Bisnis.com, JAKARTA – Program unggulan Presiden Prabowo Subianto, yakni Makan Bergizi Gratis (MBG), menjadi sorotan masyarakat setelah hampir 6.000 orang siswa di berbagai provinsi mengalami keracunan.
Mengacu data dari Badan Gizi Nasional (BGN), tercatat 46 kasus dengan 5.080 penderita per 17 September 2025. Sementara itu, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mencatat ada 60 kasus dengan 5.207 penderita per 16 September 2025.
Adapun, BPOM melaporkan 55 kasus dengan 5.320 penderita per 10 September 2025. Di sisi lain, Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) melaporkan angka 5.626 kasus keracunan makanan di puluhan kota dan kabupaten di 17 provinsi akibat MBG.
Salah satu kasus keracunan massal MBG yang menimpa ratusan siswa di Kabupaten Bandung Barat (KBB) menjadi sorotan nasional. Kejadian ini terjadi serentak di Kecamatan Cipongkor dan Cihampelas dalam waktu yang berdekatan.
Di Cipongkor, keracunan massal terjadi di SMK Karya Perjuangan, Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTS) dan Madrasah Aliyah (MA) Syarif Hidayatullah. Sementara itu, puluhan siswa di SMKN 1 Cihampelas juga mengalami gejala serupa hingga harus dilarikan ke Puskesmas Cihampelas.
Kasus keracunan massal program MBG di Kecamatan Cipongkor, Kabupaten Bandung Barat saat ini sudah menyentuh angka 631 orang pelajar. Jumlah tersebut terhitung dari dua peristiwa keracunan yang terjadi dari tanggal 22 dan 24 September 2025.
Kasus terbaru ini terjadi dari dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) di Kampung Pasirsaji, Desa Negalsari, Cipongkor dengan beberapa korban diantaranya dari siswa SMK Karya Perjuangan. Adapun jumlah sementara dari sekitar pukul 11:30-13:00 WIB berkisar 220 orang pelajar.
“Sampai saat ini mungkin sudah sekitar 220 yang datang. Jumlahnya terus bertambah,” kata Kepala Puskesmas Cipongkor, Yuyun Sarihotimah, Rabu (24/9/2025).
Sementara, pada kasus keracunan awal pada Senin 22 September 2025 jumlahnya, sementara mencapai 411 orang. Para korban ada beberapa diantaranya yang sudah pulang ke rumah dan sebagian masih dalam penanganan di rumah sakit.
Dari jumlah tersebut, sebanyak 47 rawat Inap, dan 364 rawat jalan, sedangkan gejala-gejala yang muncul ada sebanyak 288 orang mual, 109 orang muntah, 159 orang pusing, 36 orang diare, 45 orang sakit kepala, 78 orang lemas, 100 orang sesak napas, 52 orang demam, 112 orang sakit perut, dua orang Kejang.
Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi berjanji akan mengevaluasi pelaksanaan program makan bergizi gratis (MBG), setelah ratusan siswa di berbagai daerah diduga mengalami keracunan. Dedi Mulyadi mengatakan pihaknya akan bertemu dengan Kepala MBG yang bertanggung jawab di wilayah Jawa Barat untuk melakukan evaluasi.
“Ya kita gini deh, saya minggu depan mengundang kepala MBG yang membidangi di wilayah Jawa Barat untuk melakukan evaluasi secara paripurna, secara terbuka agar berbagai problem yang terjadi, keracunan siswa tidak terulang lagi,” katanya di Bandung, Selasa (23/9/2025).
Karena itu pihaknya belum dapat memastikan apakah dapur-dapur MBG yang menjalankan program Presiden Prabowo Subianto ini akan dihentikan sementara di Jawa Barat atau terus berlanjut.
“Ya, kita akan segera mengundang untuk bicara bersama dan kemudian bagaimana orang-orang atau penyelenggara yang kebetulan makanannya menimbulkan keracunan bagi siswa apakah akan meneruskan atau harus dievaluasi, nanti akan saya tanya pada yang menyelenggarakannya,” katanya.
Siswa keracunan makanan setelah menyantap MBG menjalani perawatan medis di Posko Penanganan Kantor Kecamatan Cipongkor, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Rabu (24/9/2025). ANTARA/Abdan Syakura
Program MBG Jalan Terus
Wakil Menteri Sekretaris Negara (Wamen Sesneg) Juri Ardiantoro menyatakan bahwa program MBG tidak akan dihentikan, meski muncul desakan sejumlah kalangan untuk melakukan evaluasi menyeluruh pascakasus keracunan massal di Bandung Barat, Jawa Barat.
“Memang beberapa aspirasi dari beberapa kalangan yang minta ada evaluasi total, ada pemberhentian sementara, ada juga sambil jalan kita perbaiki tapi tidak perlu menghentikan secara total,” katanya di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (25/9/2025).
Menurut Juri, hingga saat ini kebijakan pemerintah adalah melanjutkan program sembari melakukan perbaikan dan evaluasi ketat terhadap rangkaian peristiwa keracunan di program MBG.
“Masalah-masalah yang terjadi segera akan diatasi, dievaluasi cari jalan keluar,” katanya.
Ia menambahkan Presiden Prabowo Subianto telah memberikan arahan khusus agar pengawasan dan mitigasi risiko diperketat guna menutup ruang terjadinya masalah baru.
