Tag: David Sumual

  • Kepala Ekonom BCA Sebut Pasar Masih Tunggu ‘Gebrakan’ Menkeu Pengganti Sri Mulyani

    Kepala Ekonom BCA Sebut Pasar Masih Tunggu ‘Gebrakan’ Menkeu Pengganti Sri Mulyani

    Bisnis.com, JAKARTA — Para pelaku pasar maupun investor disebut masih menunggu langkah-langkah kebijakan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, yang baru sehari menggantikan Sri Mulyani Indrawati. 

    Mantan Ketua Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) itu resmi dilantik oleh Presiden Prabowo Subianto kemarin, Senin (8/9/2025). Dia lalu resmi melakukan Serah Terima Jabatan (Sertijab) dengan Sri Mulyani pagi ini. 

    “Pasar masih menunggu langkah-langkah kebijakan Menkeu ke depannya seperti apa,” jelas Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk. atau BCA (BBCA) David Sumual kepada Bisnis, Selasa (9/9/2025). 

    Menurut David, kondisi perekonomian Indonesia ke depan masih cukup menantang. Dia menyebut kondisi pasar setelah pergantian Sri Mulyani dari kursi Menkeu lebih dititikberatkan pada langkah-langkah kebijakan yang akan dilakukan Purbaya.

    “Kondisi ekonomi masih cukup menantang. Stabilitas makro dan fiskal harus tetap dijaga dan kebijakan diarahkan pada penciptaan lapangan kerja,” ucapnya.

    Adapun pada acara sertijab pagi ini, Purbaya berpesan bahwa RAPBN 2026 dirancang untuk menjaga kesinambungan dan disiplin fiskal, sekaligus keberpihakan dengan rakyat. Fokus keuangan negara menyasar pada program-program prioritas pemerintah seperti penguatan ketahanan pangan, peningkatan kualitas pendidikan, keleluasaan layanan kesehatan serta perlindungan sosial bagi kelompok rentan.

    Belanja pemerintah ditargetkan sebesar Rp3.147,7 triliun pada RAPBN 2026 atau naik 9,8% (YoY) dari tahun sebelumnya. Purbaya memastikan belanja pada APBN tahun depan akan tetap efektif serta tetap dijaga kesehatannya.

    “Pada saat yang sama, prinsip kehati-hatian harus tetap dijaga agar APBN tetap sehat, reliable, dan mampu menompang agenda pembangunan nasional,” terangnya di Aula Mezzanina, Gedung Kemenkeu, Jakarta, Selasa (9/9/2025).

    Purbaya juga menekankan bahwa setiap rupiah yang dikelola adalah uang rakyat, dan kementeriannya bertanggung jawab untuk memastikan itu digunakan dengan sebaik-baiknya.

    “Dalam menghadapi masa depan yang penuh tantangan, integritas adalah hal yang tidak bisa ditawar. Kementerian Keuangan harus tetap menjadi institusi yang dipercaya oleh masyarakat. Oleh karena itu, kita harus menjaga agar setiap tindakan kita selalu berdasarkan prinsip-prinsip tata kelola yang baik, transparansi, dan akuntabilitas,” ucapnya.

    Sebelumnya, RAPBN 2026 dirancangh dan telah disepakati saat Sri Mulyani masih menjabat Menkeu pada Agustus lalu bersama dengan Komisi XI DPR. Presiden Prabowo Subianto juga telah mengumumkan postur RAPBN 2026 dalam pembacaan RAPBN 2026 dan Nota Keuangan, Jumat (15/8/2025).

    Prabowo menyampaikan bahwa pemerintah mendesain defisit APBN 2026 lebih kecil dari proyeksi tahun ini yang sebesar 2,78%. Hal itu bisa terjadi dengan proyeksi pertumbuhan penerimaan negara yang lebih tinggi daripada laju kenaikan belanja negara.

    Prabowo menargetkan pendapatan negara pada 2026 mencapai Rp3.147,7 triliun, naik 9,8% (year on year/YoY). Pendapatan negara itu terdiri dari target penerimaan pajak 2026 senilai Rp2.357,7 triliun (naik 13,5%), pendapatan kepabeanan dan cukai Rp334,3 triliun (naik 7,7%), serta penerimaan negara bukan pajak (PNBP) Rp455 triliun (turun 4,7%).

    Sementara itu, belanja negara atau besaran APBN 2026 ditargetkan Rp3.786,5 triliun, naik 7,3% (YoY). Belanja itu terdiri dari belanja pemerintah pusat senilai Rp3.136,5 triliun (naik 17,8%) dan transfer ke daerah sebesar Rp650 triliun (turun 24,8%).

    Prabowo juga mendesain keseimbangan primer negatif Rp39,4 triliun pada 2026. Alhasil, defisit APBN 2026 ditargetkan sebesar Rp638,8 triliun.

    Target defisit APBN 2026 itu setara dengan 2,48% terhadap produk domestik bruto (PDB).

  • Resiliensi Perdagangan RI-India di Tengah Guncangan Tarif Impor AS

    Resiliensi Perdagangan RI-India di Tengah Guncangan Tarif Impor AS

    Bisnis.com, JAKARTA — Neraca perdagangan Indonesia dengan India mencatatkan surplus pada Januari-Juli 2025. Tren positif itu terjadi di tengah penurunan harga komoditas serta ketidakpastian ekonomi akibat penerapan tarif impor oleh Amerika Serikat (AS).

    Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) terbaru, India menjadi negara penyumbang surplus neraca perdagangan nonmigas terbesar Indonesia kedua setelah AS pada tujuh bulan pertama 2025. Secara berurutan, Indonesia memperoleh surplus nonmigas dari AS (US$12,13 miliar), India (US$8,13 miliar), serta Filipina (US$5,07 miliar). 

    Surplus nonmigas terbesar yang disumbangkan India berasal dari penjualan bahan bakar mineral US$3,29 miliar, lemak dan minyak hewani/nabati US$2,20 miliar serta besi dan baja US$900 juta dari Indonesia. 

    India juga adalah negara terbesar ketiga tujuan ekspor nonmigas Indonesia, apabila merujuk data BPS per Juli 2025. Nilai ekspornya mencapai US$1,89 miliar dan tumbuh 15,23% dari periode yang sama tahun sebelumnya. 

    Nilai ekspor ke India pada Juli 2025 itu saja sudah masih lebih besar apabila dibandingkan dengan keseluruhan ekspor Indonesia ke Uni Eropa, yang tercatat sekitar US$1,71 miliar. 

    TANTANGAN HUBUNGAN INDONESIA-INDIA

    Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) David Sumual memperkirakan tantangan ke depan akan semakin besar setelah penerapan tarif impor oleh AS. Bagi Indonesia, para eksportir sudah melakukan pengiriman barang lebih cepat (frontloading) ke AS sebelum berlakunya tarif impor bulan lalu. 

    Hal itulah yang membuat kinerja ekspor Indonesia Juli 2025 tercatat sebesar US$24,75 miliar atau melesat hingga 9,86% dari Juli 2024. Ekspor itu ditopang oleh komoditas nonmigas yang mencapai US$23,81 miliar, dengan pertumbuhan tembus 12,83% dari periode yang sama tahun sebelumnya. 

    “Itu juga yang membantu ekspor kita meningkat di bulan lalu termasuk juga dibantu oleh pemulihan harga CPO. Ke depan ini kan mulai diterapkan tarif dan mungkin akan berpengaruh juga ke demand. Jadi kami melihat mungkin outlook-nya untuk trade balance ini mungkin akan enggak setinggi yang sebelum-sebelumnya. Akan mengecil,” jelasnya kepada Bisnis, dikutip Sabtu (6/9/2025). 

    Akibatnya, David memperkirakan kinerja surplus neraca dagang Indonesia pada akhir tahun ini nantinya bakal menyusut akibat penerapan tarif impor sebesar 19% itu. 

    “Proyeksinya surplus perdagangan menyusut dari US$31 miliar 2024 ke sekitar US$25 miliar di 2025,” terang David. 

    Adapun di India, pemerintah juga sudah bersiap-siap untuk memberikan bantuan kepada eksportir yang terdampak tarif 50% oleh AS. Menteri Keuangan India Nirmala Sitharaman menyebut pemerintah akan menyalurkan bantuan untuk meringankan beban eksportir.

    “Pemerintah akan melakukan sesuatu untuk membantu mereka yang terdampak oleh tarif 50%,” ujar Nirmala kepada CNBC TV18, dikutip dari Reuters, Jumat (5/9/2025). 

    Sebagaimana diketahui, Indonesia dan India adalah di antara negara ekonomi terbesar di dunia yang turut terdampak tarif impor oleh Presiden AS Donald Trump. AS, serta Indonesia dan India juga adalah negara anggota G20. Negara Paman Sam itu mengenakan tarif impor ke barang-barang dari Indonesia sebesar 19%, sedangkan dari India 50%. Tarif itu diberlakukan Agustus 2025. Namun demikian, di tengah ketidakpastian yang ditimbulkan akibat tarif tersebut, perdagangan antara Indonesia dan India mencatatkan tren positif. 

  • Cadangan Devisa RI Dibayangi Utang Luar Negeri dan Efek Tarif Trump 19%

    Cadangan Devisa RI Dibayangi Utang Luar Negeri dan Efek Tarif Trump 19%

    Bisnis.com, JAKARTA — Cadangan devisa Indonesia dibayangi oleh pembayaran utang luar negeri dan kemungkinan efek penerapan tarif 19% terhadap barang asal Indonesia oleh pemerintahan Donald Trump. 

    Tarif Trump belum berdampak terhadap kinerja ekspor yang merupakan salah satu sumber devisa negara. Namun demikian, pemberlakuan tarif 19% yang efektif pada 7 Agustus 2025, diproyeksikan akan menekan kinerja ekspor barang Indonesia ke AS. Apalagi AS adalah salah pangsa pasar ekspor terbesar kedua Indonesia setelah China.

    Adapun rilis terbaru Bank Indonesia (BI) mencatat bahwa pada Juli 2025 posisi cadangan devisa berada di angka US$152,0 miliar pada Juli 2025 atau turun dari bulan sebelumnya yang mencapai US$152,6 miliar.

    Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), cadangan devisa sempat mencapai rekor tertinggi sepanjang masa pada Maret 2025, yakni senilai US$157,1 miliar. Namun, setelahnya turun.

    Cadangan devisa relatif stabil posisinya sejak April 2025, yakni sebesar US$152,5 miliar. Posisinya kemudian turun pada Juli 2025, salah satunya untuk keperluan pembayaran utang luar negeri.

    “Perkembangan tersebut antara lain dipengaruhi oleh pembayaran utang luar negeri pemerintah dan kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah sebagai respons Bank Indonesia dalam menghadapi ketidakpastian pasar keuangan global yang tetap tinggi,” ujar Kepala Departemen Komunikasi BI Ramdan Denny Prakoso, Kamis (7/8/2025).

    Grafik Cadangan Devisa Januari – Juli 2025

    Sumber: Bank Indonesia, miliar US$

    BI melaporkan posisi terakhir utang luar negeri Indonesia per Mei 2025 adalah senilai US$435,6 miliar, setara Rp7.100,28 triliun (asumsi kurs JISDOR BI Rp16.300 per dolar AS pada akhir Mei 2025). Jumlah utang itu naik US$4,05 miliar atau sekitar Rp66 triliun dari bulan sebelumnya.

    Jumlah utang luar negeri per Mei 2025 naik dalam nominal dolar, tetapi menjadi turun saat dikonversi ke dalam rupiah karena terjadi penguatan kurs pada Mei 2025 dari bulan sebelumnya.

    Utang luar negeri Indonesia Mei 2025 mengalami kenaikan 6,8% secara tahunan (year on year/YoY), lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan pada April 2025 sebesar 8,2% (YoY).

    “Perkembangan tersebut disebabkan oleh perlambatan pertumbuhan ULN [utang luar negeri] di sektor publik dan kontraksi pertumbuhan ULN swasta,” ujar Denny.

    Dibayangi Tarif Donald Trump

    Ramdan menyampaikan bahwa BI juga melakukan intervensi di pasar keuangan demi menjaga stabilitas rupiah, terutama di tengah dinamika ekonomi global setelah Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menetapkan tarif resiprokal ke banyak negara menjelang pemberlakuan.

    “Posisi cadangan devisa pada akhir Juli 2025 setara dengan pembiayaan 6,3 bulan impor atau 6,2 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor,” ujar Denny.

    BI, sambungnya, menilai cadangan devisa tersebut mampu mendukung ketahanan sektor eksternal serta menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan.

    Oleh sebab itu, cadangan devisa sebesar US$152 miliar itu diyakini memadai untuk mendukung ketahanan sektor eksternal sejalan dengan tetap terjaganya prospek ekspor, neraca transaksi modal dan finansial yang diprakirakan tetap mencatatkan surplus.

    Sejalan dengan itu, BI berharap cadangan devisa tersebut meningkat persepsi positif investor terhadap prospek perekonomian nasional dan imbal hasil investasi yang menarik.

    “Bank Indonesia terus meningkatkan sinergi dengan pemerintah dalam memperkuat ketahanan eksternal guna menjaga stabilitas perekonomian untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan,” tutup Ramdan.

    Neraca Dagang RI-AS 

    Adapun tarif Trump 19% mulai berlaku pada 7 Agustus 2025. Alasan Trump mengenakan tarif impor barang sebesar 19% ke Indonesia untuk menyeimbangkan neraca perdagangan. Seperti diketahui, neraca perdagangan AS dengan Indonesia selalu defisit. Hal itu sudah berlangsung bertahun-tahun. 

    Bisnis telah merangkum data neraca perdagangan Indonesia-AS selama tahun 2020 – Semester 1/2025 versi otoritas statistik AS, yang menunjukkan nilai sebesar US$101,7 miliar. Angka defisit bagi AS merupakan surplus bagi neraca perdagangan Indonesia.

    Adapun kebijakan tarif Trump telah memicu kekhawatiran baik pemerintah maupun kalangan pengusaha mengenai turunnya permintaan dari AS akibat tarif yang mencapai 19%. Lonjakan ekspor ke AS dan masih terjaganya surplus perdagangan ke negeri Paman Sam itu dinilai tidak akan bertahan lama dan ada potensi kemungkinan tergerus pasca penerapan tarif Trump. 

    BPS mencatat bahwa neraca perdagangan Indonesia dengan AS masih tercatat surplus di angka US$9,9 miliar pada semester 1/2025. Angka versi BPS itu jauh lebih kecil dibandingkan dengan versi AS yang mencatatkan bahwa surplus perdagangan Indonesia ke AS mencapai US$11,7 miliar. 

    Apa Kata Ekonom?

    Sementara itu, Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk. atau BCA (BBCA) David Sumual mengamini data BI tersebut. Dia menyebut utang luar negeri (ULN) pemerintah serta Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) yang jatuh tempo pada bulan lalu memang memakan porsi yang besar dari cadangan devisa Tanah Air. 

    Meski demikian, David masih menilai bahwa eksternal Indonesia masih terkendali karena kepemilikan asing di Surat Berharga Negara (SBN) sejauh ini masih positif. 

