Tag: Dedi Mulyadi

  • Pemkot Butuh Lahan 20 Hektar untuk Bangun Stadion Bertaraf Internasional di Depok
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        8 Oktober 2025

    Pemkot Butuh Lahan 20 Hektar untuk Bangun Stadion Bertaraf Internasional di Depok Megapolitan 8 Oktober 2025

    Pemkot Butuh Lahan 20 Hektar untuk Bangun Stadion Bertaraf Internasional di Depok
    Tim Redaksi
    DEPOK, KOMPAS.com
    – Pemerintah Kota Depok membutuhkan lahan sekitar 20 hektar untuk membangun stadion bertaraf internasional.
    Rencananya, pembangunan stadion ini akan dilakukan di lahan area Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII), Cisalak, Kota Depok.
    “Kita usulkan permintaan 20 hektare. Tapi mungkin nanti menyesuaikan dengan kebutuhan,” ucap Wali Kota Depok Supian Suri kepada wartawan di UIII, Rabu (8/10/2025).
    Supian mengatakan, kebutuhan lahan bisa disesuaikan tergantung kesepakatan bersama pihak UIII yang mempunyai total luas lahan keseluruhan sekitar 142 hektar.
    Rencana ini juga disambut positif oleh Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi yang mulanya stadion akan dibangun di Tanah Merah, Cipayungjaya.
    Apalagi, anggaran pembangunan juga disebutkan sudah tersedia.
    “Alokasi anggaran dari Kementerian PU sudah ada, kemarin kita upayakan di Tanah Merah tapi ada rencana Tanah Merah untuk Batalyon,” ujar Supian.
    Oleh karena itu, Pemkot Depok bakal berkoordinasi lebih lanjut dengan Kemenpora perihal perubahan lahan stadion internasional.
    Sebelumnya, Pemkot Depok berencana membangun stadion berskala internasional di kawasan Tanah Merah, Cipayungjaya, Kota Depok.
    “Alhamdulillah tadi dalam pertemuan saya menyampaikan beberapa harapan masyarakat Kota Depok, termasuk pembangunan stadion dan infrastruktur lainnya, seperti pelebaran Jalan Raya Sawangan dan penambahan akses tol,” tutur Supian sebagaimana dilansir situs resmi Pemkot Depok, Sabtu (5/7/2025).
    Nyatanya, rencana ini menuai respon keberatan dari pihak perusahaan yang mengeklaim memiliki lahan tersebut, yaitu PT Tjitajam.
    Kuasa Hukum PT Tjitajam Reynold Thohak menjelaskan, kliennya merupakan pemegang Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) nomor 257/Cipayung Jaya tertanggal 25 Agustus 1999. Kepemilikan ini disebut telah diperkuat oleh sejumlah keputusan hukum yang sah.
    “Bahwa kepemilikan dari klien terhadap SHGB No. 257 telah dikuatkan oleh 10 putusan yang telah berkekuatan hukum tetap,” ujar Reynold.
    Saat ini, tanah tersebut tengah berada dalam status Sita Jaminan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Timur.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Dedi Mulyadi Dorong Kementerian PU Bangun Stadion Internasional Depok di UIII
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        8 Oktober 2025

    Dedi Mulyadi Dorong Kementerian PU Bangun Stadion Internasional Depok di UIII Megapolitan 8 Oktober 2025

