Tag: David Sumual

  • Konsensus Ekonom Ramal Surplus Dagang RI Turun ke US,8 Miliar pada Oktober 2025

    Konsensus Ekonom Ramal Surplus Dagang RI Turun ke US$3,8 Miliar pada Oktober 2025

    Bisnis.com, JAKARTA — Konsensus ekonom memproyeksikan surplus neraca perdagangan Indonesia akan berlanjut pada Oktober 2025 atau 66 bulan secara beruntun. Kendati demikian, surplus diproyeksikan akan menurun dibandingkan bulan sebelumnya.

    Adapun, Badan Pusat Statistik (BPS) akan mengumumkan kinerja neraca perdagangan Indonesia selama Oktober 2025 pada Senin (1/12/2025) esok.

    Berdasarkan konsensus proyeksi 18 ekonom yang dihimpun Bloomberg, nilai tengah (median) surplus neraca perdagangan pada Oktober 2025 diproyeksikan sebesar US$3,80 miliar. Proyeksi tersebut lebih rendah dari realisasi neraca dagang bulan sebelumnya atau September 2025 senilai US$4,34 miliar.

    Estimasi tertinggi dikeluarkan oleh Ekonom Barclays Bank PLC Brian Tan dengan nominal US$4,75 miliar. Sebaliknya, estimasi terendah diberikan oleh Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) David Sumual dengan angka US$2 miliar.

    David menjelaskan proyeksi tersebut dipengaruhi oleh ekspor yang hanya naik 0,05% secara tahunan (year on year/YoY) dan 2,78% secara bulanan (month on month/MoM). Di sisi lain, impor naik lebih tinggi sebesar 2,23% YoY dan 8,87% MoM.

    “Trade balance [neraca dagang] turun di Oktober karena ekspor tumbuh lebih lambat. Ini juga terindikasi dari data impor negara-negara lain, terutama ekspor ke China, Jepang, dan India,” jelas David kepada Bisnis, Minggu (30/11/2025).

    Dari sisi harga, David mencatat bahwa komoditas ekspor cenderung stagnan kecuali tembaga dan timah yang naik.

    Sementara itu, impor naik terutama dari Singapura. Menurut David, kenaikan itu diimbangi oleh harga komoditas impor yang sebagian besar juga turun.

    “Terutama minyak, batu bara dan komoditas pertanian seperti coklat,” tutupnya.

  • Pengamat: Minat Investasi Warga RI Pengaruhi Pengenaan Bea Keluar Ekspor Emas

    Pengamat: Minat Investasi Warga RI Pengaruhi Pengenaan Bea Keluar Ekspor Emas

    Bisnis.com, JAKARTA — Minat investasi masyarakat Indonesia terhadap emas dinilai menjadi salah satu motif pemerintah untuk mengenakan bea keluar untuk ekspor produk emas mulai 2026. 

    Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) menilai bahwa keputusan pemerintah itu lebih didorong oleh kebutuhan akan produk emas yang meningkat di pasar dalam negeri. 

    Salah satunya yakni untuk mendorong perusahaan tambang emas agar lebih memilih memasarkan produknya di dalam negeri. Utamanya, untuk peningkatan hilirisasi pada komoditas emas. Motif ini semakin diperkuat dengan tingginya minat investasi masyarakat Indonesia terhadap emas. 

    “Mengingat saat ini masyarakat Indonesia sudah mulai banyak yang menanamkan investasinya pada produk emas, sementara berdasarkan laporan Antam beberapa waktu lalu, mereka cukup kesulitan di dalam mendapatkan bahan baku produk logam mulia,” terang Ketua Umum Perhapi Sudirman Widhy kepada Bisnis, Selasa (18/11/2025). 

    Kendati demikian, Sudirman mewanti-wanti agar pemerintah berhati-hati dalam pengenaan bea keluar emas. Hal ini dinilai olehnya penting untuk menjaga harga emas di dalam negeri tetap stabil. 

    Sikap hati-hati itu juga dinilai penting agar tidak menimbulkan fluktuasi yang tajam sebagai akibat dari peningkatan pasokan produk emas ke pasar domestik sebagai akibat dari penerapan bea ekspor. 

    Di sisi lain, Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk. atau BCA David Sumual turut meyakini bahwa motif pemerintah di balik pengenaan bea keluar ekspor emas itu adalah untuk menggenjot hilirisasi. Dia menyebut ada nilai tambah bagi produk domestik bruto (PDB) Indonesia. 

    “Ini mungkin terkait upaya hilirisasi, sedangkan kebutuhan domestik juga cenderung meningkat. Ada nilai tambah buat PDB,” terangnya kepada Bisnis, Senin (17/11/2025).

    Namun demikian, David menyebut pengenaan bea ekspor terhadap emas tidak akan berpengaruh sebab motornya berasal dari harga pasar global. 

    “Harga emas domestik hanya mengikuti harga internasional,” tegasnya. 

  • Menimbang Manfaat Bea Keluar Ekspor Emas ke Ekonomi RI

    Menimbang Manfaat Bea Keluar Ekspor Emas ke Ekonomi RI

    Bisnis.com, JAKARTA — Pengenaan bea keluar terhadap empat produk dari komoditas emas diperkirakan bakal memberikan nilai tambah perekonomian pada produk domestik bruto (PDB) Indonesia. 

    Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk. (BCA) David Sumual memandang bahwa rencana pemerintah mengenakan bea keluar terhadap ekspor emas dore, granules, cast bars dan minted bars merupakan upaya pemerintah untuk mendorong upaya penghiliran SDA. 

    Hal ini bisa dilihat dari skema tarif bea keluar yang dikenakan yakni semakin besar terhadap produk emas yang bersifat mentah, yakni dore. Sementara itu, produk emas yang lebih mendekati produk jadi atau setengah jadi rencananya dikenai bea keluar lebih kecil. 

    David menilai kebijakan berbasis insentif ini akan bisa memberikan nilai tambah kepada PDB Indonesia. 

    “Ini terkait upaya hilirisasi, sedangkan kebutuhan domestik juga cenderung meningkat. Ada nilai tambah buat PDB,” ujarnya kepada Bisnis, Senin (17/11/2025). 

    Adapun David tidak melihat adanya dampak pengenaan bea keluar ini terhadap harga emas. Sebab, dia melihat komoditas tersebut bergerak mengikuti pasar global. 

    “Harga emas domestik hanya mengikuti harga internasional,” jelas David. 

