Tag: Djarot Saiful Hidayat

  • Kelemahan orang NU itu ngga tahan lihat duit!

    Kelemahan orang NU itu ngga tahan lihat duit!

    GELORA.CO – Politikus dan budayawan Soegeng Rahardjo Djarot yang akrab disapa Eros Djarot menduga ada desain dari pihak luar yang sengaja untuk menghancurkan Nahdlatul Ulama (NU) dengan memunculkan konflik kepengurusan di PBNU seperti yang terjadi saat ini.

    Mantan pendiri Litbang PDIP yang kemudian mendirikan Partai Nasionalis Bung Karno (PNBK) dan terpilih sebagai Ketua Umum itu bahkan dengan terang-terangan menyebut ada andil mantan Presiden RI ke-7 Joko Widodo (Jokowi) yang diboncengi kepentingan oligarki yang memang sengaja memberikan konsesi tambang ke PBNU yang berujung konflik di dalam kepengurusan ormas Islam terbesar di Indonesia tersebut.

    “Untuk menghancurkan Indonesia tinggal satu lagi, tonggak NU ini, maka siapa pun yang akan mengobrak-abrik Indonesia harus menghancurkan NU. Caranya yah cari kelemahan orang NU. Orang NU itu gak tahan lihat duit,” ujar Eros saat menjadi pembicara dalam acara Forum Kramat bertajuk NU Dalam Transformasi Indonesia seperti dikutip dari tayangan TVNU, Selasa 9 Desember 2025.

    “Jadi memberikan NU ini sebuah tambang, jangan-jangan itu bagian dari upaya karena tahu ini akan jadi penyakit itu dia tahu. Jokowi tahu persis lah,” sambung Eros.

  • Banyu Biru Optimis Masa Depan Industri Pertahanan RI Bakal Maju

    Banyu Biru Optimis Masa Depan Industri Pertahanan RI Bakal Maju

    Jakarta, Beritasatu.com – Selebritas sekaligus anggota DPR Banyu Biru Djarot optimis industri pertahanan Indonesia akan berkembang pesat, terutama dengan pemanfaatan teknologi AI.

    “Setelah berkunjung ke PT Pindad, saya semakin optimis dengan masa depan industri pertahanan kita. Terlebih Indonesia punya potensi besar penguatan industri pertahanan dengan memanfaatkan AI,” ujar Banyu Biru dikutip dari Instagram miliknya, Sabtu (6/12/2025).

    Banyu Biru menekankan, pentingnya pengembangan inovasi industri pertahanan di dalam negeri, menggunakan sumber daya manusia terbaik dari Indonesia.

    “Saya yakin, sistem senjata pintar, analitik pertahanan sampai teknologi otonom akan jadi wajah baru keamanan nasional kita di masa depan. Hal ini sudah dibuktikan dengan lahirnya kendaraan taktis masa depan yang ramah lingkungan sekaligus siap tempur, seperti EV Maung,” lanjutnya.

    Banyu Biru berharap, generasi muda Indonesia terus menguatkan industri pertahanan dalam negeri.

    Dengan visi ini, Banyu Biru menegaskan bahwa masa depan pertahanan Indonesia akan didukung oleh inovasi lokal, teknologi canggih, dan generasi penerus yang berkompeten.

    “Indonesia harus bisa memproduksi drone ISR (Intelligence, Surveillance, Reconnaissance) dari hulu ke hilir, agar kemandirian alutsista benar-benar kita kuasai. Dengan industri yang kuat, pertahanan maju, kita bisa jadi bangsa berdaulat. Saatnya Indonesia bukan hanya pengguna teknologi, tetapi pencipta,” tutupnya.

  • Anggota DPR: Pindad harus jadi motor inovasi industri pertahanan

    Anggota DPR: Pindad harus jadi motor inovasi industri pertahanan

    Jakarta (ANTARA) – Anggota Komisi VII DPR RI Banyu Biru Djarot mengatakan bahwa PT Pindad yang memiliki sejarah panjang harus mampu menjadi motor bagi inovasi industri pertahanan di Indonesia.

    Dia menyampaikan bahwa Pindad yang tumbuh sejak masa awal Republik Indonesia, merupakan simbol perjalanan bangsa dalam membangun kekuatan pertahanan berbasis produksi dalam negeri.

    “Pindad adalah wajah sejarah perjuangan kemandirian alutsista Indonesia dari masa awal kemerdekaan hingga era modern. Tugas kita hari ini adalah memastikan kejayaan itu berlanjut dan bertransformasi sesuai tuntutan zaman,” kata Banyu di Jakarta, Jumat.

    Dia menyampaikan bahwa Komisi VII DPR RI pun melakukan kunjungan kerja spesifik ke PT Pindad (Persero) di Provinsi Jawa Barat pada 4–6 Desember 2025 untuk meninjau penguatan industri pertahanan nasional.

    Kunjungan tersebut sebagai upaya memastikan arah pembangunan industri pertahanan selaras dengan visi kemandirian teknologi nasional dan kebutuhan pertahanan masa depan.

    Menurut dia, peran Pindad dalam bidang pertahanan merupakan hal penting sebagai fondasi kemandirian industri pertahanan Indonesia.

    Transformasi industri pertahanan tidak hanya memperkuat elemen pertahanan negara, tetapi juga membuka peluang lahirnya pusat-pusat inovasi teknologi yang mampu menggerakkan ekonomi nasional.

