Tag: Dicky Budiman

  • Epidemiolog Wanti-wanti Risiko Polio Muncul Lagi Pasca Bencana Aceh hingga Sumut

    Epidemiolog Wanti-wanti Risiko Polio Muncul Lagi Pasca Bencana Aceh hingga Sumut

    Jakarta

    Ahli epidemiologi dari Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman, mengingatkan wilayah terdampak banjir dan longsor di Aceh serta Sumatera Utara perlu berada dalam kondisi siaga terhadap kemungkinan munculnya kembali kasus polio. Meski Indonesia telah menerima sertifikat bebas polio pada 2014, risiko kemunculan kembali penyakit lumpuh layu itu tidak pernah benar-benar hilang, seperti yang dilaporkan pada Juni 2024.

    Menurut Dicky, deklarasi bebas polio berarti tidak ada virus polio yang sedang beredar secara aktif di masyarakat, baik virus polio liar (WPV) maupun vaccine-derived poliovirus (VDPV). Namun, kondisi tersebut tidak menghapus potensi reemergensi, terutama di daerah dengan sanitasi buruk dan cakupan imunisasi rendah.

    “Risiko kembali munculnya kasus tetap ada. Wilayah dengan sanitasi rendah dan imunisasi buruk seperti Aceh, termasuk Pidie Jaya, secara epidemiologis berada dalam status kewaspadaan,” bebernya saat dihubungi detikcom Senin (1/12/2025).

    Bencana Perparah Risiko

    Dicky menegaskan bencana banjir dan longsor menciptakan lingkungan yang ideal bagi transmisi virus polio. Mekanisme penularan polio yang melalui feses (tinja) membuat penyakit ini sangat sensitif terhadap kerusakan infrastruktur sanitasi.

    “Pasca bencana, jamban rusak, akses air bersih terbatas, dan kontaminasi air meningkat. Kondisi seperti ini membuka jalur fecal oral transmission, bahkan dari kasus polio asimptomatik yang tanpa gejala,” kata Dicky.

    Ia mencontohkan beberapa negara yang pernah mengalami lonjakan polio setelah banjir besar, seperti Nigeria, Pakistan, dan Yaman, ketika virus yang semula tak terdeteksi kembali menyebar cepat akibat penurunan kualitas sanitasi.

    Selain faktor lingkungan, bencana juga menyebabkan terganggunya layanan kesehatan dasar. Di beberapa wilayah Aceh dan Sumut, pelayanan puskesmas terhenti sementara karena fasilitas terdampak atau akses jalan terputus. Kondisi ini membuat imunisasi rutin, termasuk imunisasi polio, menurun drastis.

    “Ketika layanan vaksinasi berhenti dan imunisasi anak tertunda, terbentuklah immunity gap di kelompok bayi dan anak kecil. Mereka menjadi kelompok paling rentan ketika virus polio kembali beredar,” jelasnya.

    Dicky menekankan pentingnya langkah cepat pemerintah daerah dan pusat, termasuk penilaian risiko epidemiologis, pendirian posko imunisasi kejar, serta pemulihan sanitasi dasar di lokasi pengungsian. Edukasi mengenai kebersihan tangan dan penggunaan fasilitas sanitasi aman juga harus diperkuat.

    “Bencana harus direspons bukan hanya dengan bantuan logistik, tetapi juga kesiapsiagaan penyakit menular, termasuk polio. Kita tidak boleh mengulang pengalaman negara lain yang kecolongan setelah bencana,” tegasnya.

    Halaman 2 dari 2

    (naf/kna)

  • Fakta-fakta ‘Flu Babi’ H1pdm09, Tewaskan 5 Anak di Riau

    Fakta-fakta ‘Flu Babi’ H1pdm09, Tewaskan 5 Anak di Riau

    Jakarta

    Kementerian Kesehatan RI melaporkan lima anak meninggal dunia akibat infeksi Influenza A/H1pdm09, yang sebelumnya dikenal sebagai flu babi, serta Haemophilus influenzae. Kasus tersebut terjadi di Dusun Datai, Kecamatan Batang Gansal, Kabupaten Indragiri Hulu, Riau.

    Hasil penyelidikan epidemiologi menunjukkan minimnya fasilitas kesehatan dasar di wilayah tersebut. Dusun Datai tidak memiliki MCK, tidak ada tempat pembuangan sampah, ventilasi rumah buruk, dan aktivitas memasak dengan kayu bakar dilakukan di ruangan yang sama dengan tempat tidur. Kondisi ini meningkatkan risiko penularan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA), terutama pada anak-anak.

    Selain masalah lingkungan, ditemukan pula banyak warga dengan gizi kurang dan cakupan imunisasi dasar yang rendah.

    Hasil laboratorium menunjukkan adanya kombinasi infeksi Influenza A/H1pdm09, pertusis, adenovirus, dan bocavirus. Temuan ini memperkuat analisis bahwa status gizi dan rendahnya kekebalan tubuh membuat warga rentan terhadap penyakit.

    Direktur Surveilans dan Karantina Kesehatan Kementerian Kesehatan, Sumarjaya, menyampaikan bahwa kondisi lingkungan di Dusun Datai menjadi penyebab penyakit mudah menyebar.

    “Kami menemukan rumah padat, ventilasi minim, nyamuk banyak, dan warga hidup dalam paparan asap kayu bakar setiap hari. Situasi seperti ini membuat penyakit pernapasan lebih mudah menular, terutama pada balita,” ujarnya.

    Ia menegaskan bahwa krisis ISPA ini bukan sekadar persoalan medis, tetapi terkait erat dengan sanitasi, perilaku hidup, dan akses layanan kesehatan.

    “Jika kondisi sanitasi, gizi, dan kebiasaan sehari-hari tidak diperbaiki, penularan akan terus berulang,” kata Sumarjaya.