    Adapun pada rapat kerja dengan Komisi XI DPR, Senin (17/11/2025), Direktur Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Febrio Kacaribu menyebut bea keluar untuk komoditas emas ini sudah masuk dalam Undang-Undang (UU) tentang APBN 2026. 

    Febrio mengatakan perumusan kebijakan ini sudah dalam tahap finalisasi, dan diharapkan tahun depan bisa menjadi salah satu sumber tambahan penerimaan negara dari kepabeanan. Nantinya akan diundangkan dalam bentuk Peraturan Menteri Keuangan (PMK). 

    Dia menjelaskan bahwa Indonesia merupakan negara dengan share terbesar keempat untuk cadangan tambang emas dunia, yakni 3.491 ton per 2023.

    Di sisi lain, harga emas cukup tinggi di mana pada kuartal IV/2025 pernah mencapai lebih dari US$4.000 per troy ons. 

    “Ini sudah melalui tahap harmonisasi dan ini akan segera kami undangkan untuk kemudian kami pastikan di 2026 memberikan sumbangan bagi pendapatan negara,” tuturnya. 

    Secara terperinci, pos tarif empat produk emas itu berkisar dari 7,5% sampai dengan 15% tertinggi. Febrio menyebut pemerintah menetapkan kisaran harga sesuai dengan naik-turun harga produk tersebut supaya negara turut berpotensi menerima windfall profit. 

    Kisaran tarif terendah dan tertinggi bea keluar yang ditetapkan itu tergantung dari harga emas dore, granules, cast bars maupun minted bars saat itu. Apabila harga sedang di bawah dari US$3.200 per troy ounce, maka dikenakan tarif terendah. Namun, apabila harga menyentuh lebih dari US$3.200 per troy ounce maka dikenai tarif tertinggi. 

    Pertama, untuk dore atau bentuk bongkah, ingot, batang tuangan dan bentuk lainnya dikenakan 12,5% sampai dengan 15%. 

    Kedua, emas atau paduan emas dalam bentuk tidak ditempa berbentuk granules dan bentuk lainnya, tidak termasuk dore dikenai tarif 12,5% sampai dengan 15%. 

    Ketiga, emas atau paduan emas dalam bentuk tidak ditempa berbentuk bongkah, ingot, dan cast bars. tidak termasuk dore dikenai tarif berkisar 10% sampai dengan 12,5%. 

    Keempat, minted bars dikenai tarif 7,5% sampai dengan 10%. “Ketika harganya naik cukup tinggi, kami harapkan juga tarifnya lebih tinggi sehingga pendapatan negaranya bisa terjadi lebih tinggi juga. Nanti akan ditetapkan penyusunan Permendag dan Kepemndag terkait dengan harga patokan ekspor emasnya,” jelas Febrio.

    Skema pengenaan tarif bea masuk juga tidak hanya berdasarkan harga berlaku. Produk yang masih dalam bahan mentah akan semakin mahal bea keluarnya. Febrio mengungkap skema pengenaan tarif itu sejalan dengan upaya hilirisasi sehingga eksportasi produk yang sudah diolah atau setengah jadi atau jadi akan mendapatkan insentif. 

    “Yang granules juga ada tarifnya lebih tinggi dibandingkan kalau semakin hilir. Ketika dia sudah dalam bentuk ingot dan juga cast bars itu tarifnya lebih rendah, apalagi kalau sudah dibuat dalam bentuk minted bars,” papar Febrio.

  • Menunggu Efek Stimulus Prabowo Saat Manufaktur Loyo

    Menunggu Efek Stimulus Prabowo Saat Manufaktur Loyo

    Bisnis.com, JAKARTA — Efek stimulus ekonomi yang digelontorkan pemerintah dipastikan belum berdampak ke perekonomian Juli-September atau kuartal III/2025. Selain pertumbuhannya melambat menjadi 5,04% (YoY), kontribusi manufaktur terhadap PDB belum kunjung kembali ke level prapandemi dan porsi tenaga kerja informal masih dominan. 

    Adapun pertumbuhan ekonomi kuartal III/2025 sebesar 5,04% secara tahunan (year on year/YoY) atau lebih rendah dari kuartal II/2025 yang mencapai 5,12% (YoY). Berdasarkan lapangan usahanya, industri pengolahan masih memberikan sumbangsih terbesar yakni 19,15% dengan pertumbuhan secara tahunan 5,54% (YoY). 

    Kendati distribusinya terbesar terhadap pertumbuhan PDB, sudah hampir 10 tahun distribusi manufaktur terhadap PDB selama periode kuartal III tidak menyentuh 20%. 

    Berdasarkan catatan Bisnis, kontribusi manufaktur terhadap PDB terakhir menyentuh level 20% pada kuartal III yakni 20,10% pada kuartal III/2016. Pada kuartal I/2019, porsi manufaktur pernah menyentuh 20,07% terhadap PDB alias enam tahun yang lalu.

    Di sisi lain, proporsi penduduk bekerja sebagai buruh, karyawan, atau pegawai turun berdasarkan Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Agustus 2025. Data itu dirilis oleh BPS pada hari yang sama pengumuman pertumbuhan ekonomi kuartal III/2025, Rabu (5/11/2025). 

    Pada periode tersebut, BPS melaporkan bahwa jumlah penduduk bekerja sebanyak 146,54 juta orang. Sebesar 38,74% di antaranya berstatus sebagai buruh/karyawan/pegawai. Capaian itu meningkat dari periode Sakernas Agustus 2024 yakni sebanyak 0,65 juta orang. 

    Namun, apabila membandingkannya secara persentase dengan Agustus 2024, jumlah pekerja berstatus buruh, pegawai dan karyawan terpantau menurun. Agustus 2024 proporsinya sebesar 38,80%.

    Persentase pekerja informal juga masih dominan dalam pasar tenaga kerja RI. Hal itu ditunjukkan dari persentase pekerja informal yang masih sebesar 57,80%. Hal itu kendati dominasinya semakin menipis dari Sakernas Februari 2025 yang mencapai 59,40%, dan pada Sakernas Agustus 2024 57,95%.

    Kontribusi Manufaktur Terhadap PDB

    Menurut Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk. atau BCA, David Sumual, terjadi perubahan kondisi perekonomian saat ini dengan kondisi prapandemi atau sebelum 2020. Saat ini, investasi yang masuk ke Indonesia cenderung terkonsentrasi pada sektor yang lebih padat modal, bukan padat karya.

    Oleh sebab itu, investasi padat karya yang tak terlalu dominan membuat kebutuhan tenaga kerja dari investasi baru menjadi terbatas. 