    “Pengembangan mobil Maung electric vehicles menakar potensi Integrasi AI pada alutsista dan percepatan industri drone nasional adalah representasi nyata kemandirian teknologi bangsa,” katanya.

    Kunjungan itu, kata dia, menegaskan upaya untuk memastikan PT Pindad mampu berdiri sejajar dengan industri pertahanan global melalui inovasi, penguatan kapasitas, dan modernisasi teknologi.

    Dengan dukungan regulasi dan pendampingan berkelanjutan, dia berharap Pindad terus menjadi pilar kemandirian pertahanan sekaligus penggerak ekonomi nasional berbasis inovasi.

    Pewarta: Bagus Ahmad Rizaldi
    Editor: Didik Kusbiantoro
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • KKJ dan BIP Pasar Jaya apresiasi 120 buruh pengupas bawang

    KKJ dan BIP Pasar Jaya apresiasi 120 buruh pengupas bawang

    Jakarta (ANTARA) – Komunitas Kebaya Jakarta (KKJ) berkolaborasi dengan Bhakti Istri Pegawai (BIP) Perumda Pasar Jaya memberikan apresiasi terhadap 120 buruh pengupas bawang melalui kegiatan berbagi.

    “Kami, komunitas perempuan, ingin memberikan perhatian kepada para pejuang perempuan. Untuk momentum Hari Ibu, kami memilih buruh pengupas bawang di Pasar Induk karena mereka mayoritas perempuan yang setiap hari bekerja keras,” kata Ketua Komunitas Kebaya Jakarta Happy Djarot di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta Timur, Rabu.

    Acara itu dihadiri sekitar 120 buruh perempuan yang setiap hari bekerja dari pagi hingga malam dengan beban kerja yang berat.

    Menurut Happy, kegiatan itu digelar sebagai bentuk kepedulian terhadap para perempuan yang menjadi tulang punggung keluarga.

    Para buruh pengupas bawang itu juga dipilih karena mayoritas dari mereka adalah perempuan yang bekerja tanpa henti untuk membantu ekonomi keluarga.

    “Mereka ingin merasakan kebahagiaan. Kemudian, dalam artian kita memberikan dukungan, apresiasi dan juga memberikan bantuan agar perempuan-perempuan pengupas bawang ini semangat dalam bekerja guna mendampingi keluarga,” jelas Happy.

    Dia juga menitipkan pesan kepada para buruh agar tetap menjaga keselamatan keluarga, mengingat Jakarta tengah menghadapi dua potensi bencana yang kerap terjadi, yakni kebakaran dan banjir.

    “Tetap semangat, dan tolong jaga rumah serta keluarga masing-masing agar terhindar dari bencana tersebut,” ucap Happy.

    Sementara itu, istri Wakil Gubernur DKI Jakarta Dewi Rano Karno turut hadir dan memberikan apresiasi atas inisiatif kegiatan itu.

    Dia mengaku bangga melihat perhatian yang diberikan oleh KKJ dan BIP Pasar Jaya kepada para buruh tangguh tersebut.

    Dia menilai para perempuan pengupas bawang tersebut merupakan sosok luar biasa yang patut dihargai atas ketekunan dan kerja keras mereka.

    “Mereka bekerja dari pagi sampai jam sepuluh malam, dan hanya mendapat upah sekitar Rp70 ribu. Untuk mengupas 20 kilogram bawang, mereka hanya mendapat Rp3.000 per kilogram. Jadi, wajar kalau kita ingin memberikan penghargaan, mengajak mereka senang-senang walaupun hanya sehari, sebagai bentuk healing,” tutur Dewi.

    Ketua Komunitas Kebaya Jakarta Happy Djarot (tengah), istri Wakil Gubernur DKI Jakarta Dewi Rano Karno (kanan), dan Ketua Bhakti Istri Pegawai (BIP) Perumda Pasar Jaya Raesita Kamaylia di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta Timur, Rabu (3/12/2025). ANTARA/Siti Nurhaliza/am,

    Dalam kesempatan itu, Dewi juga meninjau kondisi harga pangan di Pasar Induk Kramat Jati. Ia mengatakan harga-harga komoditas di pasar tersebut masih stabil dan bahkan lebih murah dibandingkan dengan pasar ritel maupun supermarket.

    “Tadi saya tanya, harga masih stabil, belum ada kenaikan. Bahkan lebih murah dari tempat lain,” ungkap Dewi.

    Pada kesempatan yang sama, Ketua BIP Perumda Pasar Jaya Raesita Kamaylia menyampaikan pihaknya menyambut baik kolaborasi tersebut dan menegaskan kegiatan itu merupakan bentuk apresiasi bagi para buruh yang selama ini kurang mendapat perhatian.

    “Ini adalah bentuk apresiasi kepada buruh yang selama ini kurang diperhatikan. Mereka diberi kesempatan bertemu, berkumpul, menerima santunan, dan merasa lebih berarti. Jumlahnya ada 120 orang, itu semua buruh wanita pengupas bawang di Pasar Induk,” terang Raesita.

    Melalui kegiatan itu, KKJ dan BIP Pasar Jaya berharap momentum Hari Ibu tidak hanya menjadi perayaan simbolis, tetapi juga momen untuk menguatkan perempuan pekerja yang selama ini berada di lini pekerjaan informal dan kerap luput dari perhatian publik.

