SF Hariyanto Jawab Isu Retaknya Hubungan dengan Gubernur Riau Sebelum OTT KPK
Tim Redaksi
PEKANBARU, KOMPAS.com
– Hubungan antara Gubernur Riau, Abdul Wahid, dan Wakil Gubernur, SF Hariyanto, diisukan retak sebelum penangkapan Abdul Wahid dalam OTT Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Isu tersebut diperkuat oleh fakta bahwa keduanya jarang muncul bersama di publik setelah dilantik pada Februari 2025.
SF Hariyanto
, yang jarang terlihat dalam agenda penting pemerintahan, baru-baru ini muncul dalam sebuah video pertemuan dengan
Abdul Wahid
.
Pertemuan tersebut berlangsung di kediaman
Gubernur Riau
di Jalan Diponegoro, Kota Pekanbaru, pada Kamis, 30 Oktober 2025.
Dalam video tersebut, tampak juga Kapolda Riau, Irjen Herry Heryawan, yang sedang melakukan video call dengan Ustadz Abdul Somad.
Abdul Wahid dan Hariyanto terlihat saling menyapa, berusaha menunjukkan bahwa tidak ada keretakan di antara mereka.
Namun, hanya tiga hari setelah pertemuan tersebut, tepatnya pada Senin (3/11/2025), Abdul Wahid ditangkap
KPK
dalam operasi tangkap tangan (OTT).
Selain Abdul Wahid, KPK juga menangkap Kadis PUPR Riau, M Arief Setiawan, dan Staf Ahli Gubernur Riau, Dani M Nursalam.
Ketiganya ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan pemerasan.
Menanggapi isu hubungan retak tersebut, SF Hariyanto membantahnya.
“Ada yang tanya kenapa saya tidak tampil sejak dilantik. Saya tampil. Saya selalu bersama Pak Gubernur, kemarin kami ngopi, sudah salam-salaman,” kata Hariyanto saat pertemuan dengan media di Kantor Gubernur Riau, Kamis (6/11/2025).
Ia menegaskan, tidak ada masalah antara dirinya dan Abdul Wahid.
“Tidak ada masalah. Dia itu adik saya, tak ada masalah,” jelas Hariyanto.
Menyangkut penangkapan Abdul Wahid oleh KPK, Hariyanto mengaku tidak mengetahui peristiwa tersebut.
Ia menjelaskan bahwa sebelum penangkapan, ia sedang ngopi bersama Abdul Wahid dan Bupati Siak, Afni Zulkifli.
“Saya tidak mengetahui (penangkapan) itu. Memang kebetulan pada saat itu saya sedang ngopi dengan Pak Gubernur dan Bupati Siak. Tiba-tiba ada ramai-ramai orang di luar. Setelah itu saya keluar dan pulang untuk shalat ashar. Setelah itulah banyak informasi penangkapan KPK,” ungkap Hariyanto.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Tag: Dani M Nursalam
-

Peras Bawahan, Gubernur Riau Abdul Wahid Minta Semua Patuh pada Satu Matahari
GELORA.CO – Gubernur Riau Abdul Wahid disebut pernah mengumpulkan para Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Jalan untuk meminta mereka patuh dengan apa yang dia perintahkan. Dia menyebut semua harus patuh pada ‘satu matahari’ yakni dirinya sebagai pimpinan.
“Saat dikumpulkan itulah yang bersangkutan itu menyampaikan bahwa, mataharinya adalah satu, semua harus tegak lurus pada mataharinya,” kata Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, Rabu (5/11/2025).
Abdul Wahid juga menyampaikan, jika ada permintaan dari kepala dinas maka itu juga merupakan perintah darinya. Bagi yang tidak menurut maka akan dievaluasi.
“Kata-kata dievaluasi itu diartikan oleh para Kepala UPT dan yang lainnya itu, ya kalau tidak nurut nanti akan diganti dan lain-lain, jadi mutasi dan lain-lain, seperti itu,” ujarnya.
