat kembali pada tahun politik 2018 dan 2019. Ujuran kebencian menurutnya sudah jadi alat politik untuk menang.

    Padahal, ujuran kebencian adalah ancaman besar dari keberagaman Indonesia. Wiranto mengajak segenap rakyat Indonesia untuk waspada terhadap kampanye hitam macam penyebaran ujaran kebencian.

    “Menjelang 2018 dan 2019, kita akan memasuki tahun politik. Pilkada, pemilu legislatif dan pemilu presiden langsung. Selama itu, radikalisme dalam bentuk ujaran kebencian bercampur dengan propaganda politik dan kampanye hitam akan digunakan sebagai alat meraih kekuasaan. Tentunya hal itu mengancam kedamaian dan pluralisme kehidupan masyarakat Indonesia,” ujar Wiranto sebagaimana dikutip laman kompas.com, 16 Oktober 2017.

  • Menimbang Penguatan MPR
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        13 Oktober 2025

    Menimbang Penguatan MPR Nasional 13 Oktober 2025

    Menimbang Penguatan MPR
    Djarot Saiful Hidayat, Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Ideologi dan Kaderisasi, Anggota DPR RI Periode 2019-2024, Gubernur DKI Jakarta (2017), Wakil Gubernur DKI Jakarta (2014-2017) dan Walikota Blitar (2000-2010). Kini ia menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR RI Periode 2024-2029.
    SETELAH
    amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 selama empat tahap (1999–2002), lanskap ketatanegaraan Indonesia berubah secara fundamental.
    Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), yang semula menjadi “penjelmaan seluruh rakyat Indonesia” dan disebut secara eksplisit dalam Penjelasan UUD 1945 sebagai lembaga tertinggi negara, kini menempati posisi sederajat dengan lembaga tinggi negara lainnya: Presiden, DPR, DPD, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Badan Pemeriksa Keuangan.
    Perubahan ini dimaksudkan untuk menghindari konsentrasi kekuasaan politik sebagaimana terjadi pada masa Orde Baru, ketika MPR memiliki kewenangan nyaris absolut—mulai dari menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) hingga mengangkat dan memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden.
    Melalui amandemen tahap pertama hingga keempat UUD 1945, pasal-pasal yang mengatur MPR diubah secara signifikan.
    Pasal 1 ayat (2) yang sebelumnya berbunyi “Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat” diubah menjadi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.”
    Sementara Pasal 3 UUD 1945 kini membatasi kewenangan MPR hanya pada tiga hal: mengubah dan menetapkan UUD, melantik presiden dan wakil presiden, serta memberhentikan presiden/wakil presiden dalam masa jabatannya sesuai ketentuan konstitusi.
    Akibatnya, dalam praktik ketatanegaraan modern, MPR kehilangan fungsi strategisnya sebagai lembaga yang memberikan arah ideologis dan haluan kebijakan jangka panjang.
    Ia menjadi lembaga seremonial: bekerja menjelang Sidang Tahunan, pelantikan presiden, atau ketika wacana amandemen muncul.
    Padahal, sejarah menunjukkan bahwa eksistensi MPR sejak awal kemerdekaan tidak hanya bersifat formal, tetapi konseptual—ia dimaksudkan sebagai wadah tertinggi bagi musyawarah kebangsaan dan penjabaran cita-cita konstitusi.
    Dari sinilah muncul wacana baru: perlu atau tidak MPR diperkuat kembali?
    Dalam konteks hukum tata negara, MPR merupakan lembaga konstitusional yang diatur dalam Bab II UUD 1945.
    Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) memperjelas strukturnya, yakni terdiri atas anggota DPR dan DPD yang dipilih melalui pemilu.
    Namun, UU MD3 tidak menambah kewenangan substantif MPR sebagaimana diatur dalam UUD. Karena itu, jika ingin memperkuat MPR secara kelembagaan, jalur konstitusional yang tersedia ada dua: melalui Amandemen UUD 1945 atau perubahan terbatas UU MD3.
