Penulis Pidato SBY Terharu dan Bangga Atas Pidato Prabowo di Sidang Majelis Umum PBB
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Penulis pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Dino Patti Djalal, mengaku terharu dan bangga atas pidato yang disampaikan Presiden Prabowo Subianto.
“Saya Dino Patti Djalal di New York City. Sebagai
speech writer
dari mantan Presiden SBY, saya merasa bangga dan terharu melihat pidato Presiden Prabowo Subianto dalam Sidang Majelis Umum PBB hari ini 23 September 2025,” kata Dino dalam video yang dia unggah di akun Instagram-nya, @dinopattidjalal, Rabu (24/9/2025).
Menurut Dino, Prabowo lewat pidatonya telah memberikan pesan penting kepada dunia bahwa Indonesia telah kembali ke ruang politik internasional.
“Pesan penting yang dikirim dari pidato Presiden tersebut kepada dunia adalah Indonesia
is back in multilateralism diplomacy
, Indonesia
is back in multilateral diplomacy
,” tuturnya.
Menurut eks Wakil Menteri Luar Negeri RI ini, pesan yang diberikan Prabowo sangat penting karena lebih dari 10 tahun Presiden RI tidak pernah hadir secara langsung dalam Sidang Majelis Umum PBB.
Kehadiran Prabowo memberikan pesan bahwa Indonesia telah kembali dalam panggung global untuk memberikan kontribusi nyata.
“Dan ini penting karena ada persepsi dunia bahwa dalam 11 tahun terakhir ini karena Presiden Joko Widodo tidak pernah sekalipun menghadiri secara fisik Sidang Majelis Umum di PBB maka ada kesan bahwa Indonesia memunggungi diplomasi multilateral. Walaupun tentu kenyataannya tidak demikian, tapi persepsi itu ada,” ucapnya.
Sebagai informasi, Prabowo mendapat urutan ke-3 berpidato dalam Sidang Majelis Umum ke-80 PBB di Markas PBB, New York, Amerika Serikat (AS), kemarin.
Sejumlah isu diangkat oleh Kepala Negara, utamanya soal perdamaian dunia hingga dukungan kemerdekaan Palestina.
Dalam forum tersebut, Prabowo tampak berapi-api dan penuh semangat saat menyampaikan pidatonya di hadapan Majelis Umum PBB.
Terdapat delapan momen Prabowo terpantau sampai mengentakkan tangannya ke meja mimbar yang ada di Markas PBB.
Ada juga delapan kali tepuk tangan dari para petinggi dan delegasi negara lain yang terdengar saat Prabowo berpidato dalam forum tersebut, termasuk
standing ovation
di akhir pidato Prabowo.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Tag: Dino Patti Djalal
-
/data/photo/2025/09/24/68d2d890515eb.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
3 Penulis Pidato SBY Terharu dan Bangga Atas Pidato Prabowo di Sidang Majelis Umum PBB Nasional
-

Dino Patti Djalal Bongkar Politik Luar Negeri Jokowi yang Buruk, ke Ukraina Untuk Pencitraan
GELORA.CO – Usai pensiun jadi Presiden ke-7 RI Joko Widodo alias Jokowi, mata publik baru terbuka.
Karena mulai banyak orang yang berani membongkar sikap buruknya.
Terbaru, mantan Wakil Menteri Luar Negeri (Wamenlu) di era Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Dino Patti Djalal, ungkap unek-unek yang sudah lama dipendam.
Sebagai mantan diplomat, Dino memiliki jarinagn luar negeri yang luas dan kredibel.
Karena itu Dino sangat tahu sikap politik luar negeri Jokowi saat dua periode menjabat.
Ternyata, Jokowi menjadi salah satu Presiden RI yang paling enggan mengikuti acara pemimpin dunia lewat berbagai forum atau organisasi.
Entah karena kendala bahasa Inggris yang tak lancar, atau persoalan lain.
Yang pasti, kata Dino, Jokowi sering mendelegasikan acara penting itu kepada para menteri atau Wakil Presiden saat dijabat Jusuf Kalla.