“Dari MBG di sini kan sudah diarahkan oleh Pak Presiden untuk memitigasi masalah yang terjadi, juga untuk menutup ruang masalah-masalah baru yang mungkin akan terjadi, sehingga bisa dengan segera diatasi,” katanya.
Juri memastikan komunikasi intensif sudah dilakukan dengan para menteri terkait dan pimpinan Badan Gizi Nasional (BGN) untuk mengoordinasikan langkah evaluasi menyeluruh.
Pemerintah menekankan bahwa keselamatan penerima manfaat tetap menjadi prioritas, sambil menjaga agar program strategis nasional ini terus memberi manfaat bagi anak-anak Indonesia.
BGN Ungkap Penyebab Insiden Keracunan MBG
Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Hindayana meninjau langsung Posko Penanganan kasus dugaan keracunan makanan Program Makan Bergizi Gratis di Cipongkor, Bandung Barat, Jawa Barat. Dia meminta SPPG memperbaiki pola memasak.
Dadan mengungkapkan hasil keterangan awal menunjukkan adanya kesalahan teknis dari SPPG yang memasak terlalu awal, sehingga makanan tersimpan terlalu lama sebelum didistribusikan.
“Keterangan awal kan menunjukkan bahwa SPPG itu memasak terlalu awal sehingga masakan terlalu lama. Tadi pagi, Selasa (23/9) kita sudah koordinasi dengan seluruh SPPG yang baru yang beroperasional satu bulan terakhir, kemudian kita minta agar mereka mulai masak di atas jam 01.30 agar waktu antara proses memasak dengan pengirimannya tidak lebih dari 4 jam,” katanya.
Menurut Dadan, pola memasak dan distribusi menjadi kunci utama agar kualitas makanan tetap terjaga. SPPG lama dinilai sudah menemukan ritme kerja, namun, SPPG yang baru kerap khawatir makanan tidak selesai tepat waktu sehingga melakukan produksi terlalu dini.
“Oleh sebab itu, salah satu yang saya instruksikan kepada SSPG baru itu ketika memulai, mereka sudah punya daftar penerima manfaat. Katakanlah 3.500 di 20 sekolah, saya meminta agar mereka di awal-awal melayani dua sekolah dulu, kemudian setelah terbiasa baru naik ke empat sekolah, setelah itu naik lagi ke 10 sekolah,” ujar dia.
“Kemudian setelah bisa menguasai proses termasuk antara masak dan pengirimannya bisa tepat waktu dengan jumlah yang tertentu baru bisa memaksimalkan jumlah penerima manfaat,” imbuhnya.
Selain itu, Dadan juga menyoroti kasus serupa yang sempat terjadi di Banggai, Sulawesi Tengah. SPPG setempat sebelumnya berjalan baik, tetapi kemudian mengganti pemasok bahan baku secara mendadak sehingga kualitas menurun.
“Oleh sebab itu, kita instruksikan lagi bagi yang (SPPG) lama agar ketika akan mengganti pemasok harus bertahap. Jadi segala sesuatu tidak boleh berubah secara drastis. Untuk SPPG yang menjalani ini seperti yang di Banggai itu kan mengganti pemasok dalam waktu yang sangat singkat, sehingga kami minta setelah kejadian, berhenti dulu (MBG),” ungkapnya.
Moratorium MBG
Sementara itu, Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) mendesak pemerintahan Presiden Prabowo Subianto segera menghentikan sementara atau memoratorium MBG secara menyeluruh. Lebih dari 5.000 kasus keracunan makanan yang masih dialami siswa dan guru di berbagai daerah merupakan alarm yang mengindikasikan program ini perlu dievaluasi total.
Founder dan CEO CISDI Diah Saminarsih mengatakan kasus keracunan akibat MBG ibarat fenomena puncak gunung es. Angka jumlah kasus sebenarnya bisa jadi jauh lebih banyak karena pemerintah sejauh ini belum menyediakan dasbor pelaporan yang bisa diketahui publik.
“Pangkal persoalan program makan bergizi gratis adalah ambisi pemerintah yang menargetkan 82,9 juta penerima manfaat pada akhir 2025. Demi mencapai target yang sangat masif itu, program MBG dilaksanakan secara terburu-buru sehingga kualitas tata kelola penyediaan makanan hingga distribusinya tidak tertata dengan baik,” kata Diah.
Beberapa peristiwa keracunan bahkan ditetapkan sebagai kejadian luar biasa (KLB) karena menimpa ratusan siswa. Kegiatan belajar menjadi lumpuh karena korban mesti dirawat di puskesmas maupun rumah sakit.
Selain itu, keracunan massal menimbulkan beban biaya tak terduga yang dibebankan pada pemerintah daerah, untuk membayar penanganan keracunan di rumah sakit daerah atau swasta setempat. Hal ini tentu memberatkan para pemerintah daerah. Terlebih, alokasi anggaran transfer ke daerah juga berkurang 24,7% dari Rp864,1 triliun pada APBN 2025 menjadi Rp650 triliun pada RAPBN 2026.
Selain kasus keracunan akibat makanan tidak layak atau tidak higienis, menu MBG di banyak sekolah diwarnai produk pangan ultra-proses (ultra-processed food) dan susu berperisa tinggi gula.
“Masuknya pangan ultra-proses yang tinggi gula, garam, dan lemak dalam jangka panjang dapat memicu berat badan berlebih dan obesitas pada anak dan remaja. Efeknya justru kontraproduktif dengan tujuan awal MBG yaitu memperbaiki status gizi anak Indonesia,” ujar Diah.