    “Selain itu, perlambatan ekonomi di China juga memberi dampak lanjutan — melemahnya permintaan domestik China membuat produk-produk China membanjiri pasar global dengan harga lebih murah. Akibatnya, serapan tenaga kerja pun ikut tertekan,” terang David kepada Bisnis, Kamis (6/11/2025). 

    Adapun mengenai kontribusi manufaktur terhadap PDB, David menilai berbagai upaya pemerintah ke depan berpotensi memberikan daya ungkit terhadap kontribusi sektor manufaktur. Utamanya, hilirisasi sumber daya alam yang diharapkan memberikan nilai tambah terhadap komoditas.

    Tidak hanya itu, dia meyakini akses pasar Indonesia bisa semakin luas dengan sejumlah perjanjian perdagangan bebas seperti Kanada (ICA-CEPA) dan Uni Eropa (IEU-CEPA). Harapannya, free trade yang berlaku 2026-2027 itu bisa memperluas permintaan ekspor. 

    David menilai upaya pemerintah menstimulasi ekonomi bisa mendorong penciptaan lapangan kerja tapi tidak otomatis. Misalnya, injeksi kas pemerintah Rp200 triliun ke himbara untuk mendorong kredit. 

    Dia menyebut efek stimulus ke penyerapan tenaga kerja tidak otomatis terjadi, karena diperlukan permintaan kredit produktif yang kuat dan keyakinan pelaku usaha terhadap prospek ekonomi.

    “Jika sentimen pelaku usaha masih cenderung wait and see atau ekspansi belum dianggap layak secara komersial, maka stimulus likuiditas tersebut tidak akan sepenuhnya tertranslasi menjadi peningkatan investasi,” tuturnya. 

  • MBG Picu Inflasi, BGN Perlu Buat Menu Lebih Beragam Sesuai Ketersediaan Daerah

    MBG Picu Inflasi, BGN Perlu Buat Menu Lebih Beragam Sesuai Ketersediaan Daerah

    Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah dinilai perlu memperkuat data ketersediaan pangan dan manajemen pasokan sekaligus mendorong keberagaman menu Makan Bergizi Gratis (MBG). Hal itu sejalan dengan dampak MBG yang disebut mendorong tingkat inflasi sejumlah komoditas kelompok harga bergejolak. 

    Komoditas dimaksud adalah telur dan daging ayam ras yang menjadi sejumlah komoditas pendorong inflasi secara bulanan pada Oktober 2025 sebesar 0,28% (mtm). Apabila dilihat menurut komponennya, kelompok komponen bergejolak (volatile goods) yang mencakup dua komoditas itu juga mengalami inflasi hingga 6,59% secara tahunan (yoy) atau tertinggi dari kelompok komponen inti serta harga diatur pemerintah. 

    Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk. atau BCA (BBCA) David Sumual menyebut ketersediaan menu MBG perlu dibuat beragam dan disesuaikan oleh masing-masing ketersediaan daerah. 

    Untuk diketahui, Badan Pusat Statistik (BPS) menduga kenaikan harga telur dan daging ayam ras Oktober 2025 salah satunya dipicu oleh permintaan untuk MBG. Namun, BPS tidak memerinci lebih lanjut daerah mana saja yang mengalami peningkatan permintaan dua komoditas itu khusus bagi MBG. 

    “Menu terkait protein bisa disesuaikan dengan kondisi ketersediaan di masing-masing daerah,” jelasnya kepada Bisnis, Senin (3/11/2025). 

    Di sisi lain, David mendorong pemerintah untuk memperkuat data ketersediaan pangan dan manajemen pasokan atau distribusi di daerah. Tujuannya agar pemerintah mengetahui produk pangan apa yang defisit. 

    Dia tak menampik bahwa dampak lonjakan harga sejumlah kebutuhan terkait dengan MBG bisa merugikan konsumen lain. Untuk itu, dia mendorong keberagaman menu MBG sesuai dengan ketersediaan di daerah. 

    “Karena dari sisi keperluan pangan lain seperti karbohidrat dan sayuran harusnya hanya selisihnya tidak banyak dibanding sebelum ada MBG, karena hanya substitusi,” tuturnya. 

    BPS melaporkan permintaan terhadap telur ayam ras dan daging ayam ras untuk kebutuhan program MBG menjadi alasan pemicu inflasi kedua komoditas tersebut pada Oktober 2025. Pada Oktober 2025, terjadi inflasi 0,28% secara bulanan (mtm), yang mana telur dan daging ayam ras memberikan andil masing-masing sebesar 0,04% dan 0,02%. 

    Secara tahunan, inflasi Oktober 2025 sebesar 2,86% (yoy) juga didorong utamanya oleh inflasi komponen harga bergejolak atau volatile goods yang mencapai 6,59% (yoy). Kelompok komponen itu mencetak inflasi paling tinggi di antara kelompok inti sebesar 2,36% (yoy) serta harga diatur pemerintah 1,45% (yoy). Daging ayam ras menjadi salah satu komoditas pemicu inflasi komponen bergejolak hingga lebih dari 6% itu.

    Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS, Pudji Ismartini menjelaskan bahwa ada berbagai faktor yang melatarbelakangi tingginya inflasi telur dan daging ayam ras. Namun, pihaknya menduga permintaan dari Satuan Pemenuhan Pelayanan Gizi (SPPG) yang tinggi turut menyumbang terhadap inflasi kedua komoditas tersebut.

    “Salah satunya kenaikan permintaan telur ayam dan daging ayam ras dari SPPG, yang berasal dari pasar, pengecer atau pedagang besar. Ini diduga menjadi salah satu indikasi naiknya permintaan telur dan ayam ras,” terang Pudji pada konferensi pers, Senin (3/11/2025).

    Selain permintaan dari Dapur MBG, inflasi telur dan daging ayam ras turut dipengaruhi oleh peningkatan komponen biaya produksi seperti harga day old chick, live bird, dan jagung pakan di beberapa wilayah.

  • Konsensus Ekonom: Surplus Dagang RI Susut ke US,47 Miliar pada September 2025

    Konsensus Ekonom: Surplus Dagang RI Susut ke US$4,47 Miliar pada September 2025

    Bisnis.com, JAKARTA — Konsensus ekonom memproyeksikan surplus neraca perdagangan Indonesia akan berlanjut pada September 2025 atau 65 bulan secara beruntun. Kendati demikian, surplus diproyeksikan akan menurun dibandingkan bulan sebelumnya.