    Wanti-wanti Kemenkes RI

    Untuk merespons kondisi tersebut, Kemenkes bersama pemerintah daerah melakukan pengobatan massal, memperkuat intervensi gizi, dan memberikan perhatian khusus kepada balita dan ibu hamil melalui pemberian makanan tambahan (PMT), vitamin, dan pemantauan kesehatan. Edukasi terkait etika batuk, penggunaan masker, dan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) juga diperluas.

    Tim kesehatan juga melakukan pengambilan sampel tambahan untuk memastikan tidak ada patogen lain yang beredar, mengingat variasi gejala dan temuan multipatogen sebelumnya.

    Sebagai langkah jangka panjang, Kemenkes bersama pemerintah daerah mulai menyusun perbaikan lingkungan, termasuk pembuatan tempat pembuangan sampah, kerja bakti pembersihan area rawan nyamuk, hingga pemisahan area memasak dan area tidur di rumah warga. Media KIE untuk sekolah terpencil juga disiapkan untuk edukasi berkelanjutan.

    Apa Itu ‘Flu Babi’?

    Dikutip dari Cleveland Clinic, flu babi atau swine flu (H1N1) adalah infeksi yang disebabkan oleh salah satu jenis virus influenza. Disebut ‘flu babi’ atau swine flu karena virus ini mirip dengan virus flu yang menginfeksi babi. Pada babi, virus ini menyebabkan penyakit pernapasan yang menyerang paru-paru. Flu babi (H1N1) pada manusia juga merupakan infeksi saluran pernapasan.

    Pada April 2009, para peneliti menemukan strain baru virus H1N1. Virus ini pertama kali terdeteksi di Amerika Serikat. Dalam waktu singkat, virus tersebut menyebar dengan cepat ke seluruh AS dan ke berbagai negara di dunia karena merupakan tipe virus flu yang benar-benar baru.

    Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) setelah menghadapi tekanan dari para produsen industri daging dan sejumlah pemerintah yang khawatir, pada hari Kamis (30/4/2009) menyatakan bahwa mereka akan menyebut strain virus baru yang mematikan itu sebagai influenza A (H1N1), bukan swine flu.

    “Mulai hari ini, WHO akan menyebut virus influenza baru ini sebagai ‘influenza A (H1N1)’,” tulis WHO di situs resminya, dikutip berita Reuters 2009.

    Dikutip dari WHO, sebelum pandemi H1N1 pada tahun 2009, virus influenza A (H1N1) ini belum pernah diidentifikasi sebagai penyebab infeksi pada manusia. Analisis genetik menunjukkan virus tersebut berasal dari virus influenza hewan dan tidak berkaitan dengan virus influenza musiman H1N1 yang sudah beredar di masyarakat sejak tahun 1977.

    Setelah laporan awal mengenai wabah influenza di Amerika Utara pada April 2009, virus influenza baru ini menyebar dengan sangat cepat ke seluruh dunia. Ketika WHO menetapkan status pandemi pada Juni 2009, sebanyak 74 negara dan wilayah telah melaporkan infeksi yang terkonfirmasi melalui laboratorium.

    Berbeda dari pola flu musiman pada umumnya, virus baru ini menyebabkan lonjakan kasus yang tinggi selama musim panas di belahan Bumi utara, dan bahkan lebih tinggi lagi saat memasuki cuaca yang lebih dingin. Virus tersebut juga menimbulkan pola kesakitan dan kematian yang tidak biasa untuk infeksi influenza.

    WHO kemudian menyatakan pandemi telah berakhir pada Agustus 2010. Namun, H1N1 tetap dapat menginfeksi dan menulari orang. Saat ini H1N1 menjadi salah satu virus flu musiman yang masih dapat menyebabkan penyakit, rawat inap, bahkan kematian.

    Senada, Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara, Prof Tjandra Yoga Aditama, menjelaskan H1N1pdm09 adalah virus penyebab pandemi 2009 dan menjadi pandemi pertama yang dinyatakan WHO setelah pemberlakuan International Health Regulations (IHR) 2005.

    “Awalnya disebut swine flu atau flu babi, tetapi kemudian diketahui penularannya tidak terbatas, sehingga istilah flu babi sebaiknya tidak digunakan lagi,” beber Prof Tjandra kepada detikcom Selasa (26/11/2025).

    Ia menambahkan, sebagian besar virus H1N1 yang beredar saat ini merupakan H1N1pdm09 dan sudah tergolong influenza musiman. Selain itu, virus H3N2 juga tengah memicu peningkatan kasus flu di berbagai negara.

    Mengapa ‘ Flu Babi’ Bisa Picu Kematian?

    Dihubungi terpisah, Epidemiolog Griffith University, Dicky Budiman, menjelaskan virus tersebut kini telah berubah menjadi bagian dari influenza musiman dan terus bersirkulasi secara global. Aktivitas influenza, kata Dicky, berubah-ubah setiap musim sehingga Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) secara rutin memantau pergerakannya dan menentukan komposisi vaksin flu tahunan. H1N1 sendiri sering masuk dalam komposisi vaksin.

    Adapun infeksi ini dapat berujung fatal karena dipengaruhi oleh faktor host, yaitu kondisi tubuh anak. Menurut Dicky, anak kecil memiliki sistem imun yang masih berkembang. Bila disertai malnutrisi atau imunisasi yang tidak lengkap, kerentanan mereka terhadap infeksi berat akan semakin meningkat.

    Faktor lingkungan juga berperan besar, seperti paparan asap kayu bakar, ventilasi rumah yang buruk, kepadatan hunian, hingga sanitasi yang tidak memadai.

    “Ini kalau di epidemiologi itu ya faktor host, faktor agentnya, faktor lingkungan. Dan terutama ada koinfeksi bakteri atau virus yang meningkatkan risiko pneumonia berat dan kematian,” ucapnya saat dihubungi detikcom, Rabu (26/11/2025).