    Wacana yang berkembang di internal MPR, sebagaimana tercermin dalam Rapat Konsultasi Pimpinan MPR dan DPD (2023–2024), adalah menghidupkan kembali semangat haluan negara dalam bentuk baru yang disebut Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN).
    Dasar rasionalnya jelas: sistem pemerintahan presidensial tanpa arah pembangunan jangka panjang yang mengikat antarpemerintahan berpotensi menimbulkan disorientasi kebijakan nasional.
    Setiap pergantian pemerintahan membawa prioritas baru, kadang bertentangan dengan visi jangka panjang negara. Dalam jangka panjang, hal ini menciptakan ketidakefisienan pembangunan dan kebingungan birokrasi.
    Gagasan PPHN sebenarnya berakar pada GBHN yang pernah ditetapkan MPR di masa lalu. Bedanya, PPHN tidak dimaksudkan untuk mengintervensi kewenangan eksekutif, tetapi memberi kerangka ideologis dan strategis bagi pembangunan nasional.
    Dengan demikian, PPHN akan menjadi dokumen politik kenegaraan yang memandu arah kebijakan, bukan mengatur teknis pelaksanaan program.
    Kewenangan MPR untuk menetapkan PPHN dapat dirancang melalui Amandemen kelima secara Terbatas UUD 1945.
    Wacana ini telah dibahas sejak periode MPR 2019–2024, bahkan pernah masuk ke dalam Rekomendasi MPR Tahun 2021 tentang Perlunya Pokok-Pokok Haluan Negara.
    Secara hukum, rekomendasi ini merujuk pada Pasal 3 ayat (1) UUD 1945 yang memberi wewenang kepada MPR untuk “mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar.”
    Artinya, secara konstitusional, MPR dapat memperluas perannya dengan melakukan amandemen yang bersifat terbatas untuk memasukkan kembali kewenangan penetapan haluan negara.
    Selain itu, Pasal 37 UUD 1945 memberikan mekanisme amandemen yang sah: usulan perubahan dapat diajukan oleh sekurang-kurangnya sepertiga anggota MPR, disetujui dua pertiga anggota yang hadir, dan disahkan oleh setidaknya separuh dari seluruh anggota MPR.
    Dengan dasar hukum ini, gagasan penguatan MPR tidak melanggar prinsip konstitusionalitas—asal dilakukan secara transparan, bertahap, dan mendapat dukungan politik yang memadai.
    Lebih jauh, secara filosofis, penguatan MPR dapat dipahami sebagai usaha untuk menyambung kembali tradisi permusyawaratan dan ideologisasi negara sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat: “…yang berkedaulatan rakyat berdasarkan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.”
    Dalam kerangka itu, MPR bukan sekadar lembaga administratif, melainkan lembaga ideologis yang menjaga agar arah bangsa tetap sejalan dengan cita-cita kemerdekaan.
    Gagasan memperkuat MPR tentu tidak lepas dari kekhawatiran akan kemunduran demokrasi. Kritik paling keras datang dari kalangan yang khawatir bahwa penguatan MPR akan membuka jalan bagi kembalinya sistem otoritarian seperti masa Orde Baru—terutama bila diikuti gagasan agar presiden kembali dipilih oleh MPR.
    Namun, pandangan semacam ini tidak seluruhnya berdasar. Penguatan MPR yang kini dibicarakan tidak dimaksudkan untuk mengurangi legitimasi rakyat, melainkan untuk memperkuat fondasi ideologis dan keberlanjutan kebijakan negara.
    Dalam sistem demokrasi modern, lembaga semacam State Policy Council atau National Planning Commission lazim ditemukan di banyak negara.
    Di China, peran arah kebijakan jangka panjang dipegang oleh National Development and Reform Commission.
    Di Singapura, fungsi itu diemban oleh Ministry of National Development yang merumuskan Strategic National Directions lintas pemerintahan.
