Tag: Deddy Yevri Sitorus

  • PDI-P Usul Polri di Bawah Kemendagri, Menko Yusril: Belum Ada Pembahasannya

    PDI-P Usul Polri di Bawah Kemendagri, Menko Yusril: Belum Ada Pembahasannya

    PDI-P Usul Polri di Bawah Kemendagri, Menko Yusril: Belum Ada Pembahasannya
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Menteri Koordinator (Menko) Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan
    Yusril
    Ihza Mahendra menegaskan pemerintah belum membahas mengenai pemindahan
    Polri
    ke bawah Kemendagri atau TNI.
    Adapun
    PDI-P
    menjadi pihak yang mengusulkan agar Polri berada di bawah Kemendagri atau TNI.
    “Belum ada pembahasannya,” ujar Yusril di Istana, Jakarta, Senin (2/12/2024).
    Yusril mengaku belum mau memberikan tanggapan lebih lanjut terkait isu pemindahan Polri ke bawah kementerian itu.
    Dia menyebut baru akan memberi tanggapan jika usulan yang diberikan sudah terang.
    “Belum, kita dengarkan saja seperti apa usulannya, nanti baru kita beri tanggapan,” imbuhnya.
    Diketahui, gagasan penempatan Polri di bawah TNI atau Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) disampaikan oleh Politisi PDIP Deddy Yevri Sitorus dalam konferensi pers pada Kamis, 28 November 2024.
    Deddy mengatakan bahwa pihaknya mempertimbangkan menempatkan Polri di bawah TNI atau Kemendagri agar tidak ada intervensi di dalam pemilihan umum (pemilu).
    “Perlu diketahui bahwa kami sudah mendalami kemungkinan untuk mendorong kembali agar Polri kembali di bawah kendali Panglima TNI. Atau agar Kepolisian Republik Indonesia dikembalikan ke bawah Kementerian Dalam Negeri,” ujarnya.
    Menurut dia, kepolisian baiknya berfokus pada pengamanan masyarakat selama masa pemilu dan tidak mengurusi hal-hal yang di luar kewenangannya.
    “Ada bagian reserse yang bertugas mengusut, melakukan, menyelesaikan kasus-kasus kejahatan untuk sampai ke pengadilan. Di luar itu saya kira tidak perlu lagi karena negara ini sudah banyak institusi yang bisa dipakai untuk menegakkan ini,” katanya.
    Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Pakar nilai penempatan Polri di bawah Kemendagri berpotensi politisasi

    Pakar nilai penempatan Polri di bawah Kemendagri berpotensi politisasi

    “Kalau persoalannya bahwa sekarang ada semacam politisasi Polri, potensi politisasi akan lebih tinggi kalau di Kemendagri seandainya menterinya dari partai politik, sehingga menjadi risiko. Malah bahaya,”

    Jakarta (ANTARA) – Pakar hukum Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI) Profesor Suparji Ahmad menilai bahwa wacana penempatan Polri di bawah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) berpotensi memunculkan politisasi.

    “Kalau persoalannya bahwa sekarang ada semacam politisasi Polri, potensi politisasi akan lebih tinggi kalau di Kemendagri seandainya menterinya dari partai politik, sehingga menjadi risiko. Malah bahaya,” ucapnya dikutip di Jakarta, Senin.

    Selain itu, menurutnya, apabila Polri berada di bawah Kemendagri, maka akan mempersempit kewenangan fungsi.

    “Karena kan menjadi inspektoral kementerian saja. Sementara yang dilayani Polri kan secara keseluruhan,” kata dia.

    Ia mengatakan, apabila hal yang dipermasalahkan adalah soal subyektivitas oknum polisi pada masa pilkada, hal yang seharusnya dibenahi adalah pengawasan dan bukan soal penempatan kepolisian.

    “Bukan soal di bawah presiden ataupun Kemendagri, tetapi lebih bagaimana para pejabat menempatkan polisi tadi itu sebagai alat negara secara keseluruhan,” ujarnya.

    Oleh karena itu, ia berpendapat bahwa wacana penempatan Polri di bawah Kemendagri bukanlah usulan yang tepat.

    “Menurut saya, usulan tadi adalah lagu lama yang kembali diputar, tapi kemudian syairnya itu adalah syair yang kemudian tidak memiliki argumentasi secara filosofis maupun sosiologis yang tepat, prosedural, dan substansial,” ujarnya.

    Diketahui, gagasan penempatan Polri di bawah TNI atau Kemendagri disampaikan oleh Politisi PDIP Deddy Yevri Sitorus dalam konferensi pers pada Kamis (28/11). Ia mengatakan bahwa pihaknya mempertimbangkan wacana tersebut agar tidak ada intervensi di dalam pemilu.