    Dedi Mulyadi Dorong Kementerian PU Bangun Stadion Internasional Depok di UIII
    Tim Redaksi
    DEPOK, KOMPAS.com
    – Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi akan mendorong Kementerian Perumahan Umum (PU) untuk membantun stadion bertaraf internasional di Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII), Kota Depok.
    Hal ini disampaikan usai Dedi mendatangi kampus UIII memberikan kuliah umum bertajuk “Bersama Membangun Jabar: Dari Kearifan Lokal ke Panggung Global”.
    “Artinya, sudah klik ini (toh) kan anggarannya dari Menteri PU, dibangun di tanah negara, selesai dan enggak ada masalah,” ucap Dedi kepada wartawan di UIII, Rabu (8/10/2025).
    Ia memaparkan, Kemenpora sempat menganggap UIII sebagai kampus swasta yang sulit dijadikan opsi membangun stadion sebab terkendala akta hibah.
    “Namun karena ini kampus negeri dan ini aset negara maka pembangunan stadion sudah tidak terhalang lagi oleh aspek prosedural,” ujar Dedi.
    Sementara itu, Wali Kota Depok Supian Suri menjelaskan, lahan di Tanah Merah, Cipayungjaya yang semula hendak menjadi tempat dibangunnya stadion ternyata akan dialihfungsikan sebagai batalyon.
    “Alokasi anggaran dari Kementerian PU sudah ada, kemarin kita upayakan di Tanah Merah tapi ada rencana Tanah Merah untuk Batalyon,” ujar Supian.
    Disebutkan, kebutuhan luas lahan untuk stadion internasional Depok akan berkisar 20 hektar.
    Namun, hal itu masih bersifat sementara selagi menyesuaikan dengan ketersediaan lahan di UIII.
    “Tapi mungkin nanti menyesuaikan dengan kebutuhan, artinya bisa juga kurang dari 20 hektare. Mudah-mudahan ini bisa, jadi mohon doanya lah,” kata Supian.
    Sebelumnya, Pemkot Depok berencana membangun stadion berskala internasional di kawasan Tanah Merah, Cipayungjaya, Kota Depok.
    “Alhamdulillah tadi dalam pertemuan saya menyampaikan beberapa harapan masyarakat Kota Depok, termasuk pembangunan stadion dan infrastruktur lainnya, seperti pelebaran Jalan Raya Sawangan dan penambahan akses tol,” tutur Supian sebagaimana dilansir situs resmi Pemkot Depok, Sabtu (5/7/2025).
    Nyatanya, rencana ini menuai respon keberatan dari pihak perusahaan yang mengeklaim memiliki lahan tersebut, yaitu PT Tjitajam.
    Kuasa Hukum PT Tjitajam Reynold Thohak menjelaskan, kliennya merupakan pemegang Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) nomor 257/Cipayung Jaya tertanggal 25 Agustus 1999. Kepemilikan ini disebut telah diperkuat oleh sejumlah keputusan hukum yang sah.
    “Bahwa kepemilikan dari klien terhadap SHGB No. 257 telah dikuatkan oleh 10 putusan yang telah berkekuatan hukum tetap,” ujar Reynold.
    Saat ini, tanah tersebut tengah berada dalam status Sita Jaminan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Timur.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Dedi Mulyadi Tanggapi Wacana Pemotongan Transfer ke Daerah: Kita Tak akan Menyerah, Tarung

    Dedi Mulyadi Tanggapi Wacana Pemotongan Transfer ke Daerah: Kita Tak akan Menyerah, Tarung

    Sebelumnya, Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa telah menerima Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) pada Selasa, 7 Oktober 2025. Pertemuan itu membahas mekanisme Transfer ke Daerah (TKD) dan Dana Bagi Hasil (DBH).

    Menkeu Purbaya menuturkan, setiap kebijakan akan disesuaikan dengan kondisi keuangan nasional dan daerah agar tercipta keseimbangan yang adil tanpa mengganggu stabilitas fiskal negara secara keseluruhan.

    “(Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia) mau protes? Bisa saja, kita lihat keuangan daerah kita seperti apa, keuangan pemerintah seperti apa, kita atur sesuai kondisi keuangan,” ujar Purbaya, seperti dikutip dari Antara, Rabu (8/10/2025).

    Menkeu Purbaya juga meminta pemerintah daerah memperbaiki kualitas belanja dan tata kelola anggaran agar dana transfer ke daerah memberikan dampak optimal bagi pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.

    “Jadi begini, ini semuanya tergantung pada kepala daerahnya lagi nanti kedepannya,” ujar Menkeu Purbaya.

    Ia menuturkan, tanggapannya terkait protes Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) atas penurunan Transfer ke Daerah (TKD) dengan menekankan pentingnya perbaikan tata kelola pemerintahan daerah.

  • 10
                    
                        Dedi Mulyadi Bocorkan Cara Baru Dapat Kerja Tanpa Capek Lamar-lamar
                        Bandung

