Tag: Didik Junaedi Rachbini

  • Rektor Universitas Paramadina Soroti Memburuknya Penegakan Hukum: ‘Pengadilan Sesat’

    Rektor Universitas Paramadina Soroti Memburuknya Penegakan Hukum: ‘Pengadilan Sesat’

     

    Jakarta (beritajatim.com) — Rektor Universitas Paramadina, Prof. Didik J. Rachbini, kembali menyoroti kondisi penegakan hukum di Indonesia yang menurutnya kian menunjukkan tanda-tanda judicial misconduct atau pengadilan sesat.

    Ia menyebut kasus hukum yang menimpa jajaran direksi PT ASDP Indonesia Ferry sebagai contoh nyata kekeliruan proses peradilan yang dapat merusak ekosistem ekonomi nasional.

    Prof. Didik menegaskan bahwa sistem hukum idealnya menjadi fondasi pertumbuhan ekonomi, memberikan kepastian kontrak, penegakan aturan yang adil, serta proses peradilan yang dapat diprediksi. Namun, ia melihat situasinya kini berbalik.

    “Ketika seorang eksekutif BUMN terpidana tidak menerima aliran uang satu sen pun, tidak pernah dilakukan audit dari BPK atau BPKP perihal kerugian negara (bahkan keuntungan perusahaan meningkat), tidak ada mens rea dari para terpidana, dan hanya dikategorikan lalai pada putusan PN, lalu divonis sebagai koruptor. Pengadilan seperti ini pantasnya disebut pengadilan apa? Sudah banyak para ahli sampai awam yang menjawab di publik, itu adalah pengadilan sesat,” tegasnya.

    Kasus ASDP Dinilai Mengacaukan Ekosistem Bisnis

    Menurut Prof. Didik, kondisi seperti ini menimbulkan ketakutan para pelaku usaha dan profesional yang kini cenderung menahan investasi dan enggan mengambil keputusan strategis.

    Ia menjelaskan bahwa direksi ASDP melakukan aksi korporasi berupa akuisisi perusahaan sejenis untuk meningkatkan kapasitas layanan penyeberangan. Langkah tersebut, kata Prof. Didik, berhasil dan terbukti meningkatkan pelayanan bagi masyarakat.

    “Laba ASDP meningkat hingga Rp637 miliar pada 2023, tertinggi sepanjang sejarah perusahaan, ASDP masuk peringkat 7 BUMN terbaik di Indonesia, tidak ada aliran dana mencurigakan, sebagaimana ditegaskan KPK, PPATK tidak menemukan transaksi korupsi, BPK sudah melakukan audit dengan opini Wajar Dengan Pengecualian hanya untuk dua kapal dengan opportunity loss sekitar Rp4,8–10 miliar,” paparnya.

    Namun ia menilai proses hukum justru memutarbalikkan fakta dengan mengkategorikan pembelian kapal sebagai “besi tua” dan menyimpulkan adanya kerugian negara Rp1,25 triliun.

    Angka tersebut, kata Prof. Didik, “absurd” mengingat BPK hanya menemukan opportunity loss maksimal Rp10 miliar.

    “Aksi korporasi seperti ini sudah dipermasalahkan dengan kaca mata hukum yang picik sehingga akan banyak CEO di masa mendatang tidak akan melakukan apa pun karena takut menghadapi aparat hukum yang naif,” ujarnya.

    Soroti Melemahnya KPK dan Intervensi Politik

    Prof. Didik juga menyebut kerusakan penegakan hukum telah merambat lebih luas. Ia menilai aparat hukum banyak yang korup, proses peradilan rentan intervensi politik, dan lembaga-lembaga penegak hukum melemah.

    “Sejak Jokowi dan kekuatan politik di sekitarnya mencabik-cabik KPK, maka wajah lembaga hukum yang lahir dari rahim reformasi ini sudah compang-camping dan penuh culas karena bersekutu dengan kepentingan-kepentingan picik,” ungkapnya.

    Ia mengingatkan bahwa skor rule of law Indonesia yang hanya 0,52 (skala 0–1) menjadi indikator serius bahwa sistem hukum belum mampu menopang agenda ekonomi nasional, termasuk yang hendak dijalankan Presiden Prabowo Subianto.