Hal ini diungkap Dino di kanal YouTube Total Politik, Rabu (24/9/2025), yang dikutip Tribunnews.com.
Menurut Dino, Jokowi bukanlah sosok presiden yang tertarik dengan politik luar negeri.
Dino mengungkapkan hal itu sudah terlihat ketika Jokowi pertama kali menjabat sebagai Presiden RI pada tahun 2014 lalu.
Adapun contohnya ketika Jokowi enggan menghadiri forum G20 dan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) APEC.
Bahkan, kata Dino, Jokowi juga tidak tertarik akan pertemuan dengan negara anggota ASEAN.
Baca juga: Jokowi Arahkan Relawan Dukung Prabowo-Gibran 2 Periode, Ahli: Sebagai Eks Presiden, Ini Menyedihkan
Jokowi, sambung Dino, menyebut bahwa pertemuan semacam itu tidak menimbulkan dampak nyata bagi masyarakat.
“Saya ingat waktu beliau menjadi Presiden diminta untuk ke G20 dan KTT APEC, setelah beliau disumpah jadi Presiden, susah banget karena beliau tidak tertarik.”
“Bahkan ASEAN pun, banyak cerita-cerita diplomat, beliau sempat bilang ini apa sih perkumpulan hanya ngomong-ngomong aja,” katanya.
Keengganan Jokowi untuk hadir dalam pertemuan internasional semakin terlihat ketika dirinya juga enggan untuk mengikuti Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Jokowi memang tidak pernah menghadiri langsung Sidang Umum PBB selama dua periode menjadi orang nomor satu di Indonesia.
Dia selalu memerintakan Menteri Luar Negeri (Menlu) ataupun Wakil Presiden ke-10 dan ke-12, Jusuf Kalla (JK), untuk menghadirinya.
Dino pun sempat memperoleh cerita ketika Jusuf Kalla bercerita ke Jokowi terkait padatnya rangkaian acara di PBB.
Menurut Dino, hal tersebut turut menjadi alasan Jokowi enggan untuk menghadiri Sidang Umum PBB.
“Pernah ada cerita, beliau nanya ke pak JK, Pak JK waktu itu sedang di New York ‘pak saya hari ini 5-10 meeting, sibuk. Pak Jokowi lalu bilang ‘ya karena itulah saya nggak mau ke sana’. Nah jadi interest-nya emang nggak ada,” tuturnya.
Selanjutnya, mantan juru bicara SBY tersebut juga menyebut bahwa kunjungan Jokowi ke Ukraina dan Rusia saat konflik kedua negara tersebut terjadi hanya untuk pencitraan di dalam negeri.
Jokowi memang pernah pergi ke Ukraina dan bertemu Presiden Volodymyr Zelenskyy pada 29 Juni 2022 lalu.
Dikutip dari laman Presiden RI, Jokowi menyebut bahwa kunjungan ke Ukraina adalah wujud kepedulian masyarakat Indonesia untuk Ukraina.
Sehari setelahnya, Jokowi pun sempat bertemu Presiden Rusia, Vladimir Putin, di Moskow dan mengatakan siap menjembatani agar kedua negara berdamai.
“Kita lihat waktu konflik Rusia-Ukraina, beliau datang ke Ukraina dan Rusia dan saya dan kita semua kan senang, ya,” ujarnya.
“Tetapi ternyata, dan mohon maaf sekali untuk para pendukung Jokowi, tapi ternyata ini lebih untuk konsumsi dalam negeri dan bukan untuk menyelesaikan konflik. Kalau kita benar-benar mau bantu, ya bantu,” lanjut Dino.
Dino lantas membandingkan kepemimpinan Jokowi dan SBY di mana mantan atasannya itu memiliki keseimbangan dalam mengurusi urusan dalam negeri dan luar negeri.
“Ini Pak SBY, dalam negeri bagus secara politik, ekonomi, demokrasi, reformasi, tetapi (urusan) luar negeri aktif dan berdampak,” tuturnya.