Sebelumnya, KPK mengungkapkan Gubernur Riau, Abdul Wahid meminta ‘jatah preman’ senilai Rp7 miliar dari penambahan anggaran 2025 yang dialokasikan pada UPT Jalan dan Jembatan Wilayah I-VI Dinas PUPR PKPP.
Wakil Ketua KPK, Johanis Tanak menyatakan, kenaikan anggaran tersebut sebesar Rp106 miliar yang dari awalnya Rp71,6 miliar menjadi Rp177,4 miliar.
Awalnya, Sekretaris Dinas PUPR-PKPP Riau Ferry Yunanda bertemu dengan enam Kepala UPT Wilayah I-VI Riau di salah satu kafe pada Mei 2025. Dari pertemuan itu, disepakati fee yang akan diberikan ke Abdul Wahid 2,5 persen.
Hasil kesepakatan ini kemudian disampaikan kepada M Arief Setiawan selaku Kepala Dinas PUPR PKPP Riau sekaligus pihak yang merepresentasikan Abdul Wahid dan meminta fee sebesar 5 persen atau Rp7 miliar.
“Bagi yang tidak menuruti perintah tersebut, diancam dengan pencopotan ataupun mutasi dari jabatannya. Di kalangan Dinas PUPR PKPP Riau, permintaan ini dikenal dengan istilah ‘jatah preman’,” kata Tanak saat di Gedung Merah Putih KPK, Rabu (5/11/2025).
KPK telah menetapkan Gubernur Riau, Abdul Wahid dan dua orang lainnya sebagai tersangka kasus dugaan pemerasan di lingkungan Pemerintah Provinsi Riau.
Dua orang lainnya yang ditetapkan tersangka adalah, M Arief Setiawan selaku Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (PUPR PKPP) Provinsi Riau dan Dani M Nursalam selaku Tenaga Ahli Gubernur Riau
-
/data/photo/2025/02/05/67a32266eefbe.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
KPK Geledah Rumah Dinas Gubernur Riau
KPK Geledah Rumah Dinas Gubernur Riau
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah rumah dinas Gubernur Riau nonaktif Abdul Wahid dan beberapa lokasi lainnya di Riau, pada Kamis (6/11/2025).
“Dalam lanjutan
penyidikan
perkara dugaan tindak pidana korupsi di wilayah Pemprov Riau, hari ini penyidik melakukan penggeledahan di rumah dinas gubernur dan beberapa lokasi lainnya,” kata Juru Bicara
KPK
Budi Prasetyo, dalam keterangannya, Kamis.
Budi mengatakan, KPK mengimbau agar para pihak mendukung proses penyidikan agar dapat berjalan efektif.
Dia juga memastikan akan menyampaikan perkembangan proses penggeledahan secara berkala sebagai bentuk transparansi dalam proses hukum ini.
“KPK juga menyampaikan apresiasi dan terima kasih kepada seluruh masyarakat, khususnya di wilayah Riau, yang terus mendukung penuh pengungkapan perkara ini. Karena korupsi secara nyata menghambat pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat,” ujar dia.
Sebelumnya, KPK menetapkan
Gubernur Riau Abdul Wahid
sebagai tersangka terkait kasus dugaan pemerasan atau penerimaan hadiah atau janji di Pemprov Riau Tahun Anggaran 2025, pada Rabu (5/11/2025).
Diketahui, Abdul Wahid terjaring dalam operasi tangkap tangan (OTT) di Riau, pada Senin (3/11/2025).
KPK juga menetapkan dua tersangka lainnya, yaitu Kepala Dinas PUPR-PKPP Muhammad Arief Setiawan dan Dani M Nursalam selaku Tenaga Ahli Gubernur Riau.