    Bahkan di Amerika Serikat, National Security Council dan Office of Management and Budget menjadi penentu arah kebijakan lintas presiden.
    Dengan kata lain, memiliki lembaga yang mengawal arah negara bukanlah hal yang bertentangan dengan demokrasi, selama lembaga itu tidak mengambil alih kedaulatan rakyat, melainkan menjaganya dalam bingkai konsistensi nasional.
    Jika MPR diberi kembali mandat untuk menetapkan PPHN, maka arah pembangunan nasional akan memiliki kesinambungan lintas pemerintahan.
    Visi jangka panjang seperti pembangunan sumber daya manusia, kedaulatan pangan, penguatan pertahanan nasional, serta transformasi energi dan teknologi, tidak akan lagi bergantung pada selera politik lima tahunan.
    Lebih dari itu, MPR dapat berperan sebagai penjaga konsensus kebangsaan. Dalam situasi politik yang makin fragmentaris dan pragmatis, keberadaan lembaga yang memiliki fungsi ideologis dan kebangsaan menjadi penting. Ia bisa menjadi ruang musyawarah nasional yang melampaui kepentingan partai politik.
    Sesuai amanat Pasal 3 UUD 1945 dan UU MD3, MPR juga berwenang menyampaikan rekomendasi hasil kajian konstitusional kepada lembaga negara lain.
    Kewenangan ini dapat diperluas melalui revisi undang-undang agar MPR dapat memantau pelaksanaan nilai-nilai Pancasila, UUD 1945, dan cita-cita Proklamasi dalam setiap kebijakan nasional.
    Dengan begitu, MPR kembali menjadi lembaga moral konstitusional yang tidak sekadar bersidang, tetapi juga berhikmat dalam memandu bangsa.
    Namun, penguatan MPR harus dilakukan dengan prinsip keterbatasan konstitusional. Artinya, MPR tidak boleh mengintervensi pelaksanaan pemerintahan harian (eksekutif), tidak boleh menjadi lembaga politik praktis.
    Selain itu, MPR tidak boleh memiliki kewenangan yang tumpang tindih dengan Mahkamah Konstitusi atau DPR. Ia harus berdiri sebagai lembaga penjaga arah, bukan pengendali kekuasaan.
    Dalam konteks politik kekinian, penguatan MPR justru bisa menjadi momentum rekonsolidasi nasional.
    Ketika polarisasi politik semakin tajam dan ideologi negara sering dipelintir oleh kepentingan pragmatis, MPR dapat menjadi rumah besar kebangsaan yang meneguhkan kembali nilai dasar persatuan.
    Seperti ditegaskan Ketua MPR dalam Sidang Tahunan 2024, “Penguatan MPR bukan untuk mengambil kekuasaan, tetapi untuk menjaga arah dan tujuan bernegara sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945.”
    Pada akhirnya, bangsa yang besar adalah bangsa yang tahu ke mana ia menuju. Dalam kerangka itu, penguatan MPR bukan nostalgia masa lalu, melainkan penegasan peran masa depan.
    Ia bukan antitesis dari demokrasi, tetapi fondasi bagi demokrasi yang berhaluan dan makin bermartabat.
    Dua puluh tahun lebih setelah amandemen UUD 1945, bangsa ini telah belajar banyak dari dinamika demokrasi yang cair. Namun, demokrasi tanpa arah dapat kehilangan substansi kebangsaannya.
    Dalam situasi dunia yang kian tidak pasti, Indonesia membutuhkan lembaga yang menjaga kesinambungan, arah, dan jiwa bangsa.
    MPR, dengan sejarah dan landasan konstitusionalnya, memiliki potensi untuk mengisi kekosongan itu.
    Penguatan MPR bukan berarti menghidupkan kembali supremasi lembaga, tetapi membangun kembali kesadaran bersama bahwa negara memerlukan haluan—sebuah kompas moral dan ideologis yang menuntun setiap pemerintahan agar tidak tersesat dalam pragmatisme politik jangka pendek.
    Jika bangsa ini ingin bertahan dalam arus globalisasi dan gejolak ideologis, maka memperkuat MPR berarti memperkuat kompas bangsa itu sendiri.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Erros Djarot Ungkap Kesepakatan Megawati, Amien Rais, dan Gus Dur

