Tag: Didik Nini Thowok

  • Upaya Baru Fajar Nugros Bawa Kisah Klasik

    Upaya Baru Fajar Nugros Bawa Kisah Klasik

    JAKARTA – Sutradara Fajar Nugros menghadirkan film terbaru bertajuk Perempuan Pembawa Sial. Film ini tayang perdana di JAFF 2024 sebelum dirilis secara luas di bioskop Indonesia mulai Kamis, 18 September.

    Film Perempuan Pembawa Sial menceritakan Mirah (Raihaanun) yang akan menikah dengan Aryo (Banyu Bening), namun pernikahan mereka tidak berlangsung lama setelah Aryo meninggal dalam kejadian tragis. Kemudian, Mirah mencari kehidupan baru dengan tetap bekerja di sebuah pabrik.

    Mirah ternyata mengalami Bahu Laweyan di mana semua orang yang menjalani hubungan dengannya akan berakhir mengenaskan. Mirah mencari tempat baru sampai ia memutuskan menikah dengan atasannya, namun kejadian serupa terjadi kepada pasangannya.

    Kejadian dua kali itu membuat masyarakat dan orang-orang sekitarnya mengutuk keberadaan Mirah. Suatu hari, Mirah bertemu dengan Puti (Clara Bernadeth), adik tirinya yang sudah lama tidak berkomunikasi dengannya.

    Di sisi lain, Mirah juga bertemu dengan Bana (Morgan Oey), penjual di restoran Padang yang tertarik dengan Mirah. Meski begitu, teror tetap menghampiri Mirah hingga ia harus menyelesaikan semuanya.

    Fajar Nugros bersama Husein M. Atmodjo berkolaborasi kembali untuk menciptakan Perempuan Pembawa Sial. Film ini mengangkat kisah klasik Bawang Merah Bawang Putih dengan gaya modern dan tentunya horor.

    Adegan pembukanya singkat tapi menegaskan bahwa sebuah teror besar akan hadir dalam hidup Mirah. Adegan ini menanamkan ekspektasi tinggi untuk apa yang terjadi selanjutnya.

    Sinematografinya juga terasa fokus agar penonton bisa melihat siapa yang menjadi fokus utama. Bagian menarik lainnya adalah rangkaian jumpscare yang ditaruh sutradara di adegan-adegan yang tidak terduga. Momen itu membuat terkejut hingga lelah karena timing-nya yang tidak berjauhan.

    Didik Nini Thowok yang hadir sedikit menjadi ikonis dengan penampilannya, meski sebenarnya porsi penceritaannya bisa dikembangkan dalam plot.

    Ceritanya panjang dan rumit membuat penonton harus mengikuti perjalanan Mirah. Beberapa bagian terasa panjang tapi tetap dinantikan.

    Film ini menawarkan bagaimana masyarakat memandang seorang wanita yang seringkali dijadikan obyek, namun hal itu tidak terlalu dieksplor padahal bisa dikembangkan. Sutradara memilih untuk mengulang rangkaian jumpscare demi membuat film ini tetap menjadi horor.

    Apa yang dibangun dengan terasa potensial berakhir dengan datar dan meninggalkan rasa yang mudah terlupakan. Meski begitu, film ini memiliki paduan kisah klasik yang bisa menjadi kesegaran dalam genre-nya.

    Film Perempuan Pembawa Sial bisa disaksikan di bioskop Indonesia mulai Kamis, 18 September.

  • Profil Ray Sahetapy: Aktor Legendaris yang Konsisten di Dunia Peran

    Profil Ray Sahetapy: Aktor Legendaris yang Konsisten di Dunia Peran

    Jakarta, Beritasatu.com –  Dunia perfilman Indonesia kembali berduka dengan wafatnya aktor Ray Sahetapy (68 tahun) di RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta Pusat, pada Selasa (1/4/2025) malam.

    Ferenc Raymon Sahetapy atau yang lebih dikenal sebagai Ray Sahetapy (1 Januari 1957 – 1 April 2025) adalah seorang aktor senior Indonesia yang disegani. Ia dikenal karena perannya yang mendalam dan kompleks dalam berbagai film drama. Dengan karier yang berlangsung lebih dari empat dekade, Ray menjadi salah satu aktor terbaik di generasinya.

    Ray Sahetapy memulai debutnya di dunia film melalui Gadis (1980), garapan sutradara Nya’ Abbas Akup. Dalam film ini, ia beradu akting dengan Dewi Yull, yang kemudian menjadi istrinya.

    Selama kariernya, Ray membintangi berbagai film populer, termasuk:
     

    – Ponirah Terpidana (1983)
    – Tatkala Mimpi Berakhir (1987)
    – Jangan Bilang Siapa-Siapa (1990)
    – Noesa Penida (1988)
    – Secangkir Kopi Pahit (1985)
    – Kerikil-Kerikil Tajam (1985)
    – Opera Jakarta (1986) 

    Dikutip dari Wikipedia, Ray Sahetapy memegang rekor sebagai aktor dengan nominasi terbanyak di Piala Citra Festival Film Indonesia (FFI) tanpa pernah menang. Ia dinominasikan tujuh kali dalam kategori Aktor Terbaik.

    Ketika industri film Indonesia mengalami stagnasi pada era 1990-an, Ray Sahetapy tetap aktif di dunia seni peran. Ia mendirikan sanggar teater dan membentuk komunitas seni, berkontribusi pada perkembangan teater di Indonesia.

    Pada tahun 2006, ia kembali ke dunia film dengan membintangi Dunia Mereka. Pada tahun yang sama, ia terpilih sebagai salah satu ketua dalam kongres PARFI (Persatuan Artis Film Indonesia).

    Ray Sahetapy menghabiskan masa kecilnya di Panti Asuhan Yatim Warga Indonesia, Surabaya. Sejak remaja, ia bercita-cita menjadi aktor. Demi mewujudkan mimpinya, ia melanjutkan pendidikan di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) pada 1977, seangkatan dengan Deddy Mizwar dan Didik Nini Thowok.

    Ray Sahetapy menikah dengan Dewi Yull pada 16 Juni 1981. Pernikahan mereka sempat mendapat penolakan dari keluarga Dewi karena perbedaan agama. Pada 1992, Ray menjadi mualaf. Dari pernikahan ini, mereka dikaruniai empat anak, yaitu Giscka Putri Agustina Sahetapy (1982–2010), Rama Putra Sahetapy (1992), Surya Sahetapy (1994), dan Muhammad Raya Sahetapy (2000).

    Namun, pernikahan mereka berakhir pada 24 Agustus 2004 karena Dewi menolak poligami setelah Ray berniat menikah lagi dengan Sri Respatini Kusumastuti, seorang pengusaha kafe dan katering. Pada Oktober 2004, Ray resmi menikah dengan Sri.

    Selain aktif di dunia seni peran, Ray juga dikenal sebagai pemimpin Perhimpunan Seniman Nusantara.

    Ray Sahetapy bukan hanya aktor berbakat, tetapi juga sosok yang berkontribusi besar dalam dunia seni Indonesia. Keberaniannya dalam memilih peran yang menantang serta dedikasinya dalam dunia teater menjadikannya legenda di perfilman Indonesia.

    Kepergian Ray Sahetapy pada 1 April 2025 meninggalkan duka mendalam bagi industri film dan seni peran di Indonesia. Namun, karya-karyanya akan terus dikenang oleh generasi mendatang.