Tag: Chatib Basri

  • Dirut BRI Hery Gunardi Terpilih Jadi Ketua Umum PERBANAS Periode 2024–2028

    Dirut BRI Hery Gunardi Terpilih Jadi Ketua Umum PERBANAS Periode 2024–2028

    Jakarta: Direktur Utama BRI Hery Gunardi resmi terpilih sebagai Ketua Umum Perhimpunan Bank Nasional (PERBANAS) periode 2024-2028.
     
    Keputusan tersebut diambil dalam Rapat Umum Anggota PERBANAS yang diselenggarakan pada Senin, 14 April 2025 di Jakarta. Hadir pada acara ini Dewan Kehormatan PERBANAS Agus D.W. Martowardojo dan Gunarni Soeworo, Badan Pengawas PERBANAS Chatib Basri, Edwin Gerungan dan Nelson Tampubolon, serta Ketua Umum PERBANAS periode 2020-2024 Kartika Wirjoatmodjo.
     
    Hery Gunardi sebelumnya memiliki rekam jejak cemerlang di industri perbankan nasional dan telah dikenal aktif di berbagai organisasi industri perbankan. Hery telah bergabung dengan PERBANAS sejak 2012 dan menjadi Ketua Bidang Organisasi PERBANAS sejak 2020. Selain itu, Hery juga pernah menjabat sebagai Ketua Umum Asosiasi Bank Syariah Indonesia (Asbisindo) periode 2021–2024.

    Dalam sambutannya sebagai Ketua Umum PERBANAS, Hery menegaskan komitmennya untuk memperkuat peran PERBANAS sebagai wadah strategis bagi industri perbankan nasional. Ia menyampaikan bahwa PERBANAS bukan hanya organisasi profesi, tetapi juga berperan sebagai jembatan yang efektif dalam menyuarakan aspirasi industri kepada pemerintah dan regulator.
     

    “Dengan amanah ini, saya berkomitmen untuk memastikan agar PERBANAS terus berperan aktif dalam membangun industri perbankan yang profesional, memberikan nilai tambah pada pembangunan ekonomi nasional, serta memberikan kontribusi bagi para stakeholder baik anggota, pemerintah, maupun masyarakat dan lingkungan,” ujar Hery.
     
    Ia juga menambahkan bahwa pondasi kuat yang telah dibangun oleh kepengurusan sebelumnya akan menjadi landasan kokoh bagi PERBANAS dalam menjalankan peran strategisnya sebagai katalis pertumbuhan ekonomi nasional.
     
    Hery Gunardi merupakan bankir multidimensi yang telah memiliki rekam jejak yang panjang di industri perbankan nasional dan telah membentang selama 34 tahun. Karir Hery dimulai di Bank Bapindo (1991), berlanjut sebagai anggota tim merger pendirian Bank Mandiri (1998-1999), hingga menjadi pengambil keputusan penting di bank plat merah tersebut. Ia turut membidangi kelahiran PT AXA Mandiri Financial Services (AMFS), perusahaan asuransi joint venture antara Bank Mandiri dan AXA Group Perancis.
     

     
    Pria kelahiran Bengkulu ini memiliki pengalaman di berbagai posisi strategis. Ia menjabat sebagai Department Head Bank Assurance sekaligus Direktur PMO Pendirian AMFS (2002- 2003), Direktur AMFS (2003- 2006), dan kemudian kembali ke Bank Mandiri menangani Wealth Management sebagai SVP (2006-2008) sambil tetap menjadi Komisaris Utama AMFS.
     
    Saat di Bank Mandiri, karier Hery terus menanjak. Ia menjabat berbagai posisi direktur, termasuk Direktur Micro & Retail Banking (2013), Direktur Micro & Business Banking, Consumer Banking, Distributions, hingga Consumer & Retail Transaction. Puncaknya, Ia menjadi Wakil Direktur Utama dan akhirnya Plt. Direktur Utama Bank Mandiri (2020).
     
    Maret 2020 menjadi momentum penting saat Hery mendapat tugas mengawal merger tiga bank syariah milik Himbara (BRISyariah, Bank Syariah Mandiri dan BNI Syariah) menjadi PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI). Wacana merger tersebut sebenarnya telah digagas sejak Masterplan Arsitektur Keuangan Syariah Indonesia (2015) dan pada 1 Februari 2021, BSI resmi lahir.
     