    10 Dedi Mulyadi Bocorkan Cara Baru Dapat Kerja Tanpa Capek Lamar-lamar Bandung

    Dedi Mulyadi Bocorkan Cara Baru Dapat Kerja Tanpa Capek Lamar-lamar
    Tim Redaksi
    INDRAMAYU, KOMPAS.com
    – Bupati Indramayu Lucky Hakim menyebut peluncuran aplikasi “Nyari Gawe” menjadi solusi nyata bagi pencari kerja yang kesulitan mendapatkan informasi lowongan secara jelas dan tepercaya.
    Aplikasi tersebut resmi diluncurkan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi dalam kegiatan di PT Sun Bright Lestari, Kecamatan Krangkeng, Indramayu, Selasa (7/10/2025).
    “Mereka sampai banyak yang datang langsung ke pabrik menanyakan langsung, sebenarnya sudah dibuka belum sih,” kata Lucky Hakim dalam acara tersebut.
    Lucky mengatakan, selama ini Pemkab Indramayu melalui Dinas Tenaga Kerja sudah aktif menyediakan informasi lowongan, tetapi belum sepenuhnya tersosialisasi dengan baik.
    “Apabila sudah pun, terkadang mereka bingung cara masuknya itu harus seperti apa,” ujarnya.
    Ia juga menyoroti maraknya pungutan liar berkedok rekrutmen kerja yang merugikan masyarakat.
    “Ada yang katanya harus bayar Rp 2 sampai 2,5 juta agar bisa diterima di pabrik sepatu. Ini sudah sering saya ingatkan lewat media sosial, tidak boleh ada pungutan seperti itu,” kata Lucky.
    Dengan hadirnya aplikasi Nyari Gawe, Lucky berharap perekrutan menjadi lebih transparan dan efisien.
    Selain itu, ia menyebut Indramayu tengah bersiap menjadi kawasan industri baru dengan pembangunan pabrik di sejumlah wilayah seperti Krangkeng, Losarang, dan Sukra.
    “Tapi di sini saya berharap orang Indramayu harus punya
    skill
    , nanti kami dari Pemda akan melakukan pembekalan bekerja sama juga dengan provinsi dan pusat,” katanya.
    Sementara itu, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menjelaskan, aplikasi Nyari Gawe dirancang untuk mempertemukan pelaku industri dengan tenaga kerja lokal secara cepat dan efisien.
    “Kemudian, oleh HRD dipanggil untuk seleksi, tidak perlu melamar. Jadi tidak usah capek-capek,” ujar Dedi.
    Dedi menambahkan, peluncuran aplikasi ini bukan sekadar digitalisasi, melainkan juga langkah konkret menciptakan lapangan kerja baru di Jawa Barat, khususnya di wilayah industri seperti Indramayu.
    Dalam kegiatan tersebut, terdapat 100 pencari kerja yang hadir langsung. Sebanyak 16 perusahaan membuka lowongan dengan total kebutuhan sekitar 530 orang, sedangkan 17 perusahaan lain bergabung secara daring dengan potensi 11.500 lowongan hingga akhir 2025.
    Adapun potensi lowongan kerja di Indramayu hingga 2026 diperkirakan meningkat 25 persen, mencapai 14.375 formasi pekerjaan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Kebijakan Dedi Mulyadi Minta Warga Donasi Rp 1.000 per Hari Bakal Dijalankan di Cianjur

    Kebijakan Dedi Mulyadi Minta Warga Donasi Rp 1.000 per Hari Bakal Dijalankan di Cianjur

    Liputan6.com, Jakarta Kebijakan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi terkait donasi warga Rp 1.000 per hari bakal diterapkan di Cianjur. Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Cianjur, melibatkan seluruh kalangan masyarakat mulai dari pegawai pemerintah sampai pelajar guna mendukung Program rereoangan sapoe sarebu (Poe Ibu) atau sumbangan Rp1.000 per hari yang difokuskan untuk pendidikan dan kesehatan.

    Bupati Cianjur Mohammad Wahyu Ferdian di Cianjur menilai Program Poe Ibu dapat membantu semua kalangan.

    “Program Poe Ibu akan dilaksanakan di Kabupaten Cianjur, sebelumnya akan digelar rapat koordinasi terlebih dahulu untuk membahas mekanisme dan teknis di lapangan, setelah itu baru dijalankan,” katanya.

    Nantinya, dana yang terkumpul akan difokuskan menjawab persoalan utama di tengah masyarakat. Mulai dari akses kesehatan dan pendidikan. Tahap awal, penerapan akan dimulai dari lingkungan pemerintah daerah. Selanjutnya akan diberlakukan mulai dari tingkat RT/RW, masyarakat umum, dan pelajar. Dia menegaskan, donasi atau kontribusi uang dari warga bersifat sukarela tanpa paksaan dan tidak diwajibkan.

    “Hari ini mungkin kita yang memberi, suatu saat bisa jadi kita yang membutuhkan, sehingga kami berharap desa dan masyarakat akan mengikuti setelah pelaksanaan di lingkungan pemerintah berjalan,” katanya.

    Meski tidak wajib, lanjutnya, program tersebut dapat berarti besar karena suatu hari bisa saja yang memberikan bantuan akan membutuhkan bantuan, sehingga hal baik tersebut dapat diikuti semua kalangan masyarakat di Cianjur.

  • Urusi Kasus Yai Mim di Malang Jawa Timur, KDM Tuai Kritik Tajam: Apakah Dia Kurang Kerjaan atau Cari Perhatian?