“Setelah ditemukan kecukupan alat bukti, KPK menetapkan 3 orang sebagai tersangka, yakni AW (Abdul Wahid), MAS (Kepala Dinas PUPR-PKPP Muhammad Arief Setiawan), dan DAN (Dani M. Nursalam selaku Tenaga Ahli Gubernur Riau),” kata Wakil Ketua KPK Johanis Tanak, di Gedung Merah Putih, Jakarta, Rabu (5/11/2025).
Johanis mengatakan, total uang hasil pemerasan dengan modus jatah preman yang disetor untuk Gubernur Riau Abdul Wahid dari Kepala UPT Dinas PUPR PKPP sebesar Rp 4,05 miliar.
Dia mengatakan, setoran itu dilakukan setelah ada kesepakatan untuk memberikan fee sebesar 5 persen atau Rp 7 miliar untuk Gubernur Riau Abdul Wahid.
“Sehingga, total penyerahan pada Juni-November 2025 mencapai Rp 4,05 miliar dari kesepakatan awal sebesar Rp 7 miliar,” ujar dia.
Johanis mengatakan, ketiga tersangka selanjutnya dilakukan penahanan untuk 20 hari pertama yang terhitung sejak 4-23 November 2025.
“Terhadap saudara AW ditahan di Rutan Gedung ACLC KPK. Sementara terhadap DAN dan MAS ditahan di Rutan Gedung Merah Putih KPK,” ucap dia.
Akibat perbuatannya, para tersangka disangkakan telah melanggar ketentuan dalam Pasal 12e dan/atau Pasal 12f dan/atau Pasal 12B UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Terungkap Jatah Preman dalam Kasus Korupsi Pemprov Riau, Gubernur Ancam Copot Pejabat yang Tak Ikuti Perintah
FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Mantan penyidik KPK, Yudi Purnomo Harahap menyorot tajam Gubernur Riau.
KPK menahan Gubernur Riau Abdul Wahid. Dia ditahan setelah terjaring operasi tangkap tangan (OTT).
Diketahui, para pihak yang terjaring OTT dibawa dalam dua kloter ke KPK pada Selasa kemarin. Salah satunya adalah Gubernur Riau Abdul Wahid. Total ada 10 orang yang diperiksa KPK terkait OTT ini.
Lewat unggahan di akun media sosial Threads pribadinya, ia menyebut Gubernur Riau akhirnya sah yang dinyatakan terlibat.
“Sah, Akhirnya Gubernur Riau ke-4 yang kena kasus korupsi di KPK,” tulisnya dikutip Kamis (6/11/2025).
Gubernur Riau itu dinyatakan terlibat karena terungkap memiliki jatah preman dari nilai proyek anggaran.
“Terungkap jatah preman dari nilai proyek anggaran,” tuturnya.
Sementara itu, Abdul Wahid disebut mengancam bawahannya jika tak memberikan uang yang disebut ‘jatah preman’.
“Bagi yang tidak menuruti perintah tersebut, diancam dengan pencopotan ataupun mutasi dari jabatannya. Di kalangan Dinas PUPR PKPP Riau, permintaan ini dikenal dengan istilah ‘jatah preman’,” kata Wakil Ketua KPK Johanis Tanak dalam konferensi pers di gedung KPK
Dua tersangka lainnya ialah Kadis PUPR Riau M Arief Setiawan dan Tenaga Ahli Gubernur Riau, Dani M Nursalam.
Tanak mengatakan kasus ini berawal dari pertemuan antara Sekdis PUPR Riau Ferry Yunanda dan enam kepala UPT wilayah I-VI Dinas PUPR PKPP pada Mei 2025.
(Erfyansyah/fajar)
-
/data/photo/2025/11/05/690b0f2fde2e3.png?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Gubernur Riau Pakai “Jatah Preman” dari Bawahan untuk ke Inggris dan Brasil
Gubernur Riau Pakai “Jatah Preman” dari Bawahan untuk ke Inggris dan Brasil
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Gubernur Riau Abdul Wahid menggunakan uang hasil pemerasan atau disebut jatah preman dari penambahan anggaran 2025 untuk pergi ke luar negeri.