    Peringatan Soal Risiko Anarki Hukum

    Prof. Didik menegaskan bahwa pengadilan seharusnya tidak mencampuradukkan keputusan bisnis dengan tindak kriminal.

    “Pengadilan tidak boleh mencampuradukkan keputusan bisnis yang mengandung risiko dengan kriminalitas. Jika dibiarkan, kita akan menghadapi anarki hukum di masa depan,” pungkasnya. (ted)

     

  • Dikritik Ekonom Didik Rachbini, Purbaya: Beliau Salah Tafsir Undang-Undang

    Dikritik Ekonom Didik Rachbini, Purbaya: Beliau Salah Tafsir Undang-Undang

    JAKARTA – Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menanggapi kritik yang disampaikan oleh Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Didik J. Rachbini terkait kebijakan pemindahan penempatan dana sebesar Rp200 triliun ke himpunan bank milik negara (Himbara).

    Menurutnya kritik tersebut tidak tepat karena kebijakan yang diambil tidak melanggar aturan yang berlaku dan dirinya telah mendapat masukan langsung dari pakar perundangan-undangan Lambock V. Nahattands, yang menilai bahwa penilaian Didik atas kebijakan tersebut kurang tepat.

    “Pak Didik salah undang-undangnya. Saya tadi ditelepon Pak Lambok, ahli undang-undang kan. Dia bilang sama saya, Pak Didik salah dan hal ini pernah dilakukan sebelumnya,” ujarnya kepada awak media, Selasa, 16 September.

    Ia menjelaskan bahwa penempatan anggaran di himbara bukan melakukan perubahan anggaran, melainkan hanya pemindahan alokasi dana dan hal semacam ini pernah dilakukan sebelumnya.

    “Enggak ada yang salah, saya sudah konsultasi juga dengan Pak Lambok dan ahli-ahli hukum di Kemenkeu,” jelasnya.

    Purbaya menambahkan bahwa mekanisme serupa juga telah dijalankan pada tahun 2008 (September) dan tahun 2021 (Mei), tanpa menimbulkan persoalan hukum.

    “Jadi Pak Didik harus belajar lagi kelihatannya,” ujarnya.

    Ia menjelaskan bahwa dana tersebut hanya dipindahkan dari Bank Indonesia ke bank umum, tanpa mengubah status atau kepemilikan dana.

    “Pokoknya uang saya di bank saya geser, dari BI geser. Jadi bukan dipinjemin, saya taruh saja, saya pindahin uangnya. Seperti Anda punya uang di bank A dan bank B, Anda pindahin uangnya dari bank B ke bank A. Uang Anda tetap kan, bentuknya sama ya, tabungan, apa. Jadi nggak masalah, cuma pindah saja,” jelasnya.

    Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa perbedaan utama terletak pada karakteristik tempat penyimpanan.

    Purbaya menyampaikan bahwa dana yang ditempatkan di bank sentral tidak dapat diakses oleh sektor perbankan dan perekonomian secara langsung, namun sebaliknya, jika ditempatkan di bank umum, dana tersebut bisa beredar dan memberikan stimulus ke perekonomian.

    “Jadi banyak yang salah mengerti. Seolah-olah saya memakai SAL (Saldo Anggaran Lebih) untuk membangun atau uangnya saya ambil untuk pembangunan tertentu. Tidak. Saya hanya memaksa perbankan berpikir secara profesional,” tegasnya.

    Menurutnya tujuannya agar dana ini bisa mendorong mekanisme pasar berjalan lebih optimal, lantaran selama ini, perbankan cenderung pasif dengan menempatkan dana di instrumen yang aman seperti obligasi atau di bank sentral.

    “Jadi sekarang mereka mesti berpikir sesuai dengan fungsi mereka. Fungsi untuk apa perbankan dibuat,” ucapnya.

    Sebelumnya, Ekonom senior INDEF Didik J. Rachbini mengkritik kebijakan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang memindahkan dana pemerintah sebesar Rp200 triliun dari Bank Indonesia ke lima bank BUMN anggota Himbara.