    “Tapi sejauh ini asing masih positif ytd [year-to-date] di SBN mengimbangi net flow asing di saham yang negatif,” terang David kepada Bisnis, Kamis (7/8/2025). 

    Ke depan, David memperkirakan cadangan devisa Indonesia sampai akhir 2025 berada di kisaran US$150 miliar sampai dengan US$155 miliar. Perkiraan itu dengan asumsi SBN pemerintah dengan denominasi dolar Australia dan yuan China, Kangaroo dan Dimsum Bond, jadi terbit. 

    “Proyeksi antara US$150 miliar sampai dengan US$155 miliar. Ada rencana  penerbitan Kangaroo dan Dimsum Bonds. Kalau jadi bisa tambah devisa,” terangnya. 

    Tidak hanya itu, David turut memperkirakan nilai tukar rupiah juga bakal berada di rentang antara Rp16.300 sampai dengan Rp16.600 per dolar Amerika Serikat (AS). 

  • Ekonomi RI Tumbuh 5,12% di Kuartal II-2025, Semua Kaget!

    Ekonomi RI Tumbuh 5,12% di Kuartal II-2025, Semua Kaget!

    Jakarta, CNBC Indonesia – Semua kaget dengan rilis angka pertumbuhan ekonomi kuartal II-2025 yang telah diumumkan Badan Pusat Statistik (BPS) sebesar 5,12%, Selasa (5/8/2025).

    Kalangan ekonom kompak menyebut angka pertumbuhan itu di luar dugaan dan bahkan ada yang menyebut janggal.

    Ekonom yang mengaku terkejut dengan angka itu ialah Kepala Ekonom BCA David Sumual. Angka pertumbuhan ekonomi kuartal II-2025 yang dirilis BPS hari ini memang jauh di atas ekspektasi nya yang memperkirakan hanya di kisaran 4,69%-4,81% karena masih besarnya tekanan indikator belanja masyarakat dan kinerja sektor manufaktur pada periode itu.

    “Cukup suprising, tidak ada yang prediksi di atas 5%, apalagi 5,12%,” kata David kepada CNBC Indonesia, Selasa (5/8/2025).

    David mengatakan, komponen PDB yang tumbuhnya menurut BPS sangat tinggi hingga mampu mendorong ekonomi tumbuh 5,12% yoy di antaranya ialah pertumbuhan angka investasi yang mencapai 6,99%, tertinggi sejak kuartal II-2021.

    “Investasi angkanya sangat akseleratif. Angka pertumbuhan kuartal I juga banyak revisi dan investasi memang kami juga expect akselerasi, tapi tidak setajam angka BPS,” ucap David.

    Ia juga cenderung bertanya-tanya dengan melesatnya angka pertumbuhan industri pengolahan atau manufaktur yang pada kuartal II-2025 disebut BPS mencapai 5,68%, dari yang selama ini pergerakannya selalu di kisaran 4% sejak kuartal II-2022.

    Head of Macro Economic & Financial Market Research Permata Bank Faisal Rachman juga mengaku terkejut dengan angka pertumbuhan kuartal II-2025. Ia mengatakan, pertumbuhan PDB Indonesia mengalami akselerasi yang signifikan melampaui ekspektasi pasar.

    “Perekonomian Indonesia mencatat pertumbuhan yang lebih kuat dari perkiraan sebesar 5,12% yoy pada Triwulan II 2025, jauh di atas ekspektasi pasar yang memproyeksikan pertumbuhan tetap di bawah 5%,” tegas Faisal.

    Ekonom Bank Danamon Hosianna Evalita Situmorang juga tak bisa menutupi keterkejutannya dengan angka realisasi investasi kuartal II-2025. Ia mengatakan, seharusnya kinerja PMTB pada kuartal II-2025 yang tumbuh cepat menurut BPS tak banyak berefek pada dorongan cepat ekonomi karena hanya terdiri dari belanja modal pemerintah berupa mesin dan impor barang modal meski bahan baku melambat.

    “Cenderung enggak banyak spill over ke domestik pada semester I-2025 ini,” ucap Hosianna.

    Ekonom Maybank Indonesia Myrdal Gunarto juga mengungkapkan keterkejutannya dengan angka rilis BPS ini. Sebab, proyeksi secara keseluruhan para pelaku pasar keuangan tak ada yang menyebut ekonomi pada kuartal II-2025 bisa tembus di atas 5%.

    “Suprising, karena ekspektasi kita di bawah 5%,” tutur Myrdal.

    Dugaan Kejanggalan

    Sementara itu, sejumlah ekonomi dari lembaga think tank, menganggap ada kejanggalan dari data ekonomi kuartal II-2025 ini. Misalnya, sebagaimana disampaikan Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira.

    Sama seperti David Sumual yang turut mempertanyakan cepatnya pertumbuhan kinerja industri manufaktur, Bhima menyebut angka janggal pertumbuhan itu berlainan dengan data PMI Manufaktur yang malah kini tengah dalam zona pesimis.

    Berdasarkan data S&P Global, Purchasing Managers’ Index (PMI) manufaktur Indonesia pada Juli 2025 tercatat sebesar 49,2, yang berarti berada di zona kontraksi. Ini menjadi bulan keempat berturut-turut PMI berada di bawah ambang ekspansi (50,0), menandakan pelemahan yang konsisten dalam aktivitas manufaktur nasional.

