Kuasa Hukum Roy Suryo Minta Penyidik Gelar Perkara Khusus Kasus Ijazah Jokowi Sebelum Periksa Saksi
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Penyidik Ditreskrimum Polda Metro Jaya memberikan dua opsi untuk upaya lanjutan kasus tudingan ijazah Joko Widodo kepada tersangka Roy Suryo cs yang datang saat wajib lapor, Kamis (27/11/2025).
Dua opsi itu meliputi gelar perkara khusus dan penyidikan, seperti yang sebelumnya diajukan tim kuasa hukum.
“Jadi, memang oleh penyidik dijawab opsional ya, bisa gelar perkara khusus duluan, tapi mungkin juga bisa pemanggilan keterangan ahli dan saksi yang meringankan lebih dulu,” ujar kuasa hukum Roy Suryo cs, Ahmad Khozinudin, saat ditemui wartawan di Mapolda Metro Jaya, Kamis.
Menanggapi pilihan tersebut, tim kuasa hukum memilih agar gelar perkara khusus dilakukan lebih dulu.
Menurut dia, gelar perkara khusus dapat memangkas waktu penyidikan.
“Kami sih berharap gelar perkara khusus duluan, karena di situlah akan membuka kotak pandora tentang misteri ijazah Jokowi. Karena kalau perdebatan itu bisa diakhiri dengan lebih cepat, kenapa sih kita menunda-nunda lama dan melelahkan melalui pengadilan,” ujar Ahmad.
Dalam gelar perkara khusus ini, mereka berharap keaslian ijazah Jokowi bisa terungkap.
Sebab, pembuktian ini dinilai penting untuk menentukan ada tidaknya tindak pidana yang dilakukan Roy Suryo cs.
“Karenanya gelar perkara khusus itu menjadi penting untuk menghadirkan satu-satunya yang sampai sekarang belum pernah kita lihat,” ujar kuasa hukum lainnya, Denny Indrayana, di kesempatan yang sama.
Polda Metro Jaya menetapkan delapan orang sebagai tersangka atas kasus tudingan
ijazah palsu
Jokowi setelah penyidikan yang panjang.
Kedelapan tersangka dijerat dengan Pasal 27A dan Pasal 28 UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), serta Pasal 310 dan/atau 311 KUHP dengan ancaman pidana penjara maksimal 6 tahun.
Para tersangka ini kemudian dibagi ke dalam dua klaster sesuai dengan perbuatannya.
Klaster pertama terdiri dari Eggi Sudjana, Kurnia Tri Royani, Rizal Fadillah, Rustam Effendi, dan Damai Hari Lubis.
Klaster pertama juga dijerat Pasal 160 KUHP dengan tuduhan penghasutan untuk melakukan kekerasan kepada penguasa umum.
Sementara klaster kedua terdiri atas Roy Suryo, Rismon Sianipar, dan Tifauzia Tyassuma.
Mereka dijerat Pasal 32 ayat (1) dan Pasal 35 UU ITE tentang menghapus atau menyembunyikan, serta memanipulasi dokumen elektronik.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Tag: Denny Indrayana
-
/data/photo/2025/11/20/691ede2a64286.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Kuasa Hukum Roy Suryo Minta Penyidik Gelar Perkara Khusus Kasus Ijazah Jokowi Sebelum Periksa Saksi Megapolitan 27 November 2025
-

Jokowi Harusnya Meniru Langkah Arsul Sani Dalam Kasus Tudingan Ijazah Palsu
JAKARTA – Pakar hukum tata negara, Denny Indrayana menilai, polemik ijazah Presiden ke-7 RI, Joko Widodo (Jokowi) yang masih menjadi perdebatan publik dan berujung penetapan Roy Suryo dan tujuh orang lainnya sebagai tersangka kasus tudingan ijazah palsu akan selesai jika meniru langkah Hakim MK, Arsul Sani.
Menurutnya, seluruh pembuktian yang dilakukan aparat maupun pihak pendukung Jokowi tidak akan berarti selama Jokowi sendiri tidak membuka dan menunjukkan ijazah aslinya kepada publik.
“Sejuta bukti sekalipun, menjadi kehilangan makna, ketika Jokowi terus berdalih tidak mau menunjukkan ijazah aslinya,” tulis Denny dalam akun media sosialnya seperti dilihat Minggu, 23 November.
Dia kemudian, membandingkan sikap Jokowi dengan Arsul Sani yang juga dituduh memiliki ijazah doktoral palsu. Arsul berani blak-blakan dengan memperlihatkan foto-foto wisuda dan ijazah asli serta fotokopi legalisir gelar doktor dari Collegium Humanum atau Warsawa Management University Polandia untuk menepis tudingan tersebut.
