Tag: Djarot Saiful Hidayat

  • Banyu Biru Bongkar Masalah Utama Industri Film Indonesia

    Banyu Biru Bongkar Masalah Utama Industri Film Indonesia

    Jakarta, Beritasatu.com – Selebritas sekaligus anggota DPR Banyu Biru Djarot menyoroti masih banyaknya tantangan yang dihadapi industri perfilman nasional. Ia menilai, pembenahan besar-besaran perlu dilakukan agar kualitas dan kuantitas film Indonesia bisa meningkat.

    “Industri film kita masih tertahan karena tiga masalah utama, yaitu limited screen (jumlah layar tayang terbatas), commercial quality (daya saing komersial rendah), dan yang paling besar adalah piracy atau pembajakan,” ungkap Banyu Biru dalam rapat kerja Komisi VII DPR bersama Kementerian Ekonomi Kreatif di Gedung DPR, Jakarta, Jumat (7/11/2025).

    Menurutnya, praktik pembajakan telah membuat banyak investor enggan menanam modal di industri film karena potensi kerugian yang besar. Akibatnya, kualitas produksi dan keberlanjutan industri ikut terhambat.

    “Piracy ini musuh kita bersama. Kalau pembajakan bisa ditekan, ekosistem perfilman Indonesia akan meningkat dan menarik investor membuka layar-layar baru,” jelasnya.

    Ia juga memaparkan, rasio perkembangan perfilman Indonesia saat ini masih rendah, yakni 0,76, jauh tertinggal dari Thailand dan Singapura yang sudah mencapai angka 5.

    Politisi PDI Perjuangan itu meminta pemerintah, khususnya Kementerian Ekonomi Kreatif dan Kementerian Kebudayaan, untuk memberi dukungan nyata.

    Menurutnya, dukungan bisa berupa insentif produksi, pembukaan layar bioskop baru di daerah, serta perlindungan hukum dari pembajakan.

    “Yang harus diperbaiki adalah stimulus dan insentifnya. Namun sebelum itu, tiga tantangan besar tadi harus dibenahi,” tegasnya.

    Banyu Biru menilai, film bukan sekadar hiburan, tetapi juga bagian dari identitas, sejarah, dan kebanggaan bangsa.

    Ia juga menyebut, sumber daya alam (SDA) Indonesia dapat menjadi modal kuat dalam mengembangkan industri film. Menurutnya, potensi lokasi syuting di berbagai daerah bisa menjadi promosi pariwisata sekaligus mendukung sektor UMKM dan ekonomi kreatif.

    “Dengan kekayaan SDA seperti Danau Toba, Labuan Bajo, hingga Bali, film Indonesia bisa menjadi sarana promosi wisata dan budaya. Sudah waktunya industri perfilman kita berubah dan tumbuh lebih baik,” tutupnya.

  • Selapis Kisah Kekerasan 1965 di Aceh dari Puisi Tak Terkuburkan

    Selapis Kisah Kekerasan 1965 di Aceh dari Puisi Tak Terkuburkan

    Liputan6.com, Jakarta Aku bertemu dengan “Puisi Tak Terkuburkan” di ruang tengah sebuah rumah kayu yang terwalak di siku jalan Desa Kemili, menyambut Asar. Rumah ini membawaku pada ingatan beberapa tahun lalu saat sebuah berita membentangkan paragrafnya pertamanya dengan kalimat, “dunia seni, budaya, dan sastra Gayo, Aceh Tengah berduka”.

    Suara laki-laki tua dari seberang telepon yang menyambut saat itu masih terngiang. Tak salah lagi, ini adalah orang yang sama, aku dapat melihat namanya pada sebuah papan kayu kira-kira sepanjang 30 sentimeter yang tertempel di atas pintu depan rumah tersebut.

    Ibrahim Kadir. Demikian huruf-huruf timbul tersebut tersusun dalam warna kecoklatan dipenuhi debu.

    Membubuhi nama pemilik rumah di depan pintu seperti itu sempat tren pada tahuan 90-an. Aku bahkan masih bisa menemukan sejumlah rumah di kawasan Aceh Tengah dan Bener Meriah yang di pintunya tertempel nama sang pemilik.

    Namun, di rumah itu tak ada lagi Ibrahim Kadir –ia berpulang pada 1 September 2020 silam— kecuali segenap poster penuh kebanggaan saat peluncuran film “Puisi Tak Terkuburkan,” serta riwayat kekerasan 1965 yang tersimpan di dalam kliping koran serta majalah di sekeliling dinding rumah tua itu.

    Salah satu pigura berisi tempelan judul berita koran dalam bahasa Belanda: Het doden van de geschiedenis, Er werd veel gehuild op de set, Het gekrijs van een aap in het bos. Demikian judul-judul itu ditempel secara acak.

    Semua potongan judul serta klipingan berita tersebut merupakan bagian dari pemberitaan tentang proses pembuatan sebuah film yang pernah dilakoni oleh Ibrahim Kadir. Di dalam film berjudul Puisi Tak Terkuburkan itu, Ibrahim Kadir jadi dirinya sendiri, sebagai salah satu saksi sejarah dari “dinginnya” pembunuhan massal 1965 yang berlangsung di dataran tinggi Gayo.

    Jauh sebelum itu, pria kelahiran 31 Desember 1942 juga sempat terlibat dengan film epos biografi yang disutradarai oleh Eros Djarot yaitu Tjoet Nja’ Dhien rilisan Desember 1988. Namun, Puisi Tak Terkuburkan (2000) adalah “sesuatu” yang membuat nama Ibrahim Kadir patut diletakkan pada makam tersendiri.

    Bukan hanya sebagai seniman, Puisi Tak Terkuburkan merupakan manifesto, dari jalan seni yang kelak akan diambil oleh seorang Ibrahim Kadir. Ia adalah saksi sejarah yang berani “bicara”, saat narasi terkait kekerasan 1965 masih didominasi jika tidak disebut dibungkam oleh narasi Orde Baru.

    Di dalam Puisi Tak Terkuburkan, senyap memuai di udara, sinopsis muncul disertai derit pintu serta engsel yang telah karatan. Perlahan terdengar syair didong didendangkan oleh sejumlah pria di dalam sebuah ruangan seolah tengah berlangsung perjamuan besar.

    “… Kemudian, saya lihat… kakinya yang menggelepar.”

    Visual kemudian mulai menampilkan tangan dan kaki manusia yang saling bertindihan. Tampak pula wajah-wajah para pemiliknya yang saling menggigil ketakutan.

    Roman melankolis pada wajah-wajah putus asa tersebut kian sarat berkat iringan biola yang mengalun di antara suara gonggongan anjing dan suara batukan. Kumpulan manusia yang terlihat kepayahan itu semakin risau tatkala pintu kerangkeng dibuka.

    “Krieeet….”