    Selama menjadi Direktur Utama BSI, Hery mampu membawa bank syariah terbesar di Indonesia tersebut bertransformasi dengan catatan kinerja yang cemerlang. Bahkan, saat ini BSI telah menjadi bank syariah ke-9 terbesar dunia dari sisi kapitalisasi pasar. Puncaknya, pada 24 Maret 2025 yang lalu melalui Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) BRI resmi mengangkat Hery Gunardi sebagai Direktur Utama BRI.
     
    Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
    dan follow Channel WhatsApp Medcom.id

    (ROS)

  • Waspada! Chatib Basri Ingatkan Great Depression Bisa Terulang

    Waspada! Chatib Basri Ingatkan Great Depression Bisa Terulang

    Jakarta, CNBC Indonesia – Perang tarif antara Amerika Serikat (AS) dan China dinilai akan berdampak serius terhadap perekonomian global.

    Anggota Dewan Ekonomi Nasional, sekaligus Menteri Keuangan RI ke-28 Chatib Basri mengatakan, saling berbalas tarif akan membuka peluang krisis besar seperti Great Depression yang terjadi pada tahun 1930-an jika tensi dagang global terus memanas.

    Ia menyoroti dinamika hubungan dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan China. Pasalnya, kedua negara tersebut kini sedang balas-membalas kebijakan dagang antar negara.

    “Di dalam posisi China, kalau dia melihat bahwa Trump agak ragu-ragu, dia akan negotiate. Tetapi kalau dia melihat bahwa Trump itu sangat firm dengan kebijakannya, maka yang dilakukan adalah dia retaliasi,” ujar Chatib dalam acara diskusi The Yudhoyono Institute dengan tema Dinamika dan Perkembangan Dunia Terkini: Geopolitik, Keamanan dan Ekonomi Global di Hotel Sahid, Jakarta, Minggu (13/4/2025).

    Chatib menilai efek dari retaliasi adalah perlambatan pertumbuhan global. Ia pun menjelaskan bahwa Great Depression yang terjadi pada tahun 1930-an merupakan akibat dari retaliasi sebuah negara.

    “Beggar the neighbor yang kita sebut. Akibatnya global trade-nya jatuh, ekspor turun, karena ekspor turun, investasi turun, investasi turun, GDP turun, consumption turun, terjadilah Great Depression pada waktu itu. Jadi upaya untuk mengatasi retaliasi itu menjadi sangat penting,” ujarnya.

    (haa/haa)

  • Efek Trump, DEN tekankan pentingnya perlindungan ekonomi domestik

    Efek Trump, DEN tekankan pentingnya perlindungan ekonomi domestik

    Wakil Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Chatib Basri bersiap mengikuti rapat yang dipimpin Presiden Prabowo Subianto di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (19/3/2025). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/Spt

    Efek Trump, DEN tekankan pentingnya perlindungan ekonomi domestik
    Dalam Negeri   
    Editor: Novelia Tri Ananda   
    Minggu, 13 April 2025 – 13:03 WIB

    Elshinta.com – Anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Chatib Basri menyoroti pentingnya perlindungan ekonomi domestik agar Indonesia tetap tangguh di tengah dinamika efek kebijakan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Salah satu langkah utama yaitu mendorong belanja fiskal untuk meningkatkan permintaan.

    “Kalau waktu kecil diajarkan hemat pangkal kaya, dalam pemulihan ekonomi itu belanja pangkal pulih. Kalau orang belanja, maka permintaan akan terjadi,” kata Chatib dalam kegiatan The Yudhoyono Institute (TYI) bertajuk “Dinamika dan Perkembangan Dunia Terkini: Geopolitik, Keamanan dan Ekonomi Global” di Jakarta, Minggu.

    Dorongan dari permintaan itu yang akan memancing dunia usaha merespons dengan meningkatkan produksi dan menyerap lebih banyak tenaga kerja. Namun, insentif itu pun perlu dilakukan dengan menyusun skala prioritas, mengingat ruang fiskal negara cukup terbatas.

    “Menurut saya, berikan prioritas pada sektor yang efek bergandanya tinggi, yang punya dampak kepada lapangan pekerjaan. Saya kasih contoh misalnya pariwisata, karena itu backward dengan forward linkage-nya sangat besar,” jelas Chatib.

    Di sisi lain, perlindungan sosial juga menjadi penting, kata Chatib. Sebab, perlindungan sosial dapat memperkuat daya beli masyarakat. Daya beli masyarakat sudah disinyalir melemah sejak sebelum gejolak dinamika Trump, salah satu faktornya terkait dengan porsi pekerja informal yang lebih dominan dari pekerja formal. Sementara pekerja informal umumnya memiliki upah rendah.

