Tag: Dicky Budiman

  • Gejala COVID-19 Varian MB.1.1, Disebut Kemenkes Paling Dominan di RI Saat Ini

    Gejala COVID-19 Varian MB.1.1, Disebut Kemenkes Paling Dominan di RI Saat Ini

    Jakarta

    Kementerian Kesehatan RI baru-baru ini mengeluarkan surat edaran tentang kewaspadaan terhadap peningkatan kasus COVID-19. Tren kasus COVID-19 di Indonesia mengalami penurunan pada pekan ke-20 dengan varian virus dominan MB.1.1 yang masih berkerabat dengan varian Omicron.

    Surat edaran tertanggal 23 Mei 2025 tersebut ditujukan kepada sejumlah pihak, termasuk Dinas Kesehatan seluruh provinsi dan direktur Rumah Sakit seluruh Indonesia.

    Kemenkes mengatakan transmisi penularan COVID-19 saat ini masih relatif rendah, demikian juga dengan angka kematian. Di Indonesia, terjadi penurunan kasus konfirmasi mingguan dari 28 kasus pada minggu ke-19 menjadi 3 kasus pada minggu ke-20 dengan positivity rate 0,59 persen.

    “Varian dominan yang beredar adalah MB.1.1,” tulis Plt Direktur Jenderal Penanggulangan Penyakit, Murti Utami, dalam pengantar edaran tersebut.

    Epidemiolog Dicky Budiman juga ikut menyoroti situasi COVID-19 di Indonesia. Menurutnya, risiko penularan COVID-19 varian ini dapat dicegah dengan kembali menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat, termasuk menggunakan masker di tempat ramai atau ruang publik.

    Dicky mengatakan, penyebaran virus ini dapat dipantau melalui tes surveilans seperti tes COVID-19 pada umumnya. Meskipun menurutnya testing semacam ini belum begitu dibutuhkan, masyarakat sangat mungkin melakukan testing secara mandiri.

    Testing dapat dilakukan untuk memastikan diagnosis, mengingat gejala yang muncul pada varian COVID-19 yang beredar saat ini mirip dengan influenza.

    “Amat sangat sama dan tidak ada perubahan yang menonjol ya. Kecuali saat ini gejalanya tidak seperti dulu, misal anosmia yang mengganggu indera penciuman dan perasa sekarang aman jarang ada,” beber Dicky, saat dihubungi detikcom, Sabtu (31/5/2025).

    “Tapi gejalanya tidak separah itu. Gejala yang muncul seperti batuk, pilek, demam, nyeri saat menelan, nyeri kepala, apalagi kalau sudah beringus, punya sinus yang membuat nyeri kepala, jadi hampir mirip dengan flu lah ya,” lanjutnya.

    NEXT: Tergantung imunitas individual

    Dicky mengatakan gejala yang dialami mungkin akan berbeda pada tiap orang. Hal ini tergantung dari imunitas masing-masing. Gejala COVID-19 bisa cukup parah atau berlangsung lama jika imunitas pengidapnya sedang menurun.

    “Misalnya kalau flu mungkin biasanya tiga hari sudah mereda, ini bisa sampai lima hari. Jadi gejalanya jauh lebih panjang dari flu biasa,” tuturnya.

  • Varian Baru Dominasi Peningkatan COVID-19 di Asia, Waspadai Gejala Ini

    Varian Baru Dominasi Peningkatan COVID-19 di Asia, Waspadai Gejala Ini

    Jakarta

    Peningkatan kasus COVID-19 terjadi di Asia, didominasi varian baru yang berbeda di tiap negara. Berdasarkan laporan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI, varian yang dominan di Indonesia adalah MB.1.1 yang masih berkerabat dengan varian Omicron.

    Terkait kemunculan beberapa varian baru COVID-19, epidemiolog Dicky Budiman menyarankan untuk tidak panik. Menurutnya, risiko penularan cukup dicegah dengan kembali menerapkan hidup sehat dan menggunakan masker saat berada di tempat ramai.

    “Esensi penggunaan masker ini masih relevansi di kondisi saat ini, walaupun tentu tidak seperti waktu masa pandemi. Gunakan masker di tempat-tepat dengan kualitas udara yang buruk ataupun transportasi publik, karena tidak hanya bicara penyebaran COVID-19, tetapi juga infeksi saluran napas lainnya,” jelas Dicky saat dihubungi detikcom, Sabtu (31/5/2025).

    Gejala seperti apa yang perlu diwaspadai?