“Padahal persoalannya mudah, sebagaimana Arsul Sani tanpa proses persidangan, tanpa proses pidana, dengan terang menunjukkan ijazah S3-nya,” imbuhnya.
Denny menyebut, seharusnya Jokowi meniru langkah yang diambil Arsul Sani dengan memilih tampil terbuka dan langsung memperlihatkan ijazah serta dokumen legalnya tanpa menunggu proses hukum yang berjalan.
“Memang pada akhirnya terlihat beda kelas. Yang satu negarawan, yang lain mengabdi untuk kepentingan pribadi dan keluarganya semata,” tukasnya.
-

Jika Berani Tunjukkan dan Buktikan Ijazahnya, Pakar Hukum Sebut Banyak Hal yang Tidak Perlu Terjadi
FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Pakar hukum sekaligus eks Wakil Menteri Hukum dan HAM (WamenkumHAM) era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Denny Indrayana, punya pernyataan menarik di tengah panasnya isu pembahasan ijazah palsu Joko Widodo.
Lewat cuitan di akun media sosial X pribadinya, Denny Indrayana menyebut banyak hal yang sebenarnya tidak perlu terjadi.
Hal tersebut tidak perlu bahkan tidak harus terjadi, jika mantan Presiden Jokowi dari awal menunjukkan dan membuktikan ijazahnya asli.
Ini disebut Denny bisa saja tidak berkepanjangan jika dari awal berani ditunjukkan.
“Kalau Pak Jokowi sedari awal berani menunjukkan ijazah aslinya,” tulisnya dikutip Minggu (23/11/2025).
Beberapa yang tidak perlu bahkan tidak terjadi seperti proses pidana yang menjerat beberapa nama. Di mana banyak pihak meyakini hal tersebut adalah kriminalisasi.
Bahkan sampai rakyat harus dikorbankan hingga mendekam di penjara karena pembahasan isu ini.
“Tidak perlu ada proses pidana, dan tidak ada rakyat yang masuk penjara,” tuturnya.
Sebelumnya, Dokter Tifa, Roy Suryo, Rismon Sianipar dan lima orang lainnya ditetapkan sebagai tersangka.
Mereka ditetapkan sebagai terangka dalam kasus tudingan ijazah palsu mantan Presiden Joko Widodo.
Seperti diketahui, Baru-baru ini Hakim MK, Arsul Sani, secara terbuka memperlihatkan ijazahnya usai muncul laporan terhadapnya. Arsul Sani bahkan mempersilakan awak media memotret ijazah itu.
Hal berbeda dilakukan oleh mantan presiden Jokowi. Bukannya memperlihatkan ijazah secara terbuka, ayah Wapres Gibran itu justru melaporkan sejumlah pihak yang meneliti ijazahnya.
-

Tak Sekadar Melawan Kiminalisasi, Denny Indrayana: Setiap Orang Berhak Mengungkap Kebenaran
FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Pakar hukum tata negara, Denny Indrayana, turut bergabung sebagai tim Kuasa Hukum Roy Suryo cs terkait kasus ijazah palsu Presiden ke-7 RI Joko Widodo.
Eks Wamenkumham itu menilai bahwa status tersangka yang dialamatkan ke Roy Suryo Cs merupakan upaya membungkam suara kritis atas kekuasaan.
“Saya memutuskan menjadi kuasa hukum karena ingin menegaskan tidak boleh ada penggunaan kekuasaan yang kemudian membungkam sikap kritis dari orang-orang bahkan jika berhadapan dengan mantan presiden sekalipun,” kata Denny melalui akun media sosialnya, Jumat (14/11/2025).
Dia juga menegaskan bahwa bergabung membela Roy Suryo Cs untuk melawan Jokowi yang telah merusak demokrasi di akhir jabatannya.
“Bukan semata melawan kriminalisasi tetapi juga modus intimidasi, yang memperalat hukum pidana untuk kepentingan mantan penguasa,” sebutnya.
Denny juga mengatakan setiap orang berhak mengungkap kebenaran dokumen publik seperti ijazah, dan tidak boleh dilaporkan ke polisi oleh siapapun, termasuk mantan presiden.
“Justru seharusnya, yang sudah lama kita tunggu-tunggu, mantan Presiden Jokowi harusnya dengan gentleman menunjukkan keaslian ijazahnya,” ucap dia.