    Adapun, Badan Pusat Statistik akan mengumumkan kinerja neraca perdagangan Indonesia selama Agustus 2025 pada Senin (3/11/2025) esok.

    Berdasarkan konsensus proyeksi 22 ekonom yang dihimpun Bloomberg, nilai tengah (median) surplus neraca perdagangan pada September 2025 diproyeksikan sebesar US$4,47 miliar. Proyeksi tersebut lebih rendah dari realisasi neraca dagang bulan sebelumnya atau Agustus 2025 senilai US$5,49 miliar.

    Estimasi tertinggi dikeluarkan oleh Ekonom HK and SH Banking Corp Ltd Pranjul Bhandari dengan nominal US$6 miliar. Sebaliknya, estimasi terendah diberikan oleh Cimb Ltd dengan angka US$3 miliar.

    Sementara itu, Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) David Sumual memproyeksikan neraca dagang September 2025 sebesar US$3,15 miliar.

    Dia menjelaskan proyeksi tersebut dipengaruhi oleh ekspor yang naik 4.22% secara tahunan (year on year/YoY) dan -7.92% secara bulanan (month on month/MoM). Sementara itu, impor naik 5.35% YoY dan 1.83% MoM.

    Dari sisi harga, David mencatat bahwa komoditas ekspor cenderung turun sedangkan komoditas impor naik dibandingkan bulan lalu. Dia mencontohkan batubara turun signifikan; gas, metal, CPO naik; minyak, gandum, emas naik.

    “Gap penerimaan eksportir sampai dengan belanja importir sedikit mengecil, terutama karena impor terakselerasi,” lanjut David kepada Bisnis, Minggu (2/11/2025).

    Sebelumnya, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa melaporkan surplus neraca perdagangan kumulatif tahun ini sampai dengan September 2025 sudah mencapai US$32 miliar, atau naik 45,8% YoY dari periode yang sama tahun lalu sebesar US$22,2 miliar. 

    Hal itu disampaikan Purbaya pada pembukaan konferensi pers APBN KiTa edisi Oktober 2025, Selasa (14/10/2025). Dia menyebut kinerja perdagangan RI tetap kuat di tengah perang tarif khususnya antara Amerika Serikat (AS) dan China. 

    “Aktivitas ekspor impor masih tetap solid di tengah gejolak global, surplus neraca perdagangan kumulatif mencapai US$32 miliar tumbuh hampir 46% dibanding tahun lalu,” terangnya di gedung kantor Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Jakarta, dikutip Rabu (15/10/2025). 

    Kinerja kumulatif surplus neraca dagang Indonesia ditopang oleh surplus neraca perdagangan nonmigas di tengah penurunan defisit neraca perdagangan migas. Ekspor nonmigas selama sembilan bulan 2025 itu tumbuh 9,1% YoY didorong oleh ekspor sektor industri dan pertanian.

  • Purbaya dan BI Tebar Likuiditas, Bisa Berdampak ke Inflasi?

    Purbaya dan BI Tebar Likuiditas, Bisa Berdampak ke Inflasi?

    Bisnis.com, JAKARTA — Kebijakan fiskal dan moneter yang ekspansif sejak kuartal III/2025 diperkirakan bisa memberikan sumbangsih terhadap inflasi. Selain kebijakan suku bunga yang longgar dari Bank Indonesia (BI), Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa menginjeksi himbara dengan likuiditas murah Rp200 triliun pada September 2025 dan menyalurkan berbagai stimulus ekonomi. 

    Adapun Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi pada September 2025 sebesar 0,21% secara bulanan (month-to-month/mtm), dan secara tahunan sebesar 2,65% (year on year/YoY). Kemudian, inflasi tahun berjalan dari Januari-September 2025 yakni 1,82% (year-to-date/ytd). 

    Kepala Departemen Riset Makroekonomi dan Pasar Keuangan PT Bank Permata Tbk. Faisal Rachman memperkirakan pada Oktober 2025 terjadi  deflasi bulanan sebesar 0,05% (month to month/MtM) dan inflasi yang melandai secara tahunan dari September 2025 yakni menjadi 2,65% (year-on-year/yoy). 

    Situasi tersebut, terang Faisal, membuat pihaknya mempertahankan perkiraan inflasi pada akhir 2025 berada di kisaran antara 2% sampai dengan 2,5%. Perkiraan itu masih berada dalam kisaran target Bank Indonesia (BI) yakni 1,5% dan 3,5%, yang sejak akhir 2024 lalu telah menempuh kebijakan moneter longgar dan pro-pertumbuhan. 

    Menurut Faisal, kebijakan ekspansif BI ditambah dengan yang dilakukan oleh Menkeu Purbaya dari sisi fiskal bisa memberikan sumbangsih kepada inflasi. Sebab, suplai uang menjadi lebih banyak. 

    “Dampak terhadap inflasi dari ekspansi likuiditas ini diestimasi berada dalam kisaran 0,3 sampai dengan 0,5 percentage point,” ujarnya melalui keterangan tertulis, Jumat (31/10/2025). 

    Kendati demikian, Faisal memperkirakan dampak dari likuiditas yang melimpah di sistem perekonomian itu terbatas terhadap kenaikan inflasi. Menurutnya, hal itu disebabkan oleh perekonomian Indonesia yang masih berjalan di bawah output gap yang negatif, tekanan terhadap permintaan yang masih terkedali, serta potensi normalisasi harga emas di tengah membaiknya sentimen risiko. 

    “Kami tidak mengantisipasi inflasi bisa meningkat hingga di atas level 3%,” terang pria dengan dua gelar Master berbeda dari National University of Singapore dan University of Edinburgh itu. 

    Untuk itu, pihaknya pun memperkirakan inflasi pada akhir 2025 sekitar 2,33% atau lebih tinggi dari periode yang sama tahun lalu yakni hanya 1,57%. Perkiraan itu turut didasari oleh kebijakan pemerintah yang dapat mengendalikan inflasi akhir tahun, dengan menawarkan diskon tiket transportasi pada libur Natal dan tahun baru. 

    Kendati demikian, Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk. atau BCA, David Sumual menilai ekspansi likuiditas oleh BI maupun Kementerian Keuangan (Kemenkeu) belum terindikasi berdampak ke inflasi. 

    David menilai momentum perbaikan aktivitas belanja masyarakat sejalan dengan periode musiman Natal dan tahun baru. Akan tetapi, dia melihat kebijakan suku bunga yang longgar hingga injeksi Rp200 triliun ke himbara serta berbagai program stimulus belum akan berpegaruh ke kenaikan harga. 

