Tag: Charles Michel

  • Para Kepala Negara Absen di KTT Iklim COP29, Ada yang Undur Diri

    Para Kepala Negara Absen di KTT Iklim COP29, Ada yang Undur Diri

    Jakarta

    Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) terkait perubahan iklim COP29 sedang berlangsung di Baku, Azerbaijan. Para pemimpin dunia, negosiator, pelobi dan LSM bertemu di sini, membahas perubahan iklim dan lingkungan hidup.

    Lebih dari 100 kepala negara dan pemerintahan telah mengonfirmasi kehadiran mereka di COP29, menurut sumber PBB. Namun, sejumlah pemimpin dunia dan pejabat pemerintah telah menyatakan tidak akan menghadiri acara yang berlangsung 11-22 November 2024 ini. Siapa saja? Berikut daftar negara yang tidak hadir beserta alasannya, dikutip dari Euro News.

    Presiden Komisi Eropa

    Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen tidak hadir. Alasannya, Komisi Eropa sedang dalam fase transisi. “Presiden akan fokus pada tugas kelembagaannya. Von der Leyen saat ini tengah mempersiapkan masa jabatan keduanya yang akan dimulai pada 1 Desember,” kata juru bicara Komisi Eropa.

    Sementara itu, Uni Eropa diwakili oleh Presiden Dewan Eropa Charles Michel, Kepala Kebijakan Iklim Wopke Hoekstra, dan Komisaris Bidang Energi Kadri Simson.

    Presiden Prancis Emmanuel Macron

    Presiden Prancis Emmanuel Macron juga absen dari KTT ini. Kabarnya, alasannya karena pertemuan tersebut diadakan di Azerbaijan dan Prancis menolak menginjakkan kaki di negara itu.

    Hubungan antara kedua negara menegang sejak tahun lalu ketika Paris mengutuk serangan militer Azerbaijan terhadap separatis Armenia di wilayah Karabakh yang memisahkan diri.

    Kanselir Jerman Ola Scholz

    Pemimpin negara adikuasa Eropa lainnya juga tidak hadir, yakni Kanselir Jerman Olaf Scholz. Jauh hari sebelumnya, ia telah mengumumkan tidak akan menghadiri COP29 setelah koalisi yang berkuasa bubar.

    Semula, ia berencana menghadiri COP29, tetapi kemudian membatalkan keputusan itu setelah runtuhnya pemerintahan koalisi tiga partai Jerman.

    Presiden AS ke-46 Joe Biden

    COP29 digelar beberapa hari setelah pemilihan umum di Amerika Serikat (AS), sehingga Joe Biden tidak hadir. Ini adalah tahun kedua berturut-turut ia tidak hadir dalam perundingan iklim global. Sebagai gantinya, delegasi AS dipimpin oleh John Podesta, penasihat senior presiden AS untuk kebijakan iklim internasional.

    Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva

    Setelah mengalami cedera kepala bulan lalu, Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva membatalkan perjalanannya ke Baku. Negaranya akan menjadi tuan rumah COP30 di Belem tahun depan.

    Raja Charles III

    Raja Charles juga tidak menghadiri COP29 dikarenakan pemerintah Inggris memutuskan untuk tidak mengutusnya mewakili rakyat mengingat ia masih dalam masa pemulihan dari kanker. Namun Raja Charles III memiliki sejarah panjang dalam advokasi perubahan iklim dan telah menghadiri konferensi-konferensi PBB sebelumnya.

    Presiden Rusia Vladimir Putin

    Presiden Rusia Vladimir Putin juga tidak hadir, dan delegasi negaranya di COP29 akan dipimpin oleh Perdana Menteri Mikhail Mishustin. Ironisnya, Oktober lalu, duta besar Ukraina untuk Uni Eropa, Vsevolod Chentsov mengatakan bahwa masyarakat internasional harus menghindari perundingan tersebut jika Putin hadir.