Uang yang seharusnya dialokasikan pada UPT Jalan dan Jembatan Wilayah I-VI Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (PUPR-PKPP) justru digunakan untuk pergi ke Inggris hingga Brasil.
Hal tersebut diungkap oleh Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Penindakan dan Eksekusi
KPK
Asep Guntur Rahayu dalam konferensi pers pada Rabu (5/11/2025).
“Sejak awal yang bersangkutan sudah meminta. Nah, untuk kegiatannya apa saja, ini macam-macam kegiatannya. Jadi, untuk keperluan yang bersangkutan. Makanya dikumpulinnya di tenaga ahlinya (Dani M. Nursalam). Ada beberapa ini keperluan ke luar negeri, ke Inggris, ini mengapa ada uang Poundsterling karena salah satu kegiatannya itu adalah pergi atau lawatan ke luar negeri,” ujar Asep di Gedung Merah Putih, Jakarta.
“Ada juga ke Brasil. Yang terakhir itu mau ke Malaysia,” sambungnya.
Abdul Wahid menjadi satu dari tiga tersangka dalam kasus pemerasan di Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau. Dua nama lainnya adalah Kepala Dinas PUPR-PKPP Muhammad Arief Setiawan dan Tenaga Ahli
Gubernur Riau
Dani M Nursalam.
Kasus ini berawal dari pertemuan Sekretaris Dinas PUPR PKPP Provinsi Riau Ferry Yunanda dengan enam Kepala UPT Wilayah I-VI, Dinas PUPR PKPP untuk membahas kesanggupan memberikan
fee
kepada Abdul Wahid.
Fee
tersebut sebesar 2,5 persen berasal dari penambahan anggaran 2025 yang dialokasikan pada UPT Jalan dan Jembatan Wilayah I-VI Dinas PUPR PKPP yang semula Rp 71,6 miliar menjadi Rp 177,4 miliar.
Kemudian Ferry Yunanda menyampaikan hasil pertemuan tersebut kepada Arief Setiawan. Namun, Arief meminta fee 5 persen atau setara Rp 7 miliar untuk Abdul Wahid.
“Bagi yang tidak menuruti perintah tersebut, diancam dengan pencopotan ataupun mutasi dari jabatannya. Di kalangan Dinas PUPR PKPP Riau, permintaan ini dikenal dengan istilah ‘
jatah preman
‘,” ujar Wakil Ketua KPK Johanis Tanak.
Dari kesepakatan tersebut, KPK menemukan tiga kali setoran jatah fee untuk Abdul Wahid. Pertama pada Juni 2025, ketika itu, Ferry Yunanda mengumpulkan uang Rp 1,6 miliar dari para Kepala UPT.
Dana sejumlah Rp 1 miliar kemudian mengalir kepada Abdul Wahid melalui perantara Tenaga Ahlinya Dani M Nursalam.
Setoran kedua pada Agustus 2025, KPK menemukan bahwa Ferry kembali mengepul uang dari para kepala UPT sejumlah Rp 1,2 miliar.
Atas perintah M Arief Setiawan, uang tersebut, didistribusikan untuk supirnya sebesar Rp 300 juta, proposal kegiatan perangkat daerah Rp 375 juta, dan disimpan oleh Ferry senilai Rp 300 juta.
Kemudian pada November 2025, pengepulan dilakukan Kepala UPT 3 dengan total mencapai Rp 1,25 miliar. KPK menemukan uang tersebut mengalir kepada Abdul Wahid melalui M Arief senilai Rp 450 juta serta diduga mengalir Rp 800 juta yang diberikan langsung kepada Abdul Wahid.
“Sehingga, total penyerahan pada Juni-November 2025 mencapai Rp 4,05 miliar dari kesepakatan awal sebesar Rp7 miliar,” ujar Johanis.