Dia pun berharap agar Presiden Prabowo Subianto mencontoh cara kepemimpinan SBY di masa lalu.
“Dan saya kira dari sekarang, Pak Prabowo harus bisa berpikir bagaimana saya jadi Presiden di dalam negeri secara politik dan ekonomi sukses tapi juga luar negeri, kita bisa berdampak. Itu susah sekali,” pungkasnya
-

Pidato di PBB, Prabowo Kenang Perjuangan Diplomasi Sumitro
Bisnis.com, JAKARTA – Presiden Prabowo Subianto akan berpidato di Sidang Umum ke-80 PBB di New York, Amerika Serikat pada Selasa 23 September. Kehadiran Presiden Prabowo menjadi momen bersejarah, karena mengulang jejak perjuangan diplomasi sang ayah, almarhum Prof. Sumitro Djojohadikusumo.
Menurut pendiri Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) Dino Patti Djalal, kehadiran Presiden Prabowo di forum PBB merupakan kelanjutan tradisi keluarga pejuang diplomasi. “Kami rakyat Indonesia berharap, sebagaimana almarhum Prof. Sumitro, Presiden Prabowo dapat terus memperjuangkan upaya dunia untuk memperkokoh multilateralisme,” ujar Dino.
Prof. Sumitro pernah memimpin delegasi Indonesia di PBB pada periode 1948-1949, masa yang sangat menentukan perjalanan sejarah Bangsa Indonesia dan posisinya di dunia. Salah satu kiprah diplomasi paling monumental yang dicatat Sumitro adalah memorandum yang dikirim dari Kantor Perwakilan RI di PBB kepada Pejabat Menteri Luar Negeri AS Robert A. Lovett.
Memorandum yang kemudian dimuat di The New York Times pada 21 Desember 1948, mengecam agresi militer Belanda sebagai ancaman terhadap upaya membangun ketertiban dunia. Agresi itu juga dianggap sebagai pelanggaran keras terhadap Perjanjian Renville serta perundingan lain antara Indonesia dan Belanda, sekaligus juga mencederai legitimasi PBB.
Tak berhenti di situ, Sumitro melakukan berbagai upaya diplomatik, termasuk membangun dukungan dari negara-negara Asia. Pada pertemuan di India, Januari 1949, ia berhasil menggalang solidaritas negara-negara Asia untuk menghentikan agresi Belanda dan menuntut pembebasan para pimpinan Republik.
Puncaknya, Belanda mengakui kedaulatan Indonesia melalui Konferensi Meja Bundar pada Desember 1949. Setahun kemudian, tepat pada 17 Agustus 1950, Republik Indonesia Serikat resmi menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dino menilai, pidato Presiden Prabowo di Sidang Umum ke-80 PBB akan membawa angin segar di tengah merosotnya semangat multilateralisme global. “Multilateralisme di mana-mana kini sedang dalam kondisi terpuruk,” kata mantan Duta Besar RI untuk AS itu.
Senada, Tenaga Ahli Utama Badan Komunikasi Pemerintah, Hamdan Hamedan, menekankan makna strategis dalam pidato Presiden di Sidang PBB nanti. Presiden Prabowo dijadwalkan berbicara di urutan ketiga, setelah Presiden Brasil Luiz Inácio Lula da Silva dan Presiden Amerika Serikat.
“Pada saat ruangan penuh, atensi dunia tertuju, dan pesan yang disampaikan dapat membentuk nada serta arah diskusi utama dalam Debat Umum Sidang Majelis Umum PBB,” ujar Hamdan di Jakarta, Jumat (19/9).
Setelah 10 tahun absen, Presiden Indonesia akhirnya kembali hadir di panggung utama dunia. Pidato Presiden Prabowo di Sidang Umum PBB menjadi momentum penting untuk memperkuat posisi Indonesia sebagai bangsa besar yang aktif di garis depan diplomasi internasional.