    Seorang pria berseragam muncul dari balik pintu. Bersamanya ikut lima orang lelaki berwajah masai yang berjalan memasuki ruangan dengan langkah gontai.

    Salah seorang di antara lelaki itu menatap ke arah sipir agak lama, sebelum sang sipir menutup pintu lalu menghilang bersama deru mobil truk. Ia adalah Ibrahim Kadir.

    Ibrahim Kadir saat itu seorang seniman didong cum guru dijemput di sekolah tempatnya mengajar karena tuduhan terlibat Partai Komunis Indonesia (PKI) pada Selasa, 12 Oktober 1965. Ia diseret ke sebuah ruangan di mana banyak tahanan lain yang dituduh terlibat PKI ditempatkan.

    Selama ditahan, dirinya dipaksa untuk menemani para penjagal saat melakukan eksekusi. Ibrahim Kadir kelak dibebaskan karena bantuan seorang pejabat Partai Nasional Indonesia (PNI) yang kebetulan mendengarkan senandung didongnya, tetapi ingatan yang diakibatkan oleh kenangan selama 22 hari berada di dalam tahanan, sesungguhnya tidak pernah bebas dari benak.

    Ibrahim Kadir menyaksikan seratusan orang lebih dijagal silih berganti setiap malam. Ia hampir gila, teriakan-teriakan di tengah dinginnya malam sulit untuk dilupakan.

    Orang-orang yang kepalanya dibungkus karung, dipukul hingga meregang nyawa; wanita-wanita tak bersalah disembelih; para tahanan dipaksa saling bunuh; seorang ibu dieksekusi bersama bayinya. Semua tindakan tak berperikemanusiaan yang dapat dibayangkan oleh manusia berlangsung di depan mata Ibrahim Kadir.

    Ibrahim Kadir mencurahkan pengalamannya tadi ke dalam 23 bait 92 baris syair berbahasa Gayo berjudul, “Sebuku” atau ratapan. Namun, Puisi yang tak Terkuburkan sebenarnya hanya satu kepingan tipis dari serakan kaca getirnya pembunuhan massal yang menyelimuti dataran tinggi Gayo.

    Di balik bentang alamnya yang indah, pegunungan berkabut, danau Lut Tawar, dan kopinya yang mendunia, dataran tinggi Gayo menyimpan “kepedihannya” sendiri. Tanahnya yang subur menyimpan riwayat yang anyir, berasal dari tumpahan darah dengan kengerian yang tak tepermanai.

    “Sedikitnya 2.500 orang (khusus di tanah Gayo, red) yang dibantai. Hampir di setiap kampung terjadi pembunuhan terhadap orang yang di-PKI-kan,” ungkap mantan aktivis KontraS (Komisi Orang Hilang dan Tindak Kekerasan) Aceh, Mustawalad kepada Liputan6.com.

    Sejumlah titik kuburan massal di antara lain ada di Redelong, Kubangan Gajah, Totor Besi, dan Bur Lintang. Kuburan-kuburan ini sudah tidak ada lagi karena kerangka para korban telah dipindahkan oleh keluarga ke pemakaman umum dan biasanya sedapat mungkin dirahasiakan.

    Riset berbasis sejarah oleh Jess Melvin berjudul The Army and the Indonesian Genocide: Mechanics of Mass Murder (2018) dapat menjadi acuan dari peristiwa kekerasan ini. Buku ini telah terbit dalam versi terjemahan berjudul Berkas Genosida Indonesia: Mekanika Pembunuhan Massal 1965-1966.

    Buku setebal 322 halaman terbitan Routledge tahun 2018 tersebut meruntuhkan apa yang disebut Jess Melvin sebagai sebuah ‘propaganda’ setengah abad lebih. Gerakan penumpasan semua yang terlibat PKI selama ini disebut-sebut sebagai perlawanan spontanitas masyarakat.

    Namun, berkas yang ditemukan oleh Melvin mengungkap fakta lain. Ia menyebut, sesungguhnya kekerasan yang berlangsung pada saat itu itu merupakan rangkaian pembunuhan terkoordinasi yang tersambung hingga ke Mayor Jenderal Soeharto.

    Berdasarkan dokumen yang ditemukan oleh Jess Melvin, operasi pengganyangan semua yang dianggap terlibat PKI di Aceh telah dimulai pada 4 Oktober. Program ini diterapkan berdasarkan rantai komando secara teritorial dan struktural, di mana warga sipil berada di barisan front.

    Adapun rangkaian pembunuhan mulai berlaku serentak di seantero Aceh sejak 7-13 Oktober 1965. Saat itu, kekuatan berbasis paramiliter mendapat perintah untuk memusnahkan seluruh anggota PKI beserta simpatisannya tanpa pandang bulu.

    Temuan sejarah seperti ini jadi torehan yang cukup gelap bagi lini masa narasi sejarah. Selama ini, sejarah Aceh kerap disajikan dalam pelbagai narasi yang epos dan apologia, berkutat soal kejayaan masa kesultanan, perang melawan penjajah, fase kemerdekaan, hingga niat ingin memisahkan diri, tetapi sedikit yang menyentuh pembantaian massal yang terjadi pada 1965-1966.

    Pada hari-hari terakhir Ibrahim Kadir ditahan, mereka masih menugaskannya mengikat serta mengarungi kepala para tahanan dan ikut ke lokasi eksekusi. Suatu malam, seorang tahanan perempuan terlihat enggan melepas bayi yang ada di dalam gendongannya.

    Namun, suara desing peluru mengakhiri perlawanan kecil perempuan tersebut. Di bawah terang bulan, malam itu seorang ibu dan bayinya rubuh bersama hati Ibrahim Kadir yang hancur.

    Bintang bulan cengang menjerit/Memandang tubuh yang terpaku/Ibarat patung tak berkutik/Risau rindu tak berulang (salah satu kutipan syair berjudul ‘Sebuku’ milik Ibrahim Kadir).

  • Megawati ziarah ke makam Bung Karno dan buka seminar 70 tahun KAA

    Megawati ziarah ke makam Bung Karno dan buka seminar 70 tahun KAA

    Peringatan 70 tahun KAA di Blitar ini menjadi simbol bahwa gagasan besar Bung Karno tidak berhenti pada sejarah, tetapi terus hidup dalam diplomasi dan arah politik luar negeri Indonesia masa kini

    Jakarta (ANTARA) – Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan Megawati Soekarnoputri berziarah ke makam Presiden pertama RI Soekarno alias Bung Karno dan membuka seminar internasional sebagai rangkaian puncak peringatan 70 tahun Konferensi Asia–Afrika (KAA) di Blitar, Jawa Timur, Sabtu.

    Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto mengatakan perayaan tersebut mengingatkan kembali bagaimana KAA menjadi momentum kepemimpinan Indonesia bagi dunia.