    Sebelumnya, PMI manufaktur Indonesia tercatat di level 46,7 pada April, 47,4 pada Mei, dan 46,9 pada Juni 2025. Meskipun angka pada Juli menunjukkan sedikit perbaikan, posisi yang masih berada di bawah 50 menandakan bahwa pelaku industri tetap menghadapi tekanan, terutama dari sisi permintaan dan produksi.

    “Pertumbuhan industri pengolahan tidak sinkron dengan data PMI Manufaktur. Ini ada yang janggal,” tegas Bhima.

    Sementara itu, Head of Center Macroeconomics and Finance INDEF M. Rizal Taufikurahman mengingatkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,12% (yoy) pada kuartal II 2025 patut dicermati secara lebih kritis.

    Ia menyebut, secara nominal, angka pertumbuhan ini memang di luar ekspektasi karena di kisaran 4,7-5,0%. Bahkan, mampu tumbuh tinggi di atas periode yang memiliki dorongan faktor musiman seperti pada kuartal I-2025 dengan capaian hanya 4,87%.

    “Sangat mengejutkan, di luar ekspektasi,” tegas Rizal.

    Namun, Rizal mengingatkan, jika dilihat dalam konteks historis, capaian ini sebenarnya masih merefleksikan pola pertumbuhan yang masih stagnan sejak pasca-pandemi.

    “Artinya, kita tidak menyaksikan lonjakan pertumbuhan struktural, melainkan repetisi siklus musiman yang seringkali terdorong oleh momen Lebaran dan pola konsumsi jangka pendek, tanpa transformasi signifikan di sisi produktif,” paparnya.

    “Ini menandakan bahwa struktur ekonomi nasional belum sepenuhnya pulih dalam kualitas, meskipun terlihat stabil dalam kuantitas,” tegas Rizal.

    Lebih jauh, ia mengingatkan kontribusi terbesar terhadap pertumbuhan berasal dari lonjakan impor (11,65%), konsumsi rumah tangga, dan PMTB (investasi tetap bruto), bukan dari peningkatan ekspor bersih atau efisiensi belanja pemerintah di mana konsumsi pemerintah justru tumbuh negatif (-0,33%).

    “Ini mengindikasikan bahwa permintaan domestik masih menjadi tulang punggung utama, sementara sisi produksi dan ekspor masih belum cukup kuat menopang pertumbuhan jangka menengah,” paparnya.

    Ketergantungan terhadap sektor konsumsi dan importasi bahkan dapat memperlebar defisit transaksi berjalan dan meningkatkan tekanan terhadap neraca pembayaran bila tidak dibarengi dengan penguatan sektor tradable.

    Dengan kata lain, ia melihat pertumbuhan Q2‑2025 lebih mencerminkan stabilitas struktural ekonomi Indonesia di tengah ketidakpastian global, meskipun masih bergantung pada faktor musiman dan permintaan domestik,

    Walaupun ia anggap angka ini belum terjadi pergeseran strategis menuju industrialisasi dan produktivitas sektor riil. Dengan kata lain, Rizal menekankan, pertumbuhan ekonomi kuartal II‑2025 sebesar 5,12% memang cukup impresif secara headline, tetapi belum menjawab tantangan struktural ekonomi Indonesia.

    “Ketergantungan pada konsumsi dan investasi tanpa dukungan kuat dari sektor produksi dan ekspor yang dapat menjadikan capaian pertumbuhan rawan tidak sustain,” tegas Rizal.

    (arj/haa)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Ekonom Sebut Orang Indonesia ‘Rojali’, Tabungan Seret hingga Pilih-Pilih Belanja

    Ekonom Sebut Orang Indonesia ‘Rojali’, Tabungan Seret hingga Pilih-Pilih Belanja

    Bisnis.com, MANGGARAI BARAT — Lemahnya konsumsi masyarakat membuat fenomena rojali melekat di banyak warga RI.

    Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) David Sumual mengungkap bahwa rojali merupakan akronim dari ‘rombongan jarang beli’, istilah yang merujuk kepada orang-orang yang mendatangi pusat perbelanjaan atau toko hanya untuk melihat-lihat tetapi tidak berbelanja.

    Menurut David, fenomena itu banyak terlihat di pusat perbelanjaan atau mal. Lemahnya daya beli membuat mereka mengunjungi pusat perbelanjaan hanya untuk berjalan-jalan dan tidak membeli apa-apa, jika berbelanja pun nilanya cenderung tidak terlalu besar.

    Fenomena itu tidak muncul dari ruang hampa. David menilai bahwa lemahnya konsumsi kelas menengah, yang berkontribusi sekitar 70% terhadap total konsumsi RI, berdampak terhadap perekonomian secara luas.

    David juga mengungkap bahwa big data BCA menunjukkan adanya tren penurunan belanja masyarakat hingga kuartal II/2025, membenarkan banyaknya warga RI yang menjadi ‘rojali’.

    “Mal kelihatan ramai, tetap banyak mereka hanya makan saja, mencari diskon, atau cafe yang ada diskon. Ditambah lagi, saat ini sudah ada e-commerce,” ujar David dalam Editors Briefing Bank Indonesia yang berlangsung di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, Jumat (18/7/2025).