    Pemimpin Kanada, India, China, Afrika Selatan, dan Australia

    Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau, Perdana Menteri India Narendra Modi, Presiden China Xi Jinping, Cyril Ramaphosa dari Afrika Selatan, dan Perdana Menteri Australia Anthony Albanese juga melewatkan konferensi iklim tahun ini. Namun alasan mereka absen tidak diketahui.

    Papua Nugini Protes dan Menarik Diri

    Pada Agustus tahun ini, Perdana Menteri Papua Nugini James Marape mengumumkan bahwa negara tersebut tidak akan menghadiri COP29 sebagai protes terhadap negara-negara besar karena kurangnya dukungan cepat bagi para korban perubahan iklim.

    Marape mengatakan, hal ini dilakukan demi kepentingan semua negara kepulauan kecil. Dikelilingi oleh lautan dan merupakan rumah bagi hamparan hutan hujan terbesar ketiga di planet ini, Papua Nugini sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Wilayah ini dirusak oleh berbagai dampak seperti naiknya permukaan air laut dan bencana alam.

    (rns/fay)

  • PM Denmark Diserang di Alun-alun Kopenhagen, Pelaku Ditangkap

    PM Denmark Diserang di Alun-alun Kopenhagen, Pelaku Ditangkap

    Kopenhagen

    Perdana Menteri (PM) Denmark Mette Frederiksen diserang oleh seorang pria tak dikenal saat dia berada di alun-alun Kopenhagen. Untungnya, Frederiksen tidak mengalami luka-luka dan hanya merasa shock dengan insiden tersebut.

    Pelaku penyerangan itu langsung diamankan oleh para pengawal Frederiksen dan ditangkap di lokasi kejadian.

    Seperti dilansir Reuters dan AFP, Sabtu (8/6/2024), kantor PM Denmark dalam pernyataannya menyebut Frederiksen “terkejut dengan insiden itu”, namun tidak memberikan informasi lebih detail soal aksi penyerangan yang terjadi pada Jumat (7/6) waktu setempat.

    “Perdana Menteri Mette Frederiksen dipukul oleh seorang pria pada Jumat (7/6) malam di area Kultorvet di Kopenhagen. Pria itu kemudian ditangkap,” demikian pernyataan resmi yang dirilis oleh kantor PM Denmark.

    “Perdana Menteri terkejut dengan kejadian tersebut,” imbuh pernyataan itu.

    Motif di balik aksi penyerangan terhadap Frederiksen itu belum diketahui secara jelas.

    Kepolisian Kopenhagen maupun dinas keamanan dan intelijen nasional Denmark telah mengonfirmasi kejadian yang menimpa sang PM Denmark, namun menolak untuk memberikan rincian lebih lanjut.

    “Kami memiliki satu orang yang ditangkap dalam kasus ini, yang sekarang sedang kami selidiki. Saat ini, kami tidak memiliki komentar lebih lanjut soal kasus tersebut,” demikian pernyataan Kepolisian Kopenhagen via media sosial X.

    Aksi penyerangan terhadap Frederiksen terjadi di depan umum. Keterangan dua saksi mata bernama Marie Adrian dan Anna Ravn kepada surat kabar BT menyebut bahwa sang PM Denmark tiba-tiba diserang seorang pria sesaat setelah tiba di alun-alun Kopenhagen sebelum pukul 18.00 waktu setempat.

    “Seorang pria datang dari arah berlawanan dan mendorong bahunya (Frederiksen-red) dengan keras, menyebabkan dia terjatuh ke samping,” tutur kedua saksi mata tersebut.

    Mereka menambahkan bahwa meskipun pria itu memberikan “dorongan kuat”, Frederiksen tidak tumbang ke atas tanah. Menurut para saksi mata, sang PM Denmark kemudian duduk di kafe terdekat usai serangan terjadi.

    Pelaku yang menyerang Frederiksen itu digambarkan oleh para saksi mata sebagai seorang pria yang berperawakan tinggi dan langsing. Disebutkan bahwa pelaku sempat berusaha kabur dari lokasi kejadian, namun berhasil ditangkap dan didorong hingga ke atas tanah oleh pria-pria berjas yang diduga pengawal Frederiksen.