    Kegiatan tersebut juga diharapkan dapat memberikan semangat baru bagi para buruh untuk terus berjuang demi keluarga mereka.

    Pewarta: Siti Nurhaliza
    Editor: Rr. Cornea Khairany
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Anggota DPR minta penyederhanaan akses KUR bagi pelaku UMKM songket

    Anggota DPR minta penyederhanaan akses KUR bagi pelaku UMKM songket

    Jakarta (ANTARA) – Anggota Komisi VII DPR RI Banyu Biru Djarot meminta adanya penyederhanaan akses pembiayaan melalui Kredit Usaha Rakyat (KUR) berbunga rendah bagi pelaku usaha mikro kecil menengah atau UMKM yang memproduksi songket sebagai identitas budaya dari Palembang, Sumatera Selatan.

    Ia mengatakan bahwa UMKM songket masih menghadapi sejumlah tantangan struktural, seperti tingginya biaya produksi, terbatasnya akses modal, minimnya adopsi teknologi, dan belum kuatnya perlindungan hukum atas motif kain yang rawan dijiplak. Situasi itu dinilai menghambat nilai ekonomi produk serta melemahkan posisi perajin sebagai penjaga tradisi.

    “Songket bukan sekadar kain, tetapi identitas budaya Palembang dan kebanggaan bangsa. Perlindungan hukum, akses modal, digitalisasi, dan regenerasi perajin adalah kunci menjaga keberlanjutannya,” kata Banyu dalam keterangan tertulisnya yang diterima di Jakarta, Rabu.

    Menurut Banyu, perlu ada perluasan pelatihan literasi digital, dan penguatan pemasaran berbasis teknologi. Ia juga menekankan pentingnya kolaborasi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan pengelola sentra dalam memperkuat ekosistem UMKM kreatif.

    Ia mengatakan sentra songket memiliki peran penting dalam pemberdayaan perempuan, penyerapan tenaga kerja lokal, dan menjaga warisan budaya yang telah diwariskan lintas generasi.

    Di sisi lain, ia mengatakan bahwa perlindungan hak cipta motif songket harus menjadi prioritas, terutama setelah munculnya polemik pencantuman unsur songket sebagai warisan budaya Malaysia oleh UNESCO.

    Menurut ia, langkah diplomasi budaya dan penegasan legalitas motif tradisional Indonesia harus diperkuat untuk menjaga martabat perajin.

    Banyu pun berharap upaya yang dilakukan terhadap UMKM songket itu bisa memperkuat posisi UMKM tradisional agar tetap bertahan dan memiliki daya saing di tingkat nasional maupun global.

    Pewarta: Bagus Ahmad Rizaldi
    Editor: Didik Kusbiantoro
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Banyu Biru Bongkar Masalah Utama Industri Film Indonesia

    Banyu Biru Bongkar Masalah Utama Industri Film Indonesia

    Jakarta, Beritasatu.com – Selebritas sekaligus anggota DPR Banyu Biru Djarot menyoroti masih banyaknya tantangan yang dihadapi industri perfilman nasional. Ia menilai, pembenahan besar-besaran perlu dilakukan agar kualitas dan kuantitas film Indonesia bisa meningkat.

    “Industri film kita masih tertahan karena tiga masalah utama, yaitu limited screen (jumlah layar tayang terbatas), commercial quality (daya saing komersial rendah), dan yang paling besar adalah piracy atau pembajakan,” ungkap Banyu Biru dalam rapat kerja Komisi VII DPR bersama Kementerian Ekonomi Kreatif di Gedung DPR, Jakarta, Jumat (7/11/2025).

    Menurutnya, praktik pembajakan telah membuat banyak investor enggan menanam modal di industri film karena potensi kerugian yang besar. Akibatnya, kualitas produksi dan keberlanjutan industri ikut terhambat.

    “Piracy ini musuh kita bersama. Kalau pembajakan bisa ditekan, ekosistem perfilman Indonesia akan meningkat dan menarik investor membuka layar-layar baru,” jelasnya.

    Ia juga memaparkan, rasio perkembangan perfilman Indonesia saat ini masih rendah, yakni 0,76, jauh tertinggal dari Thailand dan Singapura yang sudah mencapai angka 5.

    Politisi PDI Perjuangan itu meminta pemerintah, khususnya Kementerian Ekonomi Kreatif dan Kementerian Kebudayaan, untuk memberi dukungan nyata.

    Menurutnya, dukungan bisa berupa insentif produksi, pembukaan layar bioskop baru di daerah, serta perlindungan hukum dari pembajakan.

    “Yang harus diperbaiki adalah stimulus dan insentifnya. Namun sebelum itu, tiga tantangan besar tadi harus dibenahi,” tegasnya.

    Banyu Biru menilai, film bukan sekadar hiburan, tetapi juga bagian dari identitas, sejarah, dan kebanggaan bangsa.

    Ia juga menyebut, sumber daya alam (SDA) Indonesia dapat menjadi modal kuat dalam mengembangkan industri film. Menurutnya, potensi lokasi syuting di berbagai daerah bisa menjadi promosi pariwisata sekaligus mendukung sektor UMKM dan ekonomi kreatif.

    “Dengan kekayaan SDA seperti Danau Toba, Labuan Bajo, hingga Bali, film Indonesia bisa menjadi sarana promosi wisata dan budaya. Sudah waktunya industri perfilman kita berubah dan tumbuh lebih baik,” tutupnya.