    “Perlu diketahui bahwa kami sudah mendalami kemungkinan untuk mendorong kembali agar Polri kembali di bawah kendali Panglima TNI. Atau agar Kepolisian Republik Indonesia dikembalikan ke bawah Kementerian Dalam Negeri,” ujarnya.

    Menurutnya, kepolisian baiknya berfokus pada pengamanan masyarakat selama masa pemilu dan tidak mengurusi hal-hal yang di luar kewenangannya.

    “Ada bagian reserse yang bertugas mengusut, melakukan, menyelesaikan kasus-kasus kejahatan untuk sampai ke pengadilan. Di luar itu saya kira tidak perlu lagi karena negara ini sudah banyak institusi yang bisa dipakai untuk menegakkan ini,” ucapnya.

    Pewarta: Nadia Putri Rahmani
    Editor: Agus Setiawan
    Copyright © ANTARA 2024

  • Wacana Polri Kembali di Bawah TNI, Direktur PUSAKA: Ancaman Demokrasi Indonesia

    Wacana Polri Kembali di Bawah TNI, Direktur PUSAKA: Ancaman Demokrasi Indonesia

    Jakatrta (beritajatim.com)– Wacana yang diusung oleh sejumlah tokoh PDIP mengenai kembalinya Polri di bawah kendali TNI memicu kontroversi. Tuduhan Ketua DPP PDIP, Deddy Yevri Sitorus, bahwa Polri terlibat dalam memenangkan calon kepala daerah di Pilkada 2024 semakin memperkeruh suasana. Ia bahkan menyebut institusi kepolisian sebagai “Partai Cokelat”.

    Sebelumnya, Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto menuduh adanya penyalahgunaan wewenang oleh Polri dalam Pilkada Serentak 2024. Namun, tudingan ini menuai respons kritis dari berbagai pihak.

    Direktur Eksekutif Pusat Studi dan Analisa Keamanan Indonesia (PUSAKA), Adhe Nuansa Wibisono, Ph.D, menyatakan keraguannya terhadap klaim tersebut.

    Menurutnya, wacana ini merupakan langkah mundur yang dapat melemahkan demokrasi Indonesia. “Sejak reformasi 1998, Polri telah dipisahkan dari TNI melalui TAP MPR Nomor VI/MPR/2000 dan UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pemisahan ini bertujuan untuk memastikan Polri berfungsi sebagai institusi sipil yang independen,” jelas Wibisono, Senin (02/12/2024).

    Reformasi 1998 dan Ancaman Langkah Mundur

    Adhe Wibisono menegaskan bahwa penggabungan kembali Polri di bawah TNI bertentangan dengan semangat reformasi 1998. “Kembalinya Polri di bawah TNI akan menjadi langkah mundur yang membahayakan demokrasi dan penegakan hukum berbasis hak asasi manusia,” tambahnya.

    Menurut Wibisono, tudingan PDIP terhadap Polri terkait Pilkada 2024 harus dihadapi dengan pembuktian faktual. “Istilah ‘Partai Cokelat’ yang disematkan kepada Polri memerlukan klarifikasi dan bukti yang konkret. Pengawasan terhadap Polri sudah diatur melalui mekanisme internal Propam dan eksternal Kompolnas, sehingga tidak ada urgensi untuk menempatkan Polri di bawah TNI,” tegasnya.

    Prinsip Hukum dan Implikasi Demokrasi

    Lebih lanjut, Wibisono mengingatkan PDIP akan prinsip hukum “actori incumbit probatio” atau “siapa yang mendalilkan, dia yang harus membuktikan”. Ia menilai bahwa tudingan tanpa bukti dapat merugikan institusi Polri secara serius. “Jika tuduhan ini tidak dapat dibuktikan, maka PDIP berisiko menghadapi konsekuensi hukum karena telah mencemarkan nama baik institusi kepolisian,” ujar alumnus FISIP Universitas Indonesia itu.

    Risiko Paradigma Keamanan yang Represif

    Wibisono juga mengkhawatirkan dampak dari subordinasi Polri di bawah TNI. “TNI memiliki fungsi utama menjaga pertahanan negara, sedangkan Polri bertugas dalam penegakan hukum dan keamanan domestik. Jika Polri berada di bawah TNI, ada risiko terjadinya distorsi fungsi sipil yang berpotensi mengarah pada pendekatan keamanan yang represif, seperti yang terjadi pada era Orde Baru,” jelasnya.