    Menurut Dicky, peningkatan kasus COVID-19 dapat dipantau dengan melakukan surveilans, seperti tes COVID-19. Namun secara individual, testing semacam ini belum terlalu dibutuhkan.

    Meski demikian, testing secara mandiri sangat dimungkinkan karena saat ini banyak tersedia di fasilitas kesehatan. Testing dapat dilakukan untuk memastikan diagnosis, mengingat gejala yang muncul pada subvarian COVID-19 yang beredar saat ini dengan influenza hampir mirip.

    “Amat sangat sama dan tidak ada perubahan yang menonjol ya. Kecuali saat ini gejalanya tidak seperti dulu, misal anosmia yang mengganggu indera penciuman dan perasa sekarang aman jarang ada,” beber Dicky.

    “Tapi gejalanya tidak separah itu. Gejala yang muncul seperti batuk, pilek, demam, nyeri saat menelan, nyeri kepala, apalagi kalau sudah beringus, punya sinus yang membuat nyeri kepala, jadi hampir mirip dengan flu lah ya,” lanjutnya.

    NEXT: Bervariasi tergantung imunitas

    Meski begitu, gejala yang muncul juga kadang-kadang bergantung pada imunitas seseorang. Dicky mengatakan gejala yang dialami karena COVID-19 bisa sedikit lebih lama, terlebih saat imunitasnya menurun.

    “Misalnya kalau flu mungkin biasanya tiga hari sudah mereda, ini bisa sampai lima hari. Jadi gejalanya jauh lebih panjang dari flu biasa,” tuturnya.

  • Kata Epidemiolog soal MB.1.1, Varian Baru COVID-19 yang Dominan di Indonesia

    Kata Epidemiolog soal MB.1.1, Varian Baru COVID-19 yang Dominan di Indonesia

    Jakarta

    Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI mengungkap beberapa varian COVID-19 yang terkait peningkatan kasus di Asia belakangan ini. Jika di Thailand dan Malaysia didominasi varian XEC, di Indonesia varian COVID-19 yang dominan adalah MB.1.1.

    “Dengan varian dominan yang beredar adalah MB.1.1,” tulis Plt Dirjen Penanggulangan Penyakit Kemenkes RI, Murti Utami, dalam edaran tentang kewaspadaan COVID-19 tertanggal 23 Mei 2025 tersebut.

    Epidemiolog Dicky Budiman mengatakan tidak perlu kaget dan panik dengan kemunculan beberapa subvarian dari COVID-19. Menurutnya, mutasi dan kemunculan varian baru adalah mekanisme alami karena virus harus bisa bertahan dengan lebih mudah menginfeksi manusia.

    “Karena kalau di luar tubuh manusia, dia (virus) tidak akan bertahan lama, tidak lebih dari setengah hari. Dengan dia bisa cepat menginfeksi, virus akan terus bertahan dan berkembang, termasuk subvarian yang saat ini cukup dominan di Asia, Asia Tenggara,” terangnya saat dihubungi detikcom, Sabtu (31/5/2025).

    Dicky menyebut saat ini ada beberapa varian yang dominan, seperti LF-7, NB.1.8, MB.1.1 hingga LP.8.1. Menurutnya, semuanya memiliki karakter yang serupa, yaitu efektif dalam menginfeksi.

    Namun begitu, gejala yang muncul juga semakin ringan atau bahkan tidak bergejala. Sebab, imunitas yang terbentuk dapat mengatasi keparahan dari varian tersebut.

    “Mayoritas manusia saat ini sudah memiliki kekebalan terhadap subvarian-subvarian SARS-CoV-2 ini. Tidak seperti sebelum-sebelumnya,” tutur Dicky.

    Meskipun sebagian besar sudah memiliki imunitas atau kekebalan terhadap COVID-19, Dicky mengingatkan masih ada kelompok-kelompok yang rentan. Misalnya seperti lansia, anak-anak, dan orang-orang dengan komorbid, seperti diabetes tak terkendali hingga autoimun.

    NEXT: Antisipasi penularan

    Lantas, Apa yang Harus Dilakukan?

    Oleh karena itu, Dicky menyarankan untuk tetap menerapkan 3M yakni memakai masker, mencuci tangan, dan menjauhi kerumunan bisa tidak ada keperluan yang mendesak.

    Terkait vaksinasi, Dicky masih belum melihat adanya urgensi pada kelompok-kelompok, kecuali yang sangat rawan, mungkin perlu mendapatkan booster. Tetapi, harus dipastikan vaksinnya sudah diperbarui untuk menghadapi subvarian baru.