    “Nah ini yang laporan lapangan kan menunjukkan kombinasi faktor risiko ini. Selain itu pada anak kecil cadangan fisiologisnya rendah sehingga cepat sekali dekompensasi,” lanjutnya.

    Sementara itu, Dicky juga menjelaskan gejala yang perlu diwaspadai pada kasus influenza meliputi demam mendadak, batuk, sakit tenggorokan, nyeri otot, dan rasa lemas.

    Pada anak-anak, gejala tambahan seperti mual dan muntah dapat muncul. Pada bayi dan balita, tanda-tandanya kadang tidak khas, tetapi dapat terlihat dari menurunnya nafsu makan, menjadi lebih rewel, atau munculnya gejala sesak napas.

    “Dan komplikasi yang menyebabkan kematian pada anak biasanya adalah Pneumonia Virus Primer atau Super Infeksi Bakteri, misalnya Streptococcus Pneumonia ataupun Haemophilus Influenza yang Non-typeable (NTHi),” tuturnya.

    Halaman 2 dari 4

    (suc/up)

  • Tewaskan 5 Anak di Riau, Mengapa ‘Flu Babi’ Bisa Mematikan?

    Tewaskan 5 Anak di Riau, Mengapa ‘Flu Babi’ Bisa Mematikan?

    Jakarta

    Kementerian Kesehatan RI melaporkan lima anak di Dusun Datai, Kecamatan Batang Gansal, Kabupaten Indragiri Hulu, Riau, meninggal dunia akibat terinfeksi Influenza A/H1pdm09 dan Haemophilus influenzae. Influenza A/H1pdm09, yang sebelumnya dikenal sebagai flu babi, pernah menjadi wabah di berbagai negara pada tahun 2009 dan sejak itu menjadi bagian dari influenza musiman.

    Hasil penyelidikan epidemiologi menunjukkan bahwa wilayah tersebut memiliki fasilitas kesehatan dasar yang sangat minim. Dusun Datai tidak memiliki MCK, tidak ada tempat pembuangan sampah, ventilasi rumah buruk, dan aktivitas memasak dengan kayu bakar dilakukan di ruangan yang sama dengan tempat tidur. Kondisi ini meningkatkan risiko penularan ISPA, terutama pada anak-anak.

    Selain faktor lingkungan, petugas juga menemukan banyak warga dengan gizi kurang serta cakupan imunisasi dasar yang rendah. Pemeriksaan laboratorium mengungkap adanya kombinasi infeksi Influenza A/H1pdm09, pertusis, adenovirus, dan bocavirus. Temuan ini memperkuat analisis bahwa status gizi dan kekebalan tubuh yang rendah membuat anak-anak di dusun tersebut lebih rentan mengalami penyakit berat hingga komplikasi.

    “Kami menemukan rumah padat, ventilasi minim, nyamuk banyak, dan warga hidup dalam paparan asap kayu bakar setiap hari. Situasi seperti ini membuat penyakit pernapasan lebih mudah menular, terutama pada balita,” ujar Direktur Surveilans dan Karantina Kesehatan Kementerian Kesehatan, Sumarjaya.

    Mengapa ‘Flu Babi’ Bisa Picu Kematian?

    Epidemiolog Griffith University, Dicky Budiman, menjelaskan Influenza A/H1N1pdm09 merupakan subtipe virus influenza A yang pertama kali muncul sebagai virus baru dan menyebabkan pandemi pada 2009.

    Kini, virus tersebut telah berubah menjadi bagian dari influenza musiman dan terus bersirkulasi secara global. Aktivitas influenza, kata Dicky, berubah-ubah setiap musim sehingga Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) secara rutin memantau pergerakannya dan menentukan komposisi vaksin flu tahunan. H1N1 sendiri sering masuk dalam komposisi vaksin.

    Adapun infeksi ini dapat berujung fatal karena dipengaruhi oleh faktor host, yaitu kondisi tubuh anak. Menurut Dicky, anak kecil memiliki sistem imun yang masih berkembang. Bila disertai malnutrisi atau imunisasi yang tidak lengkap, kerentanan mereka terhadap infeksi berat akan semakin meningkat.

    Faktor lingkungan juga berperan besar, seperti paparan asap kayu bakar, ventilasi rumah yang buruk, kepadatan hunian, hingga sanitasi yang tidak memadai.

    “Ini kalau di epidemiologi itu ya faktor host, faktor agentnya, faktor lingkungan. Dan terutama ada koinfeksi bakteri atau virus yang meningkatkan risiko pneumonia berat dan kematian,” ucapnya saat dihubungi detikcom, Rabu (26/11/2025).

    “Nah ini yang laporan lapangan kan menunjukkan kombinasi faktor risiko ini. Selain itu pada anak kecil cadangan fisiologisnya rendah sehingga cepat sekali dekompensasi,” lanjutnya.

    Sementara itu, Dicky juga menjelaskan gejala yang perlu diwaspadai pada kasus influenza meliputi demam mendadak, batuk, sakit tenggorokan, nyeri otot, dan rasa lemas.

    Pada anak-anak, gejala tambahan seperti mual dan muntah dapat muncul. Pada bayi dan balita, tanda-tandanya kadang tidak khas, tetapi dapat terlihat dari menurunnya nafsu makan, menjadi lebih rewel, atau munculnya gejala sesak napas.

    “Dan komplikasi yang menyebabkan kematian pada anak biasanya adalah Pneumonia Virus Primer atau Super Infeksi Bakteri, misalnya Streptococcus Pneumonia ataupun Haemophilus Influenza yang Non-typeable (NTHi),” tuturnya.