    Menurutnya, langkah ini tidak hanya berdampak pada demokrasi domestik tetapi juga dapat merusak reputasi Indonesia di mata internasional. “Mengembalikan Polri di bawah TNI akan menciptakan preseden buruk bagi institusi demokrasi Indonesia. Dunia internasional akan meragukan komitmen Indonesia terhadap demokrasi jika wacana ini diterapkan,” tutup Wibisono.

    Wacana penggabungan Polri di bawah TNI dinilai bertentangan dengan prinsip reformasi dan berpotensi melemahkan demokrasi Indonesia.

    PDIP diharapkan memberikan bukti konkret atas tuduhannya terhadap Polri dan mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap institusi demokrasi dan kepercayaan publik. (ted)

  • Potensi Politisasi Polri Sudah Diprediksi Sejak Lampau

    Potensi Politisasi Polri Sudah Diprediksi Sejak Lampau

    Potensi Politisasi Polri Sudah Diprediksi Sejak Lampau
    Penulis
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Kekhawatiran tentang dugaan politisasi Kepolisian Republik Indonesia (
    Polri
    ) kembali menjadi isu yang hangat diperbincangkan.
    Sorotan ini mengemuka di tengah tudingan netralitas Polri dalam pesta demokrasi seperti
    Pemilu
    , Pilpres, Pileg, dan Pilkada.
    Sejarah mencatat, pada 1959, Kapolri pertama, Jenderal Raden Said Soekanto, memilih mundur dari jabatannya saat Polri dimasukkan ke dalam struktur Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).
    “RS Soekanto sangat menyadari potensi besar kepolisian untuk dijadikan alat politik kekuasaan saat itu,” kata pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto, saat dihubungi
    Kompas.com
    , Minggu (1/12/2024).
    Era reformasi, kata Bambang, membawa harapan besar terhadap netralitas dan profesionalisme Polri. Setelah pemisahan TNI dan Polri serta pencabutan Dwi Fungsi ABRI, Polri diharapkan semakin profesional dan menjauh dari
    politik praktis
    .

    Polri, sebagai institusi sipil, seharusnya tunduk pada aturan hukum yang berlaku, berbeda dengan militer yang memiliki kultur dan fungsi yang berbeda.
    Bambang menilai, gagasan menempatkan Polri di bawah Panglima TNI justru merupakan langkah mundur dari semangat reformasi.
    “Sebaliknya menempatkan kepolisian di bawah panglima TNI, itu kemunduran dari semangat reformasi.
    Polisi
    bukan militer, dia harus tunduk pada aturan hukum sipil,” ujar Bambang.
    Akan tetapi, justru menjadi ironi ketika peran Polri dalam politik dirasakan semakin signifikan selepas reformasi.
    Menurut Bambang, keberadaan Polri yang langsung berada di bawah presiden memberikan ruang lebih besar bagi politisasi kekuasaan. Wacana menempatkan Polri di bawah kementerian dianggap menjadi salah satu langkah untuk membatasi keterlibatan Polri dalam politik praktis.
    “Wacana penempatan Polri di bawah kementerian adalah upaya membatasi kepolisian secara langsung dari upaya politisasi kekuasaan,” ucap Bambang.
    Sebelumnya diberitakan, isu politisasi Polri semakin memanas setelah tudingan Polri disebut sebagai ”
    Partai Coklat
    ” atau “Parcok.” Istilah ini pertama kali diungkapkan Sekretaris Jenderal PDI-Perjuangan, Hasto Kristiyanto, yang menyoroti dugaan pengerahan aparat dalam Pilkada Serentak 2024.
    “Di Jawa Timur relatif kondusif, tetapi tetap kami mewaspadai pergerakan
    partai coklat
    ya, sama dengan di Sumatera Utara juga,” ujar Hasto di kediaman Megawati Soekarnoputri, Rabu (27/11/2024).
    Pernyataan ini kemudian menyudutkan Polri yang dianggap tidak netral dalam pelaksanaan
    pemilu
    .
    Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman, menanggapi tudingan ini dengan menyebutnya sebagai kabar bohong atau hoaks.
    “Apa yang disampaikan oleh segelintir orang terkait parcok dan lain sebagainya itu, kami kategorikan sebagai hoaks,” ujar Habiburokhman dalam rapat Komisi III DPR RI, Jumat (29/11/2024).
    Ia juga menambahkan, anggota DPR yang melontarkan tuduhan serupa telah dilaporkan ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).
    Wacana ini membawa kembali usulan untuk menempatkan Polri di bawah kementerian atau bahkan TNI.
    Ketua DPP PDI-P, Deddy Yevri Sitorus, mengusulkan Polri ditempatkan di bawah Panglima TNI atau Kementerian Dalam Negeri. Menurut Deddy, kekalahan PDI-P di sejumlah wilayah dalam Pilkada Serentak 2024 diduga dipengaruhi oleh pengerahan aparat kepolisian.
    “Kami sedang mendalami kemungkinan agar Kepolisian Negara Republik Indonesia kembali di bawah kendali Panglima TNI atau agar Kepolisian Republik Indonesia dikembalikan ke bawah Kementerian Dalam Negeri,” ungkap Deddy dalam konferensi pers, Kamis (28/11/2024).
    Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Polri di Tengah Tudingan “Parcok” dan Usulan Kembali Ke TNI/Kemendagri