  • Selapis Kisah Kekerasan 1965 di Aceh dari Puisi Tak Terkuburkan

    Selapis Kisah Kekerasan 1965 di Aceh dari Puisi Tak Terkuburkan

    Liputan6.com, Jakarta Aku bertemu dengan “Puisi Tak Terkuburkan” di ruang tengah sebuah rumah kayu yang terwalak di siku jalan Desa Kemili, menyambut Asar. Rumah ini membawaku pada ingatan beberapa tahun lalu saat sebuah berita membentangkan paragrafnya pertamanya dengan kalimat, “dunia seni, budaya, dan sastra Gayo, Aceh Tengah berduka”.

    Suara laki-laki tua dari seberang telepon yang menyambut saat itu masih terngiang. Tak salah lagi, ini adalah orang yang sama, aku dapat melihat namanya pada sebuah papan kayu kira-kira sepanjang 30 sentimeter yang tertempel di atas pintu depan rumah tersebut.

    Ibrahim Kadir. Demikian huruf-huruf timbul tersebut tersusun dalam warna kecoklatan dipenuhi debu.

    Membubuhi nama pemilik rumah di depan pintu seperti itu sempat tren pada tahuan 90-an. Aku bahkan masih bisa menemukan sejumlah rumah di kawasan Aceh Tengah dan Bener Meriah yang di pintunya tertempel nama sang pemilik.

    Namun, di rumah itu tak ada lagi Ibrahim Kadir –ia berpulang pada 1 September 2020 silam— kecuali segenap poster penuh kebanggaan saat peluncuran film “Puisi Tak Terkuburkan,” serta riwayat kekerasan 1965 yang tersimpan di dalam kliping koran serta majalah di sekeliling dinding rumah tua itu.

    Salah satu pigura berisi tempelan judul berita koran dalam bahasa Belanda: Het doden van de geschiedenis, Er werd veel gehuild op de set, Het gekrijs van een aap in het bos. Demikian judul-judul itu ditempel secara acak.

    Semua potongan judul serta klipingan berita tersebut merupakan bagian dari pemberitaan tentang proses pembuatan sebuah film yang pernah dilakoni oleh Ibrahim Kadir. Di dalam film berjudul Puisi Tak Terkuburkan itu, Ibrahim Kadir jadi dirinya sendiri, sebagai salah satu saksi sejarah dari “dinginnya” pembunuhan massal 1965 yang berlangsung di dataran tinggi Gayo.

    Jauh sebelum itu, pria kelahiran 31 Desember 1942 juga sempat terlibat dengan film epos biografi yang disutradarai oleh Eros Djarot yaitu Tjoet Nja’ Dhien rilisan Desember 1988. Namun, Puisi Tak Terkuburkan (2000) adalah “sesuatu” yang membuat nama Ibrahim Kadir patut diletakkan pada makam tersendiri.

    Bukan hanya sebagai seniman, Puisi Tak Terkuburkan merupakan manifesto, dari jalan seni yang kelak akan diambil oleh seorang Ibrahim Kadir. Ia adalah saksi sejarah yang berani “bicara”, saat narasi terkait kekerasan 1965 masih didominasi jika tidak disebut dibungkam oleh narasi Orde Baru.

    Di dalam Puisi Tak Terkuburkan, senyap memuai di udara, sinopsis muncul disertai derit pintu serta engsel yang telah karatan. Perlahan terdengar syair didong didendangkan oleh sejumlah pria di dalam sebuah ruangan seolah tengah berlangsung perjamuan besar.

    “… Kemudian, saya lihat… kakinya yang menggelepar.”

    Visual kemudian mulai menampilkan tangan dan kaki manusia yang saling bertindihan. Tampak pula wajah-wajah para pemiliknya yang saling menggigil ketakutan.

    Roman melankolis pada wajah-wajah putus asa tersebut kian sarat berkat iringan biola yang mengalun di antara suara gonggongan anjing dan suara batukan. Kumpulan manusia yang terlihat kepayahan itu semakin risau tatkala pintu kerangkeng dibuka.

    “Krieeet….”

    Seorang pria berseragam muncul dari balik pintu. Bersamanya ikut lima orang lelaki berwajah masai yang berjalan memasuki ruangan dengan langkah gontai.

    Salah seorang di antara lelaki itu menatap ke arah sipir agak lama, sebelum sang sipir menutup pintu lalu menghilang bersama deru mobil truk. Ia adalah Ibrahim Kadir.

    Ibrahim Kadir saat itu seorang seniman didong cum guru dijemput di sekolah tempatnya mengajar karena tuduhan terlibat Partai Komunis Indonesia (PKI) pada Selasa, 12 Oktober 1965. Ia diseret ke sebuah ruangan di mana banyak tahanan lain yang dituduh terlibat PKI ditempatkan.

    Selama ditahan, dirinya dipaksa untuk menemani para penjagal saat melakukan eksekusi. Ibrahim Kadir kelak dibebaskan karena bantuan seorang pejabat Partai Nasional Indonesia (PNI) yang kebetulan mendengarkan senandung didongnya, tetapi ingatan yang diakibatkan oleh kenangan selama 22 hari berada di dalam tahanan, sesungguhnya tidak pernah bebas dari benak.

    Ibrahim Kadir menyaksikan seratusan orang lebih dijagal silih berganti setiap malam. Ia hampir gila, teriakan-teriakan di tengah dinginnya malam sulit untuk dilupakan.