    Urusi Kasus Yai Mim di Malang Jawa Timur, KDM Tuai Kritik Tajam: Apakah Dia Kurang Kerjaan atau Cari Perhatian?

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi atau akrab dengan akronim KDM (Kang Dedi Mulyadi) kembali jadi sorotan dan mendapat kritikan tajam publik.

    Pasalnya, KDM pada Senin, 6 Oktober 2025, kemarin mengunjungi Yai Mim dan Sahara langsung di kediaman mereka di Malang, Jawa Timur. Dia datang hendak mendamaikan.

    Terkait hal tersebut, penulis kondang Indonesia, Tere Liye, menyampaikan kritik bernada satire terhadap politisi dari Partai Gerindra itu.

    “Sebagai penduduk Jawa Barat, saya bangga sekali dengan Gubernur satu ini,” tulis Tere Liye dikutip dari akun media sosialnya, Selasa (7/10/2025).

    Secara sarkas, alumni Fakutas Ekonomi UI itu mengulas soal Jawa Barat dengan kenyataan yang terbalik. “Semua masalah di Jawa Barat sudah beres tuntas, Jawa Barat telah menjadi provinsi maju, luar biasa sejahtera, PHK tidak ada, pekerjaan di mana-mana, udara segar nan indah, kualitas pendidikan top, bahkan loteng SMAN terbaik di Bandung jebol pun tidak ada. Sempurna,” sindir Tere Liye.

    Pria bernama asli Darwis ini pun menyebut Gubernur Jabar itu kini sibuk mengurusi urusan yang terjadi di Malang yang kebetulan viral.

    “Maka bisa dimaklumi dia tidak punya pekerjaan lagi di Jawa Barat. Dia sibuk mengurusi urusan di Malang sekalipun. Top banget. Banget,” sindirnya lagi.

    Tere Liye pun menyampaikan terkait konstelasi politik ke depan karena nama KDM kini ramai dielukan pendukungnya, terlebih gubernur Jabar itu memang dikenal publik karena doyan membuat konten di media sosial.

    “Yes! Segera pilpres, banyak yang tidak sabar buat nyoblos. Habis itu bisa jadi ketua PBB, dll dsbgnya,” sambung Tere Liye.

  • Pajak, Plat, dan Ekologi: Logika Eksternalitas di Balik Kebijakan Gubernur Bobby
                
                    
                        
                            Regional
                        
                        7 Oktober 2025

    Pajak, Plat, dan Ekologi: Logika Eksternalitas di Balik Kebijakan Gubernur Bobby Regional 7 Oktober 2025

    Pajak, Plat, dan Ekologi: Logika Eksternalitas di Balik Kebijakan Gubernur Bobby
    Aktivis dan peneliti; Magister Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan, IPB University.
    SAYA
    lahir dan besar di Medan. Sejak kecil, jalan lintas Medan-Binjai-Langkat adalah pemandangan harian saya: berderet truk-truk besar, banyak di antaranya berplat BL dari Aceh.
    Setiap tahun, kondisi jalan itu kian memburuk, aspal mengelupas, lubang di mana-mana, dan debu makin tebal.
    Saya tidak menulis ini karena pro pada Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution. Saya menulis sebagai warga Sumut yang melihat ketimpangan logika fiskal di jalanan sendiri.
    Kendaraan yang menimbulkan kerusakan dan polusi di wilayah ini justru membayar pajaknya ke provinsi lain.
    Bagi saya, ini bukan soal plat atau sentimen daerah. Ini soal tanggung jawab eksternalitas. Setiap aktivitas ekonomi, terutama yang menggunakan infrastruktur publik dan menghasilkan dampak lingkungan, semestinya menyumbang kembali kepada wilayah yang menanggung akibatnya. Dalam hal ini, Sumatera Utara.
    Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD) menegaskan bahwa kendaraan bermotor wajib didaftarkan di wilayah provinsi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
    Sementara itu, Pasal 9 menjelaskan bahwa dasar pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) mencakup faktor kerusakan jalan dan pencemaran lingkungan akibat penggunaan kendaraan bermotor.
     