Diberitakan sebelumnya, Juru bicara Roy Suryo Cs, Refly Harun, angkat suara usai ketiganya menjalani pemeriksaan sebagai tersangka di Polda Metro Jaya, kemarin.
Pemeriksaan tersebut berlangsung intensif dengan jumlah pertanyaan yang mencapai ratusan.
Refly menyebut proses pemeriksaan berjalan dengan baik dan para tersangka bersikap kooperatif.
-

Eks Stafsus SBY Dukung Roy Suryo Cs, Sebut Ada yang Salah dengan Hukum Indonesia
FAJAR.CO.ID, JAKARTA – Pakar Hukum Denny Indrayana sedikit menyayangkan penetapan Roy Suryo dan 7 orang lainnya sebagai tersangka dalam kasus ijazah Jokowi.
Menurutnya mengkriminalisasi para tersangka ini tindakan yang dirasa tidak perlu. Dia bahkan menyebut ada permainan mafia hukum dalam kasus ini.
“Diksi dan narasi kriminalisasi, karena memang dengan sedih saya berpandang. Politik penegakan hukum kita masih belum ideal. Mafia hukum di sana yang masih kental,” ungkapnya saat menjadi narasumber dalam tayangan iNews dikutip Sabtu (15/11/2025).
Sejak mahasiswa, stafsus presiden hingga saat ini kasusafia hukum masih menjadi masalah genting dalam sistem hukum di negeri ini.
Katanya menjdi bagian dari koalisi akan lebih aman dibandingkan menjadi bagian dari oposisi.“Karena kalau oposisi itu dipukul, kalau koalisi ya dirangkul. Dan itu politik Sandra pak jokowi. Itu kelihatan dalam bentuk cawe-cawenya itu,” sambung Eks Stafsus SBY ini.
Menanggapi lebih lanjut kasus ini, Denny merasa harus ada advokasi kepada publik. Dia menyebut ini tidak hanya sebagai masalah teknis hukum pidana.
“Saya kemudian memutuskan ini harus diadvokasi secara publik. Dan saya ingin memberikan perspektif yang lebih mendasar. Bahwa ini tidak semata-mata masalah teknis hukum pidana,” imbuhnya.Lebih dari itu, kejadian ini adalah ceinan bagaimana proses hukum berjalan di Indonesia yang menurutnya penuh intervensi, intimidasi dan kedekatan kekuasaan.
“Ini ada relasi hukum tata negara, bagaimana harusnya proses penegakan hukum itu merdeka. Harusnya proses pidana itu jangan diintervensi, diintimidasi oleh kedekatan kekuasaan,” sebutnya.
-

Buktikan Dulu Ijazahnya Asli atau Palsu!
GELORA.CO – Denny Indrayana angkat suara usai menyatakan diri bergabung dalam tim kuasa hukum Roy Suryo cs dalam kasus tudingan ijazah palsu Presiden RI ke-7, Joko Widodo alias Jokowi.
Menurut eks Wakil Menteri Hukum dan HAM itu, Roy Suryo cs tak bisa langsung dianggap melakukan pencemaran nama Jokowi.
Sebab, kata dia, penentuan unsur pencemaran nama baik baru bisa dilakukan jika ijazah Jokowi benar-benar palsu.
“Paling mendasar itu adalah apakah ada pencemaran nama baik atau tidak. Keaslian dan kepalsuan ijazah itu dulu yang paling penting untuk dibuktikan,” katanya saat dikonfirmasi wartawan, Jumat 14 November 2025.
Dia kembali menegaskan, Roy Suryo cs baru dapat disebut mencemarkan nama baik Jokowi jika ijazah terbukti asli.
“Nah, persoalannya adalah, sejauh ini, kita kan belum pernah melihat Pak Jokowi menunjukkan ijazah aslinya, bagaimana kita bisa mengatakan ada pencemaran nama baik?” ujarnya.
Bahkan, dia menyebut, kasus yang menjerat Roy Suryo cs merupakan bentuk kriminalisasi.
“Saya sepakat bahwa ada sisi intimidasi yang menggunakan hukum pidana sebagai alat untuk membungkam kekritisan warga negara, itu nggak boleh,” ucapnya.
“Jangan sampai orang mudah dipenjarakan, dikriminalisasi,” imbuhnya.
Ditambahkan Denny, dia hadir dalam tim hukum untuk memperkuat pembelaan dari sisi hukum tata negara, hak dasar warga negara, hingga aspek politik.
Sebelumnya, dia menilai proses hukum yang dihadapi Roy Suryo dkk sarat intimidasi.
Menurutnya, keputusannya bergabung dalam tim tersebut bukanlah keputusan spontan.
