Ironi Nadiem Makarim: Antara Jejak Inovasi dan Bayang-bayang Korupsi
Direktur Indonesian Society Network (ISN), sebelumnya adalah Koordinator Moluccas Democratization Watch (MDW) yang didirikan tahun 2006, kemudian aktif di BPP HIPMI (2011-2014), Chairman Empower Youth Indonesia (sejak 2017), Direktur Maluku Crisis Center (sejak 2018), Founder IndoEast Network (2019), Anggota Dewan Pakar Gerakan Ekonomi Kreatif Nasional (sejak 2019) dan Executive Committee National Olympic Academy (NOA) of Indonesia (sejak 2023). Alumni FISIP Universitas Wijaya Kusuma Surabaya (2006), IVLP Amerika Serikat (2009) dan Political Communication Paramadina Graduate School (2016) berkat scholarship finalis ‘The Next Leaders’ di Metro TV (2009). Saat ini sedang menyelesaikan studi Kajian Ketahanan Nasional (Riset) Universitas Indonesia, juga aktif mengisi berbagai kegiatan seminar dan diskusi. Dapat dihubungi melalui email: ikhsan_tualeka@yahoo.com – Instagram: @ikhsan_tualeka
“
Kekuasaan bisa mengangkat setinggi-tingginya, tetapi juga menjatuhkan sedalam-dalamnya
.”
PADA
satu dekade lalu, nama Nadiem Anwar Makarim identik dengan optimisme baru. Ia mendirikan Gojek, aplikasi yang mengubah wajah transportasi Indonesia.
Dari sekadar gagasan sederhana tentang ojek berbasis aplikasi, Gojek berkembang menjadi unicorn pertama di negeri ini, bahkan menembus status decacorn.
Nadiem dielu-elukan sebagai
game changer
. Ia anak muda yang berani bermimpi besar, membuktikan bahwa inovasi lahir dari dalam negeri bisa menembus panggung global.
Di balik layar, jutaan pengemudi ojek menemukan penghidupan baru, mereduksi angka pengangguran dan masyarakat merasakan kemudahan dalam keseharian.
Pada 2019, perjalanan itu mencapai puncak simbolis: Presiden Joko Widodo memintanya meninggalkan kursi CEO dan masuk ke kabinet sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
Publik bersorak. Ada yang menyabut dengan penuh optimistis. Inilah saatnya profesional muda membawa angin segar dan perubahan ke birokrasi.
Namun, lima tahun berselang, jalan cerita berbelok. Kamis (4/9), Kejaksaan Agung menetapkan Nadiem sebagai tersangka dugaan korupsi pengadaan laptop Chromebook di Kemendikbudristek, proyek bernilai fantastis, Rp 9,9 triliun.
Keputusan mengganti spesifikasi dari laptop berbasis Windows menjadi Chromebook kini dituding sarat kepentingan, punya ‘Mens Rea’ korupsi.
Kisah Nadiem memperlihatkan ironi yang dalam. Dari pengusaha muda penuh inspirasi, ia kini harus menghadapi proses hukum sebagai tersangka korupsi.
Di dunia bisnis, reputasinya nyaris tak bercela. Namun, di dunia birokrasi, ia tersandung. Perbedaan yang menunjukkan jurang antara logika korporasi dan logika negara atau pemerintahan.
Bisnis berorientasi pada hasil cepat, efisiensi, dan kepuasan pengguna. Sementara birokrasi negara berjalan dengan aturan ketat, prosedur panjang, dan risiko politik yang besar.
Seperti diingatkan Mahfud MD, “Korupsi itu bukan hanya soal keserakahan, tetapi juga kelemahan sistem yang memberi peluang.”
Nadiem mungkin datang dengan niat membangun, tetapi kelemahan sistem dan dinamika politik bisa menyeret siapa saja.
Nadiem juga bukan satu-satunya dari lingkaran Jokowi yang kini masuk pusaran kasus hukum. Immanuel Ebenezer, Silfester Matutina yang berstatus buron, bahkan nama mantan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, yang sudah bolak-balik memenuhi pemeriksaan KPK, dan mungkin akan menyusul Nadiem sebagai tersangka.
Lord Acton sudah lama mengingatkan: “
Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely
.” Selama berkuasa, hukum sering tampak jauh.
Namun begitu kursi dilepaskan, jejaring melemah, dan proses hukum datang tanpa ampun. Inilah yang disebut para ilmuwan politik sebagai
political cycle:
perlindungan hukum yang semu, hanya bertahan selama ada kuasa atau punya kekuasaan.