    Ketentuan ini mengandung filosofi bahwa PKB bukan sekadar pajak atas kepemilikan, tetapi juga mekanisme fiskal untuk menginternalisasi dampak ekologis dari aktivitas transportasi.
    Lebih lanjut, Pasal 10 ayat (4) menegaskan bahwa kepemilikan kendaraan bermotor didasarkan atas nama, nomor induk kependudukan (NIK), dan/atau alamat yang sama.
    Dengan demikian, lokasi pendaftaran dan pemungutan pajak ditentukan oleh alamat administratif pemilik kendaraan.
    Selain itu, Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah memperkuat hubungan antara aspek fiskal dan lingkungan.
    Pasal 5 ayat (1) menegaskan bahwa dasar pengenaan PKB merupakan hasil perkalian antara nilai jual kendaraan bermotor dan bobot yang mencerminkan secara relatif tingkat kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan akibat penggunaan kendaraan bermotor.
    Klausul ini menjadi bukti yuridis bahwa beban ekologis (kerusakan jalan dan polusi) sudah diinternalisasi dalam struktur pajak kendaraan itu sendiri.
    Artinya, PKB secara konseptual memang dirancang untuk menanggung sebagian dari eksternalitas negatif akibat aktivitas kendaraan di wilayah tertentu.
    Dengan pemahaman itu, bila kendaraan berplat Aceh (BL) terdaftar di Aceh, tetapi beroperasi di Sumatera Utara, maka pajaknya tetap disetor ke kas Pemerintah Provinsi Aceh.
    Sumatera Utara tidak memperoleh bagian dari PKB tersebut, meskipun jalan dan lingkungannya menanggung beban eksternalitas negatif berupa kerusakan, polusi, dan kemacetan.
    Dengan kata lain, Sumatera Utara hanya menerima dampak ekologis tanpa kompensasi fiskal.
    Saya menduga, inilah logika yang melandasi kebijakan Gubernur Bobby untuk menertibkan kendaraan plat luar daerah.
    Kebijakan ini bukan sekadar penegakan administrasi, melainkan bagian dari upaya menyeimbangkan antara kewajiban fiskal dan tanggung jawab ekologis atas aktivitas ekonomi lintas wilayah.
    Konsep eksternalitas pertama kali diperkenalkan oleh Arthur C. Pigou (1920) dalam
    The Economics of Welfare
    .
    Pigou menjelaskan bahwa setiap aktivitas ekonomi menimbulkan dampak sosial di luar harga pasar, baik berupa manfaat maupun kerugian.
    Untuk mengoreksinya, pemerintah perlu mengenakan pajak korektif (
    Pigouvian tax
    ) agar pelaku ekonomi menanggung biaya sosial yang ditimbulkannya.
    Pandangan ini diperkuat oleh Musgrave dan Musgrave (1989) yang menegaskan bahwa fungsi pajak publik adalah mengoreksi kegagalan pasar akibat eksternalitas.
    Joseph Stiglitz (2000) menambahkan bahwa eksternalitas negatif seperti polusi atau kerusakan jalan menuntut kebijakan fiskal yang mampu menginternalisasi biaya sosial, sehingga tidak dibebankan kepada masyarakat luas.
    Dalam konteks Indonesia, Fauzi (2006) menjelaskan bahwa eksternalitas merupakan dampak dari suatu tindakan pihak tertentu terhadap pihak lain tanpa mekanisme kompensasi.
    Eksternalitas negatif terjadi ketika aktivitas seseorang menimbulkan kerugian bagi pihak lain tanpa pembayaran balik, sehingga menimbulkan inefisiensi alokasi sumber daya.
    Bila teori tersebut diterapkan, maka kerusakan jalan dan pencemaran akibat kendaraan berat berplat BL di Sumatera Utara adalah bentuk nyata eksternalitas negatif.
    Biaya sosialnya ditanggung oleh masyarakat Sumut, sedangkan penerimaan pajaknya justru dinikmati oleh daerah lain.
    Inilah yang tampaknya menjadi dasar kebijakan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara. Penertiban kendaraan plat luar bukan tindakan emosional, melainkan upaya mengoreksi ketimpangan fiskal dan ekologis yang sudah lama terjadi.
    Tujuannya adalah menyamakan lokasi pemungutan pajak dengan lokasi timbulnya dampak, terutama bagi kendaraan yang beroperasi penuh di Sumut.
    Langkah ini juga tidak sepenuhnya represif. Pemerintah Provinsi Sumatera Utara memberikan insentif penghapusan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) bagi perusahaan yang bersedia memindahkan pendaftaran armadanya ke Sumut.
    Artinya, kebijakan ini bukan menambah pajak baru, melainkan menata ulang domisili fiskal agar sejalan dengan domisili aktivitas ekonomi.
    Kebijakan seperti ini bukan hal baru di Indonesia. Di Jawa Barat, Gubernur Dedi Mulyadi memberikan pembebasan PKB dan BBNKB bagi kendaraan mutasi dari luar daerah ke Jabar, agar pajak kendaraan yang beroperasi di wilayah Jabar masuk ke kas daerah.
    Di Banten, Gubernur Andra Soni menetapkan pembebasan pokok PKB bagi kendaraan mutasi dari luar provinsi, untuk mendorong armada operasional perusahaan di wilayahnya mengganti plat luar dan menyumbang PAD provinsi.
    Kedua contoh tersebut menunjukkan bahwa langkah Pemerintah Provinsi Sumatera Utara memiliki preseden administratif di provinsi lain, meskipun dengan pendekatan berbeda.
    Di daerah lain berbasis insentif, sedangkan di Sumut dilakukan melalui penertiban dan imbauan tegas.
    Pada konteks ini, kebijakan tersebut juga berfungsi sebagai upaya mendorong, menertibkan, sekaligus menyadarkan para pengusaha asal Aceh yang beroperasi di Sumatera Utara agar menunaikan kompensasi fiskal atas biaya eksternalitas di wilayah operasinya.
    Prinsipnya sederhana: siapa pun yang memanfaatkan infrastruktur publik dan menimbulkan dampak sosial-ekologis di suatu wilayah, wajib berkontribusi pada pembiayaan publik di wilayah tersebut.
    Dari sisi teori eksternalitas, kebijakan ini merupakan bentuk internalisasi spasial, yaitu memastikan biaya sosial dibayar di tempat dampak muncul.
    Manfaatnya ada tiga: efisiensi fiskal, karena penerimaan daerah sejalan dengan beban publik yang ditanggung; keadilan ekologis, karena daerah yang menanggung kerusakan memperoleh kompensasi yang layak; dan disiplin pasar, karena pelaku usaha akan memperhitungkan biaya lingkungan dalam keputusan bisnisnya.
    Sebagai warga Medan, saya melihat kebijakan ini bukan sebagai konflik antarprovinsi, melainkan sebagai upaya memperbaiki tata kelola pajak daerah yang selama ini salah alamat.
    Jalan yang rusak tidak peduli plat mana yang melintas, tetapi rakyat yang melintas setiap hari menanggung akibatnya.
    Sumatera Utara membutuhkan keadilan fiskal. Dan keadilan itu bermula dari kesadaran sederhana: siapa pun yang memanfaatkan infrastruktur publik untuk kegiatan ekonominya, harus menanggung biaya sosial di tempat ia menimbulkan dampak.
    Jadi, ketika Gubernur Sumatera Utara menertibkan kendaraan plat luar, sesungguhnya ia sedang menyuarakan prinsip yang jauh lebih universal dari sekadar otonomi daerah, yaitu keadilan ekologis dalam perpajakan.
    Pajak seharusnya mengikuti dampak, bukan sekadar mengikuti alamat di STNK.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Dedi Mulyadi Buka Pos Pengaduan di Komplek Gedung Sate Provinsi Jawa Barat