    “Tapi, bukan berarti vaksin lama sama sekali tidak memiliki manfaat ya. Bisa saja dia (vaksin) tidak cukup selektif untuk menghadapi subvarian baru ini,” terang Dicky.

    “Tapi, secara umum tidak perlu khawatir,” pungkasnya.

    Simak Video “Video Varian Covid-19 yang Mendominasi Indonesia Saat Ini “
    [Gambas:Video 20detik]

  • Heboh RI Disebut Jadi ‘Kelinci Percobaan’ Vaksin TBC Baru, Pakar Bilang Gini

    Heboh RI Disebut Jadi ‘Kelinci Percobaan’ Vaksin TBC Baru, Pakar Bilang Gini

    Jakarta

    Belakangan ramai soal Indonesia menjadi lokasi uji fase klinis tiga vaksin tuberkulosis (TBC) besutan pendiri Microsoft, Bill Gates. Tak sedikit masyarakat yang mempertanyakan mengapa Indonesia yang dipilih menjadi lokasi uji klinis tersebut.

    Bahkan ada narasi yang menyebutkan Indonesia menjadi kelinci percobaan medis.

    “Indonesia adalah satu-satunya negara Asia yang mau dijadikan kelinci percobaan,” ucap salah satu pengguna X.

    “Nasib jadi warga Indonesia, jadi kelinci percobaan vaksin TBC, data biometrik dibeli dengan harga murah dll. The real bonus demografi sebagai aset untuk dijadikan budak dan kelinci percobaan. Good job,” sahut pengguna X lainnya.

    Pakar epidemiologi Dicky Budiman menanggapi kabar yang beredar tersebut. Ia mengatakan pengembangan vaksin TBC ini justru merupakan langkah penting.

    Hal ini dikarenakan TBC sampai saat ini masih menjadi salah satu penyakit menular paling mematikan di dunia. Setiap tahun, sekitar 10 juta orang terdiagnosis TBC, dan sekitar 1,5 juta di antaranya meninggal dunia.

    Saat ini, salah satu upaya utama untuk mencegah TBC selama ini adalah menggunakan vaksin Bacillus Calmette-Guérin (BCG). Menurut Dicky, vaksin BCG yang digunakan saat ini sudah berusia lebih dari satu abad. Efektivitasnya pun sangat bervariasi, terutama untuk orang dewasa. Sementara pada anak-anak, vaksin ini memang terbukti efektif mencegah kasus berat seperti meningitis TBC.

    “Nah yayasan Bill dan Melinda Gates ini mendanai penelitian vaksin TBC terbaru karena kebutuhan medisnya sangat mendesak,” ucapnya kepada detikcom, Kamis (8/7/2025).

    “Karena tadi TBC jadi ancaman kesehatan global utama. Dan bahkan WHO memperkirakan setidaknya kurang lebih 10 juta orang TBC pasien TBC setiap tahun. Kalau kematiannya tadi 1,5 juta setiap tahun. Besarkan berarti hampir 15 persen,” sambungnya.

    Di sisi lain, Dicky tidak menutup mata terhadap kekhawatiran publik. Nama Bill Gates kerap dikaitkan dengan teori konspirasi, mulai dari kontrol populasi hingga ‘agenda’ tersembunyi.

    Banyak masyarakat merasa tidak mendapatkan penjelasan yang cukup, sehingga muncul rasa curiga dan ketidakpercayaan.

    “Sehingga merasa bahwa uji klinis ini oleh sebagian masyarakat dilakukan tanpa persetujuan atau kejelasannya,” ucap Dicky.

    Padahal, jika dikelola dengan benar, pelibatan Indonesia dalam uji klinis vaksin bisa membawa manfaat besar. Misalnya, seperti mendapatkan akses ke vaksin yang lebih efektif jika uji coba berhasil, peningkatan kapasitas riset dan infrastruktur kesehatan, hingga dukungan dana hibah untuk negeri di tengah keterbatasan anggaran,

    Tak hanya itu, dampaknya juga akan signifikan dalam menekan beban ekonomi akibat TBC serta meningkatkan produktivitas masyarakat.

    “Ingat TBC ini bisa membuat orang jadi tidak produktif,” kata Dicky.

    Meski begitu, Dicky menegaskan uji coba vaksin bukan berarti tanpa risiko. Etika dan keamanan menjadi faktor utama yang harus dijaga.

    Begitu juga risiko kegagalan, efek samping, hingga kemungkinan peserta uji klinis mendapatkan stigma atau diskriminasi, semuanya harus diantisipasi sejak awal.