    Halaman 2 dari 3

    (suc/up)

  • 5 Anak di Riau Meninggal Akibat ‘Flu Babi’, Ini Kata Epidemiolog soal Gejalanya

    5 Anak di Riau Meninggal Akibat ‘Flu Babi’, Ini Kata Epidemiolog soal Gejalanya

    Jakarta

    Kementerian Kesehatan RI baru-baru ini melaporkan lonjakan kasus infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) di Dusun Datai, Kecamatan Batang Gansal, Kabupaten Indragiri Hulu, Riau.

    Hingga 23 November 2025, tercatat 224 warga mengalami gangguan pernapasan. Saat ini seluruh warga tersebut kondisinya sudah membaik. Namun demikian terdapat lima kasus kematian pada anak.

    Hasil laboratorium menunjukan kelima anak tersebut positif terjangkit Influenza A/H1pdm09 dan Haemophilus influenzae. Influenza A/H1pdm09, atau yang sebelumnya dikenal juga dengan sebutan ‘flu babi’, yang pernah menjadi wabah di beberapa negara pada tahun 2009.

    Epidemiolog Griffith University, Dicky Budiman, menjelaskan virus yang dilaporkan dalam kasus di Riau merupakan Influenza A H1N1 PDM09, yaitu subtipe virus influenza A yang pertama kali muncul sebagai pandemi global pada tahun 2009. Sejak saat itu, virus ini tidak hilang, tetapi berubah menjadi bagian dari influenza musiman yang terus bersirkulasi setiap tahun.

    Menurut Dicky, kasus kematian anak di Riau terjadi dalam sebuah klaster lokal dengan bukti kuat adanya koinfeksi antara virus dan bakteri. Pada pemeriksaan ditemukan keberadaan Haemophilus influenzae, serta indikasi infeksi lain seperti pertusis, adenovirus, dan bocavirus.

    “Nah ini adalah penyakit lama artinya sejak 2009 dan bukan penyakit baru tentu untuk Indonesia karena H1N1 ini telah bersirkulasi sebagai salah satu strain influenza musiman sejak 2009,” ucapnya saat dihubungi detikcom, Rabu (26/11/2025).

    Pergerakan dan aktivitas influenza secara global maupun regional terus berubah tiap musim, sehingga Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) secara berkala memantau dan menentukan komposisi strain vaksin flu setiap tahun. H1N1 pun sering masuk komposisi vaksin influenza musiman.

    Di Indonesia, kata Dicky, memang terjadi peningkatan kasus ISPA atau flu pada beberapa minggu di kuartal awal 2025. Klaster seperti yang terjadi di Riau seharusnya bisa terdeteksi dan direspons lebih cepat oleh sistem surveilans.

    “Gejala yang harus diwaspadai pada kasus seperti ini ya gejala klasik Influenza, demam, mendadak, batuk, sakit tenggorok, nyeri otot, lemas. Juga ada mual muntah ya kalau pada anak. Pada bayi atau balita gejala itu bisa kurang khas karena biasanya tapi bisa dilihat dari lebih rewel atau nafsu makan turun atau ada kesulitan napas,” lanjutnya.

    Halaman 2 dari 2

    (suc/suc)

  • Soal Temuan Cesium 137 di Pabrik Sepatu Cikande, Pakar Ingatkan Potensi Kanker

    Soal Temuan Cesium 137 di Pabrik Sepatu Cikande, Pakar Ingatkan Potensi Kanker

    Jakarta

    Kasus dugaan paparan bahan radioaktif Cesium-137 (Cs-137) di kawasan industri Cikande, Serang, Banten, kembali menjadi sorotan setelah dua kontainer produk alas kaki asal Indonesia dikembalikan Amerika Serikat. Produk tersebut diduga terpapar radionuklida buatan yang dikenal berbahaya bagi kesehatan manusia dan lingkungan.

    Ketua Bidang Diplomasi dan Komunikasi Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Kerawanan Bahaya Radiasi Radionuklida Cs-137, Bara Krishna Hasibuan, menjelaskan produk berasal dari perusahaan industri alas kaki di luar kawasan industri utama, tetapi masih dalam radius sekitar 5 kilometer dari sumber kontaminasi, yakni fasilitas milik PT Peter Metal Technology (PT PMT).

    “Terdapat dua kontainer suspect Cs-137 yang dipulangkan kembali ke Indonesia. Produk berasal dari industri alas kaki di Cikande, radius 5 kilometer dari sumber kontaminasi,” kata Bara dalam konferensi pers di Kemenko Pangan, Selasa (12/11/2025).

    Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyatakan proses produksi di perusahaan terkait kini telah dinyatakan aman setelah mendapat surat clearance dari Bapeten (Badan Pengawas Tenaga Nuklir).

    “Sudah selesai, sudah di-clearance. Tidak ada masalah,” ujar Dirjen Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil Kemenperin, Taufik Bawazier, menanggapi kasus ini.

    Meski dinyatakan aman secara operasional, sejumlah pakar mengingatkan efek jangka panjang paparan Cesium-137. Mengingat, zat tersebut adalah radionuklida buatan yang memancarkan radiasi beta dan gamma, dengan radiasi gamma yang bisa menembus tubuh manusia dan menjadi sumber paparan eksternal berbahaya.

    Pakar global health security Dicky Budiman, menegaskan Cs-137 memiliki waktu paruh sekitar 30 tahun, sehingga kontaminasi di lingkungan dapat berlangsung sangat lama jika tidak ditangani dengan benar.

    “Radiasi gamma-nya bisa menembus tubuh dan menjadi sumber paparan eksternal. Kalau lingkungan terkontaminasi, dampaknya jangka panjang,” ujarnya.

    Secara biologis, bila masuk ke tubuh, baik terhirup, tertelan, atau lewat kulit luka, Cs-137 akan cepat terdistribusi ke jaringan lunak seperti otot. Zat ini kemudian bisa menetap di dalam tubuh selama berbulan-bulan hingga ratusan hari, menyebabkan paparan internal yang terus-menerus.