    Dia juga menilai bahwa masyarakat Indonesia saat ini cenderung berhati-hati untuk berbelanja, terutama barang-barang mahal. Mereka lebih memilih menjaga asetnya di instrumen investasi untuk berjaga-jaga, sembari mengerem konsumsi.

    Instrumen investasi seperti deposito, giro, saham, obligasi, dan emas menjadi laris di kalangan ‘rojali’. Bahkan, beberapa waktu warga sempat berbondong-bondong membeli emas saat harga sedang tinggi-tingginya, didorong kekhawatiran harga akan terus naik maupun untuk alasan lindung nilai.

    David juga mengungkap bahwa sejumlah pedagang barang mewah yang berbincang dengannya menyatakan bahwa kondisi saat ini mirip dengan krisis moneter 1998, ketika terjadi pelemahan daya beli masyarakat.

    “Saya bertemu dengan supplier produk luxurious, mereka merasakan [pelemahan konsumsi masyarakat]. Beberapa pemegang merek [menyatakan] ‘ini kok mirip-mirip saat krisis, agak melemah,” ujar David.

    Namun demikian, David meyakini bahwa tingkat konsumsi masyarakat akan membaik pada paruh kedua 2025 dan ‘rojali’ akan berkurang. Penyebabnya bisa datang dari faktor eksternal maupun domestik.

    Menurutnya, ketidakpastian karena tarif Trump sudah sangat berkurang karena banyak negara sudah mencapai kesepakatan dengan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump, termasuk Indonesia yang mendapatkan tarif 19%.

    Sejauh ini, Indonesia mendapatkan tarif impor terendah dibandingkan negara-negara Asia lainnya. Hal itu memberikan peluang bagi para pengusaha Tanah Air untuk mengambil peluang ekspor ke AS, karena tarif yang bersaing dengan negara-negara lain—termasuk Vietnam yang tarifnya beda tipis dengan RI, yakni 20%.

    “Selisih kecil juga buat pengusaha itu matters. Tekstil, alas kaki, dan furniture ada peluang. Kesempatan untuk memperbesar ekspor ke pasar AS, karena untuk pasar AS kita selalu surplus dengan AS, dan ini peluang untuk menaikkan pangsa pasar kita di sana,” ujar David.

  • Top 3: Bedakan Beras Oplosan – Page 3

    Top 3: Bedakan Beras Oplosan – Page 3

    Indonesia tercatat sebagai negara dengan tarif impor paling rendah di Asia ke Amerika Serikat (AS), mengungguli negara-negara emerging market lainnya.

    Hal ini menjadi peluang strategis bagi Indonesia untuk meningkatkan ekspor ke pasar AS yang sangat potensial.

    “Tarif impor kita ke AS lebih rendah dibanding negara Asia lainnya, bahkan emerging market. Ini bisa jadi momentum untuk kita menjadi pemasok baru bagi AS,” ujar Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA), David Sumual.

    Simak artikel selengkapnya di sini

     

  • BI dalami dampak kesepakatan tarif impor AS terhadap pasar keuangan RI

    BI dalami dampak kesepakatan tarif impor AS terhadap pasar keuangan RI

    Sumber foto: Antara/elshinta.com.

    BI dalami dampak kesepakatan tarif impor AS terhadap pasar keuangan RI
    Dalam Negeri   
    Editor: Sigit Kurniawan   
    Jumat, 18 Juli 2025 – 17:07 WIB

    Elshinta.com – Bank Indonesia (BI) mengatakan perlu dilakukan pendalaman mengenai dampak kesepakatan tarif impor Amerika Serikat (AS) yang sebesar 19 persen, terhadap pasar keuangan Indonesia.

    “Terkait negosiasi, dampaknya terkait dengan neraca perdagangan, cadangan devisa, pasar keuangan seperti apa, tentunya kita masih perlu melakukan pendalaman,” kata Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter (DKEM) BI Juli Budi Winantya dalam media briefing di Nusa Tenggara Timur, Jumat.

    Juli menuturkan di tengah ketidakpastian global yang meningkat, pertumbuhan ekonomi domestik perlu terus didorong, antara lain dengan stimulus fiskal, kebijakan moneter dan belanja pemerintah.

    “Secara umum, dampaknya (tarif impor AS) ini akan positif, termasuk investasi akan membaik dan pasar keuangan akan membaik,” ujarnya.

    Pada triwulan II-2025, pertumbuhan ekonomi nasional ditopang oleh investasi nonbangunan, dan kinerja ekspor yang masih cukup baik. Program-program unggulan (flagship) pemerintah juga dapat mendorong pertumbuhan. Ekonomi Indonesia diproyeksikan tumbuh sebesar 4,6-5,4 persen pada 2025.

    Pada kesempatan yang sama, Kepala Ekonom Bank Central Asia David Sumual mengatakan perlu ada aturan dalam negeri untuk mencegah praktik transhipment dari negara lain, dalam rangka memperkuat kesepakatan dagang dengan AS.