    Dedi Mulyadi Buka Pos Pengaduan di Komplek Gedung Sate Provinsi Jawa Barat

    Sebelumnya, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menyebutkan kebijakan donasi Rp 1.000 per hari adalah guna membantu masyarakat sendiri.

    “Uang (iuran) Rp 1.000 itu nanti dipegang oleh bendahara kas, gitu kan. Kemudian contohnya orang datang mengadukan lagi nungguin di RS butuh uang untuk makan, atau bayar kontrakan selama nungguin di rumah sakit, ya tinggal diterima, berikan,” kata Dedi selepas menghadiri upacara HUT ke-80 TNI di Makodam III Siliwangi, Bandung, Minggu 5 Oktober 2025 seperti dilansir Antara.

    Program donasi per hari yang diimbau untuk dilaksanakan oleh ASN dari provinsi hingga kota/kabupaten, sekolah-sekolah, hingga masyarakat, diharapkan Dedi, bisa terjadi seperti di desa tempat tinggalnya.

    Di mana RT/RW di sana memiliki kas, yang bisa membantu warga, seperti ketika ada warga yang mau ke rumah sakit, tapi tidak punya ongkos tinggal datang ke rumah RT.

    “Di tempat saya itu setiap malam itu ronda itu mungut seribu rupiah, itu dikumpulin dan itu tidak menjadi problem bagi kehidupan masyarakat di sana, sehingga menjadi selesai,” ujarnya.

    Kebijakan yang mengusung konsep kebersamaan ini, diungkapkan Dedi, mengadopsi dari program rereongan jimpitan atau rereongan sekepal beras saat dirinya menjadi Bupati Purwakarta.