    Polri di Tengah Tudingan “Parcok” dan Usulan Kembali Ke TNI/Kemendagri

    Polri di Tengah Tudingan “Parcok” dan Usulan Kembali Ke TNI/Kemendagri
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Kepolisian Republik Indonesia (
    Polri
    ) lagi-lagi menjadi sorotan publik. Institusi pecahan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) ini belakangan dituding sebagai ”
    Parcok
    ” atau
    Partai Coklat
    .
    Istilah ini disebut pertama kali oleh Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto yang menyinggung soal pergerakan “
    partai coklat
    ” perlu diantisipasi.
    Hasto menyampaikan ini ketika menegaskan seluruh jajaran PDI-P memantau pelaksanaan pemungutan suara Pilkada Serentak 2024, Rabu (27/11/2024).
    “Di Jawa Timur relatif kondusif, tetapi tetap kami mewaspadai pergerakan partai coklat ya, sama dengan di Sumatera Utara juga,” ujar Hasto di kediaman Megawati Soekarnoputri, Rabu (27/11/2024).
    Istilah itu kemudian menyudutkan Polri karena disebut-sebut melakukan pengerahan aparat pada pemilihan umum, baik Pilpres, Pileg maupun Pilkada.
    Namun, DPR melihat isu
    parcok
    dalam
    Pilkada 2024
    adalah kabar bohong atau hoaks. Ini seperti disampaikan Ketua Komisi III DPR Habiburokhman.
    Adapun Komisi III merupakan mitra kerja Polri di DPR.
    “Apa yang disampaikan oleh segelintir orang terkait parcok dan lain sebagainya itu, kami kategorikan sebagai hoaks,” kata Habiburokhman di Ruang Rapat Komisi III DPR RI, Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat (29/11/2024).
    Terkait partai coklat ini, Habiburokhman menyebut ada juga anggota DPR RI yang dilaporkan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI usai melontarkan tudingan itu.
    Namun, ia enggan mengungkap identitas anggota DPR yang dilaporkan ke MKD DPR itu.
    “Saya dengar orang tersebut sudah dilaporkan ke MKD. Kalau dilaporkan ke MKD tentu prosedurnya akan dipanggil, dimintai keterangan diminta untuk membuktikan. Kalau tidak bisa membuktikan, tentu ada konsekuensinya,” ucapnya.
    Selain dituding “Parcok”, Polri juga diusulkan kembali ke TNI atau Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) imbas disebut-sebut mengerahkan aparat dalam Pilkada 2024.
    Usulan ini disampaikan oleh Ketua DPP PDI-P, Deddy Yevri Sitorus.
    Hal ini menyusul hasil Pilkada Serentak 2024 di sejumlah wilayah, di mana PDI-P merasa kekalahan mereka di wilayah-wilayah tersebut disebabkan oleh pengerahan aparat kepolisian atau “parcok”.
    “Kami sedang mendalami kemungkinan untuk mendorong kembali agar Kepolisian Negara Republik Indonesia kembali di bawah kendali Panglima TNI atau agar Kepolisian Republik Indonesia dikembalikan ke bawah Kementerian Dalam Negeri,” ujar Deddy dalam jumpa pers, Kamis (28/11/2024).
    Ia berharap, DPR RI nantinya bisa bersama-sama menyetujui agar tugas polisi juga direduksi sebatas urusan lalu lintas, patroli menjaga kondusivitas perumahan, serta reserse untuk keperluan mengusut dan menuntaskan kasus-kasus kejahatan hingga pengadilan.
    “Di luar itu saya kira tidak perlu lagi. Karena negara ini sudah banyak institusi yang bisa dipakai untuk menegakkan ini,” kata Deddy.
    Polri hanya bungkam ketika mendapat tudingan “Parcok” maupun usulan dikembalikan ke TNI/Kemendagri.
    Ketika ditanya mengenai dorongan PDI-P untuk mengembalikan Polri ke TNI atau Kemendagri, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo meminta wartawan bertanya kepada yang mengusulkan.