    “Sebenarnya kan dari Amerika Serikat sendiri sudah ada semacam klausul kemarin di statement-nya (pernyataan) Trump sendiri di Twitter-nya. Jadi kalau ada transhipment, selisihnya itu dibebankan ke kita. Jadi memang pastinya nanti harus ada aturan-aturan di dalam negeri untuk mencegah terjadinya transhipment itu,” kata David.

    Transhipment merupakan kegiatan pemindahan atau pengiriman barang dari suatu negara ke Indonesia, untuk dikirim lagi ke negara lain setelah mendapatkan dokumen tertentu dari Indonesia.

    Menurut dia, ada kemungkinan transhipment dari negara-negara yang dibebankan dengan tarif impor AS yang lebih tinggi sehingga Indonesia perlu melakukan pengawasan yang lebih baik untuk mencegah transhipment.

    “Jadi ada kemungkinan transhipment itu dari yang peluang paling kuat mungkin dari Tiongkok gitu ya. Tapi negara-negara lain juga bisa memanfaatkan celah ini. Tapi sudah dijagain sebenarnya, dan kita dari dalam negeri mungkin harus ada semacam aturan juga untuk mencegah kejadian transhipment. Mungkin lewat pengawasan yang lebih baik lagi, lalu juga mungkin dari reward dan punishment-nya ya. Dari bea dan lain-lain,” ujarnya.

    Ia menuturkan dengan kesepakatan tarif tersebut, Indonesia harus bisa memanfaatkan kesempatan untuk memperbesar pasar ekspor ke AS. Di sisi lain, Indonesia juga dapat menarik investasi dari AS. 

    Sumber : Antara

  • Outlook Nilai Tukar 2026: Beda Proyeksi Rupiah BI, Kemenkeu, dan Ekonom

    Outlook Nilai Tukar 2026: Beda Proyeksi Rupiah BI, Kemenkeu, dan Ekonom

    Bisnis.com, JAKARTA —Rupiah diproyeksikan bertahan di level tinggi hingga 2026, dengan estimasi rata-rata berkisar Rp16.500 per dolar AS, menyusul proyeksi berbeda dari BI dan Kementerian Keuangan.

    Ekonom mengestimasikan rupiah secara rata-rata akan berada di level sekitar Rp16.500an per dolar AS pada tahun depan atau 2026. 

    Sementara Bank Indonesia (BI) maupun pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan mengeluarkan estimasi yang berbeda terhadap rupiah  tahun depan, masing-masing pada rentang Rp16.000–16.500 per dolar AS dan Rp16.500–Rp16.900 per dolar AS. 

    Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) David Sumual memproyeksi rupiah stabil pada angka tengah pada 2026. “Lebih stabil di posisi Rp16.500 per dolar AS secara rata-rata karena harga komoditas diharapkan lebih baik ke depan, terutama dipicu stimulus fiskal China dan ketidakpastian akibat perang tarif sudah mereda,” ujarnya kepada Bisnis, Jumat (11/7/2025). 

    Kendati begitu,  David masih belum melihat adanya potensi rupiah dapat menguat ke level yang lebih apresiatif, yakni di kisaran Rp15.000 per dolar AS, baik pada tahun ini maupun tahun depan. “Belum ada katalis baru, terutama katalis utama harga komoditas,” lanjutnya. 

    Adapun mata uang rupiah ditutup menguat pada level Rp16.218,00 per dolar AS hari ini, Jumat (11/7/2025), menguat di pekan AS mengumumkan putusan tarif resiprokal terhadap Indonesia. 

    Mengutip data Bloomberg, rupiah ditutup menguat 6 poin atau 0,04% ke level Rp16.218. Sementara itu, indeks dolar AS menguat 0,12% ke 97,76. Di sisi lain, sebagian besar mata uang lain di Asia ditutup melemah di hadapan dolar AS hari ini. 

    Adapun hingga semester I/2025, rupiah secara rata-rata tercatat di angka Rp16.428 per dolar AS. Melesat dari target APBN tahun ini yang sebesar Rp16.000 per dolar AS. 

    Untuk itu, pemerintah memproyeksikan pada akhir tahun ini, rupiah secara rata-rata akan berada di rentang Rp16.300—Rp16.800 per dolar AS. 

    Sebelumnya, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo memastikan bahwa instansinya akan terus melakukan stabilisasi nilai tukar rupiah yang sesuai dengan fundamental terutama melalui intervensi transaksi Non-Deliverable Forward (NDF) di pasar luar negeri serta transaksi spot dan Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF) di pasar domestik. 

    Di mana strategi ini disertai dengan pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder untuk menjaga stabilitas pasar keuangan. 

  • Alasan Utang RI Masih Aman meski Capai All Time High

    Alasan Utang RI Masih Aman meski Capai All Time High

    Bisnis.com, JAKARTA — Utang luar negeri Indonesia April 2025 disebut aman meski mencapai rekor all time high alias tertinggi sepanjang masa. 

    Bank Indonesia (BI) mencatat utang luar negeri (ULN) Indonesia per April 2025 senilai US$431,55 miliar atau sekitar Rp7.197,76 triliun (asumsi kurs JISDOR Rp16.679 per dolar AS pada akhir April 2025). Nilai utang luar negeri itu tumbuh 8,2% secara tahunan (year on year/YoY). 

    Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) David Sumual menyampaikan bahwa sejauh ini ULN masih terkendali di tengah minat ULN sektor swasta sedikit menurun yang berimbang dengan kenaikan ULN pemerintah dan BI (via SRBI). Dirinya justru melihat hal positif dari kenaikan tersebut. 

    “Kenaikan ULN juga menjaga pasokan valas dalam negeri sehingga membantu stabilitas rupiah juga,” ujarnya kepada Bisnis, Senin (16/62025). 

    Terkendalinya utang tersebut tercermin dari rasio ULN Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang turun menjadi 30,3% pada April 2025, dari 30,6% pada Maret 2025. 

    Selain itu, porsi ULN didominasi oleh utang jangka panjang dengan pangsa mencapai 85,1% dari total ULN. 

    Ekonom Senior dan Associate Faculty Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Ryan Kiryanto justru memandang posisi ULN tersebut dapat diterjemahkan bahwa investor asing masih memilih Indonesia untuk memarkirkan dananya. 

    Terlebih, di tengah kondisi yang penuh ketidakpastian saat ini dan tensi geopolitik di berbagai wilayah tidak dapat ditebak. 

    “Kita masih dipercaya oleh kreditur asing, dalam manajemen ULN Indonesia itu betul-betul prudent, hati-hati, kredibel, dan memang dipakai untuk kegiatan-kegiatan yang bisa dilihat seperti infrastruktur dasar,” jelasnya. 

    Kepercayaan investor asing tersebut semakin kuat karena Ryan mengungkapkan bahwa pemerintah tidak pernah melakukan rescheduling akibat terlambat bayar utang ke pihak asing. 

    Meski demikian, Ryan mengingatkan agar pemerintah, bank sentral, maupun swasta agar tidak terlena dan bergantung pada sumber dana asing. Ryan memandang, perlu pengoptimalan pendanaan dari dalam negeri seperti menerbitkan saham maupun obligasi negara.

    Sayangnya, sumber pendanaan dalam negeri tengah terbatas bahkan Bank Indonesia mempersilahkan bank untuk menarik utang luar negeri lebih banyak. 

  • Surplus Neraca Dagang April 2025 Kian Menyusut, Simak Proyeksinya

    Surplus Neraca Dagang April 2025 Kian Menyusut, Simak Proyeksinya

    Bisnis.com, JAKARTA — Badan Pusat Statistik (BPS) akan merilis data ekspor impor dan neraca perdagangan barang Indonesia April 2025 pada pekan depan, Senin (2/5/2025) pukul 11.00 WIB.

    Perilisan data neraca perdagangan ini berubah dari yang awalnya setiap pertengahan bulan menjadi setiap awal bulan. Artinya, data kinerja ekspor-impor bulanan akan keluar lebih lama dari yang awalnya dua pekan setelah bulan berakhir menjadi empat pekan setelah bulan berakhir.

    Plt. Kepala Biro Humas dan Hukum BPS Melly Merlianasari mengklaim perubahan jadwal tersebut merupakan hasil dari evaluasi internal agar kualitas data yang diterima publik bisa meningkatkan.

    Melly menjelaskan selama ini data neraca perdagangan yang dirilis BPS Pusat setiap tengah bulan merupakan “angka sementara”. Kemudian, BPS Provinsi merilis “angka tetap” pada awal bulan.

    BPS melihat masih banyak publik yang belum menyadari bahwa rilis data ekspor-impor yang dilakukan kantor pusat pada pertengahan bulan hanya “angka sementara”. Akhirnya, BPS memutuskan untuk merilis “angka tetap” ekspor-impor secara serentak baik di tingkat nasional maupun provinsi pada awal bulan.

    “Dengan perubahan ini, data bisa lebih konsisten bila dirilis angka tetap, baik di nasional maupun provinsi,” ujar Melly kepada Bisnis, Kamis (15/5/2025).

    Adapun surplus neraca perdagangan diproyeksikan masih akan kembali berlanjut pada April 2025, meski nilainya menurun. Berdasarkan konsensus 20 ekonom yang dihimpun Bloomberg, nilai tengah atau median estimasi neraca dagang mencapai US$2,95 miliar. 

    Proyeksi neraca dagang April 2025 terendah berada di angka US$4 juta dan tertinggi senilai US$4,69 miliar. 

    Nilai tersebut lebih rendah dari realisasi neraca dagang bulan sebelumnya atau pada Maret 2025 senilai US$4,33 miliar.

    Sementara itu, Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) David Sumual memproyeksikan neraca perdagangan pada April 2025 akan mengalami surplus sebesar US$2,45 miliar.

    Menurutnya, ekspor akan meningkat 3,57% secara tahunan (year on year/YoY) namun turun 12,61% secara bulanan (month on month/MoM). Sejalan, impor diperkirakan naik 5,73% secara tahunan tetapi turun 5,58% secara bulanan.

    “Terms of trade melambat karena harga komoditas ekspor banyak yang turun terutama gas, metal [nickel, copper, tin], perkebunan [CPO, karet, kopi] lebih tajam dibandingkan komoditas impor [minyak, gandum yang turun],” jelas David kepada Bisnis, Rabu (14/5/2025).