    Orang-orang yang kepalanya dibungkus karung, dipukul hingga meregang nyawa; wanita-wanita tak bersalah disembelih; para tahanan dipaksa saling bunuh; seorang ibu dieksekusi bersama bayinya. Semua tindakan tak berperikemanusiaan yang dapat dibayangkan oleh manusia berlangsung di depan mata Ibrahim Kadir.

    Ibrahim Kadir mencurahkan pengalamannya tadi ke dalam 23 bait 92 baris syair berbahasa Gayo berjudul, “Sebuku” atau ratapan. Namun, Puisi yang tak Terkuburkan sebenarnya hanya satu kepingan tipis dari serakan kaca getirnya pembunuhan massal yang menyelimuti dataran tinggi Gayo.

    Di balik bentang alamnya yang indah, pegunungan berkabut, danau Lut Tawar, dan kopinya yang mendunia, dataran tinggi Gayo menyimpan “kepedihannya” sendiri. Tanahnya yang subur menyimpan riwayat yang anyir, berasal dari tumpahan darah dengan kengerian yang tak tepermanai.

    “Sedikitnya 2.500 orang (khusus di tanah Gayo, red) yang dibantai. Hampir di setiap kampung terjadi pembunuhan terhadap orang yang di-PKI-kan,” ungkap mantan aktivis KontraS (Komisi Orang Hilang dan Tindak Kekerasan) Aceh, Mustawalad kepada Liputan6.com.

    Sejumlah titik kuburan massal di antara lain ada di Redelong, Kubangan Gajah, Totor Besi, dan Bur Lintang. Kuburan-kuburan ini sudah tidak ada lagi karena kerangka para korban telah dipindahkan oleh keluarga ke pemakaman umum dan biasanya sedapat mungkin dirahasiakan.

    Riset berbasis sejarah oleh Jess Melvin berjudul The Army and the Indonesian Genocide: Mechanics of Mass Murder (2018) dapat menjadi acuan dari peristiwa kekerasan ini. Buku ini telah terbit dalam versi terjemahan berjudul Berkas Genosida Indonesia: Mekanika Pembunuhan Massal 1965-1966.

    Buku setebal 322 halaman terbitan Routledge tahun 2018 tersebut meruntuhkan apa yang disebut Jess Melvin sebagai sebuah ‘propaganda’ setengah abad lebih. Gerakan penumpasan semua yang terlibat PKI selama ini disebut-sebut sebagai perlawanan spontanitas masyarakat.

    Namun, berkas yang ditemukan oleh Melvin mengungkap fakta lain. Ia menyebut, sesungguhnya kekerasan yang berlangsung pada saat itu itu merupakan rangkaian pembunuhan terkoordinasi yang tersambung hingga ke Mayor Jenderal Soeharto.

    Berdasarkan dokumen yang ditemukan oleh Jess Melvin, operasi pengganyangan semua yang dianggap terlibat PKI di Aceh telah dimulai pada 4 Oktober. Program ini diterapkan berdasarkan rantai komando secara teritorial dan struktural, di mana warga sipil berada di barisan front.

    Adapun rangkaian pembunuhan mulai berlaku serentak di seantero Aceh sejak 7-13 Oktober 1965. Saat itu, kekuatan berbasis paramiliter mendapat perintah untuk memusnahkan seluruh anggota PKI beserta simpatisannya tanpa pandang bulu.

    Temuan sejarah seperti ini jadi torehan yang cukup gelap bagi lini masa narasi sejarah. Selama ini, sejarah Aceh kerap disajikan dalam pelbagai narasi yang epos dan apologia, berkutat soal kejayaan masa kesultanan, perang melawan penjajah, fase kemerdekaan, hingga niat ingin memisahkan diri, tetapi sedikit yang menyentuh pembantaian massal yang terjadi pada 1965-1966.

    Pada hari-hari terakhir Ibrahim Kadir ditahan, mereka masih menugaskannya mengikat serta mengarungi kepala para tahanan dan ikut ke lokasi eksekusi. Suatu malam, seorang tahanan perempuan terlihat enggan melepas bayi yang ada di dalam gendongannya.

    Namun, suara desing peluru mengakhiri perlawanan kecil perempuan tersebut. Di bawah terang bulan, malam itu seorang ibu dan bayinya rubuh bersama hati Ibrahim Kadir yang hancur.

    Bintang bulan cengang menjerit/Memandang tubuh yang terpaku/Ibarat patung tak berkutik/Risau rindu tak berulang (salah satu kutipan syair berjudul ‘Sebuku’ milik Ibrahim Kadir).

  • Megawati ziarah ke makam Bung Karno dan buka seminar 70 tahun KAA

    Megawati ziarah ke makam Bung Karno dan buka seminar 70 tahun KAA

    Peringatan 70 tahun KAA di Blitar ini menjadi simbol bahwa gagasan besar Bung Karno tidak berhenti pada sejarah, tetapi terus hidup dalam diplomasi dan arah politik luar negeri Indonesia masa kini

    Jakarta (ANTARA) – Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan Megawati Soekarnoputri berziarah ke makam Presiden pertama RI Soekarno alias Bung Karno dan membuka seminar internasional sebagai rangkaian puncak peringatan 70 tahun Konferensi Asia–Afrika (KAA) di Blitar, Jawa Timur, Sabtu.

    Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto mengatakan perayaan tersebut mengingatkan kembali bagaimana KAA menjadi momentum kepemimpinan Indonesia bagi dunia.