    “Tanya yang nanya,” ujar Listyo, di kompleks Akademi Militer, Magelang, Jawa Tengah, pada Jumat (29/11/2024), saat acara wisuda Prabhatar Akademi TNI dan Akademi Kepolisian (Akpol).
    Sementara itu, Panglima TNI Jenderal TNI Agus Subiyanto yang hadir dalam acara tersebut juga memilih untuk tidak memberikan komentar dan mengikuti langkah Listyo.
    Tudingan soal “Parcok” dan usulan untuk kembali ke TNI/Kemendagri dinilai sebagai langkah Polri untuk melakukan introspeksi diri.
    Wakil Ketua Umum PKB Jazilul Fawaid meminta institusi Polri mengoreksi diri terkait munculnya istilah “Partai Coklat” (Parcok) atau pengerahan aparat kepolisian pada pemilihan umum (pemilu), baik pilpres, pileg, maupun pilkada.
    “Kalau hari ini kemudian tidak dipercaya atau publik banyak dugaan berpolitik, ada sebutan parcok-lah, parpol-lah, itu menurut saya itu koreksi, harus didengar ini oleh institusi kepolisian,” kata Jazilul usai acara Musyawarah Nasional (Munas) V Perempuan Bangsa yang digelar di Jakarta, Jumat (29/11/2024) malam.
    Menurut dia, ada kemungkinan istilah Partai Coklat tidak terbukti. Meski begitu, Polri diminta mengoreksi diri lantaran isu ini kerap muncul.
    Jazilul mengakui tak menemukan bukti konkret juga soal tudingan keterlibatan Polri dalam pemilu. Namun, Jazilul mengaku pernah mendengar isu terkait hal ini.
    “Bahkan saya pernah dengar langsung ada seorang kepala desa begitu untuk memenangkan tertentu itu dipanggil, ditakut-takuti dengan kasus. Katanya begitu yang disampaikan ke saya,” kata dia.
    Anggota Komisi III DPR RI ini menilai Polri perlu melakukan koreksi di internal agar ke depannya isu tersebut tidak menjadi kegaduhan publik.
    Dia berpandangan, jangan sampai Polri yang seharusnya menjaga keamanan ketertiban, justru membuat ketidaktertiban publik.
    “Hari ini mungkin bisa ditangani, suatu saat enggak bisa ditangani akan terjadi masalah,” kata Jazilul.
    “Lebih baik menurut saya koreksi saja secara internal perbaiki, lakukan evaluasi supaya tidak lagi berpolitik, ini domainnya partai-partai dan juga partai-partai jangan ditarik-tarik institusi itu menjadi institusinya partai,” imbuh dia.
    PKB dalam posisi menghormati profesionalitas kepolisian.
    Menurutnya, PKB juga mengapresiasi jajaran kepolisian yang telah memastikan pilkada tahun ini berjalan lancar.
    “Meskipun ada dugaan penggunaan aparat dan semacam dugaan-dugaan seperti itu, tetapi pada umumnya sukseslah kerja yang dilakukan kepolisian,” tuturnya.
     Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso juga sepakat, Polri sebaiknya introspeksi.
    “Tunduk di bawah TNI atau kementerian tentu harus menjadi introspeksi pimpinan Polri,” ujarnya.
    Meski demikian, Sugeng menegaskan bahwa IPW tidak setuju dengan usulan Polri dikembalikan ke TNI/Kemendagri.
    Menurutnya, hal tersebut merupakan sebuah kemunduran.
    Sugeng menekankan perlunya introspeksi mendalam dari para pimpinan Polri.
    “Kepercayaan publik yang diukur melalui survei perlu dipertanyakan. Apakah surveinya benar atau abal-abal? Semua insan Polri harus kembali kepada jati diri,” jelasnya.
    Selain itu, tambah dia, jika Polri kembali berada di bawah TNI, potensi pelanggaran hak asasi manusia bisa meningkat.
    “Kembali lagi menjadi aparatur pendekatannya kekerasan,” tambahnya.
    Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • PDI-P Usulkan Polri Kembali di Bawah TNI/Kemendagri, IPW: Langkah Kemunduran