    “KAA wujud visi internasional Bung Karno yang digerakkan oleh Pancasila sebagai life line tata dunia baru berdasarkan kemanusiaan, kesetaraan, keadilan, dan prinsip hidup berdampingan secara damai,” ujar Hasto dalam keterangannya.

    Dari Blitar, kata dia, PDI Perjuangan mengobarkan kembali semangat Asia-Afrika sebagai gerakan dekolonialisasi yang pertama. Gerakan itu menginspirasi kemerdekaan bangsa-bangsa Asia Afrika dan Amerika Latin.

    Ia menjelaskan peringatan digelar sebagai momentum menghidupkan kembali semangat solidaritas dan kemerdekaan bangsa-bangsa Asia dan Afrika yang pernah digelorakan oleh Bung Karno pada KAA pertama di Bandung tahun 1955.

    Kegiatan puncak dimulai pagi hari dengan ziarah ke makam Bung Karno di Blitar oleh para delegasi dari berbagai negara Asia dan Afrika. Mereka datang untuk memberikan penghormatan kepada tokoh proklamator yang menjadi penggagas utama Konferensi Asia Afrika.

    Dalam rombongan peziarah, Hasto dan Ketua DPP PDI Perjuangan Djarot Saiful Hidayat mendampingi para tamu delegasi. Terlihat pula akademisi Connie Rahakundini di antara pemimpin delegasi.

    Disebutkan bahwa suasana khidmat tampak saat para peserta meletakkan karangan bunga dan mengheningkan cipta di pusara Bung Karno.

    Sementara itu, Megawati melakukan ziarah pada siang hari, sebelum menghadiri seminar internasional yang menjadi acara utama peringatan ini.

    Setelah ziarah, kegiatan berlanjut dengan seminar internasional bertema Bung Karno in a Global History: Commemorative Seminar of the 70th Anniversary of the 1955 Bandung Asian-African Conference.

    Megawati tampil sebagai pembicara kunci, dengan menyampaikan pidato yang menyoroti relevansi nilai-nilai KAA dalam menghadapi tantangan global masa kini, mulai dari ketimpangan ekonomi, perubahan iklim, hingga konflik geopolitik di kawasan selatan dunia.

    Seminar diikuti sekitar 30 akademisi dan delegasi dari 30 negara, yang menandai kembalinya semangat solidaritas Asia-Afrika dari tanah kelahiran Bung Karno.

    Selain menghadiri seminar, Megawati juga melakukan konsolidasi internal PDI Perjuangan dengan para kepala daerah kader partai di Jawa Timur.

    Pertemuan itu menekankan pentingnya kepala daerah memahami nilai perjuangan Bung Karno dan menerapkannya dalam kebijakan pembangunan yang berpihak pada rakyat.

    “Peringatan 70 tahun KAA di Blitar ini menjadi simbol bahwa gagasan besar Bung Karno tidak berhenti pada sejarah, tetapi terus hidup dalam diplomasi dan arah politik luar negeri Indonesia masa kini,” tutur Hasto.

    Pewarta: Agatha Olivia Victoria
    Editor: Edy M Yakub
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Peringatan 70 Tahun KAA, Akademisi dari 30 Negara Ziarah ke Makam Bung Karno

    Peringatan 70 Tahun KAA, Akademisi dari 30 Negara Ziarah ke Makam Bung Karno

    Peringatan 70 Tahun KAA, Akademisi dari 30 Negara Ziarah ke Makam Bung Karno
    Tim Redaksi
    BLITAR, KOMPAS.com –
    Puluhan akademisi dari sekitar 30 negara Asia dan Afrika berziarah ke Makam Presiden pertama Republik Indonesia Soekarno di Blitar, Jawa Timur, Sabtu (1/11/2025) pagi.
    Kegiatan yang dimulai sekitar pukul 09.00 WIB ini menjadi pembuka rangkaian puncak peringatan 70 tahun Konferensi Asia-Afrika (KAA).
    Berdasarkan pantauan
    Kompas.com
    , para akademisi datang untuk memberikan penghormatan kepada Bung Karno yang juga penggagas utama KAA tahun 1955 di Bandung.
    Ziarah berlangsung khidmat, diawali dengan peletakan karangan bunga dan berdoa bersama di pusara Bung Karno.
    Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto dan Ketua DPP Djarot Saiful Hidayat mendampingi para tamu delegasi saat melakukan ziarah.
    Salah satu delegasi yang mengikuti ziarah adalah pengamat pertahanan yang juga Guru Besar Universitas Saint Petersburg Rusia, Connie Rahakundini Bakrie.
    Usai berziarah, para peserta berkeliling Museum Bung Karno yang menampilkan berbagai koleksi sejarah perjuangan sang proklamator, serta peran Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa-bangsa Asia dan Afrika.
    Ketua Umum PDI Perjuangan sekaligus Presiden Kelima Republik Indonesia Megawati Soekarnoputri, pun turut hadir dan akan menjadi keynote speaker dalam seminar tersebut.
    Hasto mengatakan, dalam pidatonya nanti, Megawati akan mengulas kembali relevansi nilai-nilai KAA di tengah tantangan global, yakni ketimpangan ekonomi, perubahan iklim, dan konflik geopolitik di kawasan selatan dunia.
    Hasto menekankan, peringatan ini menjadi momentum untuk menegaskan kembali peran Indonesia dalam menghidupkan semangat solidaritas Asia-Afrika yang digagas Bung Karno.
    “KAA wujud visi internasional Bung Karno yang digerakkan oleh Pancasila sebagai life line tata dunia baru berdasarkan kemanusiaan, kesetaraan, keadilan, dan prinsip hidup berdampingan secara damai,” ujar Hasto.
    Menurut Hasto, Blitar dipilih sebagai lokasi puncak peringatan karena memiliki makna simbolis sebagai tempat peristirahatan terakhir Bung Karno, sekaligus titik awal kebangkitan kembali semangat Asia-Afrika.
    “Dari Blitar, kita kobarkan kembali semangat Asia-Afrika sebagai gerakan dekolonialisasi pertama yang menginspirasi kemerdekaan bangsa-bangsa Asia, Afrika, dan Amerika Latin,” kata Hasto.
    “Peringatan 70 tahun KAA di Blitar ini menjadi simbol bahwa gagasan besar Bung Karno tidak berhenti pada sejarah, tetapi terus hidup dalam diplomasi dan arah politik luar negeri Indonesia masa kini,” ujar dia.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Mewujudkan Ekonomi Konsitusi