    Ia menilai langkah tersebut melanggar setidaknya tiga peraturan yaitu UUD 1945 Pasal 23, UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, dan UU APBN setiap tahun.

    Didik menegaskan bahwa anggaran negara tidak bisa dialihkan secara sepihak tanpa melalui proses legislasi yang sah.

    Ia pun meminta Presiden Prabowo Subianto untuk menghentikan kebijakan tersebut karena dianggap bertentangan dengan prinsip tata kelola anggaran yang diatur undang-undang.

    Menurutnya dana negara hanya boleh ditempatkan di bank umum untuk kepentingan operasional APBN, bukan untuk program yang tidak tercantum dalam APBN.

    Ia juga menyebut bahwa pemindahan dana ini berisiko melanggar UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan negara, yakni pada pasal 22, ayat 4, 8 dan 9.

  • Didik Rachbini Minta Prabowo Hentikan Penempatan Rp200 Triliun di Bank: Langgar Tiga UU

    Didik Rachbini Minta Prabowo Hentikan Penempatan Rp200 Triliun di Bank: Langgar Tiga UU

    Bisnis.com, JAKARTA — Ekonom senior Indef Didik J. Rachbini meminta Presiden Prabowo Subianto menghentikan kebijakan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang menempatkan dana pemerintah Rp200 triliun ke sistem perbankan.

    Didik menilai kebijakan menteri keuangan yang baru dilantik pekan lalu itu menyalahi prosedur pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Bahkan, menurutnya, langkah itu berpotensi melanggar konstitusi serta tiga undang-undang yang mengatur tata kelola keuangan negara.

    Rektor Universitas Paramadina itu menjelaskan bahwa tata cara penyusunan, penetapan, dan alokasi APBN telah diatur secara rinci dalam Pasal 23 UUD 1945, UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara, serta UU APBN yang berlaku setiap tahun. Dia mengingatkan bahwa dana pemerintah bersumber dari anggaran publik sehingga setiap rupiah yang dikeluarkan pemerintah wajib melewati mekanisme politik dan legislasi di DPR.

    “Karena anggaran negara adalah ranah publik, maka proses politik yang bernama legislasi dijalankan bersama oleh DPR dengan pembahasan-pembahasan di setiap komisi dengan menteri-menteri dan badan anggaran dengan menteri keuangan,” kata Didik dalam keterangannya, dikutip pada Selasa (16/9/2025).

    Dia menilai bahwa kebijakan spontan pengalihan Rp200 triliun dari kas negara ke bank umum, lalu disalurkan ke industri atau individu dalam bentuk kredit, melanggar aturan perundangan yang ada. Prosedur tersebut, ujarnya, tidak tercantum dalam nota keuangan maupun RAPBN yang secara resmi diajukan pemerintah kepada DPR.

    Lebih lanjut, Didik menilai penempatan dana Rp200 triliun justru melenceng dari ketentuan Pasal 22 ayat (4), (8) dan (9) UU Nomor 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara. Aturan tersebut memperbolehkan menteri keuangan membuka rekening penerimaan dan pengeluaran di bank umum, namun penggunaannya terbatas untuk kepentingan operasional APBN.

    “Ayat ini sangat jelas membatasi jumlah dan tujuan penempatan sebatas pada operasional pengeluaran sesuai rencana pemerintah yang sudah ditetapkan dalam APBN, bukan untuk program-program yang seingat di kepala lalu dijalankan,” ujar Didik yang juga menjabat sebagai Komisaris Independen PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. (BBNI), salah satu bank penerima kucuran likuiditas dari negara.

    Dia menekankan pentingnya menjalankan kebijakan seusai mekanisme resmi meski tujuannya dianggap baik untuk mendorong penyaluran kredit. Didik juga mengingatkan potensi preseden buruk bila praktik seperti ini terus dibiarkan.

    Menurutnya, kelembagaan fiskal bisa dilemahkan dan penggunaan anggaran negara menjadi sewenang-wenang. Oleh karena itu, Didik meminta Prabowo tidak tinggal diam.