    Erros Djarot Ungkap Kesepakatan Megawati, Amien Rais, dan Gus Dur

    GELORA.CO – Politisi, seniman, dan budayawan Erros Djarot ungkap kesepakatan Megawati Soekarnoputri, Amien Rais, dan Gus Dur.

    “Mba Mega pasti masih ingatlah, Mas Amien Rais masih ada kan ya Mas Amien. Ingat enggak kita dulu apa yang kita sepakati di satu meja? Ada Gus Dur, ada Mba Mega, Mas Amien, ada saya juga,” katanya dalam siniar Abraham Samad Speakup dikutip pada Selasa, 23 September 2025.

    Ia mengungkapkan, kesepakatan saat itu adalah lebih menitikberatkan atau lebih condong kepada pemerintah dalam berbagai hal. 

    “Nah, sekarang kok jadi heavy legislatif gitu kan ya. Di mana semua dikendalikan oleh legislatif,” ucapnya.

    Saat ini, lanjut Erros, untuk menjadi atau menjabat berbagai jabatan, misalnya duta besar (dubes), harus mendapat persetujuan atau izin DPR.

    Sebenarnya, lanjut Erros, persetujuan itu bukan diberikan oleh anggota DPR, tetapi oleh para ketua umum parpolnya.

    “Lewat DPR? Enggak. Lewat ketua umum partai karena semua ditentukan sama ketua umum partai,” tandasnya.

    Ia menegaskan, itu terjadi karena negeri ini dikendalikan oleh institusi ketum parpol serta konglomerat atau oligarki.

    “Itu sebenarnya negara ini dipenjara itu aja, begitu dua ini ketemu, ya saling berbagi kepentingan, selesai,” ujarnya.

    Menurutnya, mereka juga bisa menyengsarakan rakyat melalui berbagai aturan yang tidak prorakyat. 

    “Kalau mereka punya kepentingan yang berdampak pada rakyat disengsarakan, bisa terjadi,” ujarnya.***

  • Pemkot Jaksel nilai pentingnya peran empat pilar dalam Jaga Jakarta

    Pemkot Jaksel nilai pentingnya peran empat pilar dalam Jaga Jakarta

    Jakarta (ANTARA) – Pemerintah Kota (Pemkot) Administrasi Jakarta Selatan (Jaksel) menilai peran empat pilar, yakni Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI sangat penting dalam upaya Jaga Jakarta.

    “Empat pilar tersebut menjadi tiang penyangga bangsa agar tetap bersatu menghadapi berbagai tantangan,” kata Wali Kota Administrasi Jakarta Selatan M Anwar di Jakarta, Kamis.

    Untuk itu, dia menegaskan pemahaman masyarakat terhadap empat pilar kebangsaan tersebut perlu ditingkatkan.

    Menurut dia, tindakan perusakan fasilitas umum yang terjadi beberapa waktu lalu itu disebabkan kurangnya pemahaman mengenai nilai kebangsaan.

    “Akhirnya, pembangunan jadi mundur, bukan maju, yang harusnya dialokasikan untuk pembangunan lain, justru dipakai memperbaiki fasilitas yang dirusak,” ujar Anwar.

    Pemkot Jaksel pun mengingatkan para demonstran agar memiliki sikap santun saat menyampaikan aspirasi mereka demi menjaga kondusivitas di wilayah setempat.

    Anwar juga meminta agar para demonstran memiliki sikap humanis dan tidak arogan saat berada di lapangan, serta tidak merusak fasilitas umum.

    Sementara itu, Anggota DPD Happy Djarot menambahkan empat pilar kebangsaan merupakan fondasi bangsa yang harus dijaga bersama-sama.

    “Saya apresiasi Jakarta Selatan yang menjadi tuan rumah kegiatan ini, dan berharap kader PKK (Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga) serta masyarakat bisa menyebarkan nilai-nilai kebangsaan hingga ke lingkungan keluarga,” ungkap Happy.

    Pewarta: Luthfia Miranda Putri
    Editor: Rr. Cornea Khairany
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Kemenkum Sahkan Kepengurusan DPP PDIP Periode 2025-2030 – Page 3

