JAKARTA – Pembentukan Tim Transformasi Reformasi Polri patut diapresiasi, namun di sisi lain harus dipandang skeptis. Karena hanya berisi nama-nama perwira tinggi yang semuanya berasal dari kepolisian, sulit mengharapkan agenda Reformasi Polri akan bermakna besar bagi masyarakat.
Desakan Reformasi Polri kian menguat belakangan ini, setelah terjadinya aksi demonstrasi besar-besaran di sejumlah daerah di Indonesia pada akhir Agustus silam. Saat itu, tuntutan supaya Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mundur menggema setelah kasus meninggalnya pengemudi ojek online Affan Kurniawan akibat dilindas kendaraan taktis Brimob.
Merespons tuntutan publik, Presiden Prabowo Subianto pun mengungkapkan rencana membentuk tim atau komisi reformasi kepolisian. Sebagai langkah awal, Prabowo melantik pensiunan Wakapolri Ahmad Dofiri sebagai Penasihat Khusus Presiden Bidang Keamanan dan Ketertiban Masyarakat serta Reformasi Kepolisian pada 17 September.
Namun yang menjadi perhatian luas sekarang ini justru langkah Kapolri Listyo yang membentuk Tim Transformasi Reformasi Polri yang diumumkan lebih dulu dibanding rencana reformasi kepolisian yang tengah disiapkan Presiden Prabowo.
Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo menjawab pertanyaan wartawan saat dia ditemui selepas menghadiri upacara pelantikan menteri, wakil menteri, dan pimpinan lembaga hasil “reshuffle” jilid ke-3 Kabinet Merah Putih di Istana Negara, Jakarta, Rabu (17/9/2025). (ANTARA/Genta Tenri Mawangi/aa)
Keputusan ini memicu perdebatan luas di ruang publik. Mereka mempertanyakan tentang koordinasi, arah kebijakan, dan potensi dinamika politik di baliknya. Bahkan tak sedikit yang menyebut langkah Kapolri membentuk Tim Transformasi Reformasi sebagai tindakan yang melangkahi presiden.
Bias Kepentingan
Instruksi pembentukan Tim Transformasi Reformasi Polri bentukan Kapolri jenderal Listyo Sigit Prabowo berisi 52 perwira Polri, terdiri dari 47 perwira tinggi dan lima perwira menengah. Listyo didapuk sebagai pelindung, sedangkan Wakil Kapolri Komisaris Jenderal Dedi Prasetyo menjadi penasihat. Ketua tim ini diemban oleh Komjen Chryshnanda Dwilaksana. Perwira bintang tiga Polri ini menjabat sebagai Kepala Lembaga Diklat Polri.
Melalui surat perintah itu, Kapolri menugaskan para personel di dalamnya untuk melaksanakan koordinasi dan kerja sama sebaik-baiknya dengan unsur terkait dalam rangka kelancaran pelaksanaan tugas sebagai Tim Transformasi Reformasi Polri. Tim juga diminta menyusun rencana kegiatan dan kebutuhan anggaran yang diperlukan serta melaksanakan perintah dari Kapolri dengan saksama dan penuh rasa tanggung jawab.
Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto menilai pembentukan Tim Transformasi Reformasi Polri layak didukung, tapi juga harus dilihat dengan skeptis.
Ia juga mewanti-wanti agar pembentukan tim ini jangan sebatas gimik atas desakan publik terhadap institusi kepolisian. Pasalnya, tim serupa sudah sering dibentuk Polri, namun jarang yang akhirnya memenuhi harapan masyarakat.
“Sebagai sebuah upaya perbaikan ya layak didukung. Namun tetap saja kita sebagai masyarakat tentu harus melihatnya dengan skeptis,” ujar Bambang.
Caption
Bambang juga mempertanyakan penggunaan istilan “transformasi” dan “reformasi” secara bersamaan dalam nama tim. Menurut dia, kedua kata itu memiliki makna berbeda. Transformasi bermakna perubahan fundamental, sementara reformasi hanya sebatas perbaikan.
“Ini tim tugasnya untuk melakukan transformasi atau reformasi?” ujarnya.
Lebih jauh, Bambang mempertanyakan efektivias tim internal dalam membenahi Polri. Meski maksudnya baik, tim ini juga berpotensi menemui kendala subyektivitas dan konflik kepentingan mengingat seluruh anggota tim berasal dari lingkungan Polri itu sendiri.
“Analoginya tidak mungkin dokter melakukan operasi dirinya sendiri. Ada kendala subyektivitas dan bias kepentingan di internal, belum lagi resistensi dari kelompok pro-status quo. Apakah mungkin tim internal tersebut memetakan penyakitnya sendiri?” tutur Bambang.
Dengan kendala-kendala seperti itu, wajar jika publik kemudian skeptis. Pembentukan tim internal ini terkesan hanya gimik untuk mengalihkan desakan masyarakat.
“Bila Tim Transformasi Reformasi Polri ini tidak tepat sesuai harapan masyarakat, risikonya malah blunder, bahkan tambahan legitimasi mempercepat pergantian Kapolri,” Bambang melanjutkan.
Perlu Keragaman Latar Belakang
Sementara itu peneliti Public Virtue Research Institute (PVRI) Muhammad Naziful Haq memandang pembentukan Tim Transformasi Reformasi Polri yang semua anggotanya berlatar polisi tidak saja problematik, tapi juga membawa konflik kepentingan.
Menurut dia, seharusnya ada keragaman latar belakang di tim ini, misalnya melibatkan akademisi, perwakilan masyarakat sipil, atau tokoh yang berintegritas. Dengan demikian, upaya ini membawa penyegaran struktural ataupun kultural.
“Reformasi Polri bukan saja harus mengarah pada agenda penguatan akuntabilitas, transparansi, maupun pembenahan struktur dan kultur di lingkungan Polri. Tapi juga di lingkungan pembuat keputusan dan juga kebijakan publik. Komitmen ini bisa kita lihat dari seberapa terbuka pemerintah dan juga jajaran Polri bagi masukan masyarakat,” kata Nazif.
Reformasi Polri, Nazif menambahkan, juga diukur dari ada tidaknya perubahan kebijakan pemerintah dan kepolisian yang dituntut independen. Keseriusan itu tidak hanya terletak pada jargon atau kampanye media sosial masif melalui penggalangan dukungan kalangan tertentu.
“Tugas negara adalah melayani hak-hak sipil, dan sosial ekonomi rakyat. Jika penyelenggara negara hanya melayani elite, maka mustahil Polri dapat benar-benar melindungi dan mengayomi rakyat. Reformasi Polri wajib melibatkan masyarakat jika ingin membawa dampak positif bagi demokrasi,” sambungnya.
Senada, Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid menyebut partispasi masyarakat harus dikedepankan dalam kebijakan reformasi Polri yang kini diwacanakan pemerintah, termasuk oleh jajaran Polri melalui pembentukan Tim Transformasi Reformasi Polri.
Jika tim itu hanya diisi nama-nama perwira tinggi yang semuanya dari kepolisian, maka sulit berharap bahwa agenda reformasi Polri akan bermakna besar bagi masyarakat. Apalagi, akar permasalahan di tubuh kepolisian juga sebenarnya bersumber dari kebijakan pemerintahan, yang di mata masyarakat dirasa tidak adil.





/data/photo/2018/01/30/1642595850.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/09/05/68babeaac05ea.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)