    “Belum ada indikasi dampak ke inflasi. Harga pangan stabil sementara berbagai produk impor yang deras masuk ke dalam negeri justru harganya relatif stabil turun,” terang David kepada Bisnis. 

    Menurut David, kebijakan fiskal yang ekspansif dari Kemenkeu secara khusus bisa menstabilkan ekonomi serta mencegah penurunan lebih lanjut. Namun, dia menyebut kebijakan itu hanya bersifat sementara.

    Dia menilai kebijakan ekspansif dari sisi fiskal bisa membantu pemerintah mencapai target pertumbuhan ekonomi di atas 5,5% (yoy), sebagaimana yang disampaikan Purbaya dan jajarannya. Namun, David melihat pertumbuhan ekonomi sepanjang 2025 masih akan sekitar 5%. 

    “Kebijakan-kebijakan ini sifatnya masih ’emergency’ ibarat cafeine yang dampaknya hanya temporer. Perlu dilanjutkan dengan kebijakan-kebijakan yang bisa dorong pertumbuhan lebih sustain dalam jangka menengah panjang,” tuturnya. 

    Tertahan Pertumbuhan Ekonomi

    Pada acara Sarasehan 100 Ekonom Indonesia, Selasa (28/10/2025), Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa telah menjelaskan bahwa pengaruh suplai uang berlebih terhadap inflasi masih menjadi perdebatan di kalangan ekonom. Dia menilai tidak berarti cetak uang maka akan selalu mendorong inflasi. 

    Purbaya menilai fenomena dimaksud, yang dinamakan demand-pull inflation, tidak akan terjadi apabila laju pertumbuhan ekonomi suatu negara berada di bawah potensialnya. Dalam hal ini, mantan Ketua Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) itu menyebut rata-rata pertumbuhan ekonomi 5% di Indonesia belum menyentuh level potensial. 

    Menurutnya, Indonesia dalam jangka pendek harus mencapai pertumbuhan ekonomi 6% hingga 7%. Hal ini sejalan dengan target pertumbuhan 8% yang dicanangkan Presiden Prabowo Subianto. 

    Pertumbuhan ekonomi sekitar 7% itu dibutuhkan, terang Purbaya untuk bisa menyerap tenaga kerja di usia kerja di sektor formal. “Nanti kalau pertumbuhan ekonomi di atas [6%-7%] dalam beberapa tahun baru timbul apa yang disebut demand-pull inflation. Kalau sekarang terlalu dini,” ujarnya. 

  • Begini Rapor Ekonomi RI, Awalnya Lesu Lalu Tiba-tiba 5,12%

    Begini Rapor Ekonomi RI, Awalnya Lesu Lalu Tiba-tiba 5,12%

    Jakarta, CNBC Indonesia – Selama satu tahun Prabowo Subianto menjabat sebagai presiden, tepatnya sejak 20 Oktober 2024, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang dicatat oleh Badan Pusat Statistik (BPS) mengejutkan banyak pihak, karena mampu melaju cepat usai mengalami tekanan pada periode awal 2025.

    Pada kuartal I-2025, BPS mengumumkan pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya mampu tumbuh 4,87% secara tahunan atau year on year (yoy). Laju pertumbuhan itu jauh lebih rendah dari kuartal I-2024 yang mampu melesat di level 5,11%, maupun kuartal IV-2024 yang tumbuhnya 5,02%.

    Lesunya laju pertumbuhan pada awal tahun ini tak terlepas dari tekanan daya beli yang dialami masyarakat, di samping adanya efisiensi anggaran belanja pemerintah pusat melalui penerbitan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025. Makanya, pemerintah pada saat itu menggelontorkan paket stimulus ekonomi guna menjaga daya beli masyarakat.

    “Jadi dengan berbagai paket yang diberikan diharapkan menunjang daya beli dan ini bisa menjadi pendorong konsumsi dan tentunya pertumbuhan ekonomi di akhir tahun dan juga di awal kuartal pertama 2025,” kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto pada Desember 2024, seperti dikutip kembali pada Senin (20/10/2025).

    Tekanan daya beli masyarakat itu tergambar dari tingkat konsumsi rumah tangga yang tak mampu tumbuh di atas 5%, tepatnya hanya sejajar dengan laju pertumbuhan ekonomi sebesar 4,89%. Level itu lebih rendah dari posisi kuartal IV-2024 yang sebesar 4,98%, dan kuartal I-2024 4,91%. Adapun konsumsi pemerintah saat itu bahkan minus 1,38%.

    Akibatnya, pada awal tahun pemerintah menggelontorkan paket stimulus ekonomi tahap I-2025 yang anggarannya disediakan senilai Rp 33 triliun. Terdiri dari diskon tarif listrik 50% untuk pelanggan dengan daya sampai 2.200 VA untuk periode Januari-Februari 2025. Lalu, ada kebijakan pajak pertambahan nilai ditanggung pemerintah (PPN DTP) untuk pembelian rumah.

    Adapula kebijakan kemudahan akses layanan jaminan kehilangan pekerjaan atau JKP bagi para pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja alias PHK, ditambah dengan perpanjangan massa berlakunya pajak penghasilan (PPh) final 0,5% unuk para pelaku UMKM.

    Pemerintah juga kala itu memberikan insentif bagi para pekerja bergaji sampai dengan Rp 10 juta per bulan dengan memberlakukan pajak penghasilan ditanggung pemerintah (PPh DTP). Adapula bantuan iuran 50% untuk program jaminan kecelakaan kerja (JKK) serta subsidi bunga 5% bagi industri padat karya untuk melakukan revitalisasi mesin.

    Terakhir, insentif yang diberikan berupa PPN DTP untuk kendaraan bermotor listrik berbasis baterai, hingga pajak penjualan atas barang mewah yang ditanggung pemerintah alias PPnBM DTP sebesar 3%.

    Karena ekonomi tak mampu tumbuh lebih cepat pada kuartal I-2025, pemerintah akhirnya kembali memutuskan untuk memberikan paket stimulus ekonomi pada kuartal II-2025, dengan istilah paket stimulus ekonomi tahap II. Anggaran yang digelontorkan saat itu senilai Rp 24,4 triliun.

    Bentuk insentifnya berupa diskon transportasi untuk kereta, tiket pesawat, hingga tiket angkutan laut, hingga bantuan subsidi upah kepada pekerja atau buruh bergaji sampai dengan Rp 3,5 juta serta 560 ribu lebih guru senilai Rp 300 ribu selama Juni-Juli 2025.