    Kemenkum Sahkan Kepengurusan DPP PDIP Periode 2025-2030 – Page 3

    Berikut struktur lengkap DPP PDI Perjuangan 2025–2030

    Ketua Umum : Megawati Soekarnoputri

    Struktur Pengurus DPP PDI Perjuangan 2025–2030

    1. Ketua Bidang Kehormatan Partai – Komarudin Watubun

    2. Ketua Bidang Sumber Daya – Said Abdulla

    3. Ketua Bidang Luar Negeri – Ahmad Basarah

    4. Ketua Bidang Pemenangan Pemilu Legislatif – Bambang Wuryanto

    5. Ketua Bidang Ideologi dan Kaderisasi – Djarot Saiful Hidayat

    6. Ketua Bidang Pemenangan Pemilu Eksekutif – Deddy Yevri Hanteru Sitorus

    7. Ketua Bidang Politik – Puan Maharani

    8. Ketua Bidang Pemerintahan dan Otonomi Daerah – Ganjar Pranowo

    9. Ketua Bidang Reformasi Hukum dan HAM – Yasonna H. Laoly

    10. Ketua Bidang Perekonomian – Basuki Tjahaja Purnama

    11. Ketua Bidang Kebudayaan – Rano Karno

    12. Ketua Bidang Pendidikan dan Kebudayaan – Puti Guntur Soekarno

    13. Ketua Bidang Kebijakan Publik dan Reformasi Birokrasi Kerakyatan – Abdullah Azwar Anas

    14. Ketua Bidang Penanggulangan Bencana – Tri Rismaharini

    15. Ketua Bidang Industri, Perdagangan, dan Tenaga Kerja – Darmadi Durianto

    16. Ketua Bidang Kesehatan – Ribka Tjiptaning

    17. Ketua Bidang Jaminan Sosial – Charles Honoris

    18. Ketua Bidang Perempuan dan Anak – I Gusti Ayu Bintang Darmawati

    19. Ketua Bidang Koperasi dan UMKM – Andreas Eddy Susetyo

    20. Ketua Bidang Pariwisata – Wiryanti Sukamdani

    21. Ketua Bidang Pemuda dan Olahraga – MY Esti Wijayanti

    22. Ketua Bidang Keagamaan dan Kepercayaan kepada Tuhan YME – Zuhairi Misrawi

    23. Ketua Bidang Ekonomi Kreatif dan Ekonomi Digital – Muhammad Prananda Prabowo

    24. Ketua Bidang Pertanian dan Pangan – Sadarestuwati

    25. Ketua Bidang Kelautan dan Perikanan – Rokhmin Dahuri

    26. Ketua Bidang Kehutanan dan Lingkungan Hidup – Eriko Sotarduga

    27. Ketua Bidang Hukum dan Advokasi – Ronny Talapessy

    28. Ketua Bidang Keanggotaan dan Organisasi – Andreas Hugo Pareira

     

  • Kemenhub dorong lulusan PTDI-STTD perkuat transportasi darat

    Kemenhub dorong lulusan PTDI-STTD perkuat transportasi darat

    Jakarta (ANTARA) – Kementerian Perhubungan (Kemenhub) mendorong lulusan Politeknik Transportasi Darat Indonesia – Sekolah Tinggi Transportasi Darat (PTDI-STTD) memperkuat sektor transportasi darat sehingga berkontribusi bagi pembangunan Indonesia.

    “Kami akan terus berupaya mencetak sumber daya manusia transportasi darat yang unggul, mampu bersaing secara global, dan berinovasi di berbagai bidang,” kata Kepala Badan Pengembangan SDM Perhubungan (BPSDMP) Kemenhub Djarot Tri Wardhono saat melantik 927 Perwira Transportasi Darat PTDI-STTD di Bekasi sebagaimana keterangan di Jakarta, Rabu.

    Dikatakan momentum itu menjadi bagian penting dari upaya pemerintah, melalui BPSDMP Kementerian Perhubungan untuk menghadirkan insan transportasi darat yang siap mengabdi dan berkontribusi bagi pembangunan Indonesia.

    Djarot menegaskan para lulusan memiliki peran strategis dalam mendukung percepatan pembangunan transportasi darat yang efektif, efisien, ekonomis, serta adaptif terhadap perkembangan teknologi.

    “Dengan mengusung tema Generasi Transportasi Unggul, Membangun Indonesia Maju, wisuda tahun ini menegaskan komitmen PTDI-STTD untuk menghadirkan SDM perhubungan yang profesional, inovatif, dan responsif terhadap dinamika transportasi modern,” ujarnya.

    Ia juga menekankan pentingnya sinergi pentahelix kolaborasi antara akademisi, pemerintah, industri, masyarakat, dan media dalam mencapai kemajuan transportasi yang berkelanjutan.

    Dia juga berharap wisudawan mampu mengimplementasikan ilmu dan keterampilan yang diperoleh selama pendidikan dengan menjunjung tinggi integritas, profesionalisme.

    “Hari ini merupakan titik awal bagi seluruh wisudawan untuk menjadi ASN dan insan transportasi yang berakhlak, berintegritas, dan berdedikasi bagi kemajuan bangsa,” tambahnya.

    Para lulusan itu telah dibekali pengetahuan, keterampilan, dan integritas untuk siap berkiprah sebagai aparatur transportasi darat profesional di berbagai sektor.

    Direktur PTDI-STTD, Avi Mukti Amin optimistis para perwira transportasi darat akan menjadi motor penggerak peningkatan kualitas layanan transportasi, menjawab tantangan global, dan memperkuat sistem transportasi nasional yang berkeselamatan, efisien, dan berkelanjutan.