    Tanpa strategi komunikasi yang baik, uji coba ini bisa menjadi bumerang, memicu hoaks, menimbulkan ketakutan sosial, dan memperburuk kepercayaan terhadap vaksin secara umum.

    “Jadi sekali lagi saya sebagai ahli di bidang ini melihat pentingnya komunikasi risiko yang transparan yang diterapkan secara benar prinsip-prinsipnya dan melibatkan komunitas untuk memastikan keberhasilan uji coba,” sambungnya lagi.

    Senada, Guru Besar Bidang Ilmu Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Universitas Indonesia (UI) Prof Dr dr Erlina Burhan yang terlibat dalam penelitian vaksin TBC, juga mengatakan vaksin TBC ini telah melalui tahapan yang ketat dalam uji klinis, mulai dari fase satu hingga fase tiga.

    Seluruh proses ini dilakukan dengan ‘rambu-rambu’ ilmiah yang sangat ketat dan transparan, serta di bawah pengawasan global. Oleh karena itu, lanjut dr Erlina, anggapan partisipan menjadi ‘kelinci percobaan’ adalah keliru.

    “Dan ini kan proses ilmiah ya, betul-betul dengan rambu-rambu yang sangat-sangat saintifik, ya nggak mau lah kita sembarangan. Ini kan dipantau dunia ya, dan saya sih sebagai peneliti dan juga sebagai dosen, sangat-sangat bersyukur bahwa Indonesia dipercaya oleh global, bahwa periset-periset kita itu udah tingkat global gitu,” ucapnya dalam kesempatan berbeda.

    (suc/kna)

  • Mengapa Terjadi Keracunan MBG? Ahli Kesehatan Ungkap Kemungkinan Risiko yang Bisa Jadi Pemicu – Halaman all

    Mengapa Terjadi Keracunan MBG? Ahli Kesehatan Ungkap Kemungkinan Risiko yang Bisa Jadi Pemicu – Halaman all

    Laporan Wartawan Tribunnews.com, Aisyah Nursyamsi

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Ratusan pelajar di Tasikmalaya, Jawa Barat, keracunan makanan usai menyantap menu Makan Bergizi Gratis (MBG).

    Tercatat, ada sekitar 400 orang yang mengalami keracunan. 

    Terkait hal ini, Dokter, Ahli Keamanan Kesehatan Global sekaligus Anggota Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Dicky Budiman ungkap memang ada risiko penyakit yang muncul dalam proses ‘masak porsi besar’ ini. 

    Setidaknya, kata Dicky, ada beberapa risiko sakit yang bisa muncul. 

    Pertama, adanya kontaminasi secara biologis, kimia dan fisik. 

    ” Yang seperti ini (masak secara massal) sangat mungkin disebabkan oleh kontaminasi biologis, kimia atau fisik yang terjadi di sepanjang rantai pengolahan makanan. Misalnya dari penyimpanan bahan baku untuk membuat makanan, proses pengolahan, dan distribusi,” ungkapnya saat dihubungi Tribunnews, Senin (5/5/2025). 

    Selain itu, selama pengiriman dan penyajian juga berisiko adanya kontaminasi tadi. 

    MAKAN GRATIS BOMBANA – Kolase foto tangkapan video murid Sekolah Dasar Negeri atau SDN 33 Kasipute, Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara (Sultra), mengalami muntah-muntah diduga menyantap menu Makan Bergizi Gratis (MBG) di sekolahnya, pada Rabu (23/04/2025). (Kolase foto tangkapan video diterima TribunnewsSultra.com/Istimewa)

    Sehingga, harus diidentifikasi betul, penyediaan bahan baku hingga penyajiannya wajib dalam kondisi aman dan steril. 

    Kedua, selain kontaminasi fisik dan kimia, makanan dengan proses penyajian yang panjang juga berisiko tercemari oleh bakteri. 

    “Nah apa kalau dari bakteri atau racun biro mikrobiologis. (Misal) racun enterotoksin yang tahan panas. Bakteri ini biasanya sering muncul kalau makanan dibiarkan lama dalam suhu ruangan dan kemudian disentuh tangan yang tidak higienis,” paparnya. 

    Ada juga bacillus cereus, yang umumnya muncul pada makanan yang disimpan terlalu lama. Terutama pada nasi atau sayur yang sudah matang. 

    Ada juga salmonella, bakteri ini biasa ditemukan pada telur dan ayam yang tidak dimasak dengan sempurna.

    “Atau kalau makanan masak besar-besaran, kemudian disimpan dan dipanaskan ulang secara tidak tepat itu biasanya dikaitkan dengan bakteri clostridium difficile,” imbuhnya. 