    Program itu, disebutnya berhasil, di mana Dinas Pendidikan di Kabupaten Purwakarta tiap bulan menyiapkan beberapa ton beras yang dikirimkan ke kampung tertentu.

    “Ini berhasil,” katanya.

    Adapun untuk tingkat sekolah, Dedi menegaskan ini bukanlah pungutan sekolah, karena dalam program ini anak-anak sekolah diarahkan mengumpulkan donasi tiap hari di bendahara kelas.

    Nantinya uang ini akan dipergunakan, semisal jika ada teman sekelas yang sakit untuk menengok dan membantu pengobatannya.

    “Kemudian jika teman sekelasnya misalnya nggak punya seragam kebetulan orang tuanya tidak mampu ya diberi. Seperti itu lah,” ucapnya.

    Ketika ditanya mengenai tingkatan pelaksanaan program ini apakah wajib atau tidak, Dedi menekankan bahwa program ini sukarela.

    “Bagi mereka yang mau ngasih ya silahkan, yang tidak, ya tidak apa-apa,” tuturnya.

  • Pendapat Warga Soal Gerakan Rp 1.000 per Hari Gagasan Dedi Mulyadi
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        6 Oktober 2025

    Pendapat Warga Soal Gerakan Rp 1.000 per Hari Gagasan Dedi Mulyadi Megapolitan 6 Oktober 2025

    Pendapat Warga Soal Gerakan Rp 1.000 per Hari Gagasan Dedi Mulyadi
    Penulis

    KOMPAS.com –
    Wacana gerakan pengumpulan uang Rp 1.000 per hari yang digagas Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menuai beragam tanggapan dari sejumlah warga.
    Meski disebut sebagai gerakan sukarela untuk memperkuat solidaritas sosial, sebagian masyarakat menilai ide tersebut perlu dikaji lebih dalam, terutama soal transparansi dan peran pemerintah.
    Abdul (40), warga Depok, menilai usulan pengumpulan uang, meski kecil nominalnya, berpotensi menimbulkan perdebatan di masyarakat.
    “Soal duit orang mah sensitif banget walaupun cuma Rp 1.000 per hari, dan dengan konteks sukarela kayanya berat,” ujarnya kepada
    Kompas.com
    , Senin (6/10/2025).
    “Mendingan efektifin kas RT/RW aja kalo emang tujuannya buat gotong royong saling bantu, warga juga udah ditarikin iuran-iuran kan ke RT/RW,” tambahnya.
    Abdul menegaskan, bila inisiatif itu benar dijalankan, perlu ada pengawasan yang jelas terkait pengelolaan dana.
    “Kalo jadi diterapin pasti harus ada pengawasan duitnya kemana aja tuh, namanya sensitif soal duit. Mending kalo emang ada yang butuh bantuan, bantu langsung aja,” katanya.
    Aulia (39), warga Bekasi, menilai inisiatif solidaritas memang baik, tetapi pelaksanaannya harus memiliki mekanisme yang jelas.
    “Menjaga kesejahteraan masyarakat seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah daerah maupun pusat,” ujar Aulia kepada
    Kompas.com
    , Senin (6/10/2025).
    “Sebelum diterapkan, seharusnya dipikirkan matang-matang agar tidak menimbulkan potensi kecurangan atau penyalahgunaan dana,” imbuhnya.
    Sementara itu, Akbar (29), warga Depok, yang menilai pemerintah perlu lebih dulu membenahi sistem keuangan publik di tingkat lokal.
    “Daripada buat galang dana, walaupun sukarela, mending tertibkan dulu sistem transparansi keuangan daerah sampai tingkat terendah. ?Kaji ulang soal penggajian/tunjangan pejabat setingkat kecamatan (dan di atasnya),” kata Akbar kepada
    Kompas.com
    , Senin (6/10/2025)
    “Beri insentif ke pos penting seperti layanan kesehatan dan pendidikan, daripada seminar-seminar gak jelas yang boros anggaran, biar nanti surplus yang didapat disalurkan ke yang membutuhkan,” lanjutnya.
    Tamara (34), warga Bogor, justru menolak gagasan tersebut dengan tegas.
    “Saya mah mau seribu atau berapapun tetep gak setuju. Sudah ada pajak ya maksimalin. Pajak itu kan uang gotong royong rakyat,” ujar Tamara kepada
    Kompas.com
    , Senin (6/10/2025)
    “Kalau beliau bilang banyak masyarakat sulit akses, ya sediain fasilitas, bukan nyuruh rakyatnya yang kasih solusi,” tambahnya.
    Menurut Tamara, ajakan seperti itu mengingatkannya pada kebiasaan pemerintah melempar tanggung jawab kepada masyarakat.
    “Ini tuh sama kaya statement yang sudah-sudah seperti misal harga cabe merah mahal, maka silakan rakyat tanam cabe di pekarangan rumah. Padahal tugas pemerintah untuk membuat solusi terbaik buat warga,” ujarnya.
    Menanggapi pro dan kontra di masyarakat, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menegaskan bahwa tidak ada kebijakan pemerintah provinsi yang mewajibkan pengumpulan uang Rp 1.000 dari masyarakat, ASN, atau pelajar.
    “Yang ada adalah gubernur mengajak, menghimbau seluruh jajaran pemerintah untuk sama-sama membangun solidaritas sosial,” kata Dedi dalam rekaman video yang diterima Kompas.com, Senin (6/10/2025).
    Menurutnya, gagasan tersebut muncul dari keprihatinan terhadap warga yang masih kesulitan memenuhi biaya pendukung saat berobat, meski layanan rumah sakit telah digratiskan.
    “Banyak orang yang rumah sakitnya gratis tetapi tidak punya biaya untuk ongkos ke rumah sakitnya. Tidak punya biaya untuk nungguin di rumah sakitnya. Tidak punya biaya untuk bolak-balik kemoterapi,” jelasnya.
    Dedi mendorong agar gerakan gotong royong itu dilakukan di tingkat RT, dengan sistem seperti tradisi jimpitan.
    “Warga bisa menabung seribu rupiah per hari di kotak kecil di depan rumahnya. Dana tersebut kemudian dikelola bendahara lingkungan dan digunakan membantu warga yang kesulitan. Setiap bulan harus dilaporkan pada seluruh penyumbang. Di setiap RT sudah ada grup WA sekarang. Sangat mudah,” ujarnya.
    Ia juga menegaskan bahwa pemerintah provinsi tidak akan mengelola atau mengumpulkan dana tersebut.
    “Tidak ada kaitan dengan APBD atau APBN,” kata Dedi.
    Menurutnya, beberapa daerah di Jawa Barat telah lebih dulu menerapkan sistem serupa, dan hasilnya dinilai positif dalam memperkuat budaya tolong-menolong.
    “Bukan kewajiban, hanya ajakan. Bagi yang sudah melaksanakan tinggal dioptimalkan layanannya,” ujar Dedi.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Kang Dedi Mulyadi – Armuji Kunjungi Yai Mim dan Sahara di Malang