    PDI-P Usulkan Polri Kembali di Bawah TNI/Kemendagri, IPW: Langkah Kemunduran

    PDI-P Usulkan Polri Kembali di Bawah TNI/Kemendagri, IPW: Langkah Kemunduran
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Ketua Indonesia Police Watch (
    IPW
    ) Sugeng Teguh Santoso menanggapi usulan untuk mengembalikan institusi
    Polri
    di bawah TNI atau Kementerian Dalam Negeri.
    Sugeng menegaskan bahwa Polri merupakan hasil reformasi yang diatur dalam Undang-Undang nomor 2 tahun 2002, yang menetapkan Polri sebagai institusi yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
    “Anugerah besar yang diberikan oleh sejarah kepada institusi Polri (tapi) tidak dapat dipertanggungjawabkan dengan baik,” katanya saat dihubungi, Jumat (29/11/2024).
    Sugeng mengungkapkan kekhawatirannya terkait arogansi, penyalahgunaan kewenangan, dan tindakan yang menyakiti masyarakat oleh oknum kepolisian.
    “Apabila itu yang terjadi, pertanyaannya adalah, apakah polisi harus dibawa kembali ke bawah institusi Menteri Dalam Negeri atau institusi TNI?” ujarnya.
    Ia menilai bahwa jika Polri kembali ke bawah TNI, hal tersebut merupakan sebuah kemunduran.
    Sugeng menekankan perlunya introspeksi mendalam dari para pimpinan Polri.
    “Kepercayaan publik yang diukur melalui survei perlu dipertanyakan. Apakah surveinya benar atau abal-abal? Semua insan Polri harus kembali kepada jati diri,” jelasnya.
    Ia menambahkan bahwa jika Polri kembali berada di bawah TNI, potensi pelanggaran hak asasi manusia bisa meningkat.
    “Kembali lagi menjadi aparatur pendekatannya kekerasan,” tambahnya.
    Sugeng juga mengungkapkan kekhawatirannya jika Polri berada di bawah Kementerian Dalam Negeri, yang dinilai sebagai kemunduran karena menteri-menteri saat ini berasal dari partai politik.
    “Tunduk di bawah TNI atau kementerian tentu harus menjadi introspeksi pimpinan Polri,” ujarnya.
    Sugeng menegaskan bahwa IPW tidak setuju dengan usulan tersebut.
    Sebelumnya,
    PDI-P
    mengusulkan agar Polri dikembalikan di bawah TNI atau Kementerian Dalam Negeri.
    Usulan ini muncul setelah hasil
    Pilkada
    Serentak 2024, di mana PDI-P merasa kekalahan mereka disebabkan oleh pengerahan
    aparat kepolisian
    .
    “Kami sedang mendalami kemungkinan untuk mendorong kembali agar Kepolisian Negara Republik Indonesia berada di bawah kendali Panglima TNI atau Kementerian Dalam Negeri,” ungkap Ketua DPP PDI-P, Deddy Yevri Sitorus, dalam jumpa pers pada Kamis (28/11/2024).
    Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Pramono-Rano Unggul di Jakarta, Mardani Sebut Manuver Anies Tak Terprediksi

    Pramono-Rano Unggul di Jakarta, Mardani Sebut Manuver Anies Tak Terprediksi

    Bisnis.com, JAKARTA – Ketua DPP PKS, Mardani Ali Sera, tampak mengakui jika keunggulan Pramono-Rano di DKI Jakarta ada kontribusi Anies Baswedan.

    Dilansir dari video yang memperlihatkan wawancara Mardani dengan TV Swasta, Ketua DPP PKS tersebut pertama memberikan selamat kepada Pramono-Rano yang unggul di quick count.

    “Pertama saya ucapkan selamat kepada Mas Pram dan Rano karena hasil quick count menyatakan suara mereka di atas Rido. Apakah akan satu putaran? kita tunggu menurut KPU,” katanya.

    Namun yang menurutnya tak kalah mengagetkan, Pramono-Rano mendapatkan dukungan dari Anies Baswedan.

    Anies bahkan tampak gencar mengkampanyekan paslon usungan PDIP ini selama sepekan terakhir sebelum pencoblosan.

    Hal inilah yang menurut Mardani tak terprediksi dari kubu KIM Plus yang mengusung Ridwa Kamil dan Suswono (Rido).

    “Kami bahagia, kader dan simpatisan sangat bekerja keras memenangkan Rido, namun faktor mas Anies yang sangat aktif kampanye unpredictable. Tadinya kami berharap dia netral, tapi agak ngebut kampanye buat Mas Pram. Itu yang kami tidak kira,” ia menambahkan.

    Terpisah, Ketua DPP PDI Perjuangan (PDIP) Bidang Pemenangan Pemilu Eksekutif Deddy Yevri Sitorus berterima kasih kepada warga DKI Jakarta dan Anies Baswedan yang telah memenangkan pasangan calon gubernur nomor urut 3 Pramono Anung-Rano Karno dalam Pilkada Serentak 2024.