Dalam pertemuan ketiga pada Senin (3/11/2025), KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) dengan menangkap Ferry Yunanda, M Arief Setiawan berserta lima Kepala UPT.
Akibat perbuatannya, para tersangka disangkakan telah melanggar ketentuan dalam pasal 12e dan/atau pasal 12f dan/atau pasal 12B UU Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/11/05/690b076dee7f2.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
5 Jatah Preman "Tujuh Batang" Menjerat Gubernur Riau Abdul Wahid Nasional
Jatah Preman “Tujuh Batang” Menjerat Gubernur Riau Abdul Wahid
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Setelah rangkaian operasi tangkap tangan (OTT) di Riau pada Senin (3/11/2025), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Gubernur Riau Abdul Wahid bersama dua orang lainnya sebagai tersangka dalam kasus pemerasan, pada Rabu (5/11/2025).
Dua tersangka lain adalah Kepala Dinas PUPR-PKPP Muhammad Arief Setiawan dan Tenaga Ahli
Gubernur Riau
Dani M Nursalam.
Abdul Wahid
dan dua tersangka ditampilkan di ruang konferensi pers Gedung Merah Putih, Jakarta.
Abdul Wahid terlihat mengenakan rompi tahanan
KPK
dengan tangan diborgol.
“Setelah ditemukan kecukupan alat bukti, KPK menetapkan 3 orang sebagai tersangka, yakni AW (Abdul Wahid), MAS (Kepala Dinas PUPR-PKPP Muhammad Arief Setiawan), dan DAN (Dani M Nursalam selaku Tenaga Ahli Gubernur Riau),” kata Wakil Ketua KPK Johanis Tanak, di Gedung Merah Putih, Jakarta, Rabu (5/11/2025).
Dalam konferensi pers, KPK juga memamerkan uang senilai Rp 1,6 miliar dalam pecahan dollar AS, poundsterling, dan rupiah yang disita dalam operasi senyap tersebut.
Johanis mengatakan, kasus ini berawal dari
Gubernur Riau Abdul Wahid
yang diwakili Kepala Dinas PUPR-PKPP Muhammad Arief Setiawan mengancam akan mencopot para Kepala UPT, Dinas PUPR PKPP, jika tidak memberikan “jatah preman” atau
fee
sebesar 5 persen atau setara Rp 7 miliar.
KPK mengatakan,
fee
tersebut diberikan atas adanya penambahan anggaran 2025 yang dialokasikan pada UPT Jalan dan Jembatan Wilayah I-VI Dinas PUPR PKPP.
“Saudara MAS (M Arief Setiawan) yang merepresentasikan AW (Abdul Wahid), meminta
fee
sebesar 5 persen (Rp 7 miliar). Bagi yang tidak menuruti perintah tersebut, diancam dengan pencopotan ataupun mutasi dari jabatannya,” ujar Johanis.
“Di kalangan Dinas PUPR PKPP Riau, permintaan ini dikenal dengan istilah ‘jatah preman’,” sambung dia.
Johanis mengatakan, pertemuan yang menyepakati besaran
fee
untuk Abdul Wahid dilaporkan oleh Sekretaris Dinas PUPR PKPP Ferry Yunanda kepada Muhammad Arief Setiawan dengan kode “7 batang”.
Selanjutnya, KPK menemukan tiga kali setoran jatah preman untuk Abdul Wahid yang terjadi pertama kali pada Juni 2025.
Ketika itu, Ferry Yunanda mengumpulkan uang Rp 1,6 miliar dari para Kepala UPT.
Dari uang tersebut, Ferry mengalirkan dana sejumlah Rp 1 miliar kepada Abdul Wahid melalui perantara Tenaga Ahlinya Dani M Nursalam.
Selanjutnya, pada Agustus 2025, KPK menemukan bahwa Ferry kembali mengepul uang dari para Kepala UPT sejumlah Rp 1,2 miliar.