    Dicky menjelaskan jalur paparan Cs-137 bisa berasal dari:

    Paparan eksternal: akibat kedekatan dengan sumber padat terkontaminasi seperti logam atau tungku peleburan.

    Paparan internal: melalui konsumsi makanan, air, atau debu radioaktif dari lingkungan yang sudah tercemar.

    “Bahaya ini bergantung pada dosis dan lama paparan. Dosis tinggi dalam hitungan jam atau hari bisa menimbulkan sindrom radiasi akut, gejalanya mual, muntah, diare, bahkan kerusakan sumsum tulang. Dosis rendah tapi terus-menerus justru yang berbahaya karena meningkatkan risiko kanker dalam jangka panjang,” jelasnya.

    BACA JUGA:

    Efek radiasi Cs-137 terhadap tubuh manusia juga disebut Dicky terbagi menjadi tiga fase:

    Efek akut, muncul dalam hitungan jam hingga hari: mual, muntah, kelelahan ekstrem, hingga kerusakan organ vital.

    Efek subkronis, muncul dalam beberapa minggu hingga bulan: penurunan sistem imun, infeksi berulang, dan perdarahan.

    Efek kronis atau laten, baru muncul 5 hingga 20 tahun setelah paparan: berupa peningkatan risiko kanker tiroid, leukemia, kanker paru, payudara, hingga gangguan reproduksi.

    “Efek laten ini yang paling berbahaya karena muncul setelah bertahun-tahun. Itu sebabnya pemantauan kesehatan jangka panjang sangat penting,” ujar Dicky.

    “Kasus ini bukan masalah sekilas. Jika tidak ditangani dengan benar, Cs-137 bisa mencemari tanah dan air selama puluhan tahun. Ini harus jadi prioritas nasional,” tegasnya.

    Halaman 2 dari 2

    Simak Video “Video: 9 Orang Terpapar Radiasi Cs-137 Sudah Pulang dari RS”
    [Gambas:Video 20detik]
    (naf/up)

  • Soal Temuan Cesium 137 di Pabrik Sepatu Cikande, Pakar Ingatkan Potensi Kanker

    Soal Temuan Cesium 137 di Pabrik Sepatu Cikande, Pakar Ingatkan Potensi Kanker

    Jakarta

    Kasus dugaan paparan bahan radioaktif Cesium-137 (Cs-137) di kawasan industri Cikande, Serang, Banten, kembali menjadi sorotan setelah dua kontainer produk alas kaki asal Indonesia dikembalikan Amerika Serikat. Produk tersebut diduga terpapar radionuklida buatan yang dikenal berbahaya bagi kesehatan manusia dan lingkungan.

    Ketua Bidang Diplomasi dan Komunikasi Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Kerawanan Bahaya Radiasi Radionuklida Cs-137, Bara Krishna Hasibuan, menjelaskan produk berasal dari perusahaan industri alas kaki di luar kawasan industri utama, tetapi masih dalam radius sekitar 5 kilometer dari sumber kontaminasi, yakni fasilitas milik PT Peter Metal Technology (PT PMT).

    “Terdapat dua kontainer suspect Cs-137 yang dipulangkan kembali ke Indonesia. Produk berasal dari industri alas kaki di Cikande, radius 5 kilometer dari sumber kontaminasi,” kata Bara dalam konferensi pers di Kemenko Pangan, Selasa (12/11/2025).

    Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyatakan proses produksi di perusahaan terkait kini telah dinyatakan aman setelah mendapat surat clearance dari Bapeten (Badan Pengawas Tenaga Nuklir).

    “Sudah selesai, sudah di-clearance. Tidak ada masalah,” ujar Dirjen Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil Kemenperin, Taufik Bawazier, menanggapi kasus ini.

    Meski dinyatakan aman secara operasional, sejumlah pakar mengingatkan efek jangka panjang paparan Cesium-137. Mengingat, zat tersebut adalah radionuklida buatan yang memancarkan radiasi beta dan gamma, dengan radiasi gamma yang bisa menembus tubuh manusia dan menjadi sumber paparan eksternal berbahaya.

    Pakar global health security Dicky Budiman, menegaskan Cs-137 memiliki waktu paruh sekitar 30 tahun, sehingga kontaminasi di lingkungan dapat berlangsung sangat lama jika tidak ditangani dengan benar.

    “Radiasi gamma-nya bisa menembus tubuh dan menjadi sumber paparan eksternal. Kalau lingkungan terkontaminasi, dampaknya jangka panjang,” ujarnya.

    Secara biologis, bila masuk ke tubuh, baik terhirup, tertelan, atau lewat kulit luka, Cs-137 akan cepat terdistribusi ke jaringan lunak seperti otot. Zat ini kemudian bisa menetap di dalam tubuh selama berbulan-bulan hingga ratusan hari, menyebabkan paparan internal yang terus-menerus.

    Dicky menjelaskan jalur paparan Cs-137 bisa berasal dari:

    Paparan eksternal: akibat kedekatan dengan sumber padat terkontaminasi seperti logam atau tungku peleburan.

    Paparan internal: melalui konsumsi makanan, air, atau debu radioaktif dari lingkungan yang sudah tercemar.

    “Bahaya ini bergantung pada dosis dan lama paparan. Dosis tinggi dalam hitungan jam atau hari bisa menimbulkan sindrom radiasi akut, gejalanya mual, muntah, diare, bahkan kerusakan sumsum tulang. Dosis rendah tapi terus-menerus justru yang berbahaya karena meningkatkan risiko kanker dalam jangka panjang,” jelasnya.

    BACA JUGA:

    Efek radiasi Cs-137 terhadap tubuh manusia juga disebut Dicky terbagi menjadi tiga fase:

    Efek akut, muncul dalam hitungan jam hingga hari: mual, muntah, kelelahan ekstrem, hingga kerusakan organ vital.

    Efek subkronis, muncul dalam beberapa minggu hingga bulan: penurunan sistem imun, infeksi berulang, dan perdarahan.

    Efek kronis atau laten, baru muncul 5 hingga 20 tahun setelah paparan: berupa peningkatan risiko kanker tiroid, leukemia, kanker paru, payudara, hingga gangguan reproduksi.

    “Efek laten ini yang paling berbahaya karena muncul setelah bertahun-tahun. Itu sebabnya pemantauan kesehatan jangka panjang sangat penting,” ujar Dicky.

    “Kasus ini bukan masalah sekilas. Jika tidak ditangani dengan benar, Cs-137 bisa mencemari tanah dan air selama puluhan tahun. Ini harus jadi prioritas nasional,” tegasnya.

    Halaman 2 dari 2

    Simak Video “Video: 9 Orang Terpapar Radiasi Cs-137 Sudah Pulang dari RS”
    [Gambas:Video 20detik]
    (naf/up)

  • Heboh Air Hujan Mengandung Mikroplastik di Jakarta, Apa Bahayanya?

    Heboh Air Hujan Mengandung Mikroplastik di Jakarta, Apa Bahayanya?

    Jakarta

    Temuan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) tentang air hujan di DKI Jakarta yang mengandung mikroplastik merupakan sinyal serius yang harus diwaspadai. Pasalnya, dalam jangka panjang, mikroplastik yang bisa saja tercampur dengan partikel-partikel toksik dapat membahayakan tubuh.

    “Penelitian bahkan menujukkan mikroplastik itu sudah ditemukan di paru-paru, darah, bahkan plasenta manusia dan ini menandakan potensi paparan yang kronis dan meluas,” kata Epidemiolog Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman dalam keterangannya, Rabu (22/10/2025).

    “Adanya potensi peradangan kronis pada saluran napas atau usus, gangguan hormon endokrin disebabkan oleh bahan kimia aditif plastik seperti BPA (Bisphenol A), kemudian risiko kardiovaskular, dan stres oksidatif dari partikel mikro yang bersifat toksi,” sambungnya.

    Hal ini karena mikroplastik dapat ‘ditumpangi’ oleh logam berat dan mikroba patogen, sehingga memperbesar dampak kesehatan yang bisa terjadi pada manusia.

    “Mikroplastik itu juga menjadi perantara bagi sebaran penyakit, patogen, karena dia bisa nempel di situ. Artinya ini sama halnya dengan polutan yang bisa memperburuk situasi penyakit, artinya memperparah,” katanya.

    Terjadi di Banyak Negara

    Dicky menambahkan bahwa air hujan yang mengandung mikroplastik juga terjadi di banyak negara seperti Amerika Serikat, Jepang, Korea, China, Australia, hingga negara-negara di Benua Eropa.

    “Artinya mikroplastik bisa terbawa melalui atmosfer jarak ribuan kilometer. Di mana plastik ini beredar layaknya karbondioksida dan air, menjadi bagian permanen dari sistem Bumi ya, cukup miris,” katanya.

    Kumpulan mikroplastik di udara ini disebabkan banyak faktor, mulai dari ban kendaraan, debu pakaian sintetis dari proses mencuci dan mengeringkan, serta proses pembakaran sampah plastik yang tidak sempurna.

    “Penting untuk diketahui bahwa kita harus menetapkan standar ambang batas mikroplastik dalam air, udara, dan makanan,” kata Dicky.

    “Juga perlu kampanye literasi lingkungan supaya masyarakat memahami plastik tidak hanya mencemari laut, tapi ada di udara yang kita hirup dan hujan yang kemungkinan sebagian air hujan ditampung untuk diminum juga,” sambungnya.

    Bagaimana Mencegahnya?

    Menurut Dicky, ada banyak cara untuk setidaknya membantu mengurangi cemaran mikroplastik di udara, tanah, dan air. Seperti mengurangi penggunaan plastik sekali pakai, penggunaan bahan alami dan biodegradable (bahan yang dapat terurai alami oleh mikroorganisme).

    “Pemerintah daerah perlu untuk mengembangkan sistem pengelolaan air hujan dan limbah yang ramah lingkungan. Supaya mikroplastik tidak bersirkulasi,” katanya.

    “Lalu jangan membakar atau membuang plastik sembarangan, kurangi penggunaan detergen dan kosmetik yang mengandung mikroplastik, serta disarankan memilih pakaian berbahan alami, katun, linen untuk mengurangi pelepasan serat sintetis,” tutupnya.

    Tonton juga video “Pramono Respons Hujan di Jakarta Mengandung Mikroplastik” di sini:

    Halaman 2 dari 2

    (dpy/kna)

  • Muncul Varian Baru Virus Flu di China, Berpotensi Jadi Pandemi? Ini Kata Epidemiolog

    Muncul Varian Baru Virus Flu di China, Berpotensi Jadi Pandemi? Ini Kata Epidemiolog

    Jakarta

    Baru-baru ini peneliti yang dipimpin oleh Hongbo Bao di China mendeteksi varian baru virus flu yang dikenal sebagai Influenza D virus (IDV) jenis virus yang umumnya ditemukan pada sapi. Tim dari Changchun Veterinary Research Institute mengidentifikasi strain baru bernama D/HY11, yang ditemukan pada sapi di wilayah timur laut China pada tahun 2023.

    Hasil studi menunjukkan strain D/HY11 mampu bereplikasi di sel saluran pernapasan manusia serta jaringan hewan. Temuan ini memunculkan kekhawatiran bahwa virus tersebut berpotensi menyebar antar manusia.

    “Strain IDV yang beredar saat ini sudah menimbulkan potensi ancaman panzootik [padanan hewan dari pandemi manusia],” tulis peneliti.

    Terkait hal tersebut, epidemiolog Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman, menjelaskan Influenza D Virus atau IDV biasanya beredar pada sapi dan beberapa hewan ternak. Virus ini pertama kali diidentifikasi pada 2011, artinya sudah lebih dari 10 tahun yang lalu sehingga bukan dianggap virus baru.

    “Dan yang baru adalah isolasi strain tertentunya yaitu D/HY11 dan bukti eksperimen yang menunjukkan kemampuan replikasi di sel manusia dan ini yang menjadi kebaruannya,” ucap Dicky saat dihubungi detikcom, Senin (20/10/2025).

    Berpotensi Picu Pandemi?

    Sampai saat ini belum ada bukti yang menunjukkan IDV atau influenza D menyebabkan penyakit berat dalam populasi manusia secara luas. Bukti yang ada lebih kuat mengenai reservoir hewan seperti sapi dan paparan pada kelompok kontak hewan.

    Meskipun demikian, Dicky menilai potensi terjadinya wabah atau bahkan pandemi tetap ada secara ilmiah. Hal ini dikarenakan setiap virus yang mengalami perubahan genetik hingga mampu menular secara efisien antar manusia, memiliki peluang untuk memicu terjadinya wabah berskala besar.

    “Tetapi kemungkinan aktualnya kejadiannya bergantung pada bagaimana dia adaptasi genetik untuk replikasi dan transmisibilitas pada manusia. Ini yang masih jadi pertanyaan. Kemudian juga virulensi klinis pada manusia, juga kondisi ekologi, ekonomi yang mendorong spillover, kontak manusia hewan,” ucapnya lagi.

    “Jadi saat ini bukti adaptasi manusianya terbatas, jadi risiko nyatanya belum dapat dikatakan tinggi, tapi kewaspadaan One Health wajib ditingkatkan,” sambungnya.

    Apa Itu Influenza D Virus?

    Dicky menjelaskan virus ini termasuk dalam genus Delta Influenza Virus dan merupakan bagian dari family Orthomyxoviridae, keluarga virus yang juga dikenal serius karena mencakup berbagai virus penyebab penyakit menular pada manusia.

    Menurutnya, keluarga virus ini memiliki kesamaan karakter dengan keluarga coronavirus, yakni sama-sama berpotensi menimbulkan wabah. Pada hewan, IDV diketahui menyebabkan bovine respiratory disease complex, yaitu gangguan pernapasan yang cukup umum di sektor peternakan.

    Sementara pada manusia, hingga kini baru ditemukan jejak genom dan antibodi terhadap virus ini, namun belum ada bukti kuat bahwa IDV menimbulkan penyakit klinis secara luas.

    “WHO sendiri mengakui keberadaan empat jenis influenza, influenza A yang sekarang bersirkulasi dominan dan menyebabkan kasus-kasus, kemudian influenza B, influenza C, dan D,” kata Dicky.

    Di antara keempatnya, influenza A merupakan tipe yang paling dominan bersirkulasi dan paling sering menyebabkan kasus pada manusia, diikuti oleh influenza B.

    Dicky menjelaskan, selama ini, fokus pemantauan dan rekomendasi WHO difokuskan pada influenza A dan B karena bukti penyakitnya pada manusia sudah jelas dan telah memicu berbagai epidemi maupun pandemi sebelumnya. Sementara itu, untuk influenza D (IDV), WHO belum mengeluarkan pernyataan darurat global maupun status kewaspadaan khusus.

    “Dan dokumen teknis WHO masih memusatkan komposisi vaksin pada A, B, dan pemantauan global influenza surveillance (GILS) untuk influenza A vaksin dan juga influenza B vaksin,” lanjutnya.

    baca juga

    Halaman 2 dari 2

    (suc/suc)

  • Epidemiolog Soroti Varian Baru Virus Flu yang Picu Kekhawatiran di China

    Epidemiolog Soroti Varian Baru Virus Flu yang Picu Kekhawatiran di China

    Jakarta

    Kekhawatiran akan pandemi baru kembali merebak di China. Para ilmuwan telah mendeteksi varian baru virus flu yang menunjukkan tanda-tanda dapat menginfeksi manusia, menurut sebuah laporan. Virus ini yang dikenal sebagai Influenza D (IDV), sebagian besar ditemukan pada sapi, tetapi para peneliti kini yakin virus tersebut mungkin beradaptasi untuk menyebar di antara manusia.

    Tim peneliti dari Changchun Veterinary Research Institute di China mengidentifikasi strain baru yang disebut D/HY11, yang pertama kali muncul pada sapi di China timur laut pada tahun 2023, menurut laporan tersebut. Studi mereka menemukan strain tersebut dapat bereplikasi di sel saluran pernapasan manusia dan jaringan hewan, sehingga menimbulkan kekhawatiran bahwa strain tersebut mungkin sudah menyebar di antara manusia.

    Epidemiolog Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman, menjelaskan pada dasarnya virus Influenza D (IDV) sudah dikenal sejak tahun 2011, sehingga bukan merupakan virus baru. Temuan yang tergolong baru adalah isolasi strain tertentu, yakni D/HY11, serta bukti eksperimental yang menunjukkan kemampuan virus ini untuk bereplikasi di sel manusia.

    “Inilah aspek kebaruan yang membuat para ahli meningkatkan kewaspadaan,” ucapnya saat dihubungi detikcom, Senin (20/10/2025).

    Dicky menjelaskan, IDV untuk bereplikasi dan menular pada hewan percobaan seperti ferret menjadi sinyal penting yang perlu diawasi. Menurutnya, hal ini menunjukkan adanya potensi risiko adaptasi virus terhadap manusia.

    Meski begitu, ia menegaskan hingga saat ini belum ada bukti kuat yang menunjukkan bahwa IDV dapat menyebabkan penyakit berat pada manusia secara luas. Bukti yang tersedia sejauh ini justru lebih banyak mengindikasikan bahwa sapi merupakan reservoir utamanya, sementara paparan pada manusia hanya ditemukan pada kelompok yang memiliki kontak erat dengan hewan ternak.

    “Sehingga IDV adalah zoonosis potensial yang perlu diawasi. Jadi dia seperti halnya misalnya avian flu atau bahkan mungkin seperti potensi nipah misalnya atau hendra virus,” kata Dicky.

    Pada hewan, virus IDV diketahui dapat menyebabkan bovine respiratory disease complex atau kompleks penyakit pernapasan pada sapi.

    Sementara itu, pada manusia, lanjut Dicky, genom dan antibodi terhadap virus ini memang pernah dilaporkan, namun hingga kini belum ada bukti kuat mengenai munculnya penyakit klinis akibat IDV pada manusia.

    “Jadi ada potensi menjadi wabah di manusia tapi saat ini sejauh ini belum ya. Sehingga belum ada bukti epidemi atau potensi epidemi besar pada manusia yang serupa influenza A pandemik dulu 100 tahun lebih lalu,” ucapnya lagi.

    Halaman 2 dari 2

    Simak Video “Video Menkes Budi Sebut Pasien Anak yang Kena HMPV Sudah Sembuh Semua”
    [Gambas:Video 20detik]
    (suc/up)

  • Ribuan Anak Keracunan Makan Bergizi Gratis, Pakar Beri Catatan Ini

    Ribuan Anak Keracunan Makan Bergizi Gratis, Pakar Beri Catatan Ini

    Jakarta

    Makan bergizi gratis (MBG) yang merupakan program prioritas pemerintah menjadi sorotan pasca banyaknya kasus keracunan makanan pada anak. Hingga September 2025, sudah tercatat lebih dari 6 ribu kasus.

    Hal ini menjadi perhatian para pakar, salah satunya epidemiolog Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman. Menurutnya risiko keracunan dapat ditekan dengan penerapan standar sederhana, seperti kontrol suhu, cuci tangan, dan pengawasan yang konsisten.

    “Keracunan pangan di sekolah bukan takdir. Ini sinyal sistem yang belum bekerja,” tutur Dicky pada detikcom, Jumat (26/9/2025).

    “Dengan standar sederhana dan konsisten, kita bisa menekan risiko ini secara signifikan,” sambungnya.

    Ia menekankan lini pencegahan pertama terkait keracunan ini adalah dapur sekolah, sebelum memperkuat rantai pasok dan sistem pengawasan. Menurutnya, cakupan sertifikasi dan implementasi dari Standard Operating Procedure (SOP) atau Prosedur Operasional Standar atau Petunjuk Operasional Standar masih rendah dan dapat menjadi potensi bahaya.

    “Keracunan pangan di sekolah itu dapat dicegah dengan standard hygiene sanitasi dasarnya,” tambahnya.

    Makanan yang Rentan Terkontaminasi Bakteri

    Menurut Dicky, pola kerentanan itu terjadi saat makanan berisiko tinggi, seperti nasi yang merupakan karbohidrat berpati. Itu bisa tercemar bakteri Bacillus cereus.

    Selain itu, lauk berprotein bisa tercemar bakteri Staphylococcus aureus dan sayur dengan air yang tidak memenuhi standar, bisa tercemar bakteri E.Coli atau Shigella. Bahkan, jajanan kemasan curah itu juga berisiko ada kandungan kimia.

    Dicky menekankan hal-hal tersebut harus dipahami risikonya. Selain itu, titik kendali kritis yang sering gagal adalah ketika air dan es itu tidak aman.

    “Jadi adanya cross contamination ya, seperti di pisaunya, talenannya, pendinginan yang lambat, atau pemanasan ulang itu tidak mencapai 74 derajat Celsius. Kemudian, ada juga adanya jeda suhu bahaya antara 5 sampai 60 derajat Celsius di atas 4 jam,” jelas Dicky.

    “Higienitas penjamah yang buruk, artinya dia tidak sering cuci tangan, tidak pakai sarung tangan, tidak pakai masker, kukunya juga kotor, atau tidak juga pakai penutup rambut. Ini yang sering gagal dan tidak konsisten,” lanjutnya.

    Imbauan untuk Orang Tua dan Guru

    Maka dari itu, Dicky mengimbau para orang tua dan guru juga ikut memperhatikan kebersihan tangan, meja, dan peralatan makan.

    “Jangan konsumsi makanan yang sudah lebih dari empat jam di suhu ruang. Jika tampilan, warna, atau bau makanan tidak wajar, segera buang dan jangan ragu untuk melaporkan jika muncul gejala keracunan,” tegasnya.

    Secara epidemiologi pangan, Dicky menyebut pola keracunan berulang dan lintas daerah paling sering berkaitan dengan kombinasi sejumlah faktor, seperti:

    Kontrol waktu dan suhu buruk, termasuk pelanggaran aturan praktis 2 jam atau 4 jam, tidak tersedia pendinginan cepat, pemanas, dan suhu tidak tercatat.

    Distribusi dan logistik yang tidak sesuai, seperti pengiriman jauh tanpa cold box atau data logger, serta kemasan tidak kedap.

    Higienitas dan sanitasi dapur rendah, termasuk risiko kontaminasi silang, air tidak higienis, dan keberadaan hama.

    Bahan baku berisiko tanpa pengawasan ketat, serta pergantian pemasok yang didorong harga murah, bukanlah performa keamanan.

    Menu tidak sesuai standar keamanan, misalnya makanan berbahan santan yang dibiarkan di suhu ruang terlalu lama atau menu berulang yang memicu insiden.

    Maka dari itu, Dicky mendorong pemerintah dan penyedia jasa katering sekolah untuk memperkuat kontrak pengadaan dengan standar waktu hingga suhu yang ketat, sertifikasi bahan baku, hingga mekanisme recall dan sanksi jika terjadi pelanggaran.

    “Kalau sistemnya berjalan, anak bisa belajar dengan tenang dan cemerlang,” pungkasnya.

    Halaman 2 dari 2

    (sao/kna)