    Mewujudkan Ekonomi Konsitusi

    Mewujudkan Ekonomi Konsitusi
    Djarot Saiful Hidayat, Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Ideologi dan Kaderisasi, Anggota DPR RI Periode 2019-2024, Gubernur DKI Jakarta (2017), Wakil Gubernur DKI Jakarta (2014-2017) dan Walikota Blitar (2000-2010). Kini ia menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR RI Periode 2024-2029.
    PIDATO Presiden Prabowo Subianto yang menegaskan pentingnya kembali kepada amanat konstitusi ekonomi — khususnya Undang-undang Dasar NRI 1945 Pasal 33 — menandai sinyal strategis dalam orientasi pembangunan ekonomi nasional.
    Presiden Prabowo menyampaikan arahan itu pada Sidang Kabinet Paripurna di Istana Negara, Jakarta, pada 20 Oktober 2025.
    Dalam arahan tersebut, ia menyatakan bahwa “perekonomian nasional harus dikembalikan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, bukan semata pertumbuhan atau keuntungan jangka pendek”.
    Ia juga menyinggung bahwa Indonesia sebagai produsen terbesar minyak sawit dunia masih mengalami kelangkaan minyak goreng — sebagai indikasi bahwa mekanisme pasar belum mencerminkan keadilan sosial.
    Dalam konteks ini, sangat penting untuk memahami substansi Pasal 33 UUD NRI 1945 sebagai landasan hukum ekonomi negara.
    Pasal 33 ayat (1) menyatakan: “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.”
    Ayat (2): “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.”
    Ayat (3): “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
    Penjelasan lebih lanjut (termasuk setelah amandemen) menyebut bahwa ayat (4) menyatakan bahwa “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi… dengan prinsip kebersamaan, efisiensi-keadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.”
    Dalam tinjauan sejarah hukumnya, Pasal 33 dimaknai sebagai “ideologi ekonomi Indonesia” — yaitu suatu rumusan yang menegaskan kedaulatan ekonomi untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagai salah satu tujuan dari Indonesia merdeka.
    Penafsiran yuridis-normatif menunjukkan bahwa penguasaan negara atas cabang produksi penting ataupun kekayaan alam tidak dapat direduksi hanya sebagai hak regulasi, melainkan mencakup mandat moral untuk kemakmuran rakyat secara kolektif.
    Dengan demikian, ketika Presiden Prabowo kembali menegaskan Pasal 33 sebagai landasan ekonomi konstitusi dan mendorong kedigdayaan ekonomi rakyat, maka pidato tersebut sesungguhnya menegaskan “ekonomi konstitusi” sebagai kembali ke amanat UUD dan nilai-nilai Pancasila: kedaulatan, kemandirian, pemerataan, dan keberpihakan pada seluruh rakyat.
    Namun, penting dicatat bahwa meskipun landasan tersebut kuat secara konstitusional dan historis, implementasi nyata menghadapi tantangan struktural, yakni masih merajalelanya ideologi kapitalisme, seperti mekanisme pasar yang semakin terbuka hampir tanpa batas, globalisasi modal asing, liberalisasi investasi, termasuk isu persaingan modal besar oligarki versus kepentingan rakyat kecil.
    Pidato Presiden dapat dibaca sebagai momentum korektif terhadap bias kapitalisme yang telah lama mendominasi orientasi pembangunan nasional.
    Pemikiran ekonomi bangsa Indonesia sejak awal kemerdekaan menegaskan bahwa pembangunan ekonomi tidak hanya soal produksi dan konsumsi, tetapi juga soal kemerdekaan, kedaulatan ­dan keadilan sosial.
    Bung Karno dalam Deklarasi Ekonomi tahun 1963 menegaskan bahwa pembangunan harus diarahkan untuk “menyusun perekonomian yang berdikari”, bebas dari ketergantungan modal asing, dan berorientasi kepada kepentingan rakyat.
    Ekonomi Berdikari menjadi sikap ekonomi bagi perwujudan sosialisme Indonesia yang menjadi visi ekonomi dari Pancasila.
    Sementara itu, Mohammad Hatta dalam “Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun” (1954) memandang koperasi sebagai bentuk organisasi ekonomi yang menempatkan manusia sebagai pusat, bukan modal.
    Ia menulis bahwa “koperasi adalah alat pendidikan sosial yang mengajarkan rakyat untuk saling tolong-menolong dan membangun kekuatan bersama.”
    Pemikiran tersebut mengusung jalan tengah antara kapitalisme yang menindas dan sosialisme yang mengabaikan kebebasan individu.
    Beberapa dekade kemudian, Mubyarto secara konsisten mengembangkan pemikiran “Ekonomi Pancasila” sebagai kerangka sistem ekonomi alternatif.
    Dalam bukunya “Ekonomi Pancasila: Gagasan dan Kemungkinan” (1987), Mubyarto menyusun konsep sistem ekonomi Pancasila yang merujuk pada “usaha bersama yang berasaskan kekeluargaan dan kegotong-royongan nasional yang bertujuan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan pemerataan sosial dalam kemakmuran dan kesejahteraan.”
    Ia mengkritik arus dominan ekonomi neoklasik yang terlalu menekankan efisiensi pasar dan mengabaikan dimensi moral pembangunan.
    Bagi Mubyarto, ukuran keberhasilan ekonomi bukan hanya pertumbuhan, tetapi sejauh mana kemiskinan berkurang, lapangan kerja terbuka, dan rakyat kecil memperoleh kemandirian ekonomi.
    Ketiga tokoh ini, meskipun berbeda dalam konteks zamannya, menyepakati substansi bahwa ekonomi harus berpihak pada rakyat — bukan hanya tatanan pasar bebas yang tanpa kendali.
    Soekarno dengan kedaulatan ekonomi, Hatta dengan prioritas koperasi dan manusia sebagai subjek ekonomi, serta Mubyarto dengan kerangka sistem ekonomi Pancasila yang menjembatani nilai moral dan struktur ekonomi.
    Warisan pemikiran mereka dapat menjadi fondasi bagi interpretasi “ekonomi konstitusi” masa kini — yaitu, bagaimana melaksanakan ekonomi yang dirancang dalam UUD 1945 dengan nilai-nilai Pancasila dalam kerangka globalisasi dan persaingan pasar yang semakin terbuka.
    Empat dekade terakhir menunjukkan pergeseran tajam dalam orientasi ekonomi nasional menuju liberalisasi dan dominasi mekanisme pasar.
    Kebijakan deregulasi dan liberalisasi sejak 1980-an, undang-undang dilakukan seperti UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang membuka investasi asing dan memperluas ruang swasta tanpa pengaturan kontrol sosial yang memadai.
    Akibatnya, terjadi privatisasi BUMN, pelemahan proteksi sektor rakyat kecil, dan akumulasi modal besar yang semakin kuat.
    Realitas ini membentuk struktur ekonomi yang oleh banyak kritikus sebut sebagai “kapitalistik” dalam arti orientasi kepada akumulasi modal besar yang dikuasai oleh segelintir oligarki yang hanya mengejar pertumbuhan ekonomi tanpa pemerataan.
    Dari segi angka, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan rasio Gini pengeluaran penduduk Indonesia per September 2024 tercatat sebesar 0,381.
    Ini menandakan bahwa meskipun terjadi sedikit penurunan dibanding Maret 2023 (0,388) ke Maret 2024 (0,379) , ketimpangan ekonomi masih relatif tinggi.
    Distribusi pengeluaran kelompok 40 persen terbawah pada September 2024 tercatat hanya 18,41 persen dari total pengeluaran nasional.
    Secara struktur, Bank Dunia mencatat 20 persen kelompok teratas menguasai hampir separuh total pendapatan nasional — yang mencerminkan pola akumulasi yang sangat timpang.
    Kondisi ini menunjukkan bahwa orientasi pasar bebas dan akumulasi modal besar belum menciptakan pemerataan yang signifikan.
    Dari aspek hukum, penafsiran Pasal 33 ayat (2) dan (3) menunjukkan bahwa penguasaan negara atas cabang produksi penting dan kekayaan alam harus digunakan untuk kemakmuran rakyat.
    Namun, realitas pengelolaan sumber daya alam kerap menunjukkan bahwa nilai tambah lebih banyak dinikmati oleh korporasi besar atau investor asing, sementara manfaat lokal atau rakyat kecil masih terbatas.
    Untuk menghidupkan kembali semangat “ekonomi konstitusi” sebagai yang ditekankan Presiden, setidak-tidaknya dapat ditempuh melalui empat langkah strategis.
    Pertama, memperkuat kembali peran negara dan BUMN di sektor strategis, bukan sekadar sebagai pelaku bisnis, tetapi sebagai pelindung kepentingan publik.
    Kedua, merevitalisasi koperasi sebagai lembaga ekonomi rakyat modern dan profesional yang tumbuh dari bawah berdasarkan kepentingan ekonomi rakyat banyak (sejalan dengan Hatta dan Mubyarto).
    Ketiga, mengarahkan kebijakan investasi dan hilirisasi sumber daya alam agar tercipta nilai tambah di dalam negeri dan manfaat langsung bagi masyarakat lokal.
    Keempat, memperkuat regulasi sosial dan perlindungan rakyat agar pembangunan tidak hanya efisien tetapi juga adil dan manusiawi.
    Langkah-langkah ini tidak menolak mekanisme pasar modern, melainkan menempatkannya dalam bingkai moral pembangunan: bahwa keterbukaan ekonomi dan persaingan global harus tunduk pada nilai nasional dan kepentingan rakyat.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Koster laporkan ke DPP kader PDIP tembus 230 ribu se-Bali