    Bakteri clostridium difficile disebut menjadi penyebab munculnya penyakit ringan seperti diare sampai peradangan berbahaya di usus besar. 

    Ketiga, adanya kontaminasi zat kimia misalnya dari pestisida 

    “Misalnya ada sisa pestisida pada sayur mentah. Atau, ada (sisa) zat pembersih seperti deterjen yang tidak terbilas sempurna. Atau juga pada potensi kontaminasi logam berat dari peralatan masak yang berkarat,” imbuhnya. 

    Terakhir, busa juga akibat kontaminasi bahan pangan dengan serangga. 

    “Kontaminasi bisa serangga. Ini yang bisa juga memicu reaksi mual-mual,” lanjutnya. 

    Lebih lanjut, Dicky menambahkan jika risiko keracunan memang sangat rentan dalam pengolahan makanan secara besar-besaran. 

    “Iya seperti makan bergizi gratis ini. Tentu kalau volume besar biasanya pengawasan higienitasnya itu cenderung lemah. Apa lagi kalau dalam konteks Indonesia baru. Ini perlu pelatihan yang lama dan pembiasaan dari standar operasional (SOP) yang dibangun,” tutupnya.

  • Marak Kasus Dokter Lecehkan Pasien, Pakar: Alarm Serius, Pendidikan Kedokteran Harus Dibenahi – Halaman all

    Marak Kasus Dokter Lecehkan Pasien, Pakar: Alarm Serius, Pendidikan Kedokteran Harus Dibenahi – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Maraknya kasus pelecehan seksual yang melibatkan peserta PPDS maupun dokter spesialis obgyn merupakan alarm serius. Dokter dan Pakar Keamanan Kesehatan Global dr Dicky Budiman, Phd mengatakan kasus tersebut menunjukkan bahwa selain kecakapan klinis, dimensi etik dan sistem pengawasan pendidikan kedokteran perlu diperkuat.

    Selain itu kata Dicky adanya tes kesehatan mental juga dinilai penting, tapi sebagai permukaan lebih penting adalah perubahan budaya, sistem seleksi ketat, dan pengawasan etik berkelanjutan di rumah sakit pendidikan.

    “Semoga ini bisa menjadi kontribusi konstruktif dalam pembenahan sistem pendidikan kedokteran dan perlindungan pasien di Indonesia,” tutur Anggota Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tersebut kepada wartawan Selasa (15/4/2025).

    Dihubungi terpisah Direktur Pascasarjana Universitas YARSI Prof Tjandra Yoga Aditama menegaskan, kasus dokter yang menjadi pelaku pelecehan seksual harus diusut serius dan tuntas. Ia menyebut, kasus tersebut mencoreng nama baik profesi dokter di mata masyarakat.

    Saat terjadi pelecehan seksual oleh jenis pekerjaan tertentu atau apapun jenis profesi atau pekerjaan maka tentu tidak dapat digeneralisir bahwa yang ada dalam jenis pekerjaan dan profesi itu punya kecenderungan sexual yang buruk pula.

    “Kasus yang ada jelas harus ditangani amat serius, tapi upaya generalisasi juga jelas tidak tepat jadinya,” tutur dia.

    Bahkan menurut dia, secara umum pelecehan seksual dalam bentuk apapun merupakan perbuatan tercela, dan perlu mendapat ganjaran yang setimpal.

    “Dokter yang diduga melakukan perbuatan asusila maka jelas harus dihukum berat, secara hukum maupun secara profesi,” kata mantan direktur WHO Asia Tenggra ini.

    Pencabutan izin melakukan kegiatan profesi sebagai dokter merupakan salah satu bentuk hukuman profesi yang dilakukan, selain hukuman badan sesuai putusan pengadilan yang akan dijalaninya.

    Menyinggung dampak pada persepsi masyarakat, dia berharap masyarakat tidak memandang semua dokter di Indonesia melakukan hal serupa.

    “Kejadian pelecehan seksuall selama ini sudah terjadi di berbagai jenis dan kelompok masyarakat, baik di negara kita maupun juga di berbagai negara lain. Pengendaliannya  harus dilakukan dengan upaya pembinaan mental anak bangsa di semua lini,” kata Prof Tjandra.

    Kasus pelecehan seksual yang dilakukan dokter belakangan marak terjadi. Awalnya ada kasus rudapaksa yang dilakukan oleh dokter residen peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesiologi Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Padjadjaran (Unpad), Priguna Anugerah Pratama (31), hingga kini masih ramai diperbincangkan publik.