    “Jadi, dalam konteks ini, perlindungan sosial menjadi sangat penting. Apakah itu bantuan langsung tunai (BLT), Program Keluarga Harapan (PKH), atau percepatan program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang kemudian akan memperkuat daya beli masyarakat,” tuturnya.

    Chatib pun mengingatkan konsolidasi terhadap mitra menjadi penting, terutama regional ASEAN. Di tengah situasi krisis, ada kecenderungan negara lebih mementingkan diri sendiri, yang berisiko memicu terjadinya instabilitas.

    “Maka, konsolidasi di dalam ASEAN menjadi sangat penting,” ujar Chatib.

    Sumber : Antara

  • Chatib Basri Ingatkan Krisis Ekonomi 1930 Bisa Terulang Akibat Tarif Trump

    Chatib Basri Ingatkan Krisis Ekonomi 1930 Bisa Terulang Akibat Tarif Trump

    Bisnis.com, JAKARTA — Anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Chatib Basri mewanti-wanti krisis ekonomi global 1930 atau yang dikenal dengan Great Depression bisa kembali terulang akibat penerapan tarif resiprokal oleh Presiden AS Donald Trump.

    Dede, sapaan Chatib Basri, menjelaskan bahwa Great Depression terjadi karena retaliasi negara lain akibat kebijakan tarif di AS (Smoot-Hawley Tariff Act). Akibat negara lain membalas dengan menaikkan tarif atas produk AS, volume perdagangan global turun drastis sehingga memperlambat perekonomian global.

    Pada saat Great Depression 1930, lanjutnya, tingkat pengangguran dan kemiskinan meningkat tajam terutama di negara-negara maju.

    “Global trade-nya [perdagangan global] jatuh, ekspor turun. Karena ekspor turun, investasi turun. Investasi turun, GDP turun, consumption [konsumsi] turun, terjadilah Great Depression pada waktu itu,” jelas Dede dalam diskusi The Yudhoyono Institute, Minggu (13/4/2025).

    Masalahnya, dia melihat pola serupa bisa terjadi dalam kasus penerapan tarif resiprokal Trump belakangan ini. Apalagi usai Trump mengumumkan kebijakan tarif tersebut, sejumlah negara melakukan retaliasi terutama China.

    Belakangan, China menaikkan tarif impor untuk barang dari AS menjadi 125%. Tarif tersebut merupakan respons Negeri Tirai Bambu setelah AS menaikkan tarif impor terhadap barang asal China menjadi 145%.

    Ekonom senior dan mantan Menteri Keuangan era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu pun berharap Trump akan melunak, dengan membuka opsi negosiasi zehingga Great Depression tidak terulang. Menurutnya, jika China melihat keraguan Trump maka Xi Jinping juga akan membuka opsi negosiasi.

    “Jadi upaya untuk mengatasi retaliasi itu menjadi sangat penting,” ujarnya.

    Dampak Tarif Trump ke RI

    Lebih lanjut, Chatib menjelaskan penerapan tarif tambahan untuk barang impor asal Indonesia ke oleh pemerintah AS akan berdampak negatif ke pelaku bisnis dalam negeri terutama sektor yang bergantung kepada ekspor ke Negeri Paman Sam. Dia mencontohkan tekstil, alas kaki, udang, hingga elektronik.

    Permasalahan itu diperburuk dengan ketidakpastian dunia usaha yang tinggi di Indonesia. Oleh sebab itu, dia mendorong pemerintah memanfaatkan ancaman tarif Trump dengan melakukan reformasi.

    “Jadi yang harus dilakukan adalah bagaimana memberikan kepastian, bagaimana memberikan peraturan yang konsisten. Uang di Indonesia tidak masalah, tapi masalah bisa jadi uang. Itu sebabnya maka deregulasi menjadi penting,” ujarnya. 

    Menurutnya, deregulasi dapat memotong biaya produksi secara signifikan. Mantan menteri keuangan itu pun mengingatkan bahwa Orde Baru sempat melakukan deregulasi besar-besaran yang berdampak positif ke sektor manufaktur.