    Diskon tarif tol juga saat itu diberlakukan untuk periode Januari-Juli 2025, diiringi dengan penebalan bantuan sosial berupa tambahan kartu sembako senilai Rp 200 ribu per bulan, serta bantuan pangan berupa 10 kg beras per bulan untuk periode Juni-Juli 2025. Pemerintah saat itu juga memperpanjang diskon iuran JKK.

    Maka, tak heran, pertumbuhan ekonomi pada kuartal II-2025 mampu melesat hingga ke level 5,12% yoy saat itu. Laju pertumbuhan itu melampaui level kuartal I-2025 dan bahkan lebih tinggi dari level kuartal II-2024.

    Ekonom Dibuat Heran

    Namun, sejumlah ekonom mengaku heran dengan laju pertumbuhan itu. Kepala Ekonom BCA David Sumual misalnya, saat itu menegaskan, laju pertumbuhan saat itu memang jauh di atas ekspektasi di kisaran 4,69%-4,81% karena masih besarnya tekanan indikator belanja masyarakat dan kinerja sektor manufaktur pada periode itu.

    David mengatakan, komponen PDB yang tumbuhnya menurut BPS sangat tinggi hingga mampu mendorong ekonomi tumbuh 5,12% yoy di antaranya ialah pertumbuhan angka investasi yang mencapai 6,99%, tertinggi sejak kuartal II-2021. Sedangkan konsumsi rumah tangga yang kontribusinya 54,25% ke pertumbuhan ekonomi masih betah di level bawah 5% meskipun berbagai paket stimulus ekonomi telah diberikan.

    Ia juga cenderung bertanya-tanya dengan melesatnya angka pertumbuhan industri pengolahan atau manufaktur yang pada kuartal II-2025 disebut BPS mencapai 5,68%, dari yang selama ini pergerakannya selalu di kisaran 4% sejak kuartal II-2022.

    Head of Macro Economic & Financial Market Research Permata Bank Faisal Rachman juga mengaku terkejut dengan angka pertumbuhan kuartal II-2025. Ia mengatakan, pertumbuhan PDB Indonesia mengalami akselerasi yang signifikan melampaui ekspektasi pasar.

    “Perekonomian Indonesia mencatat pertumbuhan yang lebih kuat dari perkiraan sebesar 5,12% yoy pada Triwulan II 2025, jauh di atas ekspektasi pasar yang memproyeksikan pertumbuhan tetap di bawah 5%,” tegas Faisal.

    Ekonom Bank Danamon Hosianna Evalita Situmorang juga tak bisa menutupi keterkejutannya dengan angka realisasi investasi kuartal II-2025. Ia mengatakan, seharusnya kinerja PMTB pada kuartal II-2025 yang tumbuh cepat menurut BPS tak banyak berefek pada dorongan cepat ekonomi karena hanya terdiri dari belanja modal pemerintah berupa mesin dan impor barang modal meski bahan baku melambat.

    “Cenderung enggak banyak spillover ke domestik pada semester I-2025 ini,” ucap Hosianna.

    Ekonom Maybank Indonesia Myrdal Gunarto juga mengungkapkan keterkejutannya dengan angka rilis BPS ini. Sebab, proyeksi secara keseluruhan para pelaku pasar keuangan tak ada yang menyebut ekonomi pada kuartal II-2025 bisa tembus di atas 5%.

    “Surprising, karena ekspektasi kita di bawah 5%,” tutur Myrdal.

    Menuju Pertumbuhan 8%

    Kendati begitu, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menekankan, sebetulnya angka pertumbuhan ekonomi pada kuartal II-2025 yang dicatat BPS sangat wajar, karena pemerintah akhirnya mampu meningkatkan peredaran uang primer dengan berbagai kebijakan paket stimulus ekonomi, hingga melonggarkan kebijakan efisiensi anggaran.

    “Sebagian dari Anda anggap angka ini salah, 5,12% (PDB kuartal II-2025) katanya 5+1+2 = 8. Tapi bukan itu, di belakangnya kalau Anda lihat laju pertumbuhan uang, pada triwulan II itu tumbuh uangnya cukup kencang,” paparnya.

    Karena itu, pada kuartal III-2025, pemerintah kembali mengandalkan program paket stimulus ekonomi demi menjaga laju pertumbuhan ekonom. Nilai paket stimulus ekonomi kuartal III-2025 dirancang sebesar Rp 10,8 triliun.

    Pada akhir kuartal III-2025, pemerintah bahkan telah menyiapkan paket stimulus ekonomi lanjutan untuk mendorong daya beli masyarakat dan menjaga tren laju pertumbuhan hingga akhir tahun. Paket stimulus ekonomi itu disebut 8+4+5, terdiri dari 8 program akselerasi di 2025, 4 program yang dilanjutkan di 2026, dan 5 program andalan Pemerintah untuk penyerapan tenaga kerja.

    Lalu, program stimulus ekonomi itu ditambah kembali sejak Oktober 2025 dengan dua program yakni Program Bantuan Langsung Tunai (BLT) Kesejahteraan Rakyat dan Program Magang Lulusan Perguruan Tinggi. Program BLT Kesejahteraan Rakyat merupakan program tambahan dari Kartu Sembako (BLT) Reguler sedangkan program magang lulusan perguruan tinggi penguatan dari sebelumnya untuk 20.000 ribu peserta menjadi 80.000 peserta.

    Purbaya pun percaya diri, dengan kebijakan penebalan BLT yang resmi diluncurkan Presiden Prabowo Subianto mulai 20 Oktober 2025 itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia akan tumbuh jauh lebih cepat pada akhir 2025, dari perhitungannya semula 5,5% menjadi hampir menyentuh level 5,7%.

    “Itu langsung ke masyarakat, jadi akan memperkuat daya beli. Kalau diumumkan seperti itu, saya bukan 5,5% lagi pertumbuhan ekonomi. Hitungan kita 5,67%, hampir 5,7%,” tegas Purbaya di kawasan Kementerian Pekerjaan Umum, Jakarta, Jumat (17/10/2025).

    Purbaya pun menatap optimistis pertumbuhan ekonomi sebesar 8% sesuai yang diinginkan oleh Presiden Prabowo Subianto meskipun bukanlah target yang mudah dicapai. “Itu bukan sesuatu yang mudah,” ungkap Purbaya saat di Istana Kepresidenan, Jakarta, pada September 2025 lalu.

    Meski demikian, ekonomi tumbuh 8% menurutnya adalah sebuah keharusan agar Indonesia bisa menjadi negara maju layaknya Jepang, Korea Selatan dan China.

