PDI-P Usul Polri di Bawah Kemendagri, Menko Yusril: Belum Ada Pembahasannya
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Menteri Koordinator (Menko) Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan
Yusril
Ihza Mahendra menegaskan pemerintah belum membahas mengenai pemindahan
Polri
ke bawah Kemendagri atau TNI.
Adapun
PDI-P
menjadi pihak yang mengusulkan agar Polri berada di bawah Kemendagri atau TNI.
“Belum ada pembahasannya,” ujar Yusril di Istana, Jakarta, Senin (2/12/2024).
Yusril mengaku belum mau memberikan tanggapan lebih lanjut terkait isu pemindahan Polri ke bawah kementerian itu.
Dia menyebut baru akan memberi tanggapan jika usulan yang diberikan sudah terang.
“Belum, kita dengarkan saja seperti apa usulannya, nanti baru kita beri tanggapan,” imbuhnya.
Diketahui, gagasan penempatan Polri di bawah TNI atau Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) disampaikan oleh Politisi PDIP Deddy Yevri Sitorus dalam konferensi pers pada Kamis, 28 November 2024.
Deddy mengatakan bahwa pihaknya mempertimbangkan menempatkan Polri di bawah TNI atau Kemendagri agar tidak ada intervensi di dalam pemilihan umum (pemilu).
“Perlu diketahui bahwa kami sudah mendalami kemungkinan untuk mendorong kembali agar Polri kembali di bawah kendali Panglima TNI. Atau agar Kepolisian Republik Indonesia dikembalikan ke bawah Kementerian Dalam Negeri,” ujarnya.
Menurut dia, kepolisian baiknya berfokus pada pengamanan masyarakat selama masa pemilu dan tidak mengurusi hal-hal yang di luar kewenangannya.
“Ada bagian reserse yang bertugas mengusut, melakukan, menyelesaikan kasus-kasus kejahatan untuk sampai ke pengadilan. Di luar itu saya kira tidak perlu lagi karena negara ini sudah banyak institusi yang bisa dipakai untuk menegakkan ini,” katanya.
Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Tag: Deddy Yevri Sitorus
-
/data/photo/2024/12/02/674d877deb9f0.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
PDI-P Usul Polri di Bawah Kemendagri, Menko Yusril: Belum Ada Pembahasannya
-

Pakar nilai penempatan Polri di bawah Kemendagri berpotensi politisasi
“Kalau persoalannya bahwa sekarang ada semacam politisasi Polri, potensi politisasi akan lebih tinggi kalau di Kemendagri seandainya menterinya dari partai politik, sehingga menjadi risiko. Malah bahaya,”
Jakarta (ANTARA) – Pakar hukum Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI) Profesor Suparji Ahmad menilai bahwa wacana penempatan Polri di bawah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) berpotensi memunculkan politisasi.
“Kalau persoalannya bahwa sekarang ada semacam politisasi Polri, potensi politisasi akan lebih tinggi kalau di Kemendagri seandainya menterinya dari partai politik, sehingga menjadi risiko. Malah bahaya,” ucapnya dikutip di Jakarta, Senin.
Selain itu, menurutnya, apabila Polri berada di bawah Kemendagri, maka akan mempersempit kewenangan fungsi.
“Karena kan menjadi inspektoral kementerian saja. Sementara yang dilayani Polri kan secara keseluruhan,” kata dia.
Ia mengatakan, apabila hal yang dipermasalahkan adalah soal subyektivitas oknum polisi pada masa pilkada, hal yang seharusnya dibenahi adalah pengawasan dan bukan soal penempatan kepolisian.
“Bukan soal di bawah presiden ataupun Kemendagri, tetapi lebih bagaimana para pejabat menempatkan polisi tadi itu sebagai alat negara secara keseluruhan,” ujarnya.
Oleh karena itu, ia berpendapat bahwa wacana penempatan Polri di bawah Kemendagri bukanlah usulan yang tepat.
“Menurut saya, usulan tadi adalah lagu lama yang kembali diputar, tapi kemudian syairnya itu adalah syair yang kemudian tidak memiliki argumentasi secara filosofis maupun sosiologis yang tepat, prosedural, dan substansial,” ujarnya.
Diketahui, gagasan penempatan Polri di bawah TNI atau Kemendagri disampaikan oleh Politisi PDIP Deddy Yevri Sitorus dalam konferensi pers pada Kamis (28/11). Ia mengatakan bahwa pihaknya mempertimbangkan wacana tersebut agar tidak ada intervensi di dalam pemilu.
“Perlu diketahui bahwa kami sudah mendalami kemungkinan untuk mendorong kembali agar Polri kembali di bawah kendali Panglima TNI. Atau agar Kepolisian Republik Indonesia dikembalikan ke bawah Kementerian Dalam Negeri,” ujarnya.
Menurutnya, kepolisian baiknya berfokus pada pengamanan masyarakat selama masa pemilu dan tidak mengurusi hal-hal yang di luar kewenangannya.