Atas perintah M Arief Setiawan, uang tersebut didistribusikan untuk drivernya sebesar Rp 300 juta, proposal kegiatan perangkat daerah Rp 375 juta, dan disimpan oleh Ferry senilai Rp 300 juta.
Pada November 2025, pengepulan dilakukan Kepala UPT 3 dengan total mencapai Rp 1,25 miliar.
KPK menemukan uang tersebut mengalir kepada Abdul Wahid melalui M Arief senilai Rp 450 juta, serta diduga mengalir Rp 800 juta yang diberikan langsung kepada Abdul Wahid.
“Sehingga, total penyerahan pada Juni-November 2025 mencapai Rp 4,05 miliar dari kesepakatan awal sebesar Rp 7 miliar,” ujar dia.
Pada pertemuan ketiga pada Senin (3/11/2025), KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) dengan menangkap Ferry Yunanda, M Arief Setiawan, berserta 5 Kepala UPT.
“Selain itu, Tim KPK juga mengamankan barang bukti berupa uang tunai sejumlah Rp 800 juta,” tutur dia.
Kemudian, Abdul Wahid bersama orang kepercayaannya Tata Maulana ditangkap di salah satu kafe di Riau.
Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu mengatakan, para Kepala UPT Dinas PUPR PKPP meminjam uang di bank demi memenuhi setoran jatah preman tersebut.
“Jadi, informasi yang kami terima dari para Kepala UPT bahwa mereka uangnya itu pinjam. Ada yang pakai uang sendiri, pinjam ke bank, dan lain-lain,” kata Asep.
Asep juga mengatakan, uang hasil
pemerasan
tersebut digunakan Abdul Wahid untuk melakukan lawatan ke sejumlah negara.
“Ada beberapa ini keperluan ke luar negeri, ke Inggris, ini mengapa ada uang poundsterling karena salah satu kegiatannya itu adalah pergi atau lawatan ke luar negeri. Ada juga ke Brasil. Yang terakhir itu mau ke Malaysia,” tutur dia.
Adapun ketiga tersangka selanjutnya dilakukan penahanan untuk 20 hari pertama yang terhitung sejak 4-23 November 2025 di Rutan KPK.
Akibat perbuatannya, para tersangka disangkakan telah melanggar ketentuan dalam Pasal 12e dan/atau Pasal 12f dan/atau Pasal 12B UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/11/05/690b076dee7f2.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
5 Jatah Preman "Tujuh Batang" Menjerat Gubernur Riau Abdul Wahid Nasional
Jatah Preman “Tujuh Batang” Menjerat Gubernur Riau Abdul Wahid
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Setelah rangkaian operasi tangkap tangan (OTT) di Riau pada Senin (3/11/2025), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Gubernur Riau Abdul Wahid bersama dua orang lainnya sebagai tersangka dalam kasus pemerasan, pada Rabu (5/11/2025).
Dua tersangka lain adalah Kepala Dinas PUPR-PKPP Muhammad Arief Setiawan dan Tenaga Ahli
Gubernur Riau
Dani M Nursalam.
Abdul Wahid
dan dua tersangka ditampilkan di ruang konferensi pers Gedung Merah Putih, Jakarta.
Abdul Wahid terlihat mengenakan rompi tahanan
KPK
dengan tangan diborgol.
“Setelah ditemukan kecukupan alat bukti, KPK menetapkan 3 orang sebagai tersangka, yakni AW (Abdul Wahid), MAS (Kepala Dinas PUPR-PKPP Muhammad Arief Setiawan), dan DAN (Dani M Nursalam selaku Tenaga Ahli Gubernur Riau),” kata Wakil Ketua KPK Johanis Tanak, di Gedung Merah Putih, Jakarta, Rabu (5/11/2025).