    “Mengapa ekspor non-Migas itu bisa tumbuh 20%—26% di pertengahan era 80-an? Jawabannya dua, sebetulnya mirip dengan sekarang, waktu itu pemerintahan melakukan devaluasi tahun 1986. Kemudian yang kedua adalah deregulasi secara signifikan untuk memotong high-cost economy,” jelasnya.

    Oleh sebab itu, dia mendukung penuh arahan Presiden Prabowo beberapa waktu lalu untuk melakukan deregulasi ekonomi seperti menghapus kuota impor hingga relaksasi TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri).

    Selain itu, Dede menjelaskan belanja pemerintah menjadi sangat penting pada saat timbul ketidakpastian global seperti sekarang ini. Masalahnya, ruang fiskal pemerintah sangat sempit sehingga tidak bisa belanja besar-besaran.

    Dia pun mendorong agar pemerintah memprioritaskan belanja ke sektor yang memberi efek pengganda tinggi seperti pariwisata yang kerap menyerap lapangan kerja.

    Selain itu, belanja ke program perlindungan sosial seperti BLT (bantuan langsung tunai) hingga percepatan program MBG (makan bergizi gratis) sehingga bisa meningkatkan daya beli masyarakat.

    “Kalau kita waktu kecil itu diajarkan adalah hemat pangkal kaya, tetapi di dalam pemulihan ekonomi itu belanja pangkal pulih. Kalau orang spend [belanja], maka permintaannya akan terjadi. Kalau permintaannya akan terjadi, maka dunia usaha akan respons dengan memproduksi, mempekerjakan tenaga kerja,” ujar Dede.

    Tak lupa, dia menggarisbawahi pentingnya diversifikasi mitra dagang. Oleh sebab itu, pemerintah harus mempercepat perjanjian IEU-CEPA (Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement) hingga perkuat kerja sama negara-negara Asean.

  • Chatib Basri Sebut Tarif Trump Tak Berdampak Besar ke Pasar Obligasi RI

    Chatib Basri Sebut Tarif Trump Tak Berdampak Besar ke Pasar Obligasi RI

    Jakarta

    Mantan Menteri Keuangan RI ke-28 yang juga Anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Chatib Basri menilai kebijakan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang mengenakan tarif timbal balik (Reciprocal Tarif) sebesar 32% ke Indonesia tidak akan memberikan dampak yang besar terhadap pasar obligasi Indonesia. Meskipun saat ini pengenaan tarif tersebut masih ditangguhkan oleh Presiden Trump.

    “Efek dari bond market (pasar obligasi) di Indonesia itu juga mungkin limited,” kata Chatib dalam Panel Discussion yang diselenggarakan oleh The Yudhoyono Institute di Jakarta, Minggu (13/4/2025).

    Chatib menjelaskan pasar obligasi Indonesia masih dalam kondisi aman di tengah kebijakan tarif trump tersebut. Hal ini lantaran kepemilikan asing atas obligasi pemerintah Indonesia hanya sekitar 14%.

    Ia menjelaskan, jika seluruh investor asing menarik dananya sekalipun, dampaknya sangat terbatas lantaran sebagian besar obligasi dimiliki oleh investor domestik.

    Menurutnya, kondisi pasar obligasi saat ini berbeda dengan pada krisis global tahun 2008, di mana sebagian besar obligasi dimiliki oleh investor asing. Sehingga akan keluarnya dana asing akan menimbulkan tekanan yang besar bagi pasar obligasi Indonesia.

    “Tidak seperti yang kita alami di tahun misalnya 2008, Pak. Jadi pada waktu Pak SBY memimpin kita menghadapi global financial crisis, saya mesti mengatakan bahwa situasi saat itu sebetulnya jauh lebih berat dibandingkan dengan situasi yang kita hadapi. Dan saat itu Indonesia masih bisa tumbuh di 4,6%.

    Chatib menambahkan, dampak negatif kebijakan tarif Trump juga terbatas terhadap ekspor Indonesia. Ia mengatakan, kontribusi ekspor Indonesia terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional hanya sebesar 22%, di mana porsi ekspor ke AS juga hanya sekitar 10%.

    “Ekspor kita ke Amerika itu 10%, jadi kalau terhadap PDB itu berarti 10% dari 22%, berarti hanya 2,2%. Jadi meski dalam skenario terburuk pun, itu efeknya 2,2% dari GDP,” katanya.

    Meski begitu, ia menampik ada sejumlah sektor yang terdampak tarif trump. Misalnya ada sejumlah produk tekstil dan produk tekstil, alas kaki, palm oil, karet, furnitur, dan udang.