    Koster laporkan ke DPP kader PDIP tembus 230 ribu se-Bali

    Denpasar (ANTARA) – Ketua DPD PDI Perjuangan Bali Wayan Koster melaporkan capaiannya dalam konferensi daerah bahwa hingga saat ini keanggotaan mereka di Bali mencapai 230 ribu orang.

    “Realisasi kartu anggota juga berjalan dengan cukup baik, total anggota itu mencapai 230 ribu se-Bali, nanti ke depan harus ditingkatkan mencapai 500 ribu,” kata Koster di Denpasar, Sabtu.

    Dalam konferda yang juga akan menentukan Ketua DPD PDIP Bali baru itu dihadiri jajaran DPP PDIP yaitu Ketua Bidang Ideologi dan Kaderisasi Djarot Saiful Hidayat, Wakil Sekretaris Jenderal Bidang Komunikasi Adian Yunus Yusak Napitupulu, Ketua Bidang Keanggotaan dan Organisasi Andreas Hugo Pareira, dan Ketua Bidang Industri, Perdagangan, dan Tenaga Kerja Darmadi Durianto.

    Selama lima tahun lebih dipimpinnya, Wayan Koster memastikan bahwa di Bali partai moncong putih dari tingkat DPD hingga anak ranting terbentuk kuat dan kokoh.

    “Begitu juga sistem dan manajemen partai berjalan dengan sangat baik, struktur partai di Bali ini sudah sangat kuat, kemudian status kantor DPD PDIP Bali lahan seluas 10 are sekarang sudah menjadi milik DPD nilai belinya adalah Rp5,5 milyar, uangnya diperoleh dari gotong royong eksekutif dan legislatif PDIP,” ujarnya.

    Menurut politisi yang merupakan Gubernur Bali itu, kader partai merupakan tulang punggung jalannya organisasi, dituntut untuk memahami program dan tugas-tugas kepartaian di tengah masyarakat sehingga mereka diberikan pendidikan politik.

    “Pendidikan politik DPD, DPC, PAC sampai ke ranting dengan menggunakan dana partai, juga dilakukan sosialisasi haluan pembangunan Bali masa depan, dilakukan pelatihan transformasi digital dan sosialisasi monitoring perjuangan partai sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, jadi partai semakin adaptif,” kata Wayan Koster.

    Politisi asal Buleleng itu merasa keberhasilan dalam mengelola sumber daya partai juga tercermin dari berhasilnya kader PDIP di Bali menempati posisi-posisi strategis berkat budaya kaderisasi, kekuatan organisasi, dan disiplin.

    “Maka kita berhasil menempatkan sejumlah kader di posisi eksekutif maupun legislatif, menduduki jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah serta ketua DPRD se-Bali, ini perjuangan semua kecuali Kabupaten Karangasem di Pilkada 2024, kita di Bali sekarang cukup kokoh,” ujarnya.

    Ketua Bidang Ideologi dan Kaderisasi DPP PDIP Djarot Saiful Hidayat menambahkan bahwa untuk bisa memenangkan Pemilu dan Pilkada 2029 bergantung pada kader yang mengurus organisasi di tingkat terbawah.

    Oleh karena itu DPP mendorong DPD PDIP Bali sebagai DPD pertama yang memulai menggelar konferda dan konfercab agar memilih kader-kader terbaik.

    “Supaya mereka yang masuk kepengurusan bukan hanya namanya saja tapi betul-betul aktif turun ke bawah karena yang memenangkan PDIP adalah rakyat, rakyat melihat kinerja kita, rekrut orang-orang terbaik kita harus membuka diri,” kata Mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta itu.

    Pewarta: Ni Putu Putri Muliantari
    Editor: Budi Suyanto
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • RI latih pelaut dari 13 negara Afrika perkuat diplomasi maritim global

    RI latih pelaut dari 13 negara Afrika perkuat diplomasi maritim global

    sebetulnya ini tujuannya untuk memperkuat peran kita di dunia internasional

    Jakarta (ANTARA) – Badan Pengembangan SDM Perhubungan (BPSDMP) Kementerian Perhubungan RI melatih puluhan pelaut dari 13 negara Afrika Barat dan Tengah guna memperkuat diplomasi maritim Indonesia di kancah internasional.