    “KAA wujud visi internasional Bung Karno yang digerakkan oleh Pancasila sebagai life line tata dunia baru berdasarkan kemanusiaan, kesetaraan, keadilan, dan prinsip hidup berdampingan secara damai,” ujar Hasto dalam keterangannya.

    Dari Blitar, kata dia, PDI Perjuangan mengobarkan kembali semangat Asia-Afrika sebagai gerakan dekolonialisasi yang pertama. Gerakan itu menginspirasi kemerdekaan bangsa-bangsa Asia Afrika dan Amerika Latin.

    Ia menjelaskan peringatan digelar sebagai momentum menghidupkan kembali semangat solidaritas dan kemerdekaan bangsa-bangsa Asia dan Afrika yang pernah digelorakan oleh Bung Karno pada KAA pertama di Bandung tahun 1955.

    Kegiatan puncak dimulai pagi hari dengan ziarah ke makam Bung Karno di Blitar oleh para delegasi dari berbagai negara Asia dan Afrika. Mereka datang untuk memberikan penghormatan kepada tokoh proklamator yang menjadi penggagas utama Konferensi Asia Afrika.

    Dalam rombongan peziarah, Hasto dan Ketua DPP PDI Perjuangan Djarot Saiful Hidayat mendampingi para tamu delegasi. Terlihat pula akademisi Connie Rahakundini di antara pemimpin delegasi.

    Disebutkan bahwa suasana khidmat tampak saat para peserta meletakkan karangan bunga dan mengheningkan cipta di pusara Bung Karno.

    Sementara itu, Megawati melakukan ziarah pada siang hari, sebelum menghadiri seminar internasional yang menjadi acara utama peringatan ini.

    Setelah ziarah, kegiatan berlanjut dengan seminar internasional bertema Bung Karno in a Global History: Commemorative Seminar of the 70th Anniversary of the 1955 Bandung Asian-African Conference.

    Megawati tampil sebagai pembicara kunci, dengan menyampaikan pidato yang menyoroti relevansi nilai-nilai KAA dalam menghadapi tantangan global masa kini, mulai dari ketimpangan ekonomi, perubahan iklim, hingga konflik geopolitik di kawasan selatan dunia.

    Seminar diikuti sekitar 30 akademisi dan delegasi dari 30 negara, yang menandai kembalinya semangat solidaritas Asia-Afrika dari tanah kelahiran Bung Karno.

    Selain menghadiri seminar, Megawati juga melakukan konsolidasi internal PDI Perjuangan dengan para kepala daerah kader partai di Jawa Timur.

    Pertemuan itu menekankan pentingnya kepala daerah memahami nilai perjuangan Bung Karno dan menerapkannya dalam kebijakan pembangunan yang berpihak pada rakyat.

    “Peringatan 70 tahun KAA di Blitar ini menjadi simbol bahwa gagasan besar Bung Karno tidak berhenti pada sejarah, tetapi terus hidup dalam diplomasi dan arah politik luar negeri Indonesia masa kini,” tutur Hasto.

    Pewarta: Agatha Olivia Victoria
    Editor: Edy M Yakub
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Peringatan 70 Tahun KAA, Akademisi dari 30 Negara Ziarah ke Makam Bung Karno

    Peringatan 70 Tahun KAA, Akademisi dari 30 Negara Ziarah ke Makam Bung Karno

    Peringatan 70 Tahun KAA, Akademisi dari 30 Negara Ziarah ke Makam Bung Karno
    Tim Redaksi
    BLITAR, KOMPAS.com –
    Puluhan akademisi dari sekitar 30 negara Asia dan Afrika berziarah ke Makam Presiden pertama Republik Indonesia Soekarno di Blitar, Jawa Timur, Sabtu (1/11/2025) pagi.
    Kegiatan yang dimulai sekitar pukul 09.00 WIB ini menjadi pembuka rangkaian puncak peringatan 70 tahun Konferensi Asia-Afrika (KAA).
    Berdasarkan pantauan
    Kompas.com
    , para akademisi datang untuk memberikan penghormatan kepada Bung Karno yang juga penggagas utama KAA tahun 1955 di Bandung.
    Ziarah berlangsung khidmat, diawali dengan peletakan karangan bunga dan berdoa bersama di pusara Bung Karno.
    Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto dan Ketua DPP Djarot Saiful Hidayat mendampingi para tamu delegasi saat melakukan ziarah.
    Salah satu delegasi yang mengikuti ziarah adalah pengamat pertahanan yang juga Guru Besar Universitas Saint Petersburg Rusia, Connie Rahakundini Bakrie.
    Usai berziarah, para peserta berkeliling Museum Bung Karno yang menampilkan berbagai koleksi sejarah perjuangan sang proklamator, serta peran Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa-bangsa Asia dan Afrika.
    Ketua Umum PDI Perjuangan sekaligus Presiden Kelima Republik Indonesia Megawati Soekarnoputri, pun turut hadir dan akan menjadi keynote speaker dalam seminar tersebut.
    Hasto mengatakan, dalam pidatonya nanti, Megawati akan mengulas kembali relevansi nilai-nilai KAA di tengah tantangan global, yakni ketimpangan ekonomi, perubahan iklim, dan konflik geopolitik di kawasan selatan dunia.
    Hasto menekankan, peringatan ini menjadi momentum untuk menegaskan kembali peran Indonesia dalam menghidupkan semangat solidaritas Asia-Afrika yang digagas Bung Karno.
    “KAA wujud visi internasional Bung Karno yang digerakkan oleh Pancasila sebagai life line tata dunia baru berdasarkan kemanusiaan, kesetaraan, keadilan, dan prinsip hidup berdampingan secara damai,” ujar Hasto.
    Menurut Hasto, Blitar dipilih sebagai lokasi puncak peringatan karena memiliki makna simbolis sebagai tempat peristirahatan terakhir Bung Karno, sekaligus titik awal kebangkitan kembali semangat Asia-Afrika.
    “Dari Blitar, kita kobarkan kembali semangat Asia-Afrika sebagai gerakan dekolonialisasi pertama yang menginspirasi kemerdekaan bangsa-bangsa Asia, Afrika, dan Amerika Latin,” kata Hasto.
    “Peringatan 70 tahun KAA di Blitar ini menjadi simbol bahwa gagasan besar Bung Karno tidak berhenti pada sejarah, tetapi terus hidup dalam diplomasi dan arah politik luar negeri Indonesia masa kini,” ujar dia.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Mewujudkan Ekonomi Konsitusi