    “Walaupun 2,2% itu punya dampak kepada sektor industri, terutama manufacturing, apakah itu tekstil dan produk tekstil, produk elektronik, dan alas kaki. Dan ini akan punya impack kepada kita,” katanya.

    (rrd/rrd)

  • Dewan Ekonomi Optimistis Tarif Trump Tak Goyahkan RI seperti Krisis 2008

    Dewan Ekonomi Optimistis Tarif Trump Tak Goyahkan RI seperti Krisis 2008

    Bisnis.com, JAKARTA — Dewan Ekonomi Nasional (DEN) meyakini penerapan tarif resiprokal oleh Presiden AS Donald Trump tidak akan banyak berefek ke perekonomian nasional.

    Anggota DEN Chatib Basri menjelaskan kontribusi ekspor kepada pembentukan produk domestik bruto (PDB) sebesar 22,18% pada 2024. Menurutnya, persentase tersebut masih terbilang kecil.

    Dede, sapaan Chatib Basri, pun membandingkan dengan negara lain, kontribusi ekspor ke PDB Singapore mencapai 180%, sementara Vietnam mencapai 78%.

    “Ekspor kita ke Amerika itu 10%. Jadi kalau terhadap PDB, itu berarti 10% dari 22%, berarti 2,2%. Jadi even in the worst case scenario [di skenario terburuk], itu [tarif Trump] efeknya 2,2% dari PDB,” ujar Dede dalam diskusi The Yudhoyono Institute, Minggu (13/4/2024).

    Menurut perhitungannya, pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap bisa mencapai 4,3% sampai dengan 4,5% dalam situasi terburuk efek tarif Trump.

    Di samping itu, dia tidak menampik bahwa tarif Trump juga memberi dampak ke pasar keuangan global. Kendati demikian, Dede tetap melihat ketidakpastian pasar keuangan global tidak memiliki dampak besar ke pasar obligasi dalam negeri.

    Alasannya, besaran kepemilikan asing di surat utang yang diterbitkan pemerintah hanya sekitar 14%. Menurutnya, persentase tersebut masih jauh lebih kecil dibandingkan pada saat 2008 ketika terjadi krisis finansial global alias global financial crisis.

    “Jadi pada waktu Pak SBY memimpin kita menghadapi global financial crisis, saya mesti mengatakan bahwa situasi saat itu sebetulnya jauh lebih berat dibandingkan dengan situasi yang kita hadapi [sekarang], dan saat itu [ekonomi] Indonesia masih bisa tumbuh di 4,6%,” jelas Dede.

    Senada, Wakil Ketua DEN Mari Elka Pangestu mengungkapkan pihaknya sudah melakukan sejumlah model perhitungan atas dampak tarif Trump ke perekonomian domestik.

    “Untuk Indonesia, all the models are showing relatively low [semua model perhitungan menunjukkan angka yang rendah], kira-kira 0,3% sampai 0,5% dampak kepada pertumbuhan kita,” kata Mari Elka pada kesempatan yang sama.

  • Chatib Basri Sarankan Prabowo Ikuti Taktik Orde Baru Hadapi Tarif Trump

    Chatib Basri Sarankan Prabowo Ikuti Taktik Orde Baru Hadapi Tarif Trump

    Bisnis.com, JAKARTA — Anggota Dewan Ekonomi Nasional Chatib Basri mengusulkan pemerintah Presiden Prabowo Subianto mengikuti taktik yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru untuk menghadapi ancaman tarif resiprokal Presiden AS Donald Trump.

    Dede, sapaan Chatib Basri, mengatakan taktik yang pernah dilakukan pemerintah Orde Baru, yakni melakukan deregulasi ekonomi besar-besaran. 

    Dia menjelaskan penerapan tarif tambahan untuk barang impor asal Indonesia ke oleh pemerintah AS akan berdampak negatif ke pelaku bisnis dalam negeri terutama sektor yang bergantung kepada ekspor ke Negeri Paman Sam itu. Dia mencontohkan tekstil, alas kaki, udang, hingga elektronik.

    Permasalahan itu, lanjutnya, diperburuk dengan ketidakpastian dunia usaha yang tinggi di Indonesia. Oleh sebab itu, dia mendorong pemerintah memanfaatkan ancaman tarif Trump dengan melakukan reformasi struktural. 