    Kepala BPSDMP Kemenhub Djarot Tri Wardhono mengatakan kegiatan itu menjadi bentuk nyata kerja sama dan Triangular Cooperation yang telah disepakati Indonesia dalam forum International Maritime Organization (IMO).

    “Jadi sebetulnya ini tujuannya untuk memperkuat peran kita di dunia internasional. Kemudian kita juga sebagai mitra International Maritime Organization. Dan sebetulnya ini juga menjadikan peran kita mencari dukungan untuk lobi-lobi di dalam IMO tersendiri,” kata Djarot di Jakarta, Jumat.

    Dia menyampaikan program pelatihan itu meliputi Training of Trainers (ToT) dan Training of Examiners (ToE) berbasis standar IMO, yang bertujuan menyiapkan pengajar serta penguji profesional di sektor maritim global.

    Adapun pelatihan tersebut melibatkan negara anggota Maritime Organization of West and Central Africa (MOWCA) di antaranya Ghana, Guinea Bissau, Sierra Leone, Nigeria, Kamerun, Angola, Congo Brazaville, Gabon, Liberia, dan Senegal, dengan total peserta mencapai 84 orang terpilih.

    Djarot menjelaskan anggaran sebesar Rp18,2 miliar diberikan Lembaga Dana Kerja Sama Pembangunan Internasional (LDKPI) Kementerian Keuangan untuk mendukung dua gelombang pelatihan tersebut sepanjang tahun 2025.

    “Kami bekerja sama dengan LDKPI, saya mengucapkan terima kasih kepada Kementerian Keuangan yang sudah mempercayai dananya kepada kami untuk melatih rekan-rekan kita dari Afrika Barat maupun Afrika Tengah,” tuturnya.

    Menurut dia, langkah itu merupakan strategi memperluas jejaring diplomasi Indonesia sekaligus memperkuat posisi negara sebagai anggota Dewan IMO kategori C dengan dukungan dari negara-negara Afrika.

    Selain memperkuat kerja sama teknis, pelatihan itu juga membuka peluang bisnis baru bagi industri pelayaran dan teknologi maritim Indonesia di kawasan Afrika.

    “Nah apa manfaatnya bagi kita? Jadi tentunya kita memberikan suatu political engagement terhadap negara-negara di Afrika sehingga kita juga memiliki kekuatan di IMO dari dukungan negara-negara di Afrika tersebut,” katanya pula.

    Djarot berharap keberhasilan pelatihan ini menjadi landasan bagi Indonesia untuk memimpin kolaborasi pengembangan SDM maritim dunia dan memperkuat peran strategis dalam forum internasional IMO.

    “Secara manfaat ekonomi juga meningkatkan eksistensi kita sebagai anggota IMO dimana kita juga memperkuat sumber daya manusia di bidang maritim. Kemudian juga eksistensi terhadap kompetensi kita (diakui) dalam mendidik pelaut maupun orang-orang yang bekerja di bidang maritim,” kata Djarot.

    Pewarta: Muhammad Harianto
    Editor: Agus Salim
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Wiranto Tegaskan Ujaran Kebencian Jadi Alat Politik dalam Sejarah Hari Ini, 16 Oktober 2017

    Wiranto Tegaskan Ujaran Kebencian Jadi Alat Politik dalam Sejarah Hari Ini, 16 Oktober 2017

    JAKARTA – Sejarah hari ini, delapan tahun yang lalu, 16 Oktober 2017, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam), Wiranto tegaskan ujaran kebencian cenderung meningkat kala memasuki tahun politik 2018 dan 2019. Ujaran kebencian digunakan sebagai alat politik untuk menang.

    Satu hal yang kemudian jadi ancaman keberagaman. Sebelumnya, Pilkada DKI Jakarta 2017 jadi kontestasi politik yang tak terlupakan. Ajang itu tak hanya jadi tempat bertarung gagasan. Namun, Pilkada DKI Jakarta justru bak arena menebar benih kebencian hanya untuk menang.

    Pilkada DKI Jakarta kerap membawa kehebohan. Kondisi itu karena siapa yang terpilih punya peluang besar untuk dikenal di seantero Indonesia. Syukur-syukur bisa beranjak dari kursi Gubernur DKI Jakarta ke Presiden Indonesia seperti Joko Widodo (Jokowi).

    Wiranto yang kala itu menjadi Panglima ABRI melepas tanda kepangkatan di pundak Prabowo Subianto sebagai simbol pemberhentian dari dinas kemiliteran, 24 Agustus 1998. (Le Journal)

    Alhasil, pertarungan memperebutkan kursi Gubernur DKI Jakarta selalu menarik. Ambil contoh pada Pilkada DKI Jakarta 2017. Petahana Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) memastikan langkah untuk mencalonkan diri sebagai cagub.

    Demikian pula Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Anies Baswedan. Belum lagi anak dari Mantan Presiden Indonesia ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono, Agus Harimurti Yudhono ikut sebagai penantang dalam Pilkada DKI Jakarta 2017.

    Aroma persaingan meninggi. Pertarungan itu dinantikan banyak pihak. Namun, penantian itu banyak diciderai dengan aksi simpatisan menyebar ujaran kebencian kepada salah satu calon. Ujaran kebencian dan SARA kian deras pula hadir kepada sosok Ahok.

    Wiranto dan Prabowo Subianto di Hambalang, Bogor, 1 Mei 2023. (Gerindra)

    Latar belakang agama yang dianutnya terus dibahas. Catatan buruk Ahok – termasuk isu penistaan agama terus-terusan diangkat. Belum lagi urusan warga yang mendukungnya mendapatkan intimidasi. Bahkan, pendukung Ahok yang menganut agama Islam diancam tak disalatkan kala meninggal.

    Potret itu membuat PIlkada DKI Jakarta 2017 jadi buruk. Ujaran kebencian seolah-olah jadi senjata penting untuk meraih kekuasaan.

    “Jangan sampai terulang lagi. Urusan pilkada kalau diseret ke masalah etika agama itu tidak baik dan menurut saya itu tindakan tidak beradab. Tolong maafkan mereka yang suka mengkafir-kafirkan, jangan ada benci. Biarkan saja tidak apa-apa. Mungkin mereka belum sadar, mereka masih tertutup hatinya,” ungkap pasangan Ahok dalam pilkada DKI Jakarta, Djarot Saiful Hidayat sebagaimana dikutip laman CNN Indonesia, 13 Maret 2017.

    Efek Pilkada DKI Jakarta besar. Menkopolhukam, Wiranto pun angkat bicara pada 16 Oktober 2017. Ia menegaskan bahwa ujaran kebencian akan cenderung meningkat kembali pada tahun politik 2018 dan 2019. Ujuran kebencian menurutnya sudah jadi alat politik untuk menang.

    Padahal, ujuran kebencian adalah ancaman besar dari keberagaman Indonesia. Wiranto mengajak segenap rakyat Indonesia untuk waspada terhadap kampanye hitam macam penyebaran ujaran kebencian.