“Ada bagian reserse yang bertugas mengusut, melakukan, menyelesaikan kasus-kasus kejahatan untuk sampai ke pengadilan. Di luar itu saya kira tidak perlu lagi karena negara ini sudah banyak institusi yang bisa dipakai untuk menegakkan ini,” ucapnya.
Pewarta: Nadia Putri Rahmani
Editor: Agus Setiawan
Copyright © ANTARA 2024 -
/data/photo/2019/07/02/4082782301.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Potensi Politisasi Polri Sudah Diprediksi Sejak Lampau
Potensi Politisasi Polri Sudah Diprediksi Sejak Lampau
Penulis
JAKARTA, KOMPAS.com
– Kekhawatiran tentang dugaan politisasi Kepolisian Republik Indonesia (
Polri
) kembali menjadi isu yang hangat diperbincangkan.
Sorotan ini mengemuka di tengah tudingan netralitas Polri dalam pesta demokrasi seperti
Pemilu
, Pilpres, Pileg, dan Pilkada.
Sejarah mencatat, pada 1959, Kapolri pertama, Jenderal Raden Said Soekanto, memilih mundur dari jabatannya saat Polri dimasukkan ke dalam struktur Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).
“RS Soekanto sangat menyadari potensi besar kepolisian untuk dijadikan alat politik kekuasaan saat itu,” kata pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto, saat dihubungi
Kompas.com
, Minggu (1/12/2024).
Era reformasi, kata Bambang, membawa harapan besar terhadap netralitas dan profesionalisme Polri. Setelah pemisahan TNI dan Polri serta pencabutan Dwi Fungsi ABRI, Polri diharapkan semakin profesional dan menjauh dari
politik praktis
.
Polri, sebagai institusi sipil, seharusnya tunduk pada aturan hukum yang berlaku, berbeda dengan militer yang memiliki kultur dan fungsi yang berbeda.
Bambang menilai, gagasan menempatkan Polri di bawah Panglima TNI justru merupakan langkah mundur dari semangat reformasi.
“Sebaliknya menempatkan kepolisian di bawah panglima TNI, itu kemunduran dari semangat reformasi.
Polisi
bukan militer, dia harus tunduk pada aturan hukum sipil,” ujar Bambang.
Akan tetapi, justru menjadi ironi ketika peran Polri dalam politik dirasakan semakin signifikan selepas reformasi.
Menurut Bambang, keberadaan Polri yang langsung berada di bawah presiden memberikan ruang lebih besar bagi politisasi kekuasaan. Wacana menempatkan Polri di bawah kementerian dianggap menjadi salah satu langkah untuk membatasi keterlibatan Polri dalam politik praktis.
“Wacana penempatan Polri di bawah kementerian adalah upaya membatasi kepolisian secara langsung dari upaya politisasi kekuasaan,” ucap Bambang.
Sebelumnya diberitakan, isu politisasi Polri semakin memanas setelah tudingan Polri disebut sebagai ”
Partai Coklat
” atau “Parcok.” Istilah ini pertama kali diungkapkan Sekretaris Jenderal PDI-Perjuangan, Hasto Kristiyanto, yang menyoroti dugaan pengerahan aparat dalam Pilkada Serentak 2024.
“Di Jawa Timur relatif kondusif, tetapi tetap kami mewaspadai pergerakan
partai coklat
ya, sama dengan di Sumatera Utara juga,” ujar Hasto di kediaman Megawati Soekarnoputri, Rabu (27/11/2024).
Pernyataan ini kemudian menyudutkan Polri yang dianggap tidak netral dalam pelaksanaan
pemilu
.
Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman, menanggapi tudingan ini dengan menyebutnya sebagai kabar bohong atau hoaks.
“Apa yang disampaikan oleh segelintir orang terkait parcok dan lain sebagainya itu, kami kategorikan sebagai hoaks,” ujar Habiburokhman dalam rapat Komisi III DPR RI, Jumat (29/11/2024).
Ia juga menambahkan, anggota DPR yang melontarkan tuduhan serupa telah dilaporkan ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).
Wacana ini membawa kembali usulan untuk menempatkan Polri di bawah kementerian atau bahkan TNI.
Ketua DPP PDI-P, Deddy Yevri Sitorus, mengusulkan Polri ditempatkan di bawah Panglima TNI atau Kementerian Dalam Negeri. Menurut Deddy, kekalahan PDI-P di sejumlah wilayah dalam Pilkada Serentak 2024 diduga dipengaruhi oleh pengerahan aparat kepolisian.
“Kami sedang mendalami kemungkinan agar Kepolisian Negara Republik Indonesia kembali di bawah kendali Panglima TNI atau agar Kepolisian Republik Indonesia dikembalikan ke bawah Kementerian Dalam Negeri,” ungkap Deddy dalam konferensi pers, Kamis (28/11/2024).
Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2024/05/27/665410cc483d0.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
PDI-P Usulkan Polri Kembali di Bawah TNI/Kemendagri, IPW: Langkah Kemunduran
PDI-P Usulkan Polri Kembali di Bawah TNI/Kemendagri, IPW: Langkah Kemunduran
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Ketua Indonesia Police Watch (
IPW
) Sugeng Teguh Santoso menanggapi usulan untuk mengembalikan institusi
Polri
di bawah TNI atau Kementerian Dalam Negeri.
Sugeng menegaskan bahwa Polri merupakan hasil reformasi yang diatur dalam Undang-Undang nomor 2 tahun 2002, yang menetapkan Polri sebagai institusi yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
“Anugerah besar yang diberikan oleh sejarah kepada institusi Polri (tapi) tidak dapat dipertanggungjawabkan dengan baik,” katanya saat dihubungi, Jumat (29/11/2024).
Sugeng mengungkapkan kekhawatirannya terkait arogansi, penyalahgunaan kewenangan, dan tindakan yang menyakiti masyarakat oleh oknum kepolisian.
“Apabila itu yang terjadi, pertanyaannya adalah, apakah polisi harus dibawa kembali ke bawah institusi Menteri Dalam Negeri atau institusi TNI?” ujarnya.
Ia menilai bahwa jika Polri kembali ke bawah TNI, hal tersebut merupakan sebuah kemunduran.
Sugeng menekankan perlunya introspeksi mendalam dari para pimpinan Polri.
“Kepercayaan publik yang diukur melalui survei perlu dipertanyakan. Apakah surveinya benar atau abal-abal? Semua insan Polri harus kembali kepada jati diri,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa jika Polri kembali berada di bawah TNI, potensi pelanggaran hak asasi manusia bisa meningkat.
“Kembali lagi menjadi aparatur pendekatannya kekerasan,” tambahnya.
Sugeng juga mengungkapkan kekhawatirannya jika Polri berada di bawah Kementerian Dalam Negeri, yang dinilai sebagai kemunduran karena menteri-menteri saat ini berasal dari partai politik.
“Tunduk di bawah TNI atau kementerian tentu harus menjadi introspeksi pimpinan Polri,” ujarnya.
Sugeng menegaskan bahwa IPW tidak setuju dengan usulan tersebut.
Sebelumnya,
PDI-P
mengusulkan agar Polri dikembalikan di bawah TNI atau Kementerian Dalam Negeri.
Usulan ini muncul setelah hasil
Pilkada
Serentak 2024, di mana PDI-P merasa kekalahan mereka disebabkan oleh pengerahan
aparat kepolisian
.
“Kami sedang mendalami kemungkinan untuk mendorong kembali agar Kepolisian Negara Republik Indonesia berada di bawah kendali Panglima TNI atau Kementerian Dalam Negeri,” ungkap Ketua DPP PDI-P, Deddy Yevri Sitorus, dalam jumpa pers pada Kamis (28/11/2024).
Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Pramono-Rano Unggul di Jakarta, Mardani Sebut Manuver Anies Tak Terprediksi
Bisnis.com, JAKARTA – Ketua DPP PKS, Mardani Ali Sera, tampak mengakui jika keunggulan Pramono-Rano di DKI Jakarta ada kontribusi Anies Baswedan.
Dilansir dari video yang memperlihatkan wawancara Mardani dengan TV Swasta, Ketua DPP PKS tersebut pertama memberikan selamat kepada Pramono-Rano yang unggul di quick count.
“Pertama saya ucapkan selamat kepada Mas Pram dan Rano karena hasil quick count menyatakan suara mereka di atas Rido. Apakah akan satu putaran? kita tunggu menurut KPU,” katanya.
Namun yang menurutnya tak kalah mengagetkan, Pramono-Rano mendapatkan dukungan dari Anies Baswedan.
Anies bahkan tampak gencar mengkampanyekan paslon usungan PDIP ini selama sepekan terakhir sebelum pencoblosan.
Hal inilah yang menurut Mardani tak terprediksi dari kubu KIM Plus yang mengusung Ridwa Kamil dan Suswono (Rido).
“Kami bahagia, kader dan simpatisan sangat bekerja keras memenangkan Rido, namun faktor mas Anies yang sangat aktif kampanye unpredictable. Tadinya kami berharap dia netral, tapi agak ngebut kampanye buat Mas Pram. Itu yang kami tidak kira,” ia menambahkan.
Terpisah, Ketua DPP PDI Perjuangan (PDIP) Bidang Pemenangan Pemilu Eksekutif Deddy Yevri Sitorus berterima kasih kepada warga DKI Jakarta dan Anies Baswedan yang telah memenangkan pasangan calon gubernur nomor urut 3 Pramono Anung-Rano Karno dalam Pilkada Serentak 2024.
“Ya kami di Pilkada DKI ini harus mengucapkan terima kasih kepada dua orang, selain kepada rakyat DKI ya tentu pada Pak Anies Baswedan yang kemudian bisa memastikan kemenangan kami,” kata Deddy dilansir dari Antaranews.

/data/photo/2015/06/30/1420471011-fot0149780x390.JPG?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2024/11/29/67492d63755fd.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)