“Ini merupakan penampilan langsung Presiden Indonesia di forum UNGA setelah lebih dari satu dekade, menjadi momentum penting yang menegaskan peran Indonesia di garis depan diplomasi internasional serta komitmen terhadap penguatan multilateralisme,” pungkas Hamdan.
-
/data/photo/2025/09/08/68bf016c73e58.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
5 Ini Kisi-kisi Pidato Prabowo dalam Sidang Majelis Umum PBB di New York Nasional
Ini Kisi-kisi Pidato Prabowo dalam Sidang Majelis Umum PBB di New York
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Juru Bicara (Jubir) Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Vahd Nabyl Achmad Mulachela memastikan Presiden RI Prabowo Subianto akan berpidato di hadapan Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York, Amerika Serikat (AS), pada Selasa (23/9/2025) besok.
Nabyl pun membeberkan kisi-kisi dari isi pidato yang akan dibawakan Presiden Prabowo.
“Betul, Bapak Presiden direncanakan menyampaikan pidato di hadapan Sidang Majelis Umum PBB pada tanggal 23 September,” kata Nabyl kepada
Kompas.com
, Minggu (21/9/2025) malam.
Nabyl menyampaikan, rencananya, Prabowo akan menyoroti perihal urgensi semangat inklusivitas.
Selain itu, kata dia, Kepala Negara akan turut menyoroti optimisme kerja sama multilateral.
“Rencananya, pidato Bapak Presiden akan menyoroti urgensi semangat inklusivitas, optimisme, solidaritas, dan kerja sama multilateral dalam menghadapi tantangan global masa kini,” imbuh dia.
Kedatangan Presiden Prabowo Subianto di New York, Amerika Serikat (AS), pada Sabtu (20/9/2025) sekitar pukul 16.50 waktu setempat atau Minggu (21/9/2025), akan menjadi titik awal momen bersejarah.
Sebab, kunjungan Kepala Negara ke AS kali ini bukan sekadar kunjungan kenegaraan biasa, melainkan menghadiri secara langsung Sidang Umum PBB setelah 10 tahun lamanya kehadiran Indonesia diwakili oleh Menteri Luar Negeri (Menlu).
Prabowo juga akan berpidato di urutan ketiga dalam sidang itu.
Pendiri Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) Dino Patti Djalal menilai, kehadiran Prabowo dalam Sidang Umum PBB mengulang jejak perjuangan diplomasi sang ayah, Prof. Sumitro Djojohadikusumo.
Ia menilai, ini merupakan kelanjutan tradisi keluarga pejuang diplomasi.
Oleh karenanya, kehadiran Kepala Negara akan menjadi jejak perjuangan sang ayah.
“Kami rakyat Indonesia berharap, sebagaimana almarhum Prof. Sumitro, Presiden Prabowo dapat terus memperjuangkan upaya dunia untuk memperkokoh multilateralisme,” ujar Dino dalam keterangan yang disampaikan Badan Komunikasi RI, Sabtu (21/9/2025).
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Pidato di Sidang Umum PBB, Prabowo Mengulang Sejarah Diplomasi Prof. Sumitro
GELORA.CO – Setelah 10 tahun absen, Presiden Indonesia akhirnya kembali hadir di panggung utama dunia.
Presiden Prabowo Subianto akan berpidato di Sidang Umum ke-80 PBB di New York, Amerika Serikat pada Selasa 23 September 2025.
Kehadiran Presiden Prabowo menjadi momen bersejarah, karena mengulang jejak perjuangan diplomasi sang ayah, almarhum Prof. Sumitro Djojohadikusumo.
Menurut pendiri Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) Dino Patti Djalal, kehadiran Presiden Prabowo di forum PBB merupakan kelanjutan tradisi keluarga pejuang diplomasi.
“Kami rakyat Indonesia berharap, sebagaimana almarhum Prof. Sumitro, Presiden Prabowo dapat terus memperjuangkan upaya dunia untuk memperkokoh multilateralisme,” ujar Dino kepada wartawan di Jakarta, Sabtu 20 September 2025.