    “Ya kami di Pilkada DKI ini harus mengucapkan terima kasih kepada dua orang, selain kepada rakyat DKI ya tentu pada Pak Anies Baswedan yang kemudian bisa memastikan kemenangan kami,” kata Deddy dilansir dari Antaranews.

  • PDI-P Minta Polri Kembali ke TNI atau Kemendagri, Kapolri Irit Bicara, Panglima Bungkam
                
                    
                        
                            Regional
                        
                        29 November 2024

    PDI-P Minta Polri Kembali ke TNI atau Kemendagri, Kapolri Irit Bicara, Panglima Bungkam Regional 29 November 2024

    PDI-P Minta Polri Kembali ke TNI atau Kemendagri, Kapolri Irit Bicara, Panglima Bungkam
    Tim Redaksi
    MAGELANG, KOMPAS.com
    – Kepala Kepolisian RI Jenderal
    Listyo Sigit Prabowo
    memberikan tanggapan terkait permintaan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) agar Polri dikembalikan di bawah kendali TNI atau Kementerian Dalam Negeri.
    Dalam acara wisuda prabhatar Akademi TNI dan Akademi Kepolisian (Akpol) 2024 yang berlangsung di kompleks Akademi Militer, Magelang, Jawa Tengah, pada Jumat (29/11/2024), Listyo memaparkan tahapan pendidikan lanjutan untuk 325 lulusan Akpol.
    Dalam kesempatan tersebut, ia didampingi oleh
    Panglima TNI
    Jenderal TNI
    Agus Subiyanto
    .
    Ketika ditanya mengenai dorongan PDI-P untuk mengembalikan Polri ke TNI atau Kemendagri, Listyo meminta wartawan bertanya kepada yang mengusulkan.
    “Tanya yang nanya,” ujar Listyo, sebelum meninggalkan sesi wawancara.
    Agus Subiyanto, yang hadir dalam acara tersebut, memilih untuk tidak memberikan komentar dan mengikuti langkah Listyo.
    Ketua DPP
    PDIP
    Deddy Yevri Sitorus mengungkapkan bahwa partainya sedang mempertimbangkan untuk mendorong Polri berada di bawah kendali TNI atau Kemendagri.
    Pertimbangan ini muncul setelah hasil pemilihan kepala daerah serentak 2024 di beberapa wilayah, di mana PDI-P merasa mengalami kekalahan akibat keterlibatan aparat kepolisian, yang mereka sebut sebagai “parcok” (partai cokelat).
    Deddy menegaskan bahwa “parcok” tidak terlepas dari pengaruh “Jokowisme,” yang dianggapnya masih mengintervensi proses elektoral dalam pilkada serentak, termasuk di Jawa Tengah.
    “Bagaimana politik ala Jokowisme yang merupakan sisi dalam demokrasi ini bisa bekerja? Dia tentu membutuhkan instrumen. Apa instrumen yang dipakai dengan politik pemilu ala Jokowisme ini? Tentu sesuatu yang sangat besar, berjalanan kuat, punya kemampuan untuk melakukan penggalangan dana, penggalangan kelompok-kelompok tertentu yang sudah menjadi pengetahuan publik. Sekarang kita mengenal partai cokelat,” kata dia dikutip Kompas.com.
    Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Pramono-Rano Menang Tipis, Dukungan Anies Dinilai Jadi Kunci

    Pramono-Rano Menang Tipis, Dukungan Anies Dinilai Jadi Kunci

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Pemenangan Pemilu Eksekutif, Deddy Yevri Sitorus, menyampaikan rasa terima kasih kepada warga DKI Jakarta dan Anies Baswedan atas kemenangan pasangan Pramono Anung-Rano Karno (Pram-Doel) dalam Pilkada Serentak 2024. Deddy mengapresiasi peran besar Anies yang memberikan dukungan penuh kepada pasangan nomor urut 3 itu.

    “Ya, kami di Pilkada DKI ini harus mengucapkan terima kasih kepada dua pihak. Selain kepada rakyat DKI, tentu kepada Pak Anies Baswedan yang bisa memastikan kemenangan kami,” ujar Deddy dilansir dari Antara, Jumat (29/11/2024).

    Anies Baswedan sebelumnya secara terbuka mendeklarasikan dukungannya kepada Pramono Anung-Rano Karno dalam sebuah acara di Lapangan Blok S, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, pada Kamis (21/11). Dalam pidatonya, Anies menyebut pasangan Pram-Doel memiliki visi yang sejalan untuk melanjutkan pembangunan di ibu kota.