    “Menjelang 2018 dan 2019, kita akan memasuki tahun politik. Pilkada, pemilu legislatif dan pemilu presiden langsung. Selama itu, radikalisme dalam bentuk ujaran kebencian bercampur dengan propaganda politik dan kampanye hitam akan digunakan sebagai alat meraih kekuasaan. Tentunya hal itu mengancam kedamaian dan pluralisme kehidupan masyarakat Indonesia,” ujar Wiranto sebagaimana dikutip laman kompas.com, 16 Oktober 2017.

  • Menimbang Penguatan MPR
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        13 Oktober 2025

    Menimbang Penguatan MPR Nasional 13 Oktober 2025

    Menimbang Penguatan MPR
    Djarot Saiful Hidayat, Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Ideologi dan Kaderisasi, Anggota DPR RI Periode 2019-2024, Gubernur DKI Jakarta (2017), Wakil Gubernur DKI Jakarta (2014-2017) dan Walikota Blitar (2000-2010). Kini ia menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR RI Periode 2024-2029.
    SETELAH
    amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 selama empat tahap (1999–2002), lanskap ketatanegaraan Indonesia berubah secara fundamental.
    Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), yang semula menjadi “penjelmaan seluruh rakyat Indonesia” dan disebut secara eksplisit dalam Penjelasan UUD 1945 sebagai lembaga tertinggi negara, kini menempati posisi sederajat dengan lembaga tinggi negara lainnya: Presiden, DPR, DPD, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Badan Pemeriksa Keuangan.
    Perubahan ini dimaksudkan untuk menghindari konsentrasi kekuasaan politik sebagaimana terjadi pada masa Orde Baru, ketika MPR memiliki kewenangan nyaris absolut—mulai dari menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) hingga mengangkat dan memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden.
    Melalui amandemen tahap pertama hingga keempat UUD 1945, pasal-pasal yang mengatur MPR diubah secara signifikan.
    Pasal 1 ayat (2) yang sebelumnya berbunyi “Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat” diubah menjadi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.”
    Sementara Pasal 3 UUD 1945 kini membatasi kewenangan MPR hanya pada tiga hal: mengubah dan menetapkan UUD, melantik presiden dan wakil presiden, serta memberhentikan presiden/wakil presiden dalam masa jabatannya sesuai ketentuan konstitusi.
    Akibatnya, dalam praktik ketatanegaraan modern, MPR kehilangan fungsi strategisnya sebagai lembaga yang memberikan arah ideologis dan haluan kebijakan jangka panjang.
    Ia menjadi lembaga seremonial: bekerja menjelang Sidang Tahunan, pelantikan presiden, atau ketika wacana amandemen muncul.
    Padahal, sejarah menunjukkan bahwa eksistensi MPR sejak awal kemerdekaan tidak hanya bersifat formal, tetapi konseptual—ia dimaksudkan sebagai wadah tertinggi bagi musyawarah kebangsaan dan penjabaran cita-cita konstitusi.
    Dari sinilah muncul wacana baru: perlu atau tidak MPR diperkuat kembali?
    Dalam konteks hukum tata negara, MPR merupakan lembaga konstitusional yang diatur dalam Bab II UUD 1945.
    Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) memperjelas strukturnya, yakni terdiri atas anggota DPR dan DPD yang dipilih melalui pemilu.
    Namun, UU MD3 tidak menambah kewenangan substantif MPR sebagaimana diatur dalam UUD. Karena itu, jika ingin memperkuat MPR secara kelembagaan, jalur konstitusional yang tersedia ada dua: melalui Amandemen UUD 1945 atau perubahan terbatas UU MD3.
    Wacana yang berkembang di internal MPR, sebagaimana tercermin dalam Rapat Konsultasi Pimpinan MPR dan DPD (2023–2024), adalah menghidupkan kembali semangat haluan negara dalam bentuk baru yang disebut Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN).
    Dasar rasionalnya jelas: sistem pemerintahan presidensial tanpa arah pembangunan jangka panjang yang mengikat antarpemerintahan berpotensi menimbulkan disorientasi kebijakan nasional.
    Setiap pergantian pemerintahan membawa prioritas baru, kadang bertentangan dengan visi jangka panjang negara. Dalam jangka panjang, hal ini menciptakan ketidakefisienan pembangunan dan kebingungan birokrasi.
    Gagasan PPHN sebenarnya berakar pada GBHN yang pernah ditetapkan MPR di masa lalu. Bedanya, PPHN tidak dimaksudkan untuk mengintervensi kewenangan eksekutif, tetapi memberi kerangka ideologis dan strategis bagi pembangunan nasional.
    Dengan demikian, PPHN akan menjadi dokumen politik kenegaraan yang memandu arah kebijakan, bukan mengatur teknis pelaksanaan program.
    Kewenangan MPR untuk menetapkan PPHN dapat dirancang melalui Amandemen kelima secara Terbatas UUD 1945.
    Wacana ini telah dibahas sejak periode MPR 2019–2024, bahkan pernah masuk ke dalam Rekomendasi MPR Tahun 2021 tentang Perlunya Pokok-Pokok Haluan Negara.
    Secara hukum, rekomendasi ini merujuk pada Pasal 3 ayat (1) UUD 1945 yang memberi wewenang kepada MPR untuk “mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar.”
    Artinya, secara konstitusional, MPR dapat memperluas perannya dengan melakukan amandemen yang bersifat terbatas untuk memasukkan kembali kewenangan penetapan haluan negara.
    Selain itu, Pasal 37 UUD 1945 memberikan mekanisme amandemen yang sah: usulan perubahan dapat diajukan oleh sekurang-kurangnya sepertiga anggota MPR, disetujui dua pertiga anggota yang hadir, dan disahkan oleh setidaknya separuh dari seluruh anggota MPR.
    Dengan dasar hukum ini, gagasan penguatan MPR tidak melanggar prinsip konstitusionalitas—asal dilakukan secara transparan, bertahap, dan mendapat dukungan politik yang memadai.
    Lebih jauh, secara filosofis, penguatan MPR dapat dipahami sebagai usaha untuk menyambung kembali tradisi permusyawaratan dan ideologisasi negara sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat: “…yang berkedaulatan rakyat berdasarkan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.”
    Dalam kerangka itu, MPR bukan sekadar lembaga administratif, melainkan lembaga ideologis yang menjaga agar arah bangsa tetap sejalan dengan cita-cita kemerdekaan.
    Gagasan memperkuat MPR tentu tidak lepas dari kekhawatiran akan kemunduran demokrasi. Kritik paling keras datang dari kalangan yang khawatir bahwa penguatan MPR akan membuka jalan bagi kembalinya sistem otoritarian seperti masa Orde Baru—terutama bila diikuti gagasan agar presiden kembali dipilih oleh MPR.
    Namun, pandangan semacam ini tidak seluruhnya berdasar. Penguatan MPR yang kini dibicarakan tidak dimaksudkan untuk mengurangi legitimasi rakyat, melainkan untuk memperkuat fondasi ideologis dan keberlanjutan kebijakan negara.
    Dalam sistem demokrasi modern, lembaga semacam State Policy Council atau National Planning Commission lazim ditemukan di banyak negara.
    Di China, peran arah kebijakan jangka panjang dipegang oleh National Development and Reform Commission.
    Di Singapura, fungsi itu diemban oleh Ministry of National Development yang merumuskan Strategic National Directions lintas pemerintahan.
    Bahkan di Amerika Serikat, National Security Council dan Office of Management and Budget menjadi penentu arah kebijakan lintas presiden.
    Dengan kata lain, memiliki lembaga yang mengawal arah negara bukanlah hal yang bertentangan dengan demokrasi, selama lembaga itu tidak mengambil alih kedaulatan rakyat, melainkan menjaganya dalam bingkai konsistensi nasional.
    Jika MPR diberi kembali mandat untuk menetapkan PPHN, maka arah pembangunan nasional akan memiliki kesinambungan lintas pemerintahan.
    Visi jangka panjang seperti pembangunan sumber daya manusia, kedaulatan pangan, penguatan pertahanan nasional, serta transformasi energi dan teknologi, tidak akan lagi bergantung pada selera politik lima tahunan.
    Lebih dari itu, MPR dapat berperan sebagai penjaga konsensus kebangsaan. Dalam situasi politik yang makin fragmentaris dan pragmatis, keberadaan lembaga yang memiliki fungsi ideologis dan kebangsaan menjadi penting. Ia bisa menjadi ruang musyawarah nasional yang melampaui kepentingan partai politik.
    Sesuai amanat Pasal 3 UUD 1945 dan UU MD3, MPR juga berwenang menyampaikan rekomendasi hasil kajian konstitusional kepada lembaga negara lain.
    Kewenangan ini dapat diperluas melalui revisi undang-undang agar MPR dapat memantau pelaksanaan nilai-nilai Pancasila, UUD 1945, dan cita-cita Proklamasi dalam setiap kebijakan nasional.
    Dengan begitu, MPR kembali menjadi lembaga moral konstitusional yang tidak sekadar bersidang, tetapi juga berhikmat dalam memandu bangsa.
    Namun, penguatan MPR harus dilakukan dengan prinsip keterbatasan konstitusional. Artinya, MPR tidak boleh mengintervensi pelaksanaan pemerintahan harian (eksekutif), tidak boleh menjadi lembaga politik praktis.
    Selain itu, MPR tidak boleh memiliki kewenangan yang tumpang tindih dengan Mahkamah Konstitusi atau DPR. Ia harus berdiri sebagai lembaga penjaga arah, bukan pengendali kekuasaan.
    Dalam konteks politik kekinian, penguatan MPR justru bisa menjadi momentum rekonsolidasi nasional.
    Ketika polarisasi politik semakin tajam dan ideologi negara sering dipelintir oleh kepentingan pragmatis, MPR dapat menjadi rumah besar kebangsaan yang meneguhkan kembali nilai dasar persatuan.
    Seperti ditegaskan Ketua MPR dalam Sidang Tahunan 2024, “Penguatan MPR bukan untuk mengambil kekuasaan, tetapi untuk menjaga arah dan tujuan bernegara sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945.”
    Pada akhirnya, bangsa yang besar adalah bangsa yang tahu ke mana ia menuju. Dalam kerangka itu, penguatan MPR bukan nostalgia masa lalu, melainkan penegasan peran masa depan.
    Ia bukan antitesis dari demokrasi, tetapi fondasi bagi demokrasi yang berhaluan dan makin bermartabat.
    Dua puluh tahun lebih setelah amandemen UUD 1945, bangsa ini telah belajar banyak dari dinamika demokrasi yang cair. Namun, demokrasi tanpa arah dapat kehilangan substansi kebangsaannya.
    Dalam situasi dunia yang kian tidak pasti, Indonesia membutuhkan lembaga yang menjaga kesinambungan, arah, dan jiwa bangsa.
    MPR, dengan sejarah dan landasan konstitusionalnya, memiliki potensi untuk mengisi kekosongan itu.
    Penguatan MPR bukan berarti menghidupkan kembali supremasi lembaga, tetapi membangun kembali kesadaran bersama bahwa negara memerlukan haluan—sebuah kompas moral dan ideologis yang menuntun setiap pemerintahan agar tidak tersesat dalam pragmatisme politik jangka pendek.
    Jika bangsa ini ingin bertahan dalam arus globalisasi dan gejolak ideologis, maka memperkuat MPR berarti memperkuat kompas bangsa itu sendiri.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Erros Djarot Ungkap Kesepakatan Megawati, Amien Rais, dan Gus Dur