    Kang Dedi Mulyadi – Armuji Kunjungi Yai Mim dan Sahara di Malang

    Malang (beritajatim.com) – Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi mengunjungi Muhammad Imam Muslimin alias Yai Mim di rumahnya di Perumahan Joyogrand Kavling Depag, RT 09/RW 09, Kota Malang. Dia didampingi wakil wali Kota Surabaya Armuji, Senin (6/10/2025).

    Kang Dedi alias KDM datang sekira pukul 16.00 WIB. Dia datang langsung menuju rumah Yai Mim. Di sana dia berbincang dengan Yai Mim dan istrinya. Bahkan Yai Mim bersama KDM sempat bermain wayang di dalam rumah.

    Usai beramah tamah di rumah Yai Mim. KDM bersama Armuji kemudian menuju musalah Al-Ikhlas di perumahan setempat. Disana KDM dan Armuji bertemu dengan Nurul Sahara beserta suaminya M Shofwan. Selain itu juga RT, RW dan warga setempat.

    “Pak Yai kemarin datang ke rumah dinas saya di Bandung. Terus Mbak Sahara datang ke rumah pribadi saya di Subang. Jadi dua-duanya ke saya. Terus saya pulang kerja mampir kesini dan sekarang saya pulang lagi,” ujar KDM.

    KDM tidak menjelaskan secara rinci maksut kedatangannya. Dia hanya menyebut bahwa kedatanganya untuk bersilaturahmi. Dia datang untuk memenuhi permintaan Yai Mim dan Sahara berkunjung ke rumah masing-masing.

    “Kunjungan balasan aja. Mereka dua keluarga datang ke rumah saya. Ya saya nemuin mereka. Dua-duanya minta datang dan saya sudah menemui,” ujar KDM.

    Awalnya kehadiran KDM dan Armuji dikabarkan akan membantu proses jalannya mediasi antara kedua belah pihak yang berkonflik. Namun, KDM dan Armuji hanya berbincang santai menyambung silaturahmi. “Tidak ada penekanan. Tidak ada mediasi udah pada akur,” ujar KDM. [luc/suf]