    Kasus rudapaksa oleh Dokter Residen Priguna ini pun masih diproses oleh pihak kepolisian dan masih dalam tahap penyidikan.

    Namun, kala kasus rudapaksa dokter Priguna ini belum usai, sudah muncul lagi kasus dugaan pelecehan seksual yang juga dilakukan oleh seorang dokter.

    Kali ini pelakunya adalah seorang dokter spesialis obgyn di sebuah klinik di Garut, Jawa Barat.

    Kasus pelecehan yang dilakukan dokter kandungan ini muncul ke publik imbas viralnya sebuah video yang memperlihatkan seorang dokter yang diduga tengah melakukan pelecehan kepada pasiennya yang sedang menjalani Ultrasonografi (USG). Peristiwa pelecehan ini terjadi pada 20 Juni 2024 lalu.

  • Hari Penyakit Chagas Sedunia, Ketahui Apa Saja Bahaya dan Cara Penularannya – Halaman all

    Hari Penyakit Chagas Sedunia, Ketahui Apa Saja Bahaya dan Cara Penularannya – Halaman all

    Laporan Wartawan Tribunnews.com, Aisyah Nursyamsi

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Setiap 14 April diperingati Hari Penyakit Chagas Sedunia untuk meningkatkan kesadaran global terhadap penyakit Chagas.

    Penyakit infeksi menular ini diketahui disebabkan oleh parasit Trypanosoma cruzi. 

    Peringatan ini penting karena penyakit ini bisa menyebabkan komplikasi jantung. 

    Menurut Epidemiolog dan PhD Global Health Security, Dr. Dicky Budiman, penyakit Chagas ditularkan oleh serangga yang dikenal sebagai kissing bug atau Triatoma.

    “Penularan terjadi ketika serangga menggigit dan meninggalkan kotorannya di kulit, lalu tanpa sadar seseorang menggaruknya dan parasit masuk ke dalam tubuh,” ungkap Dicky dalam keterangan resmi yang diterima Tribunnews, Senin (14/5/2025). 

    Sayangnya, penyakit ini masuk dalam kategori neglected tropical diseases (NTDs) atau penyakit tropis terabaikan.

    Hal ini dikarenakan Chagas sering luput dari perhatian. Padahal penyakit ini berdampak besar di banyak negara berkembang, terutama di Amerika Latin.

    Menurut Dicky, Chagas bisa menyebabkan dua fase penyakit. 

    Pertama, fase akut. Biasanya muncul 1-2 minggu setelah infeksi. Tapi gejala yang ditimbulkan ringan seperti demam, kelelahan, dan pembengkakan di area gigitan. 

    Saking ringannya, Chagas sering kali tidak terdeteksi.

    Kedua, fase kronis. Pada tahap ini, Chagas  sangat berbahaya.

    “Sekitar 30 persen penderita akan mengalami komplikasi serius dalam jangka panjang, terutama pada jantung dan sistem pencernaan,” jelasnya. 

    Pada fase kronis, parasit dapat menyerang otot jantung dan menyebabkan kardiomiopati, yang ditandai dengan:

    – Jantung membesar,

    – Gangguan konduksi listrik jantung (aritmia),

    – Gagal jantung,

    – Risiko kematian mendadak.

    Inilah sebabnya, Chagas disebut juga sebagai silent killer. Karena dapat tidak terdeteksi bertahun-tahun sampai akhirnya menyebabkan gangguan jantung berat.

    Kondisi ini bisa menyebabkan terjadinya gagal jantung, gangguan irama jantung dan pelebaran esofagus atau usus besar. 

    Banyak pasien bahkan tidak sadar terinfeksi selama bertahun-tahun sampai muncul gejala kronis yang parah.

    Apa Chagas terjadi juga di Indonesia?

    Hingga saat ini, belum ditemukan kasus penularan lokal Chagas di Indonesia.

    Ini karena vektor utama penyakit ini, yaitu serangga Triatominae, dan tidak hidup di wilayah Asia Tenggara. 

    Vektor penyakit adalah organisme hidup yang menularkan penyakit ke manusia atau hewan lain

    Meski begitu, dalam era globalisasi dan migrasi manusia lintas negara, risiko penyakit ini tetap perlu diwaspadai. 

    Terutama untuk deteksi kasus infeksi yang terbawa oleh orang yang pernah tinggal di daerah endemis. 

    Oleh karena itu upaya pencegahan sudah seharusnya dilakukan di antaranya:

    Pertama, pengendalian serangga vektor* melalui perbaikan rumah. Serangga ini senang bersembunyi di celah dinding atau atap jerami. 