    “Saya bersyukur Mas Pram dan Bang Doel semakin hari semakin kuat. Mudah-mudahan keberlanjutan program-program di Jakarta akan berjalan dengan baik di bawah kepemimpinan Mas Pram nanti,” ujar Anies di acara tersebut.

    Pengamat politik dari Indonesia Political Opinion (IPO), Dedi Kurnia Syah, menilai dukungan Anies memberikan dampak signifikan terhadap elektabilitas pasangan nomor urut 3. Ia menyebut dukungan ini sebagai “durian runtuh” bagi Pramono-Rano karena pemilih Anies berasal dari kelompok yang berbeda, sehingga mampu menambah suara secara signifikan.

    “Dukungan terbuka Anies Baswedan kepada Pramono cukup berdampak positif pada elektabilitasnya. Mengingat pemilih Anies berasal dari latar belakang berbeda, ini membuka peluang tambahan suara yang signifikan,” kata Dedi dalam keterangannya di Jakarta, Jumat (22/11).

  • PDIP Minta Prabowo Copot Kapolri Listyo Sigit

    PDIP Minta Prabowo Copot Kapolri Listyo Sigit

    GELORA.CO – Ketua DPP PDI Perjuangan (PDIP) Deddy Yevri Sitorus meminta Presiden Prabowo Subianto untuk mencopot Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dari jabatannya.

    Mulanya, Deddy menyoroti buruknya budaya politik yang terjadi sejak perhelatan Pilpres 2024 hingga Pilkada 2024, menyebutnya sebagai budaya Jokowisme.

    “Pemilu kita kemarin cacat karena berbagai tindakan pelanggaran yang TSM sifatnya, terstruktur, sistematis, dan masif. Budaya politik buruk ini kami menamakan sebagai budaya Jokowisme,” katanya di Kantor DPP PDIP, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis, 28 November 2024.

    Dalam budaya Jokowisme, Deddy menyebutkan akibat ambisi Jokowi itu akhirnya mereka menggerakkan instrumen aparat kepolisian atau yang disebut Partai Cokelat demi bisa menjalankan sisi gelap demokrasi.

    “Apa instrumen yang dipakai dengan politik pemilu ala Jokowisme ini? Tentu sesuatu yang sangat besar, berjaringan kuat, punya kemampuan untuk melakukan penggalangan dana, penggalangan kelompok-kelompok tertentu yang sudah menjadi pengetahuan publik. Sekarang kita mengenal ‘partai cokelat’,” jelas Deddy.

    Bahkan, kata Deddy, intervensi partai cokelat di Pilkada 2024 ini telah disinggung dalam rapat Komisi II dan Komisi III DPR RI.

    Ia mengatakan, pergerakan aparat kepolisian atau yang disebut Partai Cokelat ini bergerak sudah berdasarkan komando.

    Ia pun menuding pihak yang memberikan komando dibalik itu semua adalah Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo.

    “Jadi ini bukan sesuatu yang baru. Kami di PDI Perjuangan terus terang sedih, karena yang dimaksud Partai Coklat ini sudah barang tentu adalah oknum-oknum kepolisian. Cuma karena tidak hanya satu, tidak hanya satu tempat, mungkin sebaiknya kita tidak menyebut oknum-oknum,” katanya. 

    Atas dasar itu, ia meminta agar Listyo bertanggung jawab atas kelakuan anak buahnya.

    “Beliau bertanggung jawab terhadap institusi yang dia kendalikan, yang dia pimpin, yang ternyata merupakan bagian dari kerusakan demokrasi kita. Ini tanggung jawab yang saya kira harus dibebani di pikul sepanjang sejarah kita,” ujarnya. 

    Selain itu, ia juga meminta kepada pendukung Prabowo agar bisa mendesak presiden untuk mencopot Listyo Sigit dari jabatan Kapolri. Hal itu, kata dia, perlu dilakukan untuk memutus syahwat Jokowi.

    “Kami menyerukan kepada seluruh pendukung Pak Prabowo supaya memberikan keberanian kepada beliau untuk memutus syahwat kekuasaan yang terus-menerus dipertontonkan oleh seorang Joko Widodo,” jelasnya.

    “Dan itu harus dimulai dengan mengganti Listyo Sigit sebagai Kepala Kepolisian Republik Indonesia dan melakukan evaluasi yang mendalam terhadap Kementerian Dalam Negeri. Dengan cara itu kami bisa melanjutkan partisipasi yang positif dalam masa Presiden Prabowo,” ujarnya.