    “Jadi yang harus dilakukan [pemerintah] adalah bagaimana memberikan kepastian, bagaimana memberikan peraturan yang konsisten. Uang di Indonesia tidak masalah, tapi masalah bisa jadi uang. Itu sebabnya maka deregulasi menjadi penting,” ujar Chatib Basri dalam diskusi The Yudhoyono Institute, Minggu (13/4/2024).

    Menurutnya, deregulasi ekonomi dapat memotong biaya produksi secara signifikan. Mantan menteri keuangan itu pun mengingatkan bahwa Orde Baru sempat melakukan deregulasi besar-besaran yang berdampak positif ke sektor manufaktur.

    “Mengapa ekspor non-Migas itu bisa tumbuh 20%—26% di pertengahan era 80-an? Jawabannya dua, sebetulnya mirip dengan sekarang, waktu itu pemerintahan melakukan devaluasi tahun 1986, kemudian yang kedua adalah deregulasi secara signifikan untuk memotong high-cost economy,” jelasnya.

    Oleh sebab itu, dia mendukung penuh arahan Presiden Prabowo beberapa waktu lalu untuk melakukan deregulasi ekonomi seperti menghapus kuota impor hingga relaksasi TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri).

    Selain itu, Dede menjelaskan belanja pemerintah menjadi sangat penting pada saat timbul ketidakpastian global seperti sekarang ini. Masalahnya, ruang fiskal pemerintah sangat sempit sehingga tidak bisa belanja besar-besaran.

    Dia pun mendorong agar pemerintah memprioritaskan belanja ke sektor yang memberi efek pengganda tinggi seperti pariwisata yang kerap menyerap lapangan kerja.

    Selain itu, belanja ke program perlindungan sosial seperti BLT (bantuan langsung tunai) hingga percepatan program MBG (makan bergizi gratis) sehingga bisa meningkatkan daya beli masyarakat.

    “Kalau kita waktu kecil itu diajarkan adalah hemat pangkal kaya, tetapi di dalam pemulihan ekonomi itu belanja pangkal pulih. Kalau orang spend [belanja], maka permintaannya akan terjadi. Kalau permintaannya akan terjadi, maka dunia usaha akan respons dengan memproduksi, mempekerjakan tenaga kerja,” ujar Dede.

    Tak lupa, dia menggarisbawahi pentingnya diversifikasi mitra dagang. Oleh sebab itu, pemerintah harus mempercepat perjanjian IEU-CEPA (Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement) hingga perkuat kerja sama negara-negara Asean.

  • Chatib Basri Sebut Tarif Trump Tak Berdampak Besar ke Pasar Obligasi RI

    Efisiensi APBN Bakal Sia-sia Kalau Prabowo Tak Lakukan Hal Ini

    Jakarta

    Mantan Menteri Keuangan RI ke-28, Chatib Basri menilai langkah Presiden Prabowo dalam memangkas anggaran belanja modal dan barang yang diterapkan pada APBN 2025 sekitar Rp 300 triliun merupakan langkah yang bagus jika segera dibelanjakan untuk kebutuhan lainnya yakni investasi ke sektor produktif. Hal ini diharapkan dapat menumbuhkan ekonomi Indonesia.

    Namun, Chatib bilang jika hasil efisiensi tersebut tidak segera dibelanjakan atau diinvestasikan ke sektor yang produktif, maka hasil yang didapatkan dari efisiensi tersebut tidak maksimal.

    “Kalau eksekusi baru muncul tahun depan. Maka ini kita mirip dengan uang pinjam dari bank. Kita sudah turun, sudah bayar bunga tapi tidak investasi, dan itu costnya mahal sekali. Jadi harus dipikirkan satu multiplier yang tinggi,” kata Chatib dalam Panel Discussion yang diselenggarakan oleh The Yudhoyono Institute di Jakarta, Minggu (13/4/2025).

    Chatib menambahkan hasil efisiensi tersebut bisa segera dialihkan di sektor Pariwisata atau beberapa sektor lainnya yang dapat membuka lapangan pekerjaan baru dan mendorong pertumbuhan ekonomi di wilayah lainnya tidak hanya di perkotaan.

    “Yang punya dampak kepada lapangan pekerjaan. Saya kasih contoh misalnya sektor pariwisata. Karena itu backward dengan forward linkage nya itu sangat besar, atau beberapa sektor lain,” katanya.

    Lebih lanjut, Chatib mengatakan dengan kondisi ekonomi global yang tidak menentu, pemerintah perlu memberikan perlindungan sosial kepada pihak yang terdampak. Hal ini penting untuk membuat daya beli masyarakat terjaga.