Kasus ini juga menjadi refleksi bagi para profesional yang dipanggil masuk pemerintahan. Keberhasilan di sektor swasta tidak serta-merta menjadi jaminan bisa sukses dan aman di birokrasi.
Guy Peters mengingatkan, birokrasi publik tunduk pada
accountability
berlapis: kepada hukum, lembaga audit, parlemen, publik, bahkan media.
Sementara di bisnis, orientasi utamanya jelas: konsumen dan keuntungan. Celah inilah yang sering membuat profesional kebingungan.
Amartya Sen menambahkan bahwa korupsi adalah “governance failure”—bukan sekadar kelemahan moral individu. Sistem yang rapuh bisa menyeret siapa saja, bahkan mereka yang berangkat dengan idealisme dan reputasi baik.
Ironi Nadiem seharusnya tidak hanya dilihat sebagai tragedi personal, melainkan juga sebagai cermin kelemahan sistem.
Reformasi pendidikan tidak bisa dipisahkan dari reformasi tata kelola. Laptop, kurikulum, hingga digitalisasi hanyalah instrumen; tanpa tata kelola yang bersih, instrumen itu kehilangan makna.
Publik pun perlu menahan diri dari penghakiman instan. Status tersangka bukanlah vonis. Biarkan pengadilan yang menguji bukti. Yang lebih penting, masyarakat menuntut perbaikan sistem agar kasus serupa tidak berulang.
Perjalanan Nadiem adalah kisah tentang dua wajah Indonesia: inovasi yang membanggakan dan korupsi yang membayangi. Dari anak muda inspiratif yang menembus batas global, ia kini menjadi mantan pejabat yang berstatus tersangka kasus korupsi.
Ironi ini mengajarkan bahwa prestasi masa lalu tidak selalu menjamin kebebasan dan imunitas dari risiko di masa kini.
Kasus ini juga menjadi cermin yang menohok kita semua. Bahwa negeri ini masih harus terus berjuang untuk keluar dari jerat korupsi yang seakan abadi.
Sehebat apa pun gagasan, secemerlang apa pun visi, dan sehebat apa pun teknologi, semuanya bisa runtuh jika tata kelola pemerintahan masih lemah. Nadiem, dengan segala prestasi globalnya, tetap tidak kebal terhadap jebakan sistem.
Bagi para profesional muda, kisah ini adalah pengingat keras. Memasuki dunia pemerintahan bukan hanya tentang membawa visi besar atau strategi korporasi. Ia juga tentang mengarungi lautan birokrasi yang penuh aturan, kepentingan, bahkan jebakan hukum.
Idealismenya bisa menjadi cahaya, tetapi tanpa kewaspadaan, cahaya itu bisa meredup di tengah gelombang kekuasaan.
Sekali lagi, kita jangan melihat kasus ini hanya sebagai tragedi personal. Kita perlu melihat akar masalah yang lebih dalam: lemahnya tata kelola, politik yang cair dengan kepentingan, dan sistem pengawasan yang belum kokoh.
Sebab, tanpa perbaikan sistemik, kasus serupa akan terus berulang, hanya berganti nama, wajah dan momentum politik.
Akhirnya, ironi terbesar dalam kisah Nadiem bukanlah penetapan status tersangkanya semata, melainkan hilangnya harapan publik yang dulu sempat menyala.
Dari simbol inovasi, ia kini menjadi simbol peringatan: bahwa kekuasaan bisa mengangkat setinggi-tingginya, tetapi juga bisa menjatuhkan sedalam-dalamnya.
Dawam Rahardjo pernah berkata, “Kekuasaan bukanlah panggung untuk menumpuk kuasa, melainkan ladang untuk menanam kebajikan.”
Pesan itu kini terasa relevan. Sebab, pada akhirnya, jejak inovasi bisa memudar bila dibayangi korupsi. Dan hanya kebajikan yang akan bertahan dalam ingatan sejarah bangsa, dari generasi ke generasi.
Menegaskan bahwa kekuasaan itu fana. Ia datang dan pergi, meninggalkan jejak yang tak pernah bisa dihapus begitu saja.
Jejak itulah yang akan dikenang sejarah. Dan sejarah selalu memilih untuk mengingat bukan sekadar siapa yang berkuasa, tetapi bagaimana kuasa itu digunakan.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.