    Seorang saksi mata lainnya bernama Kasper Jorgensen mengatakan kepada surat kabar Ekstra Bladet bahwa dirinya melihat pria pelaku penyerangan telungkup di atas tanah usai diamankan pria-pria berjas. Jorgensen menambahkan bahwa salah satu pengawal PM Denmark meletakkan lututnya di atas punggung pelaku.

    “Mereka mengamankannya, dan saat dia telungkup di sana, dia terlihat bingsung dan sedikit linglung,” tuturnya.

    Insiden ini menuai kecaman dari pejabat Denmark dan Uni Eropa. “Mette tentu saja terkejut dengan serangan itu. Saya harus mengatakan bahwa hal itu mengejutkan kita semua yang dekat dengannya,” ucap Menteri Lingkungan Denmark Magnus Heunicke dalam tanggapannya.

    “Hal seperti ini tidak boleh terjadi di negara kita yang indah, aman dan bebas,” cetusnya.

    Presiden Dewan Eropa Charles Michel menyatakan dirinya “marah atas penyerangan itu”, sedangkan Presiden Parlemen Eropa Roberta Metsola menyampaikan “kecaman keras atas aksi pengecut ini”. Ketua Komisi Uni Eropa Ursula von der Leyen mengutuk apa yang disebutnya sebagai “tindakan tercela yang bertentangan dengan apa yang kami yakini dan perjuangkan di Eropa”.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/idh)

  • Jalan Penuh Liku Menuju Perluasan Uni Eropa

    Jalan Penuh Liku Menuju Perluasan Uni Eropa

    Jakarta

    Sejak Februari lalu, sebuah konsensus baru telah disepakati di Brussels: Uni Eropa perlu tumbuh lebih besar. Anggota-anggota Uni Eropa (UE) yang dulunya skeptis terhadap perluasan, kini mulai berpikir serius untuk menyambut calon-calon anggota baru seperti Ukraina, Moldova, dan negara-negara Balkan Barat lainnya ke dalam keanggotaan mereka.

    Pergeseran ini dipicu oleh invasi besar-besaran Rusia ke Ukraina. Sebelumnya calon-calon anggota EU harus melewati serangkaian reformasi politik dan rintangan hukum yang berat untuk mencapai tujuan tersebut. Contohnya Makedonia Utara yang sudah antre sejak tahun 2005, masih juga belum diterima jadi anggota EU.

    Saat ini, pola pikir telah berubah. Seperti yang diungkapkan oleh seorang diplomat Uni Eropa: “Perluasan adalah sebuah kenyataan yang ada saat ini. Hal tersebut baru terjadi sejak sekitar satu setengah tahun yang lalu.”

    Namun Brussels mempunyai pekerjaan rumah sendiri yang harus diselesaikan jika ingin konsensus politik ini berjalan lancar. “Sebelum melakukan pembicaraan yang realistis dengan negara-negara yang ingin bergabung, kita harus memikirkan seperti apa sebenarnya perluasan UE itu – dan sejauh itulah jadinya,” ujar diplomat yang meminta untuk tidak disebutkan namanya itu mengatakan. DW.

    Memberikan keseimbangan kekuatan

    Pembicaraan soal perluasan EU telah dimulai. Awal bulan ini, sekelompok peneliti yang mendapat penugasan dari Prancis dan Jerman meluncurkan makalah yang penuh dengan gagasan tentang cara kerja dan jalan menuju ke arah itu. Thu Nguyen, seorang peneliti senior di bidang kebijakan dan Jacques Delors Center di Berlin, termasuk di antara mereka. Dia mengatakan kepada DW bahwa memikirkan kembali cara UE mengambil keputusan bisa menjadi tantangan politik yang paling besar.

    Daftar resmi negara-negara kandidat UE masih mengular: Ukraina, Moldova, Albania, Montenegro, Bosnia Herzegovina, Makedonia Utara, Serbia dan Turki. Georgia dan Kosovo juga dianggap sebagai “kandidat potensial”.