    “Ada periode yang panjang, tumbuhnya double digit. 8% kelihatannya optimis, terlalu optimis. Tapi kalau didesain dengan baik, masih bisa,” jelasnya.

    “Karena selama 20 tahun terakhir ini, mesin kita timpang. Zaman Pak SBY, yang jalan, mesin private sector lah kira-kira. Dengan kredit tumbuh cepat, tapi pemerintahnya belum optimal,” terang Purbaya.

    Pada era Jokowi, lanjut Purbaya, ekonomi mampu tumbuh tinggi tapi tidak ditopang oleh sektor swasta sehingga hanya mampu di kisaran 5%.

    “Zaman Pak Jokowi, pemerintahnya bangun investasi di mana-mana, private sectornya agak mati, kreditnya hanya tumbuh 7% rata-rata. Nah ke depan kita akan hidupkan dua-duanya. Jadi dengan itu, 6-7% nggak terlalu susah,” paparnya.

    Beberapa waktu lalu, dalam wawancara terbaru dengan Forbes, Presiden Prabowo masih yakin pemerintahannya bisa menorehkan pertumbuhan 8%. Adapun, dia menuturkan program Makan Bergizi Gratis (MBG) akan menjadi motornya.

    “Saya pikir pertumbuhan 8% sangat bisa dicapai. Misalnya, dengan program MBG ini saja, kami menciptakan langsung 1,5 juta lapangan kerja. Ada 30 ribu dapur dan tiap dapur mempekerjakan sekitar 50 orang. Itu artinya 1,5 juta pekerjaan langsung,” tegas Prabowo.

    Selain itu, dia meyakini MBG dapat mendorong terciptanya wirausaha lokal. Ketika rantai pasok sudah terbentuk dari adanya MBG, maka daya beli masyarakat akan terbentuk.

    “Setiap dapur menciptakan sekitar 15 wirausaha lokal baru. Ada yang menjual telur, sayur, ikan, daging, satu lagi garam. Dan masing-masing dari mereka memiliki 5, 10, atau 15 pekerja,” ujarnya.

    “Kalau masyarakat punya uang, apa yang mereka lakukan? Mereka beli sepatu, pakaian, memperbaiki rumah, mungkin membeli sepeda motor atau televisi. Jadi saya pikir inilah caranya,” tegas Prabowo.

    (arj/haa)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Neraca Perdagangan Agustus 2025 Surplus US,49 Miliar, 64 Bulan Beruntun!

    Neraca Perdagangan Agustus 2025 Surplus US$5,49 Miliar, 64 Bulan Beruntun!

    Bisnis.com, JAKARTA — Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan neraca perdagangan Indonesia mencapai surplus US$5,49 miliar per Agustus 2025.

    Dengan demikian, Indonesia mencatatkan surplus selama 64 bulan berturut-turut sejak Mei 2020.

    Deputi Bidang Statistik Produksi BPS M. Habibullah mengatakan bahwa Indonesia mencatatkan ekspor Agustus 2025 mencapai  US$24,9 miliar atau naik 5,78% dibandingkan Agustus 2024 (year on year/YoY).

    Adapun nilai impor Agustus 2025 mencapai US$19,47 miliar atau turun 6,56% dibandingkan agustus 2024.

    Nilai impor ini terdiri dari impor migas yang mencapai US$2,73 miliar atau naik 3,17% secara tahunan. Sementara itu impor nonmigas mencapai US$16,74 miliar mengalami penurunan secara tahunan 7,98%.

    “Pada Agustus 2025, neraca perdagangan barang tercatat surplus sebesar US$5,49 miliar. Neraca perdagangan Indonesia dengan ini telah mencatat surplus selama 64 bulan berturut turut sejak Mei 2020,” ujar Habibullah pada Rabu (1/10/2025).

    Surplus pada Agsutus 2025 lebih ditopang surplus komoditas nonmigas sebesar US$7,15 miliar dengan komoditas penyumbang surplus lemak dan minyak hewani nabati, bahan bakar mineral dan besi dan baja.

    “Pada saat yang sama neraca perdagangan komoditas migas mencatat defisit US$1,66 miiar,” ungkap Habibullah.

    Sebelumnya, konsensus ekonom memproyeksikan surplus neraca perdagangan Indonesia akan berlanjut pada Agustus 2025 atau 64 bulan secara beruntun. Kendati demikian, surplus pada Agustus 2025 diproyeksikan akan menurun dibandingkan bulan sebelumnya.

    Berdasarkan konsensus proyeksi 20 ekonom yang dihimpun Bloomberg, nilai tengah (median) surplus neraca perdagangan pada Agustus 2025 diproyeksikan sebesar US$4,03 miliar. Proyeksi tersebut lebih rendah dari realisasi neraca dagang bulan sebelumnya atau pada Juli 2025 senilai US$4,17 miliar.

    Estimasi tertinggi dikeluarkan oleh Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) David Sumual dengan nominal US$5,36 miliar. Sebaliknya, estimasi terendah diberikan oleh Cimb Ltd dengan angka US$2,8 miliar.

    David Sumual menjelaskan bahwa proyeksi neraca dagang Agustus 2025 itu dipengaruhi oleh ekspor yang naik 7,24% secara tahunan (year on year/YoY) dan 1,57% secara bulanan (month on month/MoM). Sementara itu, impor -4,31% YoY dan -3,89 MoM.

    “Surplus neraca dagang kembali meningkat, didorong ekspor yang sangat tinggi—sedangkan impor melemah,” jelas David kepada Bisnis, Selasa (30/9/2025).

    Dia merincikan data yang dikeluarkan otoritas China menunjukkan bahwa ekspor Indonesia ke Negeri Panda naik tinggi di Agustus sebesar 20% MoM, terutama untuk produk batu bara, minyak, dan gas bumi.

    Menurutnya, kenaikan harga crude palm oil (CPO) alias minyak kelapa sawit mentah Agustus tampaknya juga mendorong ekspor. Sementara itu, sambung David, efek penurunan surplus akibat tarif tampaknya belum terlihat.

  • Klarifikasi Purbaya & Tudingan Kebijakan Himbara Picu Depresiasi Rupiah

    Klarifikasi Purbaya & Tudingan Kebijakan Himbara Picu Depresiasi Rupiah

    Bisnis.com, JAKARTA — Tren depresiasi mata uang rupiah selama beberapa hari terakhir menjadi sinyal negatif bagi perekonomian. Meski demikian, pemerintah cukup optimistis bahwa tren itu hanya berlangsung sementara, dan pada akhirnya akan kembali ke batas psikologisnya. 