    “Saya menganjurkan agar presiden turun tangan untuk menghentikan program dan praktik jalan pintas seperti ini karena telah melanggar setidaknya tiga UU dan sekaligus konstitusi. Kita tidak boleh melakukan pelemahan aturan main dan kelembagaan seperti yang dilakukan pemerintahan sebelumnya,” tutupnya.

  • Ini Warisan Pemikiran Arif Budimanta soal Kesejahteraan dan Ekonomi Berdaulat – Page 3

    Ini Warisan Pemikiran Arif Budimanta soal Kesejahteraan dan Ekonomi Berdaulat – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – Kabar duka datang dari dunia ekonomi dan politik Indonesia. Ekonom senior dan mantan Staf Khusus Presiden, Arif Budimanta, meninggal dunia pada Sabtu, pukul 00.06 WIB. Saat ini, Arif menjabat sebagai Ketua Majelis Ekonomi, Bisnis dan Pariwisata PP Muhammadiyah. Kabar ini juga telah dibenarkan oleh Ketua PP Muhammadiyah Bidang Ekonomi dan Bisnis, Muhadjir Effendy.

    Kepergian Arif Budimanta yang begitu cepat meninggalkan duka mendalam bagi rekan-rekan dan para intelektual. Salah satunya adalah ekonom senior Indef, Didik J. Rachbini. Didik mengenang sosok Arif sebagai seorang yang mendedikasikan diri pada ekonomi, politik, Pancasila, dan kebijakan publik.

    “Kepergiannya terlalu cepat karena masih berusia muda, tetapi takdir tidak bisa kita tolak, sehingga kita ikhlas melepas kepergiannya,” kata Didik dikutip dari Antara, Sabtu (6/9/2025).

    Didik J. Rachbini menyoroti berbagai karya Arif, terutama yang membahas bagaimana nilai-nilai Pancasila dapat menjadi landasan sistem ekonomi Indonesia yang adil dan berdaulat.

    Karya-karya tersebut, seperti buku “Pancasilanomics: Ekonomi Pancasila dalam Gerak” (2019), menuai perhatiannya. Didik menilai, melalui buku-buku tersebut, Arif mengkritisi arah pembangunan yang cenderung liberal dan mengusulkan desain ekonomi yang berbasis pada konstitusi, khususnya Pasal 33 UUD 1945.

    “Beberapa karyanya membahas bagaimana nilai-nilai Pancasila bisa menjadi landasan sistem ekonomi Indonesia yang adil, inklusif dan berdaulat,” kata Didik.

     

  • Ekonom: Rencana Ambil Alih Paksa BCA Narasi Berbahaya yang Tidak Waras

    Ekonom: Rencana Ambil Alih Paksa BCA Narasi Berbahaya yang Tidak Waras

    Bisnis.com, JAKARTA – Gagasan pengambilalihan paksa saham PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) atau BCA oleh negara yang digaungkan oleh oknum tertentu menuai kritik tajam dari kalangan akademisi hingga praktisi ekonomi.

    Ekonom senior Indef sekaligus Rektor Universitas Paramadina Didik J. Rachbini, menyebut narasi tersebut sebagai ide berbahaya, sesat, dan tidak rasional karena berpotensi merusak ekosistem perekonomian nasional.

    “Tidak ada angin, tidak ada sebab, tiba-tiba ada narasi dan usul yang datang dari partai politik [PKB] dan DPR agar pemerintah mengambil alih paksa saham BCA. Ide hostile take over seperti ini jika digiring ke politik dan kekuasaan sangat berbahaya,” kata Didik dalam keterangan tertulis, Jumat (22/8/2025).

    Menurutnya, Presiden Prabowo Subianto seharusnya tidak menanggapi ide tersebut, sebab dapat merusak tatanan perbankan yang sudah terbangun kuat pascareformasi.

    Dia mengingatkan Indonesia sudah melewati berbagai krisis mulai dari krisis moneter 1998, krisis keuangan global 2008, hingga pandemi Covid-19 tetapi sektor perbankan terbukti mampu bertahan karena sistem yang makin solid.

    “Jika ide sesat ini dilakukan, kepercayaan pasar akan runtuh. Bank tidak akan dipercaya, dan tidak bakal ada yang menyarankan investasi di BCA lagi,” ujarnya.