    Mewujudkan Ekonomi Konsitusi

    Mewujudkan Ekonomi Konsitusi
    Djarot Saiful Hidayat, Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Ideologi dan Kaderisasi, Anggota DPR RI Periode 2019-2024, Gubernur DKI Jakarta (2017), Wakil Gubernur DKI Jakarta (2014-2017) dan Walikota Blitar (2000-2010). Kini ia menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR RI Periode 2024-2029.
    PIDATO Presiden Prabowo Subianto yang menegaskan pentingnya kembali kepada amanat konstitusi ekonomi — khususnya Undang-undang Dasar NRI 1945 Pasal 33 — menandai sinyal strategis dalam orientasi pembangunan ekonomi nasional.
    Presiden Prabowo menyampaikan arahan itu pada Sidang Kabinet Paripurna di Istana Negara, Jakarta, pada 20 Oktober 2025.
    Dalam arahan tersebut, ia menyatakan bahwa “perekonomian nasional harus dikembalikan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, bukan semata pertumbuhan atau keuntungan jangka pendek”.
    Ia juga menyinggung bahwa Indonesia sebagai produsen terbesar minyak sawit dunia masih mengalami kelangkaan minyak goreng — sebagai indikasi bahwa mekanisme pasar belum mencerminkan keadilan sosial.
    Dalam konteks ini, sangat penting untuk memahami substansi Pasal 33 UUD NRI 1945 sebagai landasan hukum ekonomi negara.
    Pasal 33 ayat (1) menyatakan: “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.”
    Ayat (2): “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.”
    Ayat (3): “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
    Penjelasan lebih lanjut (termasuk setelah amandemen) menyebut bahwa ayat (4) menyatakan bahwa “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi… dengan prinsip kebersamaan, efisiensi-keadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.”
    Dalam tinjauan sejarah hukumnya, Pasal 33 dimaknai sebagai “ideologi ekonomi Indonesia” — yaitu suatu rumusan yang menegaskan kedaulatan ekonomi untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagai salah satu tujuan dari Indonesia merdeka.
    Penafsiran yuridis-normatif menunjukkan bahwa penguasaan negara atas cabang produksi penting ataupun kekayaan alam tidak dapat direduksi hanya sebagai hak regulasi, melainkan mencakup mandat moral untuk kemakmuran rakyat secara kolektif.
    Dengan demikian, ketika Presiden Prabowo kembali menegaskan Pasal 33 sebagai landasan ekonomi konstitusi dan mendorong kedigdayaan ekonomi rakyat, maka pidato tersebut sesungguhnya menegaskan “ekonomi konstitusi” sebagai kembali ke amanat UUD dan nilai-nilai Pancasila: kedaulatan, kemandirian, pemerataan, dan keberpihakan pada seluruh rakyat.
    Namun, penting dicatat bahwa meskipun landasan tersebut kuat secara konstitusional dan historis, implementasi nyata menghadapi tantangan struktural, yakni masih merajalelanya ideologi kapitalisme, seperti mekanisme pasar yang semakin terbuka hampir tanpa batas, globalisasi modal asing, liberalisasi investasi, termasuk isu persaingan modal besar oligarki versus kepentingan rakyat kecil.
    Pidato Presiden dapat dibaca sebagai momentum korektif terhadap bias kapitalisme yang telah lama mendominasi orientasi pembangunan nasional.
    Pemikiran ekonomi bangsa Indonesia sejak awal kemerdekaan menegaskan bahwa pembangunan ekonomi tidak hanya soal produksi dan konsumsi, tetapi juga soal kemerdekaan, kedaulatan ­dan keadilan sosial.
    Bung Karno dalam Deklarasi Ekonomi tahun 1963 menegaskan bahwa pembangunan harus diarahkan untuk “menyusun perekonomian yang berdikari”, bebas dari ketergantungan modal asing, dan berorientasi kepada kepentingan rakyat.
    Ekonomi Berdikari menjadi sikap ekonomi bagi perwujudan sosialisme Indonesia yang menjadi visi ekonomi dari Pancasila.
    Sementara itu, Mohammad Hatta dalam “Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun” (1954) memandang koperasi sebagai bentuk organisasi ekonomi yang menempatkan manusia sebagai pusat, bukan modal.
    Ia menulis bahwa “koperasi adalah alat pendidikan sosial yang mengajarkan rakyat untuk saling tolong-menolong dan membangun kekuatan bersama.”
    Pemikiran tersebut mengusung jalan tengah antara kapitalisme yang menindas dan sosialisme yang mengabaikan kebebasan individu.
    Beberapa dekade kemudian, Mubyarto secara konsisten mengembangkan pemikiran “Ekonomi Pancasila” sebagai kerangka sistem ekonomi alternatif.