    “Dengan pelantikan ini, PTDI-STTD memantapkan perannya sebagai lembaga pendidikan tinggi vokasi yang menjadi garda terdepan dalam pengembangan SDM transportasi darat, guna mewujudkan visi Indonesia Emas 2045,” kata Avi.

    Pewarta: Muhammad Harianto
    Editor: Triono Subagyo
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Belum Tetapkan Angka, DPRD DKI Minta Publik Sabar Soal Revisi Tunjangan Rumah Rp 70 Juta
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        8 September 2025

    Belum Tetapkan Angka, DPRD DKI Minta Publik Sabar Soal Revisi Tunjangan Rumah Rp 70 Juta Megapolitan 8 September 2025

    Belum Tetapkan Angka, DPRD DKI Minta Publik Sabar Soal Revisi Tunjangan Rumah Rp 70 Juta
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    DPRD DKI Jakarta memastikan revisi terkait tunjangan rumah anggota dewan senilai Rp 70 juta masih dalam tahap pembahasan.
    Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Basri Baco menegaskan bahwa sampai saat ini belum ada angka pasti mengenai besaran tunjangan baru yang akan ditetapkan.
    “Belum (angka tunjangan) masih dalam proses. Sabar, nanti kalau cepat-cepat keburu-buru salah lagi, nanti Dewan kena kesalahan lagi,” ucap Baco saat ditemui di Gedung DPRD DKI Jakarta, Senin (8/9/2025).
    Menurut Baco, semua fraksi di DPRD DKI Jakarta telah sepakat untuk mengevaluasi tunjangan rumah.
    Namun, ia mengingatkan prosesnya tidak bisa cepat karena keputusan akhir tetap melibatkan pemerintah provinsi dan kementerian terkait.
    “Semua tunjangan yang dewan dapat itu kan yang menetapkan bukan dewan, tetapi yang menetapkan adalah pemerintah, gubernur dan kementerian keuangan,” kata dia.
    Baco juga menegaskan bahwa revisi aturan soal tunjangan masih dibahas secara hati-hati agar tidak perlu direvisi berulang kali.
    “Lebih baik disiapkan matang-matang, supaya lengkap,” ucapnya.
    Sebelumnya, massa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Peduli Demokrasi (AMPSI) menggelar unjuk rasa di depan Gedung DPRD DKI Jakarta.
    Mereka menilai tunjangan rumah DPRD DKI tidak masuk akal dan jauh dari rasa keadilan, apalagi di tengah kondisi ekonomi masyarakat yang masih sulit.
    “Tunjangan perumahan itu, perlu dikaji ulang, menurut kami, karena mungkin itu terlalu besar. Melihat situasi dan kondisi perekonomian yang tidak berbanding terbalik dengan para wakil-wakil rakyat saat ini,” ujar perwakilan AMPSI, Muhammad Ihsan, Rabu (4/9/2025).
    Saat ini, tunjangan rumah anggota DPRD DKI Jakarta mencapai Rp 70,4 juta per bulan. Untuk pimpinan DPRD, jumlahnya lebih tinggi, yakni Rp78,8 juta per bulan.
    Ketentuan itu tertuang dalam Keputusan Gubernur (Kepgub) DKI Jakarta Nomor 415 Tahun 2022 yang diteken mantan Gubernur Anies Baswedan.
    Pada Pergub Nomor 153 Tahun 2017 yang diteken mantan Gubernur Djarot Saiful Hidayat, besaran tunjangan lebih rendah, pimpinan DPRD mendapat Rp 70 juta per bulan dan anggota DPRD Rp 60 juta per bulan termasuk pajak.
    Dalam aturan tersebut dijelaskan, biaya tunjangan dibebankan pada APBD DKI Jakarta dan pengawasan penggunaannya dilakukan oleh Sekretariat DPRD melalui mekanisme verifikasi pertanggungjawaban.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Tunjangan Perumahan DPRD DKI Rp70,4 juta Masih Aman

    Tunjangan Perumahan DPRD DKI Rp70,4 juta Masih Aman

    OLEH: TONY ROSYID*

    DPR RI diprotes, lantaran memberikan tunjangan perumahan. Berapa besarannya? Rp50 juta perbulan. Besar sekali. Apalagi di tengah krisi ekonomi saat ini. Pakai joget-joget lagi. 