    Erros Djarot Ungkap Kesepakatan Megawati, Amien Rais, dan Gus Dur

    GELORA.CO – Politisi, seniman, dan budayawan Erros Djarot ungkap kesepakatan Megawati Soekarnoputri, Amien Rais, dan Gus Dur.

    “Mba Mega pasti masih ingatlah, Mas Amien Rais masih ada kan ya Mas Amien. Ingat enggak kita dulu apa yang kita sepakati di satu meja? Ada Gus Dur, ada Mba Mega, Mas Amien, ada saya juga,” katanya dalam siniar Abraham Samad Speakup dikutip pada Selasa, 23 September 2025.

    Ia mengungkapkan, kesepakatan saat itu adalah lebih menitikberatkan atau lebih condong kepada pemerintah dalam berbagai hal. 

    “Nah, sekarang kok jadi heavy legislatif gitu kan ya. Di mana semua dikendalikan oleh legislatif,” ucapnya.

    Saat ini, lanjut Erros, untuk menjadi atau menjabat berbagai jabatan, misalnya duta besar (dubes), harus mendapat persetujuan atau izin DPR.

    Sebenarnya, lanjut Erros, persetujuan itu bukan diberikan oleh anggota DPR, tetapi oleh para ketua umum parpolnya.

    “Lewat DPR? Enggak. Lewat ketua umum partai karena semua ditentukan sama ketua umum partai,” tandasnya.

    Ia menegaskan, itu terjadi karena negeri ini dikendalikan oleh institusi ketum parpol serta konglomerat atau oligarki.

    “Itu sebenarnya negara ini dipenjara itu aja, begitu dua ini ketemu, ya saling berbagi kepentingan, selesai,” ujarnya.

    Menurutnya, mereka juga bisa menyengsarakan rakyat melalui berbagai aturan yang tidak prorakyat. 

    “Kalau mereka punya kepentingan yang berdampak pada rakyat disengsarakan, bisa terjadi,” ujarnya.***