    Sekadar catatan bahwa nilai tukar rupiah terh ditutup menguat 0,35% ke level Rp16.680 per dolar AS pada perdagangan Senin (29/9/2025). Di level itu, rupiah melemah 1,07% dalam 1 bulan atau merosot 3,28% secara year-to-date (YtD). 

    Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa menyinggung kebijakan kenaikan deposito valas secara sepihak oleh Himbara sebagai pemicu pelemahan rupiah. Dia menyebut bahwa investor pada pekan lalu sempat terpengaruh sentimen kebijakan Himbara. Padahal, menurutnya Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) tidak tahu menahu soal kebijakan tersebut. 

    Purbaya meyakini rupiah dalam beberapa waktu ke depan akan kembali menguat setelah investor mengetahui bahwa kebijakan kenaikan suku bunga deposito sampai 4% bukan bagian dari kebijakan pemerintah.

    “Jadi seharusnya rupiah akan menguat. Kalau kita lihat… artinya yang tadinya mau tukar rupiah ke dolar enggak jadi karena ternyata masih tinggi rupiah bunganya,” jelas Purbaya saat ditemui di acara Akad Massal 26.000 Kredit Pemilikan Rumah Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (KUR FLPP) dan Serah Terima Kunci di Cileungsi, Bogor, Senin (29/9/2025). 

    Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa

    Purbaya menjelaskan bahwa investor akan melihat prospek perekonomian dalam suatu negara untuk berinvestasi. Untuk itu, dia meyakini investor akan kembali masuk ke Indonesia dengan aliran modalnya setelah prospek ekonomi Indonesia membaik. 

    Dia mencontohkan proyek-proyek dengan multiplier effect tinggi seperti perumahan rakyat, yang baru saja dihadirinya bersama dengan Presiden Prabowo Subianto. Dia meyakini proyek-proyek serupa akan memberikan sentimen positif kepada investor untuk kembali lagi ke dalam negeri. 

    “Asing akan masuk ke sini. Ya pada saat itu terjadi rupiah akan cenderung menguat,” terangnya. 

    BI Ingatkan Investor

    Bank Indonesia (BI) menegaskan komitmennya untuk tetap fokus menjaga stabilitas rupiah di tengah kesibukannya ikut ‘cawe-cawe’ program pemerintah guna mengakselerasi pertumbuhan ekonomi. Otoritas moneter juga meminta investor untuk menjaga stabilitas sistem keuangan. 

    Sekadar catatan bahwa, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS diprediksi fluktuatif namun akan ditutup melemah di rentang Rp16.740-Rp16.810 per dolar AS pada perdagangan hari ini, Jumat (26/9/2025).

    Sementara itu, berdasarkan data Bloomberg, rupiah ditutup melemah 0,39% atau 64,50 poin ke level Rp16.749 per dolar AS pada perdagangan Rabu (23/9/2025). Pada saat yang sama, indeks dolar AS terpantau naik tipis 0,01% menuju level 97,88.

    “Bank Indonesia menggunakan seluruh instrumen yang ada secara bold, baik di pasar domestik melalui instrumen spot, DNDF, dan pembelian SBN di pasar sekunder, maupun di pasar luar negeri di Asia, Eropa, dan Amerika secara terus menerus, melalui intervensi NDF”, kata Gubernur BI Perry Warjiyo dalam siaran resminya, Jumat (26/9/2025). 

    Gubernur BI Perry Warjiyo

    Perry cukup yakin seluruh upaya yang dilakukan dapat menstabilkan nilai tukar rupiah, sesuai nilai fundamentalnya. Bank Indonesia juga mengajak seluruh pelaku pasar untuk turut bersama-sama menjaga iklim pasar keuangan yang kondusif, sehingga stabilitas nilai tukar Rupiah dapat tercapai dengan baik.

    Sebelumnya, Perry juga pernah mengemukakan bahwa depresiasi rupiah terjadi akibat tekanan domestik maupun global.

    Perry mengatakan bahwa penurunan terjadi beberapa hari belakangan kendati secara umum pada September 2025 menguat 0,30% dibandingkan bulan lalu yakni Agustus 2025.

    “Secara keseluruhan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat pada September 2025 menguat 0,30% dari Agustus 2025 meskipun minggu-minggu ini ada tekanan baik dari sisi global maupun sisi domestik,” ujarnya pada rapat Komisi XI DPR, Senin (22/9/2025).

    Rupiah Tertekan 

    Sebelumnya, Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk. atau BCA (BBCA) David Sumual menjelaskan, risiko dari langkah himbara menaikkan bunga deposit valas itu yakni semakin meningkatkan konversi lokal simpanan denominasi rupiah ke dolar. 

    “Risikonya malah bisa meng-intensify konversi lokal simpanannya ke dolar, instead of tahan foreign. Apalagi suku bunga penjaminan rupiah hanya 3.75%, di bawah suku bunga dollar yang ditawarkan,” jelas David kepada Bisnis, Kamis (25/9/2025). 

    David pun mengakui kenaikan suku bunga valas bisa memengaruhi efektivitas kebijakan Bank Indonesia (BI), yang selama ini kian akomodatif dalam mendorong transmisi penurunan suku bunga acuan ke perbankan. Harapannya, suku bunga acuan yang turun bisa turut menurunkan suku bunga kredit sehingga penyaluran pembiayaa ke sektor riil bisa lebih masif. 

    Sejak September 2024, BI sudah memangkas suku bunganya hingga 125 bps sampai ke level 4,75% bulan ini. Level bulan ini sudah menyentuh titik terendah sejak 2022 lalu. 

    David juga menyebut tekanan terhadap rupiah juga disebabkan oleh volatilitas pasar akibat ketertarikan investor terhadap imbal hasil. Sejak awal 2025, paparnya, suku bunga di banyak negara emerging markets seperti halnya Indoesia dalam tren menurun. 

    Tren kenaikan hanya terjadi di Jepang dan Brasil, di mana aset-aset di negara tersebut masih menjadi sasaran investor.  Sementara itu, aset lain seperti saham teknologi dan komoditas mencaup emas, perak, platinum hingga palladium kian menarik di tengah masih berlanjutnya ekspektasi penurunan bunga ke depan. 

    “Outflow di pasar obligasi lebih pada ekspektasi yield obligasi negara dan instrumen-instrumen investasi di atas. Sulit menahannya dengan menaikkan suku bunga dollar,” terangnya.