Prof. Sumitro pernah memimpin delegasi Indonesia di PBB pada periode 1948-1949, masa yang sangat menentukan perjalanan sejarah Bangsa Indonesia dan posisinya di dunia.
Salah satu kiprah diplomasi paling monumental yang dicatat Sumitro adalah memorandum yang dikirim dari Kantor Perwakilan RI di PBB kepada Pejabat Menteri Luar Negeri AS Robert A. Lovett.
Memorandum yang kemudian dimuat di The New York Times pada 21 Desember 1948, mengecam agresi militer Belanda sebagai ancaman terhadap upaya membangun ketertiban dunia.
Agresi itu juga dianggap sebagai pelanggaran keras terhadap Perjanjian Renville serta perundingan lain antara Indonesia dan Belanda, sekaligus juga mencederai legitimasi PBB.
Tak berhenti di situ, Sumitro melakukan berbagai upaya diplomatik, termasuk membangun dukungan dari negara-negara Asia. Pada pertemuan di India, Januari 1949, ia berhasil menggalang solidaritas negara-negara Asia untuk menghentikan agresi Belanda dan menuntut pembebasan para pimpinan Republik.
Puncaknya, Belanda mengakui kedaulatan Indonesia melalui Konferensi Meja Bundar pada Desember 1949. Setahun kemudian, tepat pada 17 Agustus 1950, Republik Indonesia Serikat resmi menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dino menilai, pidato Presiden Prabowo di Sidang Umum ke-80 PBB akan membawa angin segar di tengah merosotnya semangat multilateralisme global.
“Multilateralisme di mana-mana kini sedang dalam kondisi terpuruk,” kata mantan Duta Besar RI untuk AS itu.
Senada, Tenaga Ahli Utama Badan Komunikasi Pemerintah, Hamdan Hamedan, menekankan makna strategis dalam pidato Presiden di Sidang PBB nanti.
Presiden Prabowo dijadwalkan berbicara di urutan ketiga, setelah Presiden Brasil Luiz Inácio Lula da Silva dan Presiden Amerika Serikat Donald Trump.
“Pada saat ruangan penuh, atensi dunia tertuju, dan pesan yang disampaikan dapat membentuk nada serta arah diskusi utama dalam Debat Umum Sidang Majelis Umum PBB,” ujar Hamdan.
-
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5355899/original/005367500_1758371157-1001030165.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Pidato di Sidang Umum PBB, Presiden Prabowo Mengulang Sejarah Perjuangan Diplomasi Prof Sumitro – Page 3
Liputan6.com, Jakarta Presiden Prabowo Subianto dijadwalkan berpidato di Sidang Umum ke-80 PBB di New York, Amerika Serikat pada Selasa 23 September 2025.
Kehadiran Presiden Prabowo menjadi momen penuh sejarah karena mengulang jejak perjuangan diplomasi sang ayah, almarhum Prof. Sumitro Djojohadikusumo.
Menurut pendiri Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) Dino Patti Djalal, kehadiran Presiden Prabowo di forum PBB merupakan kelanjutan tradisi keluarga pejuang diplomasi.
“Kami rakyat Indonesia berharap, sebagaimana almarhum Prof. Sumitro, Presiden Prabowo dapat terus memperjuangkan upaya dunia untuk memperkokoh multilateralisme,” ujar Dino.
Prof. Sumitro pernah memimpin delegasi Indonesia di PBB pada periode 1948-1949, masa yang sangat menentukan perjalanan sejarah Bangsa Indonesia dan posisinya di dunia. Salah satu kiprah diplomasi paling monumental yang dicatat Sumitro adalah memorandum yang dikirim dari Kantor Perwakilan RI di PBB kepada Pejabat Menteri Luar Negeri AS Robert A. Lovett.
Memorandum yang kemudian dimuat di The New York Times pada 21 Desember 1948, mengecam agresi militer Belanda sebagai ancaman terhadap upaya membangun ketertiban dunia. Agresi itu juga dianggap sebagai pelanggaran keras terhadap Perjanjian Renville serta perundingan lain antara Indonesia dan Belanda, sekaligus juga mencederai legitimasi PBB.