“Saya memutuskan bergabung dengan tim kuasa hukum Roy Suryo Cs,” ungkapnya di akun X miliknya @dennyindrayana pada Jumat, 14 November 2025.
Denny menyebut, langkahnya bergabung dalam tim yang membela Roy Suryo cs karena melihat adanya upaya penggunaan hukum secara tidak semestinya.
“Bukan semata melawan kriminalisasi tetapi juga modus intimidasi, yang memperalat hukum pidana untuk kepentingan mantan penguasa,” katanya.
Dia berpandangan, praktik tersebut tidak boleh dibiarkan. Dia pun menyatakan perlawanannya secara hukum maupun moral.
“Tindakan sok kuasa yang harus dilawan!” tegasnya.***
-

Jadi Kuasa Hukum Roy Suryo Cs, Denny Indrayana Ungkit ‘Dosa-dosa’ Jokowi selain Dugaan Ijazah Palsu
GELORA.CO – Pakar Hukum Tata Negara, Prof Denny Indrayana membeberkan alasannya memilih bergabung sebagai kuasa hukum Roy Suryo Cs.
Salah satunya, dia akan menghadapi dugaan cawe-cawe penguasa di kasus dugaan fitnah ijazah Jokowi.
“Saya memutuskan menjadi kausa hukum karena ingin menegaskan bahwa tidak boleh ada penggunaaan kekuasaan untuk membungkam sikap kritis dari orang-orang bahkan jika berjadapan dengan mantan presiden sekalipun
Untuk itu, saya ingin menambahkan dari perspektif hukum tata negara, bidang yang saya geluti, politik hukum, bagaimana kemudian relasi kekuasaan dengan hukum tanpa mengkesampingkan isu-isu hukum-hukum pidananya,” jelas Denny Indrayana dikutip dari video yang dia unggah di akun X pribadinya, Jumat (14/11/2025)
Sebab, menurut Denny, tata negara dan politik penegakan hukum adalah perspektif yang harus diletakkan sebagai pondasi dasar pada saat melihat dan menganalisis masalah ijazah Jokowi
“Karena mantan presiden Jokowi telah menunjukkan bagaimana dia merusak tatanan demokrasi terutama saat masa akhir jabatannya. Cawe-cawe dalam Pilpres 2024. Kemudian ada putusan Mahkamah Konstitusi yang menjadikan Gibran memenuhi syarat sebagai cawapres, yang dimana itu adalah bentuk-bentuk pelanggaran konstitusi. Dan sekarang berlanjut dengan mentersangkakan warga negara yang bersikap kritis terkait dugaan ijazah palsu,” ungkapnya
“Karena itu saya merasa wajib melakukan langkah advokasi hukum, untuk menegaskan tidak boleh penggunaan kekuasaan menentukan arah penegakan hukum. Terlebih hukum pidana. Hukum yang bisa membuat orang dipenjarakan. Hukum yang bisa membatasi HAM. Dalam konteks itu, penggunaan hukum pidana adalah alat intimidasi yang harus dilawan.”
“Tidak boleh siapapun, termasuk antan presiden sekalipun, melaporkan orang yang ingin membuka kebenaran dokumen publik dalam hal ini ijazahnya Jokowi kepada khalayak. Justru seharusnya, yang sudah lama kita tunggu, Jokowi harusnya dengan gentlemen menunjukkan ijazahnya,” tandasnya
-

Denny Indrayana: Cawe-cawe adalah Pelanggaran Etika Politik Hukum yang Paripurna
FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Pakar hukum tata negara, Denny Indrayana menyampaikan argumennya terkait cawe-cawe. Menurutnya, cawe-cawe melanggar etika polisi hukum.
“Cawe-cawe adalah pelanggaran etika politik hukum yang paripurna,” tulis Indrayana dalam akun Threads privasinya, Senin, (6/10/2025).
Secara bahasa, cawe-cawe artinya ikut membantu mengerjakan (membereskan, merampungkan); ikut menangani.
Istilah cawe-cawe ramai digunakan setelah Jokowi secara terbuka akan cawe-cawe di Pemilu 2024 silam.
Denny Indrayana menyatakan, cawe-cawe bukan hanya melanggar fatsoen politik, dimana Presiden atau mantan Presiden harusnya bersandar pada politik negara-bangsa, bukan politik keluarga.
Cawe-cawe juga mempunyai potensi pelanggaran hukum pidana karena cenderung koruptif dan merusak tatanan ekonomi dan ekologi.
“Cawe-cawe harus diberi sanksi hukum, agar tidak kebablasan menjadi konvensi politik yang dianggap benar dan wajar, ” ujarnya.