Dalam konferensi pers, KPK juga memamerkan uang senilai Rp 1,6 miliar dalam pecahan dollar AS, poundsterling, dan rupiah yang disita dalam operasi senyap tersebut.
Johanis mengatakan, kasus ini berawal dari
Gubernur Riau Abdul Wahid
yang diwakili Kepala Dinas PUPR-PKPP Muhammad Arief Setiawan mengancam akan mencopot para Kepala UPT, Dinas PUPR PKPP, jika tidak memberikan “jatah preman” atau
fee
sebesar 5 persen atau setara Rp 7 miliar.
KPK mengatakan,
fee
tersebut diberikan atas adanya penambahan anggaran 2025 yang dialokasikan pada UPT Jalan dan Jembatan Wilayah I-VI Dinas PUPR PKPP.
“Saudara MAS (M Arief Setiawan) yang merepresentasikan AW (Abdul Wahid), meminta
fee
sebesar 5 persen (Rp 7 miliar). Bagi yang tidak menuruti perintah tersebut, diancam dengan pencopotan ataupun mutasi dari jabatannya,” ujar Johanis.
“Di kalangan Dinas PUPR PKPP Riau, permintaan ini dikenal dengan istilah ‘jatah preman’,” sambung dia.
Johanis mengatakan, pertemuan yang menyepakati besaran
fee
untuk Abdul Wahid dilaporkan oleh Sekretaris Dinas PUPR PKPP Ferry Yunanda kepada Muhammad Arief Setiawan dengan kode “7 batang”.
Selanjutnya, KPK menemukan tiga kali setoran jatah preman untuk Abdul Wahid yang terjadi pertama kali pada Juni 2025.
Ketika itu, Ferry Yunanda mengumpulkan uang Rp 1,6 miliar dari para Kepala UPT.
Dari uang tersebut, Ferry mengalirkan dana sejumlah Rp 1 miliar kepada Abdul Wahid melalui perantara Tenaga Ahlinya Dani M Nursalam.
Selanjutnya, pada Agustus 2025, KPK menemukan bahwa Ferry kembali mengepul uang dari para Kepala UPT sejumlah Rp 1,2 miliar.
Atas perintah M Arief Setiawan, uang tersebut didistribusikan untuk drivernya sebesar Rp 300 juta, proposal kegiatan perangkat daerah Rp 375 juta, dan disimpan oleh Ferry senilai Rp 300 juta.
Pada November 2025, pengepulan dilakukan Kepala UPT 3 dengan total mencapai Rp 1,25 miliar.
KPK menemukan uang tersebut mengalir kepada Abdul Wahid melalui M Arief senilai Rp 450 juta, serta diduga mengalir Rp 800 juta yang diberikan langsung kepada Abdul Wahid.
“Sehingga, total penyerahan pada Juni-November 2025 mencapai Rp 4,05 miliar dari kesepakatan awal sebesar Rp 7 miliar,” ujar dia.
Pada pertemuan ketiga pada Senin (3/11/2025), KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) dengan menangkap Ferry Yunanda, M Arief Setiawan, berserta 5 Kepala UPT.
“Selain itu, Tim KPK juga mengamankan barang bukti berupa uang tunai sejumlah Rp 800 juta,” tutur dia.
Kemudian, Abdul Wahid bersama orang kepercayaannya Tata Maulana ditangkap di salah satu kafe di Riau.
Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu mengatakan, para Kepala UPT Dinas PUPR PKPP meminjam uang di bank demi memenuhi setoran jatah preman tersebut.
“Jadi, informasi yang kami terima dari para Kepala UPT bahwa mereka uangnya itu pinjam. Ada yang pakai uang sendiri, pinjam ke bank, dan lain-lain,” kata Asep.
Asep juga mengatakan, uang hasil
pemerasan
tersebut digunakan Abdul Wahid untuk melakukan lawatan ke sejumlah negara.