    Kedua, penyemprotan insektisida di area endemis. 

    Ketiga, skrining darah dan organ donor, agar tidak terjadi penularan lewat transfusi atau transplantasi.

    Keempat, edukasi masyarakat tentang pentingnya kebersihan lingkungan dan identifikasi gejala dini.

    “Untuk negara non-endemis seperti Indonesia, penting juga melakukan skrining pada pelaku perjalanan atau migran dari daerah Amerika Latin,” tutup Dicky.
     

  • Pakar Ungkap Manfaat Indonesia Ikut Pandemic Treaty – Halaman all

    Pakar Ungkap Manfaat Indonesia Ikut Pandemic Treaty – Halaman all

    Laporan wartawan Tribunnews.com, Rina Ayu

    TRIBUNNEWS.COM,JAKARTA — Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah memperingatkan tentang pandemi baru yang tak terelakkan yang akan melanda dunia di masa mendatang.

    Direktur Jenderal WHO Dr. Tedros Adhanom Ghebreyesus menekankan bahwa pandemi pasti akan terjadi dan membutuhkan kesiapan penuh.

    Tedros menyoroti konsekuensi yang menghancurkan dari penyebaran global Covid-19.

    Menurut data resmi, ia mencatat, tujuh juta orang meninggal akibat pandemi virus corona, tetapi jumlah kematian aktual diperkirakan sekitar 20 juta.

    “Selain korban manusia, pandemi ini merugikan ekonomi global lebih dari $10 triliun,” imbuhnya.

    Merujuk data terbaru WHO hingga 23 Maret 2025, jumlah total kasus COVID-19 yang dikonfirmasi di seluruh dunia mencapai 777.684.506, dengan 7.092.720 kematian yang dilaporkan.

    Angka resmi ini hanya mewakili sebagian dari dampak sebenarnya dari pandemi, karena WHO memperkirakan jumlah kematian sebenarnya mungkin jauh lebih tinggi.

    Menyikapi kondisi ini, epidemiolog dari Universitas Griffith Australia Dr. Dicky Budiman menyebut, diperlukan pandemic treaty atau perjanjian pandemi yang disepakati oleh anggota WHO.

    Kesepakatan ini bertujuan utama untuk menciptakan sistem kesehatan global yang adil dan siap dalam menghadapi pandemi masa depan.

    “Belajar dari pandemi Covid-19 lalu, banyak negara tidak siap, mengalami krisis sistem kesehatan serta ketimpangan akses terhadap vaksin serta alat kesehatan,” kata Dicky.

    Diketahui sejak tahun 2021, WHO bersama negara anggota sudah menginisiasi pembentukan Pandemic Treaty.

    Pandemic Treaty berfokus pada tiga aspek utama: pencegahan (prevention), kesiapsiagaan (preparation), dan respons (response).

    Banyak manfaat yang strategis yang bisa didapat Indonesia dengan adanya perjanjian ini. 

    Misalkan dapat akses lebih banyak terhadap teknologi dan vaksin, dukungan finansial hingga kepastian hukum terkait data dan patogen maupun kapasitas tenaga kesehatan dan laboratorium.

    “Untuk  masyarakat manfaatnya perlindungan lebih dini dari wabah, akses cepat untum vaksin dan obat-obatan, serta penguatan pelayanan kesehatan di desa atau kota,” ungkap dia.

  • Risiko Kesehatan yang Mengancam Korban Terdampak Banjir di Jabodetabek

    Risiko Kesehatan yang Mengancam Korban Terdampak Banjir di Jabodetabek

    Jakarta – Pakar epidemiologi dari Universitas Griffith Australia Dicky Budiman mengingatkan bahwa banjir tidak hanya berdampak pada lingkungan, tetapi juga bisa menimbulkan berbagai masalah kesehatan yang sering kali tak disadari atau diabaikan.

    Menurutnya, banjir dapat meningkatkan risiko wabah penyakit dalam jangka panjang, bukan hanya saat terjadi, tetapi juga setelah air surut. Genangan air dan lumpur yang tertinggal dapat menjadi tempat berkembang biaknya bakteri, virus, dan parasit.

    Terlebih air tanah yang terkontaminasi tinja atau bahan kimia berbahaya dari limbah industri, seperti logam berat dari limbah industri, termasuk merkuri, timbal, dan arsenik, yang dapat berdampak buruk bagi kesehatan.

    “Bisa menyebabkan gangguan serius, saraf, kanker atau bahan kimia rumah tangga, pesticida, detergen, oli misalnya yang bisa mencemari air tanah dan juga menyebabkan iritasi kulit hingga gangguan pencernaan,” katanya kepada detikcom, Rabu (5/3/2025).