Diketahui, cawe-cawe berasal dari bahasa Jawa, yang diserap ke dalam bahasa Indonesia.
Istilah “cawe-cawe” dalam konteks bahasa dan politik di Indonesia mengandung makna intervensi atau keterlibatan dalam urusan yang biasanya bukan tanggung jawab langsung seseorang.
Secara etimologis, frasa ini berasal dari bahasa Jawa yang berarti “ikut campur,” sering kali dengan konotasi positif atau netral, bergantung pada konteksnya.
Dalam lingkup politik, “cawe-cawe” sering digunakan untuk menggambarkan tindakan aktor politik yang campur tangan dalam situasi tertentu demi kepentingan publik atau pribadi.
-

Nonaktif Anggota DPR Sekadar Formalitas, Parpol Tak Berani Tegas?
Bisnis.com, JAKARTA — Polemik status “nonaktif” yang disematkan sejumlah partai politik kepada kadernya di DPR mendapat sorotan dari publik.
Khususnya, agar setiap nahkoda partai segera melakukan pergantian antarwaktu (PAW) terhadap anggota yang dianggap bermasalah.
Sayangnya, pimpinan partai tampak enggan mengambil langkah tegas. Beberapa partai sebelumnya telah menyatakan menonaktifkan kader mereka di DPR. Meski begitu, keputusan tersebut menuai kritik lantaran dianggap hanya bersifat simbolis tanpa dasar hukum yang jelas.
Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia, saat dimintai tanggapan mengenai desakan PAW, tidak memberikan jawaban tegas. Ia hanya mengulangi sikap partai soal status Wakil Ketua Komisi III DPR RI Adies Kadir.
“Kemarin dari DPP Golkar seperti yang sudah disampaikan sekjen, bahwa Pak Adies Kadir sudah dinonaktifkan,” ujarnya di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (1/9/2025).
Ketika ditanya lebih lanjut mengenai hak-hak anggota DPR yang berstatus nonaktif, termasuk soal gaji, Bahlil kembali menghindar.
“Iya nanti kita lihat,” kata Bahlil singkat.
Hal serupa terlihat dari Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan. Saat dicecar pertanyaan terkait kemungkinan PAW terhadap Eko Hendro Purnomo atau Eko Patrio, Zulhas memilih diam dan langsung menuju mobilnya.
Sikap yang tidak lugas dari para pimpinan partai tersebut semakin memperkuat persepsi publik bahwa kebijakan “nonaktif” hanyalah langkah sementara untuk meredam kritik, bukan upaya serius dalam menegakkan akuntabilitas politik.
Mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Denny Indrayana, menilai istilah tersebut tidak memiliki dasar hukum dan lebih merupakan keputusan politik semata.
“Nonaktif ini bukan istilah hukum, ini adalah keputusan politik. Kalau dalam hukum itu adanya pergantian antar waktu, pemberhentian sementara, dan pemberhentian tetap,” ujar Denny saat dihubungi Bisnis, Senin (1/9/2025).
Dia menjelaskan, pemberhentian sementara hanya berlaku dalam kondisi tertentu, seperti ketika anggota dewan menjadi tersangka atau terdakwa. Sementara itu, status nonaktif tidak pernah diatur dalam undang-undang.
“Jadi nonaktif ini istilah yang tidak muncul dalam undang-undang, sehingga lebih bersifat politis dari langkah yang diambil partai untuk meredakan ketegangan dengan publik. Tapi konsekuensi hukumnya tidak jelas,” tegasnya.
Denny menilai, perdebatan soal nonaktif seharusnya menjadi momentum untuk mendorong reformasi yang lebih mendasar.
“Yang harus ditargetkan bukan hanya anggota dewan yang dijatuhi sanksi, tetapi lebih jauh adalah reformasi DPR dan reformasi partai politik. Karena anggota dewan yang relatif bermasalah hadir lewat proses rekrutmen dan pemilu yang juga bermasalah,” ujarnya.
Hal senada disampaikan pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari. Ia menegaskan bahwa istilah nonaktif tidak dikenal dalam Undang-Undang MD3, sehingga anggota DPR yang dinyatakan nonaktif oleh partai tetap berhak menerima gaji dan tunjangan.
“Ya, karena istilah nonaktif itu tidak dikenal dengan Undang-Undang MD3, sehingga tidak bermakna nonaktif itu diberhentikan. Tentu saja kalau tidak diberhentikan, segala haknya sebagai anggota masih akan mereka dapatkan,” jelas Feri.