    Ia mengatakan dalam ilmu ekonomi belanja merupakan faktor penting daripada pemulihan ekonomi suatu negara. Dengan belanja, Chatib bilang maka permintaan suatu barang akan bertambah yang bisa mendorong adanya perputaran ekonomi.

    “Apakah itu BLT, apakah itu percepatan program MBG, yang kemudian akan memperkuat daya beli masyarakat,” katanya.

    (rrd/rrd)

  • Permudah Dunia Usaha dan Tekan Biaya Produksi

    Permudah Dunia Usaha dan Tekan Biaya Produksi

    Jakarta, Beritasatu.com – Kebijakan tarif resiprokal yang diumumkan oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump pada Rabu (2/4/2025) dinilai semakin menekan kondisi ekonomi dunia ketika banyak negara yang belum sepenuhnya pulih dari pandemi Covid-19, termasuk Indonesia.

    Anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Chatib Basri mengatakan, untuk merespons kenaikan tarif Trump, pemerintah Indonesia perlu memberikan kemudahan serta kepastian regulasi kepada pelaku usaha melalui deregulasi.

    Langkah ini penting tidak hanya untuk menekan biaya ekspor, tetapi juga dalam rangka menurunkan biaya produksi.

    Ia menambahkan, kemungkinan inflasi di AS yang meningkat dapat menghambat penurunan suku bunga dan menyebabkan ketidakstabilan nilai tukar.

    Bagi Indonesia, perang tarif tersebut dapat memberikan dampak cukup besar terhadap sektor manufaktur, terutama pada produk elektronik, makanan, alas kaki, serta industri tekstil dan turunannya.

    “Jadi perlu adanya upaya menekan dampak kenaikan tarif Trump oleh pemerintah Indonesia. Dan salah satunya menekan biaya ekspor serta memberikan kemudahan serta kepastian aturan bagi dunia usaha lewat deregulasi sehingga menekan biaya produksi,” kata Chatib dalam sebuah diskusi panel The Yudhoyono Institute (TYI) yang mengangkat tema ‘Dinamika dan Perkembangan Dunia Terkini: Geopolitik, Keamanan dan Ekonomi Global’ di Jakarta, Minggu (13/4/2025).

    Lebih lanjut, ia menyarankan agar pemerintah juga mendorong daya beli masyarakat melalui kebijakan fiskal yang diarahkan pada sektor-sektor dengan pengaruh besar terhadap perekonomian nasional, seperti pariwisata dan program perlindungan sosial.

    Pasar Obligasi Tetap Terkendali

    Chatib juga menuturkan, dampak kebijakan tarif Trump terhadap pasar obligasi Indonesia tergolong minim.

    Ia menjelaskan bahwa efeknya cenderung terbatas karena proporsi kepemilikan asing pada obligasi pemerintah hanya sekitar 14%, sehingga bila terjadi aksi jual oleh investor asing, dampaknya tidak besar.

    Mantan Menteri Keuangan ke-28 itu menuturkan, krisis saat ini berbeda dengan krisis global sebelumnya, termasuk yang terjadi pada tahun 2008.

    Pada masa itu, tekanan ekonomi lebih berat meskipun Indonesia masih mencatatkan pertumbuhan sebesar 4,6%, sementara tantangan yang dihadapi kini memiliki karakter yang berbeda.

    Selain dari sisi pasar obligasi, dampak terhadap ekspor juga tidak terlalu besar.

    Chatib memaparkan, kontribusi ekspor terhadap PDB Indonesia hanya sekitar 22%, dengan ekspor ke AS menyumbang sekitar 10% dari angka tersebut.

    “Jadi kalau terhadap PDB, andilnya hanya 10% dari 22% atau 2,2%. Maka, meski dalam skenario terburuk pun, efek (tarif Trump) hanya 2,2 persen dari GDP,” terang dia.

    Kendati demikian, ia mengakui bahwa sektor industri yang berorientasi ekspor tetap akan terdampak oleh kebijakan tersebut.

    Untuk itu, ia menyarankan agar pemerintah segera melakukan deregulasi demi meminimalisasi dampak negatif pada industri-industri tersebut.

    “Jika kita bisa melakukan deregulasi dengan memotong ekonomi biaya tinggi, maka penurunan dampak dari biaya produksi bisa sangat signifikan,” kata Chatib.