“Ada beberapa ini keperluan ke luar negeri, ke Inggris, ini mengapa ada uang poundsterling karena salah satu kegiatannya itu adalah pergi atau lawatan ke luar negeri. Ada juga ke Brasil. Yang terakhir itu mau ke Malaysia,” tutur dia.
Adapun ketiga tersangka selanjutnya dilakukan penahanan untuk 20 hari pertama yang terhitung sejak 4-23 November 2025 di Rutan KPK.
Akibat perbuatannya, para tersangka disangkakan telah melanggar ketentuan dalam Pasal 12e dan/atau Pasal 12f dan/atau Pasal 12B UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Parah, Gubernur Riau Korupsi Demi Liburan ke Inggris-Brasil
Bisnis.com, JAKARTA – Gubernur Riau Abdul Wahid menggunakan uang hasil pemerasan untuk pergi ke luar negeri mulai dari ke Inggris hingga Brasil.
Hal itu terungkap usai Abdul Wahid ditangkap dalam operasi tangkap tangan hingga akhirnya ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik lembaga antirasuah.
Adapun uang tersebut diperoleh dari fee 5% atau Rp7 miliar atas penambahan anggaran 2025 yang dialokasikan pada UPT Jalan dan Jembatan Wilayah I-VI Dinas PUPR PKPP. Fee tersebut naik satu kali lipat dari kesepakatan awal sebesar 2,5%.
Namun, total uang penyerahan pada Juni – November 2025 mencapai Rp4,05 miliar dari kesepakatan awal.
“Ada beberapa ini keperluan ke luar negeri, ke Inggris, ini mengapa ada uang Poundsterling karena salah satu kegiatannya itu adalah pergi atau lawatan ke luar negeri, ke Inggris, ada juga ke Brasil. Yang terakhir itu mau ke Malaysia,” kata Plt. Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu dalam konferensi pers, Rabu (5/11/2025).
Asep mengatakan uang yang diminta Abdul Wahid dikumpulkan melalui tenaga ahli yang bernama Dani M Nursalam.
Di sisi lain, Wakil Ketua KPK Johanis Tanak menjelaskan bahwa pemberian fee telah direncanakan sejak bulan Mei 2025. Fee 2,5% saat Ferry Yunanda selaku Sekretaris Dinas PUPR PKPP Provinsi Riau bertemu dengan 6 kepala UPT wilayah I-VI.
Hasil pertemuan disampaikan kepada Kepala Dinas PUPR PKPP M. Arief Setiawan, di mana kemudian Arief sebagai representasi Abdul Wahid menaikan fee sebesar 5%.
Johanis menuturkan bahwa Abdul Wahid memberikan ancaman pencopotan jabatan bagi pejabat yang tidak memberikan fee tersebut.
“Bagi yang tidak menuruti perintah tersebut, diancam dengan pencopotan ataupun mutasi dari jabatannya. Di kalangan Dinas PUPR PKPP Riau, permintaan ini dikenal dengan istilah jatah preman,” ujarnya.
Setelah mengumpulkan barang bukti, KPK menetapkan Gubernur Riau Abdul Wahid, Kepala Dinas PUPR PKPP M. Arief Setiawan, dan Tenaga Ahli Gubernur Provinsi Riau Dani M Nursalam.
Diketahui, Dani berperan menginstruksikan Ferry untuk mengumpulkan uang dari para Kepala UPT. Kendati demikian, KPK masih melakukan pendalaman terhadap Ferry untuk menemukan barang bukti yang cukup.
KPK juga telah mengamankan uang senilai Rp800 juta. Kemudian melakukan penggeledahan di rumah Abdul Wahid di Jakarta Selatan dan mengamankan 9.000 poundsterling serta US$3.000 atau jika dirupiahkan sebesar Rp800 juta. Sehingga hasil penyitaan dari hasil tangkap tangan, KPK mengamankan Rp1,6 miliar.
/data/photo/2025/11/06/690c5aa7bf4ac.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)