    Dalam bukunya “Ekonomi Pancasila: Gagasan dan Kemungkinan” (1987), Mubyarto menyusun konsep sistem ekonomi Pancasila yang merujuk pada “usaha bersama yang berasaskan kekeluargaan dan kegotong-royongan nasional yang bertujuan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan pemerataan sosial dalam kemakmuran dan kesejahteraan.”
    Ia mengkritik arus dominan ekonomi neoklasik yang terlalu menekankan efisiensi pasar dan mengabaikan dimensi moral pembangunan.
    Bagi Mubyarto, ukuran keberhasilan ekonomi bukan hanya pertumbuhan, tetapi sejauh mana kemiskinan berkurang, lapangan kerja terbuka, dan rakyat kecil memperoleh kemandirian ekonomi.
    Ketiga tokoh ini, meskipun berbeda dalam konteks zamannya, menyepakati substansi bahwa ekonomi harus berpihak pada rakyat — bukan hanya tatanan pasar bebas yang tanpa kendali.
    Soekarno dengan kedaulatan ekonomi, Hatta dengan prioritas koperasi dan manusia sebagai subjek ekonomi, serta Mubyarto dengan kerangka sistem ekonomi Pancasila yang menjembatani nilai moral dan struktur ekonomi.
    Warisan pemikiran mereka dapat menjadi fondasi bagi interpretasi “ekonomi konstitusi” masa kini — yaitu, bagaimana melaksanakan ekonomi yang dirancang dalam UUD 1945 dengan nilai-nilai Pancasila dalam kerangka globalisasi dan persaingan pasar yang semakin terbuka.
    Empat dekade terakhir menunjukkan pergeseran tajam dalam orientasi ekonomi nasional menuju liberalisasi dan dominasi mekanisme pasar.
    Kebijakan deregulasi dan liberalisasi sejak 1980-an, undang-undang dilakukan seperti UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang membuka investasi asing dan memperluas ruang swasta tanpa pengaturan kontrol sosial yang memadai.
    Akibatnya, terjadi privatisasi BUMN, pelemahan proteksi sektor rakyat kecil, dan akumulasi modal besar yang semakin kuat.
    Realitas ini membentuk struktur ekonomi yang oleh banyak kritikus sebut sebagai “kapitalistik” dalam arti orientasi kepada akumulasi modal besar yang dikuasai oleh segelintir oligarki yang hanya mengejar pertumbuhan ekonomi tanpa pemerataan.
    Dari segi angka, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan rasio Gini pengeluaran penduduk Indonesia per September 2024 tercatat sebesar 0,381.
    Ini menandakan bahwa meskipun terjadi sedikit penurunan dibanding Maret 2023 (0,388) ke Maret 2024 (0,379) , ketimpangan ekonomi masih relatif tinggi.
    Distribusi pengeluaran kelompok 40 persen terbawah pada September 2024 tercatat hanya 18,41 persen dari total pengeluaran nasional.
    Secara struktur, Bank Dunia mencatat 20 persen kelompok teratas menguasai hampir separuh total pendapatan nasional — yang mencerminkan pola akumulasi yang sangat timpang.
    Kondisi ini menunjukkan bahwa orientasi pasar bebas dan akumulasi modal besar belum menciptakan pemerataan yang signifikan.
    Dari aspek hukum, penafsiran Pasal 33 ayat (2) dan (3) menunjukkan bahwa penguasaan negara atas cabang produksi penting dan kekayaan alam harus digunakan untuk kemakmuran rakyat.
    Namun, realitas pengelolaan sumber daya alam kerap menunjukkan bahwa nilai tambah lebih banyak dinikmati oleh korporasi besar atau investor asing, sementara manfaat lokal atau rakyat kecil masih terbatas.
    Untuk menghidupkan kembali semangat “ekonomi konstitusi” sebagai yang ditekankan Presiden, setidak-tidaknya dapat ditempuh melalui empat langkah strategis.
    Pertama, memperkuat kembali peran negara dan BUMN di sektor strategis, bukan sekadar sebagai pelaku bisnis, tetapi sebagai pelindung kepentingan publik.
    Kedua, merevitalisasi koperasi sebagai lembaga ekonomi rakyat modern dan profesional yang tumbuh dari bawah berdasarkan kepentingan ekonomi rakyat banyak (sejalan dengan Hatta dan Mubyarto).
    Ketiga, mengarahkan kebijakan investasi dan hilirisasi sumber daya alam agar tercipta nilai tambah di dalam negeri dan manfaat langsung bagi masyarakat lokal.
    Keempat, memperkuat regulasi sosial dan perlindungan rakyat agar pembangunan tidak hanya efisien tetapi juga adil dan manusiawi.
    Langkah-langkah ini tidak menolak mekanisme pasar modern, melainkan menempatkannya dalam bingkai moral pembangunan: bahwa keterbukaan ekonomi dan persaingan global harus tunduk pada nilai nasional dan kepentingan rakyat.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.