    Pemerintah juga telah mengambil sejumlah langkah strategis lainnya guna merespons dampak tarif Trump, di antaranya dengan menghapus kuota impor serta melonggarkan ketentuan tingkat komponen dalam negeri (TKDN). Kebijakan-kebijakan ini dinilai sebagai langkah positif dalam menghadapi tekanan ekonomi global.

  • AHY sebut Indonesia harus jadi pemersatu dunia

    AHY sebut Indonesia harus jadi pemersatu dunia

    Direktur Eksekutif The Yudhoyono Institute Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) saat berpidato membuka diskusi panel yang diselenggarakan TYI di Jakarta, Minggu (13/4/2025). ANTARA/Bagus Ahmad Rizaldi

    AHY sebut Indonesia harus jadi pemersatu dunia
    Dalam Negeri   
    Editor: Novelia Tri Ananda   
    Minggu, 13 April 2025 – 11:13 WIB

    Elshinta.com – Direktur Eksekutif The Yudhoyono Institute (TYI) Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) mengatakan bahwa Indonesia harus jadi pemersatu bagi negara-negara dunia yang makin terfragmentasi karena kebijakan ekonomi Amerika Serikat (AS).

    Pada saat membuka diskusi panel yang diselenggarakan TYI di Jakarta, Minggu, AHY mengatakan bahwa dampak kebijakan Presiden AS Donald Trump terkait dengan kenaikan tarif impor bukan hanya mengguncang sistem perdagangan, melainkan juga berpotensi mengganggu stabilitas keamanan dunia.

    AHY mengemukakan bahwa Asia Pasifik akan menjadi panggung utama dalam dinamika global terkini. Ketika kekuatan besar saling mencurigai, lanjut dia, bangsa Indonesia harus membangun kepercayaan. Begitu pula, Ketika dunia mengedepankan kepentingan sempit, Indonesia harus menawarkan kerja sama luas.

    “Inilah jalan menuju masa depan yang lebih adil, inklusif, dan berkelanjutan,” kata AHY saat membuka diskusi yang bertajuk Dinamika dan Perkembangan Dunia Terkini: Geopolitik, Keamanan, dan Ekonomi Global.

    Ia menyebutkan ada dua kemungkinan yang bisa terjadi setelah adanya kebijakan AS, yakni negara-negara akan tunduk kepada dominasi ekonomi AS, atau negara-negara memilih untuk berhadapan dengan AS dengan menciptakan aliansi-aliansi baru.

    Jika negara-negara memilih untuk berhadapan, dia menilai dunia akan terdorong ke arah fragmentasi blok ekonomi politik baru. Aliansi-aliansi yang baru itu, bisa berkembang menjadi kutub kekuatan yang saling bersaing, tidak hanya perdagangan, tetapi juga pengaruh militer.

    “Polarisasi ini bisa memperparah konflik regional yang ada,” kata Menteri Koordinator Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan itu.

    Maka dari itu, AHY mengapresiasi dan mendukung langkah Presiden RI Prabowo Subianto yang mengirim diplomat ke Washington, D.C., Amerika Serikat, untuk berdialog mengenai kebijakan Trump itu, sekaligus membangun komunikasi dengan pemimpin-pemimpin negara di ASEAN.

    “Ini wajah diplomasi adaptif, diplomasi yang tidak reaktif, tetapi juga tidak pasif,” katanya.

    Untuk itu, dia mengajak agar Indonesia menjadi jembatan untuk mengubah krisis menjadi peluang. Momentum ini bisa mendorong transformasi ekonomi dengan mempercepat hilirisasi dan digitalisasi hingga mewujudkan ekonomi hijau sekaligus ekonomi terbarukan.

    “Ketika ketakutan menyebar, mari kita hadirkan harapan. Dunia tidak hanya butuh pemimpin yang kuat, tetapi juga pemimpin yang bisa menyatukan,” kata AHY.

    Ia lantas mengajak, “Mari kita bergerak bersama, bukan hanya untuk bertahan pada zaman yang terus berubah, melainkan untuk membentuk zaman itu sendiri.”

    Dalam acara diskusi itu, hadir presiden ke-6 Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono, Wakil Ketua MPR RI Edhie Baskoro Yudhoyono, ekonom senior Chatib Basri, Wakil Menteri Luar Negeri Armanatha Nasir, hingga Mantan Menko Perekonomian Chairul Tanjung.

    Sumber : Antara