    “Nah selain itu juga kalau daerah itu misalnya rumah sakit kebanjiran, terus puskesmas, ini ada limbah medis yang bisa membawa patogen berbahaya termasuk beberapa virus, termasuk virus hepatitis,” lanjutnya.

    Potensi peningkatan populasi tikus dan nyamuk beberapa minggu setelah banjir, lanjut Dicky, juga meningkatkan risiko penyakit.

    “Padahal fase pemulihan, fase pasca banjir ini justru lebih berbahaya bagi kesehatan kalau tidak ditangani baik,” lanjutnya lagi.

    Selain penyakit menular, banjir juga bisa memicu penyakit tidak menular, misalnya stres, kelelahan fisik, dan kurang tidur selama evakuasi atau di pengungsian.

    Tak hanya itu, Dicky menegaskan bahwa makanan dan air minum yang terpapar air banjir juga berisiko terkontaminasi, sehingga perlu dihindari.

    Di pengungsian, kepadatan juga bisa mempercepat penyebaran penyakit seperti COVID-19, influenza, dan TBC. Oleh karena itu, ia mengingatkan bahwa penanganan banjir tidak hanya soal evakuasi, tetapi juga mitigasi penyakit, pencemaran lingkungan, dan kesehatan mental.

    “Nah ini yang harus dipastikan tidak boleh terlalu padat, harus sirkulasinya juga baik, ventilasinya juga. Termasuk di pengungsian bisa terjadi kurang akses ke toilet yang bersih, ini yang bisa juga menimbulkan masalah kesehatan, selain masalah perburukan daya tahan tubuh di kondisi saat di pengungsian,” katanya.

    “Kemudian penangan banjir itu tidak hanya soal evakuasi, tapi juga mitigasi penyakit, pencemaran lingkungan, dan kesehatan mental,” sambungnya.

    (suc/kna)

  • HMPV Belum Ada Vaksin, Pakar Sarankan Vaksin Influenza sebagai Alternatif Pencegahan

    HMPV Belum Ada Vaksin, Pakar Sarankan Vaksin Influenza sebagai Alternatif Pencegahan

    Jakarta, Beritasatu.com – Human metapneumovirus (HMPV) yang telah menyebabkan peningkatan kasus infeksi saluran pernapasan di beberapa negara hingga kini belum memiliki vaksin khusus. Meski demikian, pakar kesehatan menyarankan vaksin influenza (flu) sebagai langkah pencegahan tambahan untuk memperkuat sistem kekebalan tubuh.

    “Vaksin influenza menjadi proteksi yang efektif terhadap berbagai penyakit virus saluran napas. Meskipun tidak spesifik untuk HMPV, vaksin flu dapat memberikan perlindungan tambahan,” ujar Epidemiolog Griffith University Australia Dicky Budiman, Senin (13/1/2025).

    Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan vaksinasi flu, terutama untuk individu dengan mobilitas tinggi dan kelompok rentan seperti balita, lansia, serta individu dengan gangguan imun. WHO menganjurkan vaksin flu trivalent, yang melindungi terhadap tiga strain utama virus influenza.

    “Vaksin influenza trivalent cukup efektif melawan tiga strain utama virus. Meski varian B dari influenza jarang terdeteksi sejak 2020, vaksin ini tetap memberikan proteksi yang baik,” tambah Dicky.

    Di Indonesia, vaksin flu trivalent kini diproduksi secara lokal, memudahkan masyarakat untuk mendapatkan akses. “Kita tidak perlu mencari vaksin flu dari luar negeri. Biofarma lokal sudah memproduksi vaksin flu trivalent, dan saya sendiri merasakan manfaatnya,” ungkap Dicky terkait kasus HMPV.

    Vaksinasi flu memiliki manfaat besar, terutama bagi kelompok rentan. Orang yang telah divaksinasi cenderung mengalami gejala lebih ringan dan masa pemulihan lebih cepat jika terinfeksi virus pernapasan, termasuk influenza.

    Menurut data WHO, meski kasus HMPV meningkat di beberapa negara seperti China, angka kejadian masih lebih rendah dibandingkan dengan Influenza A.

    Masyarakat diminta tidak perlu panik terkait HMPV, tetapi disarankan untuk tetap menjaga kesehatan dan mematuhi protokol kesehatan. Vaksin flu dapat menjadi langkah pencegahan tambahan untuk melindungi diri dari infeksi saluran pernapasan.