Tak berhenti di situ, Sumitro melakukan berbagai upaya diplomatik, termasuk membangun dukungan dari negara-negara Asia. Pada pertemuan di India, Januari 1949, ia berhasil menggalang solidaritas negara-negara Asia untuk menghentikan agresi Belanda dan menuntut pembebasan para pimpinan Republik.
Puncaknya, Belanda mengakui kedaulatan Indonesia melalui Konferensi Meja Bundar pada Desember 1949. Setahun kemudian, tepat pada 17 Agustus 1950, Republik Indonesia Serikat resmi menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
-

Pidato di Sidang Umum PBB, Prabowo Bakal Lanjutkan Diplomasi Sumitro
Bisnis.com, JAKARTA – Presiden Prabowo Subianto akan menyampaikan pidato di Sidang Umum ke-80 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York, Amerika Serikat (AS) pada Selasa (23/9/2025).
Kehadiran Prabowo bukan hanya bernilai strategis bagi diplomasi Indonesia, tetapi juga menyimpan makna historis: mengulang jejak perjuangan diplomasi ayahandanya, almarhum Prof. Sumitro Djojohadikusumo.
Pendiri Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) Dino Patti Djalal menyebut momentum ini sebagai kesinambungan tradisi diplomasi keluarga pejuang bangsa.
“Kami rakyat Indonesia berharap, sebagaimana almarhum Prof. Sumitro, Presiden Prabowo dapat terus memperjuangkan upaya dunia untuk memperkokoh multilateralisme,” ujar Dino, Sabtu (20/9/2025).
Prof. Sumitro tercatat sebagai tokoh penting dalam diplomasi Indonesia pada periode 1948–1949, saat bangsa ini berjuang mempertahankan kemerdekaan di tengah agresi Belanda.
Salah satu langkah monumental yang dilakukan Sumitro adalah mengirim memorandum dari Kantor Perwakilan RI di PBB kepada Pejabat Menlu AS Robert A. Lovett.
Memorandum tersebut, yang dimuat The New York Times pada 21 Desember 1948, mengecam agresi militer Belanda sebagai ancaman serius terhadap ketertiban dunia. Dokumen itu juga menegaskan bahwa aksi militer Belanda melanggar Perjanjian Renville dan mencederai legitimasi PBB.
Selain itu, Sumitro menggalang dukungan negara-negara Asia. Dalam pertemuan di India pada Januari 1949, ia berhasil menghimpun solidaritas regional untuk menghentikan agresi Belanda dan menuntut pembebasan pimpinan Republik.
Upaya ini menjadi salah satu fondasi keberhasilan diplomasi Indonesia hingga akhirnya Belanda mengakui kedaulatan melalui Konferensi Meja Bundar pada Desember 1949.
Dino menilai pidato Prabowo di PBB akan memberi warna baru di tengah menurunnya semangat multilateralisme global.
“Multilateralisme di mana-mana kini sedang dalam kondisi terpuruk,” tegas mantan Dubes RI untuk AS itu.
Hal senada disampaikan Tenaga Ahli Utama Badan Komunikasi Pemerintah (BKP) Hamdan Hamedan. Dia menilai pidato Presiden Prabowo akan sangat strategis karena mendapat giliran berbicara di urutan ketiga setelah Presiden Brasil Luiz Inácio Lula da Silva dan Presiden Amerika Serikat Joe Biden.
“Pada saat ruangan penuh, atensi dunia tertuju, dan pesan yang disampaikan dapat membentuk nada serta arah diskusi utama dalam Debat Umum Sidang Majelis Umum PBB,” ujar Hamdan.
Kehadiran Prabowo di forum ini juga menandai berakhirnya absen panjang Indonesia di panggung utama Sidang Umum PBB. Setelah lebih dari satu dekade, Presiden RI akhirnya kembali menyampaikan pidato langsung di hadapan para pemimpin dunia.