    Didik menilai kinerja BCA bersama bank-bank Himbara telah menjadi pilar perekonomian nasional. Kontribusi BCA sangat signifikan, baik dalam mendorong pertumbuhan kredit, menopang dunia usaha, hingga menyumbang pajak dalam jumlah besar.

    Karena itu, menurutnya, sektor perbankan tidak boleh diganggu oleh manuver politik apapun. 

    “Ide mengambil alih saham BCA tanpa sebab adalah tindakan anarki politik kebijakan. Ini alarm bahaya bagi iklim perekonomian nasional. Pasar bisa saja menilai ada bandit-bandit di dalam negara yang ingin memberangus pelaku ekonomi,” tegasnya.

    Meski demikian, dia mengapresiasi adanya kepastian dari sisi pemerintah yang bisa menenangkan pasar terkait isu ambil alih paksa saham BCA.

    Menteri Investasi/Kepala BKPM sekaligus Kepala Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) Rosan Perkasa Roeslani menegaskan tidak ada rencana Danantara maupun instruksi pemerintah untuk mengakuisisi 51% saham BCA.

    Didik menilai klarifikasi tersebut penting untuk meredam narasi liar yang berpotensi merusak kepercayaan pasar.

    “Negara harus menjaga dan membangun pasar yang sehat, mendorong pertumbuhan dunia usaha yang kuat, bukan malah masuk dan merusaknya,” pungkas Didik.

  • Didik J. Rachbini: Projo Jangan Menjadi Alap-alap dan Hama Demokrasi

    Didik J. Rachbini: Projo Jangan Menjadi Alap-alap dan Hama Demokrasi

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Ekonom Senior sekaligus Rektor Universitas Paramadina, Didik J. Rachbini, menyoroti masa pemerintahan Joko Widodo (Jokowi), di mana organisasi relawan seperti Projo disebutnya telah merusak demokrasi.

    “Di masa pemerintahan Jokowi, lembaga ekstra demokrasi dari organisasi relawan seperti Projo berfungsi mendistorsi demokrasi dan menjadikan sistem demokrasi keropos dan terdegradasi,” ujar Didik dalam keterangan tertulisnya, dikutip pada Selasa (19/8/2025).

    Ia pun mendorong agar Projo bertransformasi menjadi partai politik formal sebagai bentuk dukungan memajukan demokrasi dengan menjadikan dirinya sebagai partai, yang formal, legal, dan diakui oleh konstitusi.

    “Projo jangan menjadi alap-alap dan hama demokrasi yang hidup di bawah karpet dan terus menggerogoti demokrasi,” tegasnya.

    Ia berharap Pemerintahan Prabowo mutlak harus bebas dari organisasi ekstra konstitusional dan ekstra legal seperti ini. Pemerintahan Prabowo harus menutup pintu rapat-rapat terhadap organisasi relawan, yang ingin masuk sebagai penumpang yang tidak konstitusional dan mengembalikannya ke jalur yang legal konstitusional.

    Tak hanya relawan seperti Projo yang dianggap merusak demokrasi, Didik juga menyoroti ruang publik politik yang semakin dijejali oleh buzzer yang bekerja di luar sistem formal demokrasi.

    Menurutnya, jika ruang publik, yang bersifat fisik atau common property, dikonsumsi atau dipakai secara tidak terbatas, maka ruang publik tersebut akan rusak dan hancur.

    “Selama 10 tahun ini, teknologi AI ini secara sengaja dan sistematis dipakai oleh negara untuk kepentingan politik yang sempit untuk membungkam demokrasi melalui buzzer-buzzer dan relawan,” paparnya.

  • Megawati Desak Prabowo Singkirkan Buzzer, Prof Didik J Rachbini: Merusak Demokrasi

    Megawati Desak Prabowo Singkirkan Buzzer, Prof Didik J Rachbini: Merusak Demokrasi

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Demokrasi Indonesia menghadapi tantangan serius akibat rusaknya ruang publik politik yang semakin dijejali oleh buzzer dan relawan politik yang bekerja di luar sistem formal demokrasi.

    Rektor Universitas Paramadina, Prof. Dr. Didik J. Rachbini, menegaskan bahwa kerusakan demokrasi ini dapat dipahami melalui teori “Tragedy of the Commons”. Menurutnya, jika ruang publik, yang bersifat fisik atau common property, dikonsumsi atau dipakai secara tidak terbatas, maka ruang publik tersebut akan rusak dan hancur.

    Fenomena serupa kini terjadi pada ruang publik yang bersifat intangible, yaitu demokrasi dan arus informasi.

    “Arus informasi yang super cepat masuk ke dalam sistem politik dan demokrasi mengakibatkan sistem demokrasi mengalami kelelahan yang hebat dan kerusakan yang kritis. Fungsi check and balances menjadi rusak dan artificial karena aspirasi tidak lagi datang dari hati nurani, tetapi dibuat oleh mesin bot yang diciptakan gerombolan buzzer politik,” jelas Didik di Jakarta, Senin (18/8/2025).

    Kerusakan demokrasi ini, menurutnya, semakin parah selama satu dekade terakhir. “Selama 10 tahun ini, teknologi AI ini secara sengaja dan sistematis dipakai oleh negara untuk kepentingan politik yang sempit untuk membungkam demokrasi melalui buzzer-buzzer dan relawan,” tambahnya.

    Kondisi ini juga menjadi perhatian Presiden Kelima RI, Megawati Soekarnoputri, yang beberapa hari lalu menyampaikan pesan khusus kepada Presiden Prabowo Subianto. 

    “Saya sudah bilang melalui seseorang supaya Pak Prabowo membuang itu namanya buzzer-buzzer yang hanya membuat yang namanya perpecahan di antara kita sendiri, belum tentu faktanya aja,” demikian penegasan Megawati.

  • Megawati Desak Prabowo Singkirkan Buzzer, Prof Didik J Rachbini: Merusak Demokrasi

    Didik J. Rachbini Sebut Projo Bisa Jadi Hama Demokrasi, Prabowo Diberi Peringatan Keras

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Ekonom Senior Didik J. Rachbini, menyoroti relawan politik dalam demokrasi modern. Ia menyatakan, seharusnya relawan hanya berfungsi pelengkap mobilisasi dukungan saat kampanye, bukan dibuat permanen yang ikut mengelola pemerintahan.

    “Relawan sebagai bagian dari proses kampanye pemilihan umum adalah bagian pelengkap saja dan tidak terlalu penting di dalam demokrasi. Metode kampanye zaman modern sudah lebih beradab dengan teknologi, televisi, berbagai sarana iklan, dan media sosial,” kata Didik melalui keterangan tertulis, dilansir pada Senin (11/8/2025).

    Rektor Universitas Paramadina ini mencontohkan pemilu legislatif di Jepang yang dominan menggunakan kampanye lewat poster di tempat yang teratur dan terbatas.

    Menurut Didik, setelah proses pemilihan umum selesai dan presiden terpilih, unsur-unsur demokrasi formal harus bekerja sesuai konstitusi. Pemerintahan seharusnya berjalan dengan pilar eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang seimbang.

    “Jika ada kekuasaan lain yang menjadi bayang-bayang masuk ke dalam sistem ini dan ikut mengelola kekuasaan, maka sistem demokrasi rusak,” tuturnya.

    Ia menyoroti masa pemerintahan Jokowi, di mana organisasi relawan seperti Projo disebutnya telah mendistorsi demokrasi.

    Menurutnya, di masa pemerintahan Jokowi, lembaga ekstra demokrasi dari organisasi relawan seperti Projo berfungsi mendistorsi demokrasi dan menjadikan sistem demokrasi keropos dan terdegradasi.

    Ia lantas memperingatkan pemerintahan Prabowo Subianto agar tidak mengulang kesalahan yang sama.

  • Dihidupkan dan Dapat Jatah Kekuasaan, Ekonom Senior Ini Sebut Relawan sebagai Hama Politik

    Dihidupkan dan Dapat Jatah Kekuasaan, Ekonom Senior Ini Sebut Relawan sebagai Hama Politik

    Fajar.co.id, Jakarta – Ekonom Senior sekaligus Rektor Universitas Paramadina, Didik J. Rachbini, menegaskan bahwa relawan politik dalam demokrasi modern seharusnya hanya berfungsi sebagai instrumen mobilisasi dukungan saat kampanye, bukan entitas permanen yang ikut mengelola pemerintahan.

    “Relawan sebagai bagian dari proses kampanye pemilihan umum adalah bagian pelengkap saja dan tidak terlalu penting di dalam demokrasi. Metode kampanye zaman modern sudah lebih beradab dengan teknologi, televisi, berbagai sarana iklan, dan media sosial,” ujarnya.

    Ia mencontohkan pemilu legislatif di Jepang yang dominan menggunakan kampanye lewat poster di tempat yang teratur dan terbatas.

    Menurut Didik, setelah proses pemilihan umum selesai dan presiden terpilih, unsur-unsur demokrasi formal harus bekerja sesuai konstitusi. Pemerintahan seharusnya berjalan dengan pilar eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang seimbang.

    “Jika ada kekuasaan lain yang menjadi bayang-bayang masuk ke dalam sistem ini dan ikut mengelola kekuasaan, maka sistem demokrasi rusak,” tegasnya.

    Ia menyoroti masa pemerintahan Jokowi, di mana organisasi relawan seperti Projo disebutnya telah mendistorsi demokrasi.

    “Di masa pemerintahan Jokowi, lembaga ekstra demokrasi dari organisasi relawan seperti Projo berfungsi mendistorsi demokrasi dan menjadikan sistem demokrasi keropos dan terdegradasi,” ungkap Didik.

    Lebih lanjut, ia memperingatkan pemerintahan Prabowo Subianto agar tidak mengulang kesalahan yang sama. “Jika ini terjadi, maka pemerintahan Prabowo akan tertular dan terjangkiti hama demokrasi Projo. Karena itu, pemerintahan Prabowo sebaiknya tidak menerima tawaran Projo untuk bergabung ke dalam pemerintahan karena akan menjadi penyakit demokrasi,” katanya.

  • Prof. Didik J. Rachbini Soroti Abolisi Tom Lembong, Nama Jokowi Ikut Disebut

    Prof. Didik J. Rachbini Soroti Abolisi Tom Lembong, Nama Jokowi Ikut Disebut

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Dampak hukum yang lemah, tidak adil, dan mudah diintervensi terhadap perekonomian Indonesia menuai sorotan. Pandangan ini disampaikan Rektor Universitas Paramadina, Prof. Didik J. Rachbini, terkait kasus hukum yang menimpa mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong.

    “Saya sebagai ekonom ingin memberi kontribusi (semoga bermakna) terhadap praktek kriminalisasi hukum dan kasus Tom Lembong, bagaimana Pengaruh Hukum yang buruk terhadap Ekonomi Indonesia?” ujar Prof. Didik dalam keterangan resminya dikutip pada Senin (4/8/2025).

    Menurutnya, hukum yang lemah, tidak adil, tidak konsisten, atau mudah diintervensi kekuasaan serta dipolitisasi dapat memberikan dampak negatif serius terhadap perekonomian nasional. Hukum adalah faktor kepastian dan ketidakpastian di dalam ekonomi, khususnya investasi.

    Lebih lanjut Prof Ddik menjelaskan, kepastian hukum adalah syarat mutlak bagi dunia usaha. Negara dengan kepastian hukum yang labil dan buruk muka akan dihindari oleh investor.

    “Kalangan bisnis dan semua investor, baik domestik maupun asing, pasti sangat memerlukan kepastian hukum,” jelas Prof. Didik.

    Ia menegaskan bahwa jika sistem hukum tidak mampu menjamin kontrak, menyelesaikan sengketa secara adil, dan bebas dari intervensi politik, maka investor akan enggan menanamkan modal karena risiko kerugian bahkan kebangkrutan.

    Prof. Didik juga mengingatkan bahwa hukum yang buruk berimplikasi langsung pada peningkatan biaya transaksi. “Biaya transaksi adalah biang kerok atau bahkan setan buruk di dalam ekonomi dan dunia bisnis, yang sering muncul dari sistem hukum yang buruk,” tegasnya.