    Rakyat kesal. Protes, lalu jarah rumah anggota DPR. Khususnya anggota DPR yang omongannya nggak enak didengar. Tapi, anggota DPR yang joget-joget itu, aman.

    Tapi, anda mesti juga tahu. Tunjangan perumahan anggota DPR RI, kalah besar dengan anggota DPRD DKI Jakarta. Tunjangan perumahan anggota DPRD DKI itu Rp70,4 jita per bulan. Khusus pimpinan, 78,8 juta per bulan. Besaran mana? DPR RI atau DPRD DKI.

    Modal kecil, tunjangan rumahnya lebih besar. Enak ya… Padahal mereka sama-sama hidup di Jakarta.

    Tahun 2015, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok menaikkan tunjangan DPRD DKI dari Rp15 juta menjadi Rp30 juta. Seratus persen. 

    Tahun berikutnya yaitu 2016, Ahok menaikkan lagi tunjangan perumhan untuk DPRD Jakarta dari Rp30 juta menjadi Rp60 juta. Seratus persen lagi. 

    Pada 2017 Ahok kalah Pilgub Jakarta dan digantikan Anies Baswedan. Jeda sebentar masa Djarot Saiful Hidayat, lalu dijabat Saefullah hanya semalam sebelum digantikan Anies Baswedan. 

    Di masa Anies Baswedan sejak tahun 2017, tidak ada lagi dana kenaikan tunjangan perumahan untuk DPRD Jakarta. Hingga tahun 2022, di ujung jabatannya, Anies menaikkannya dari Rp60 juta jadi Rp70 juta. Naik 17 persen setelah lima tahun.

    Sebenarnya, rakyat marah kepada DPR RI itu karena tunjangan perumahan, atau karena omongan DPR yang nggak enak? Atau karena joget-jogetnya? Ini pertanyaan ringan, tapi jawabannya akan membawa konsekuensi yang serius.

    Kalau marah karena omongan dan joget-jogetnya anggota DPR, ini emosional. Ini tidak substantif dan tidak menyelesaikan masalah. 

    Tapi, kalau marahnya karena DPR tidak peka terhadap rakyat yang sedang kelaparan dengan memberi dan menaikkan tunjangan perumahan seenaknya, ini baru substantif. Protes yang substantif dapat memicu perubahan yang rasional.

    Kemarahan atas sesuatu yang substansial mesti membuka ruang evaluasi terhadap seluruh anggaran untuk DPR plus kinerjanya. Termasuk anggaran tujuh kali reses, anggaran untuk rapat, anggaran sah dan tidak sah, juga kinerja anggota DPR. Semua mesti dievaluasi. Tidak hanya berhenti di tunjungan perumahan. 

    Yang harus dipahami oleh rakyat, bahwa ukuran ketidak-pekaan bukan hanya pada kenaikan tunjangan perumahan, banyak peredaran uang di DPR yang jauh lebih menunjukkan ketidak-pekaan dari sekedar tunjungan perumahan. Tunjungan perumahan itu kecil saja dibanding pendapatan anggota DPR lainnya. Pendapatan legal maupun ilegal. Pendapatan halal maupun haram. 

    Soal pendapatan haram ini sudah pernah dibuka oleh Zulfikar Arse Sadikin, seorang anggota DPR RI dari Fraksi Golkar. Dia bilang: “sulit cari uang halal sebagai anggota DPR” (12 Agustus 2025). Kenapa terhadap masalah pokok dan fundamental seperti yang dikatakan Zulfikar ini, rakyat relatif cuek dan tidak serius merespons? 

    Mestinya fokus rakyat itu bukan di joget-jogetnya dan narasi anggota DPR. Tapi lebih ke seluruh praktik penganggaran dan semua permaiannya di DPR. Ini lebih substantif, teridentifikasi secara komprehensif, kemudian dibongkar dan menjadi protes kolektif dalam demo.

    Kalau protesnya substantif, kenapa kemarahan rakyat hanya kepada DPR RI saja? Kenapa tidak juga ke DPRD DKI yang angkanya lebih besar? Ini juga jadi pertanyaan serius.  Bukankah tunjangan perumhan anggota DPRD DKI paling besar diantara anggota legislatif di seluruh Indonesia?

    Pimpinan DPR RI berjanji akan membatalkan kenaikan tunjangan perumahan yang nilainya Rp50 juta. Sementara tunjuang perumahan DPRD DKI Rp70,4 juta, aman dan tenang-tenang saja.

    *(Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa)