Tag: Dian Permata

  • Bawaslu Kota Bekasi evaluasi partisipasi masyarakat pada Pemilu 2024

    Bawaslu Kota Bekasi evaluasi partisipasi masyarakat pada Pemilu 2024

    Sumber foto: Hamzah Aryanto/elshinta.com.

    Bawaslu Kota Bekasi evaluasi partisipasi masyarakat pada Pemilu 2024
    Dalam Negeri   
    Editor: Sigit Kurniawan   
    Senin, 17 Maret 2025 – 15:32 WIB

    Elshinta.com – Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kota Bekasi, menggelar rapat evaluasi bersama berbagai pemangku kepentingan, untuk mengkaji tingkat partisipasi masyarakat dalam Pemilihan Umum 2024.

    Pertemuan bertajuk “Ngabuburit Pengawasan” itu diselenggarakan di Hotel Amaroossa, Bekasi Selatan, Kota Bekasi.

    Rapat evaluasi tersebut mengungkap, bahwa tingkat partisipasi pemilih di Kota Bekasi hanya mencapai 55 persen dari total 1,8 juta pemilih terdaftar.

    “Alhamdulillah, hari ini kita melibatkan banyak pihak, karena buat kami sebenarnya pendidikan politik itu bukan hanya lembaga penyelenggara pemilu, tapi menjadi tugas bersama,” ujar Koordinator Divisi Pencegahan Humas dan Partisipasi Masyarakat Bawaslu Kota Bekasi, Choirunnisa Marzoeki seperti dilaporkan Kontributor Elshinta, Hamzah Aryanto, Senin (17/3). 

    Menurut Choirunnisa, meskipun tahapan pemilu dan pilkada telah usai, upaya pendidikan politik tetap harus dilanjutkan. 

    “Kita tetap melakukan kegiatan-kegiatan ke depannya, juga aktif di media sosial untuk tetap menginformasikan pendidikan politik, hal-hal yang berkaitan dengan demokrasi, mendukung demokrasi di Kota Bekasi,” tegasnya.

    Ia mengakui, adanya penurunan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pilkada, yang berdampak pada rendahnya partisipasi pemilih.

    “Partisipasi kemarin kan hanya 55 persen. Jadi dari 1,8 juta, ada sekitar 1 juta yang menggunakan hak pilih, 800 ribu orangnya ini nggak ada,” jelasnya.

    Choirunnisa menambahkan, terdapat persoalan teknis lainnya seperti data pemilih yang sudah meninggal, pindah tempat tinggal, dan surat undangan yang tidak sampai ke tangan pemilih.

    Di tempat yang sama, salah satu narasumber dalam diskusi tersebut, Dian Permata, menyoroti pentingnya evaluasi terhadap penyelenggaraan pemilu.

    “Evaluasi seperti ini kan pertama mereview apa yang sudah dilakukan sepanjang tahapan pilkada kemarin. Perihal baik buruk dan benarnya kan juga beberapa temuan dari pemerintah dalam penyelenggaraan,” katanya.

    Dian berharap, hasil evaluasi ini dapat menjadi titik perbaikan untuk berbagai aspek teknis pengawasan pemilu yang akan datang.

    “Diharapkan di pilkada akan datang, baik KPU ataupun Bawaslu serta masyarakat akan naik kelas. Artinya akan tahu siapa yang akan dipilih, tahu programnya si kandidat, tahu apa yang harus dilakukan pemilih lima tahun akan datang,” tuturnya.

    Lebih lanjut, Dian mencatat beberapa permasalahan yang perlu diperbaiki, termasuk soal regulasi seperti adanya ketidakkonsistenan hukum dalam Peraturan KPU terkait diksi pemilih daftar tambahan.

    “Sering kali penyelenggara pemilu pilkada mengungkapkan ada pemilih khusus padahal nggak ada, karena di pilkada ini hanya tiga jenis pemilih, yaitu DPT, DPTb ditambahkan sama pindahan, sedangkan pemilih khusus itu hanya di pemilu,” imbuhnya.

    Ia juga menyoroti rendahnya partisipasi pemilih yang hanya mencapai 55 persen di Kota Bekasi, karena ada banyak faktor yang berperan.

    “Namun sebenarnya turunnya partisipasi bisa karena banyak faktor, bisa saja karena memang kandidat yang dijual itu tidak mempunyai daya tarik buat masyarakat untuk memilih, terutama soal program-program yang ditawarkan,” pungkasnya.

    Perlu diketahui, rapat evaluasi tersebut melibatkan berbagai pihak, termasuk pemerintah, awak media, forum guru, perwakilan kampus, organisasi masyarakat, LSM, kelompok rentan, dan KPU Kota Bekasi. 

    Sumber : Radio Elshinta

  • Bawaslu akan minta penjelasan KPU soal PKPU Tungsura dan UU Pilkada

    Bawaslu akan minta penjelasan KPU soal PKPU Tungsura dan UU Pilkada

    Jakarta (ANTARA) – Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI akan meminta penjelasan Komisi Pemilihan Umum (KPU) terkait ketidaksinkronan PKPU Nomor 17 Tahun 2024 tentang Pemungutan dan Perhitungan Suara (Tungsura) dengan UU Pilkada ihwal pengusul penghitungan suara ulang di tempat pemungutan suara (TPS).

    “Dalam PKPU yang berwenang mengusulkan penghitungan suara ulang ialah saksi atau pengawas TPS. Sementara dalam Pasal 113 UU Pilkada disebutkan bahwa yang berwenang mengusulkan penghitungan suara ulang ialah Pengawas Pemilu Lapangan (PPL). Mungkin kita ngobrol dulu dengan KPU, ya, karena prosesnya pasti ada di harmonisasi sudah dibahas,” kata Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja saat ditemui awak media di kantor Bawaslu RI, Jakarta, Jumat.

    Meski begitu, dia pun enggan menjelaskan lebih lanjut terkait ketidaksinkronan antara PKPU Tungsura dan UU Pilkada.

    “Itu yang akan kami komunikasikan dengan segera kepada KPU. Kenapa terjadi seperti itu pasti ada alasan dari pembentuk UU kenapa ada di PPL peletakan rekomendasi terhadap pemungutan suara ulang,” ujarnya.

    Bagja meyakini ketidaksinkronan PKPU dan UU Pilkada tak akan berdampak saat pemungutan suara.

    “Insyaallah tidak. Nanti kan kami sampaikan kepada teman-teman di Bawaslu Provinsi yang bimteknya akan ada lagi,” jelas Bagja.

    Sementara itu, peneliti Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD) Dian Permata menegaskan bahwa PKPU tak boleh mendahului UU.

    Padahal, sambung dia, PKPU merupakan replikasi dari UU Pilkada.

    “PKPU itu tidak boleh mengangkangi produk regulasi di atasnya. Dari hasil temuan kita adalah memang di Pasal 58 terutama soal orang atau pihak subyek yang berhak memberikan dampak penghitungan suara ulang di TPS. Di PKPU tertulis pengawas TPS di mana harusnya di UU Pilkada itu harusnya PPL atau petugas PKD atau desa dan kelurahan,” tambah Dian di Kantor Bawaslu RI, Jakarta, Jumat.

    Ia khawatir jika KPU tak segera memperbaiki akan membuat kisruh di TPS. Apalagi, tak semua pengawas TPS memahami informasi tersebut.

    “Khawatirnya nanti ada kekisruhan dengan di bawah dan itu akan merumitkan Pengawas TPS di mana itu bukan kewenangannya, tetapi kewenangan pengawas di atasnya berupa PPL lurah, atau PKD desa,” tuturnya.

    Dian pun meminta Bawaslu segera bersikap ihwal ketidaksinkronan PKPU Tungsura dan UU Pilkada.

    Pewarta: Narda Margaretha Sinambela
    Editor: Hisar Sitanggang
    Copyright © ANTARA 2024

  • Temuan SPD soal Kesalahan di Form C1 untuk Pilkada 2024 
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        16 November 2024

    Temuan SPD soal Kesalahan di Form C1 untuk Pilkada 2024 Nasional 16 November 2024

    Temuan SPD soal Kesalahan di Form C1 untuk Pilkada 2024
    Editor
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD) menemukan dokumen Formulir (Form) C1 yang telah dicetak dan diterima petugas Komisi Pemilihan Umum (
    KPU
    ) di sejumlah daerah memuat kesalahan, karena tidak sesuai UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
    Peneliti SPD Dian Permata menjelaskan kesalahan tersebut berkaitan dengan penggunaan terminologi pemilih dalam
    Form C1
    tidak sesuai dengan yang diamanatkan
    UU Pilkada
    .
    “KPU tidak konsisten dalam menggunakan istilah DPT (daftar pemilih tetap), DPTb (daftar pemilih tambahan), DPK (daftar pemilih khusus) dan seterusnya,” kata Dian di Kantor Bawaslu RI, Jakarta, Jumat (15/11/2024), dikutip dari
    Antara.
    Dia mengatakan, istilah DPK tidak dikenal dalam pelaksanaan pilkada, karena hal itu hanya terdapat pada pemilihan umum (pemilu) yang di dalamnya melaksanakan 5 jenis pemilihan, yaitu pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres) serta pemilihan legislatif (pileg) DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
    “Di rezim pemilu memang ada tiga jenis klaster (pemilih yang didata KPU), yaitu pemilih DPT, DPTb, dan DPK. Sedangkan di Pilkada itu pemilih DPT, DPTb, dan (pemilih) pindahan,” ujarnya.
    Hanya saja dalam Form C1 yang ditemukan-nya, seperti di Banten menjadi masalah lantaran memuat istilah jenis pemilih
    Pilkada 2024
    yang salah.
    Di mana, istilah daftar pemilih khusus atau DPK masuk ke dalam Form C1, padahal seharusnya daftar pemilihan pindahan (DPP).
    Sementara, daftar pemilih pindahan dalam Form C1 yang tercetak disingkat DPTb dan daftar pemilih tambahan disingkat DPK.
    Selain itu, istilah DPK yang sudah tercetak di dalam Form C1 ikut masuk atau termuat di dalam Peraturan KPU (PKPU) terkait penyusunan data pemilih dan juga penghitungan dan pemungutan suara (tungsura) termasuk rekapitulasi Pilkada 2024.
    “Nah problematika yang begini kan, pemilih khusus itu ternyata dibawa, diseret di PKPU terakhir. Nah kan teman-teman tadi sudah lihat dari rangkaian PKPU DPT, logistik, tungsura, rekap, itu kan satu tarikan nafas. Kalau satu salah, maka akan terganggu semua,” jelas Dian.
    “Artinya, dari sini adalah kita melihat bahwa KPU membuat norma sendiri terhadap yang harusnya mereplikasi dari Undang-undang Pilkada,” sambungnya.
    Oleh karena itu, SPD mendorong agar Form C1 yang akan digunakan di ratusan ribu tempat pemungutan suara (TPS), dapat diperbaiki, supaya tidak terjadi kebingungan di Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), dalam menghitung hasil perolehan suara pasangan calon kepala daerah.
    “Nah solusinya apa? Mau tidak mau, karena ada kesalahan cetak maka KPU harus bikin cetak Form C se-Indonesia. Karena dikhawatirkan tingkat pemahaman para penyelenggara pemilu di level bawah itu tidak sama,” pungkas dia.
    Anggota KPU RI Idham Holik menegaskan bahwa Formulir (Form) C1 sudah sesuai dengan aturan yang termaktub dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada).
    “Sudah sesuai Pasal 95 UU Nomor 8 Tahun 2015,” kata Idham, Sabtu (16/11/2024), dikutip dari Antara.
    Form C1 juga sudah sesuai dengan Peraturan KPU Nomor 17 Tahun 2024 tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara Dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota.
    “PKPU Nomor 17 Tahun 2024 sudah sesuai dengan UU Pilkada,” ujarnya.
    Adapun aturan tersebut termuat dalam Pasal 1 ayat (21) dan (22) Peraturan KPU Nomor 17 Tahun 2024 yang berbunyi, “Pemilih pindahan adalah pemilih yang telah terdaftar dalam daftar pemilih tetap, namun karena keadaan tertentu pemilih tidak dapat menggunakan haknya untuk memilih di TPS tempat yang bersangkutan terdaftar dan memberikan suara di TPS lain dan dicatat dalam daftar pemilih pindahan.”
    Dijelaskan pula dalam PKPU tersebut bahwa pemilih tambahan adalah pemilih yang tidak terdaftar sebagai pemilih dalam daftar pemilih tetap, namun memenuhi syarat dilayani penggunaan hak pilihnya pada hari dan tanggal pemungutan suara, dan dicatat dalam daftar pemilih tambahan.
    Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Formulir C1 sudah sesuai ketentuan UU Pilkada

    Formulir C1 sudah sesuai ketentuan UU Pilkada

    Anggota KPU RI Idham Holik. ANTARA/Narda Margaretha Sinambela

    KPU: Formulir C1 sudah sesuai ketentuan UU Pilkada
    Dalam Negeri   
    Novelia Tri Ananda   
    Sabtu, 16 November 2024 – 08:21 WIB

    Elshinta.com –  Anggota KPU RI Idham Holik menegaskan bahwa Formulir (Form) C1 sudah sesuai dengan aturan yang termaktub dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada).

    Hal itu disampaikan Idham ketika respons temuan Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD) terkait dengan dokumen Form C1 yang telah dicetak dan diterima petugas KPU di sejumlah daerah memuat kesalahan karena tidak sesuai dengan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.

    “Sudah sesuai Pasal 95 UU Nomor 8 Tahun 2015,” kata Idham saat dihubungi ANTARA dari Jakarta, Sabtu.

    Form C1 juga sudah sesuai dengan Peraturan KPU Nomor 17 Tahun 2024 tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara Dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota.

    “PKPU Nomor 17 Tahun 2024 sudah sesuai dengan UU Pilkada,” ujarnya.

    Adapun aturan tersebut termuat dalam Pasal 1 ayat (21) dan (22) Peraturan KPU Nomor 17 Tahun 2024 yang berbunyi, “Pemilih pindahan adalah pemilih yang telah terdaftar dalam daftar pemilih tetap, namun karena keadaan tertentu pemilih tidak dapat menggunakan haknya untuk memilih di TPS tempat yang bersangkutan terdaftar dan memberikan suara di TPS lain dan dicatat dalam daftar pemilih pindahan.”

    Dijelaskan pula dalam PKPU tersebut bahwa pemilih tambahan adalah pemilih yang tidak terdaftar sebagai pemilih dalam daftar pemilih tetap, namun memenuhi syarat dilayani penggunaan hak pilihnya pada hari dan tanggal pemungutan suara, dan dicatat dalam daftar pemilih tambahan.

    Sebelumnya, Jumat (15/11), peneliti SPD Dian Permata mengungkapkan bahwa kesalahan tersebut berkaitan dengan penggunaan terminologi pemilih dalam Form C1 tidak sesuai dengan yang diamanatkan UU Pilkada.

    “KPU tidak konsisten dalam menggunakan istilah DPT (daftar pemilih tetap), DPTb (daftar pemilih tambahan), DPK (daftar pemilih khusus), dan seterusnya,” kata Dian di Kantor Bawaslu RI, Jakarta, Jumat.

    Dikatakan pula oleh Dian bahwa istilah DPK tidak dikenal dalam pelaksanaan pilkada karena hal itu hanya terdapat pada pemilihan umum (pemilu) yang di dalamnya melaksanakan 5 jenis pemilihan, yaitu pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres) serta pemilihan anggota legislatif (DPR RI, DPD RI, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota).

    “Pada rezim pemilu memang ada tiga jenis klaster (pemilih yang didata KPU), yaitu pemilih DPT, DPTb, dan DPK, sedangkan pada pilkada itu pemilih DPT, DPTb, dan pemilih pindahan,” ujarnya.

    Hanya saja dalam Form C1 yang ditemukannya seperti di Banten menjadi masalah lantaran memuat istilah jenis pemilih Pilkada 2024 yang salah. Istilah daftar pemilih khusus atau DPK masuk ke dalam Form C1, padahal seharusnya daftar pemilihan pindahan (DPP).

    Sementara itu, daftar pemilih pindahan dalam Form C1 yang tercetak disingkat DPTb dan daftar pemilih tambahan disingkat DPK. Selain itu, istilah DPK yang sudah tercetak di dalam Form C1 ikut masuk atau termuat di dalam peraturan KPU (PKPU) terkait penyusunan data pemilih dan juga penghitungan dan pemungutan suara (tungsura), termasuk rekapitulasi Pilkada 2024.

    Oleh karena itu, SPD mendorong agar Form C1 yang akan digunakan di ratusan ribu tempat pemungutan suara (TPS) dapat diperbaiki supaya tidak terjadi kebingungan di tingkat kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) dalam menghitung hasil perolehan suara pasangan calon kepala daerah.

    “Nah solusinya apa? Mau tidak mau karena ada kesalahan cetak, KPU harus bikin cetak Form C se-Indonesia. Karena dikhawatirkan tingkat pemahaman para penyelenggara pemilu di level bawah itu tidak sama,” pungkasnya.

    Sumber : Antara