“Ini merupakan momentum penting yang menegaskan peran Indonesia di garis depan diplomasi internasional serta komitmen terhadap penguatan multilateralisme,” tandas Hamdan.
-

Dino Patti Djalal: Pidato Prabowo di Sidang Umum PBB Setara Bobot Sejarah Bung Karno
Bisnis.com, JAKARTA – Mantan Wakil Menteri Luar Negeri Dino Patti Djalal menilai pidato Presiden Prabowo Subianto di Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke-80 mendatang akan menjadi momen diplomatik bersejarah bagi Indonesia.
Prabowo dijadwalkan berbicara pada urutan ketiga, setelah Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Presiden Brasil Lula, dalam forum internasional tahunan tersebut.
“Ini belum pernah terjadi. Presiden Indonesia bicara nomor tiga di Sidang Umum PBB, itu suatu kehormatan luar biasa. Karena pasti nomor satu Amerika, nomor dua Brasil, dan kali ini Indonesia nomor tiga. Itu artinya seluruh dunia akan memperhatikan, dari utara, selatan, timur, dan barat,” ujarnya kepada wartawan di kompleks Istana Kepresidenan, Senin (25/8/2025).
Menurut Dino, posisi tersebut menempatkan Indonesia dalam sorotan global di tengah dinamika geopolitik dunia yang ditandai rivalitas Amerika Serikat–Tiongkok, menguatnya kelompok BRICS, serta melemahnya multilateralisme.
Dia menekankan, pidato Prabowo di forum tersebut harus mampu memberikan masukan konstruktif terkait “state of the world” serta arah tata dunia baru.
“Sekarang sudah ada konsensus bahwa orde dunia lama sudah selesai. Tapi yang baru belum jelas. Indonesia punya peluang memberi konsep tentang the Next World Order. Itu akan sangat strategis,” jelas pendiri Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) tersebut.
Dino bahkan membandingkan bobot pidato Prabowo di PBB dengan pidato Presiden Sukarno tahun 1960 bertajuk “To Build the World A New”. Bedanya, dia menilai kini posisi negara-negara kekuatan menengah (middle powers) seperti Indonesia, Turki, Korea Selatan, Brasil, dan Afrika Selatan justru semakin menentukan arah perubahan dunia.
“Konteksnya sama penting dengan pidato Bung Karno, tapi kali ini middle powers sedang naik daun. Jadi pidato Presiden Prabowo berpotensi memberi dampak besar,” ujarnya.
Dino juga menyebut momentum ini sebagai kesempatan mengembalikan Indonesia ke kancah multilateralisme, setelah pada masa Presiden Joko Widodo, Indonesia dikritik karena tidak pernah menghadiri Sidang Umum PBB.
“Selama ini kritik kami kepada Presiden Jokowi adalah beliau tidak pernah datang ke PBB, bahkan saat menjadi Ketua G20. Jadi pidato Prabowo nanti bisa jadi penyegar, sekaligus kebangkitan peran Indonesia di diplomasi multilateral,” imbuhnya.
Dengan posisi diplomatik yang kuat, mulai dari keanggotaan Indonesia di G20, BRICS, APEC, hingga kedekatan hubungan bilateral dengan negara-negara besar, Dino yakin Prabowo memiliki modal politik yang besar untuk memainkan peran global.
“Indonesia sekarang tidak menghadapi tekanan besar dari luar. Kita punya kaki di mana-mana, hubungan baik dengan banyak negara kunci, dan kepercayaan dunia internasional kepada Indonesia sedang tinggi. Tantangannya tinggal bagaimana memanfaatkannya,” katanya.
Dino menegaskan harapan publik Indonesia maupun komunitas internasional kini bertumpu pada pidato Presiden Prabowo di forum PBB tersebut.
“Saya optimis, ini akan membuat kita bangga sekaligus meneguhkan Indonesia sebagai pemain penting dalam membentuk tata dunia baru,” pungkasnya.