    Namun meski beranggotakan 27 negara, blok tersebut terkadang kesulitan mengambil tindakan. Langkah kebijakan luar negeri seperti memberikan sanksi kepada Rusia memerlukan dukungan bulat, yang berarti negosiasi kadang-kadang bisa memakan waktu berbulan-bulan karena negara-negara anggota harus memikirkan apa saja yang akan dilarang atau aset mana yang akan dibekukan.

    Di bawah sistem yang berlaku saat ini, Ukraina – dengan populasi lebih dari 40 juta jiwa – akan menjadi salah satu negara paling kuat secara politik di UE. “Semakin banyak negara anggota, semakin besar risiko adanya pemain veto yang menghalangi keputusan,” kata Nguyen.

    Oleh karena itu, Nguyen dan timnya menyarankan untuk menghapuskan suara bulat dan menghitung ulang jumlah suara mayoritas yang memenuhi syarat untuk memastikan UE yang lebih besar masih memiliki “kapasitas untuk bertindak.” Secara kontroversial, usulan tersebut juga akan mempersulit negara-negara besar seperti Prancis dan Jerman untuk memblokir kesepakatan.

    Namun reformasi seperti itu memerlukan perubahan undang-undang dasar blok, dan memerlukan dukungan dari negara-negara anggota yang akan kehilangan kekuasaan akibat perombakan tersebut. Dan, seperti yang diakui Nguyen, “suasana politik saat ini tidak terlalu mendukung perubahan perjanjian.”

    Sengketa gandum di Ukraina menunjukkan potensi peningkatan anggaran

    Lalu ada pertanyaan tentang bagaimana membagi dana UE untuk mengatasi kesenjangan ekonomi yang lebih dalam. Sebagian besar kandidat anggota UE yang saat ini antri, memiliki Produk Domestik Brutoo (PDB) per kapita yang lebih rendah dibandingkan negara anggota termiskin di blok tersebut, Bulgaria – dan dengan sekitar sepertiga dari anggaran Brussels saat ini dialokasikan untuk subsidi pertanian, kedatangan negara besar di bidang pertanian, Ukraina, akan secara radikal mengubah pola distribusi dana subsidi yang ada saat ini.

    Bulan lalu, Polandia, Slovakia dan Hongaria mengumumkan rencana embargo sepihak terhadap gandum Ukraina, untuk melindungi produsen mereka sendiri dari potensi penurunan harga. Bagi mantan komisaris perdagangan UE, Phil Hogan, hal ini menyiratkan jalan yang sulit di masa depan.

    “Harus ada perubahan kelembagaan besar-besaran, perubahan anggaran besar-besaran, dan adaptasi kebijakan terhadap kenyataan baru,” kata Hogan kepada DW. “Ukraina adalah negara besar dengan kepentingan pertanian yang besar. Dan gagasan bahwa kita akan mampu mengatasi masalah Ukraina menjadi anggota dengan kebijakan pertanian Uni Eropa yang terintegrasi penuh, akan menjadi tantangan besar.”

    “Bahkan berdasarkan pengalaman sebelumnya, terdapat sensitivitas seputar masalah perdagangan dengan Ukraina,” tambahnya. “Ketegangan antara Ukraina dan Eropa sehubungan dengan pertanian bukanlah hal yang baru – namun bisa Anda bayangkan tantangan seperti apa yang akan dihadapi para petani Eropa dalam konteks jika Balkan Barat dan Ukraina serta negara-negara lain menjadi bagian tak terpisahkan dari EU nantinya. “

    Namun, Hogan tetap berharap: “Saya sangat mendukung perluasan Uni Eropa dan memasukkan negara-negara Eropa yang mungkin tidak kita sukai ke dalam EU, ketimbang mereka berpaling ke kelompok Eropa lainnya yang tidak kita inginkan,” ujarnya secara terselubung mengacu pada pengaruh Rusia.

    “Politik adalah seni untuk mewujudkan apa yang mungkin terjadi dan saya berharap negara-negara anggota EU akan mengembangkan diri mereka sendiri dan warga negara mereka akan mengembangkan diri mereka untuk memastikan bahwa lingkungan kita berada dalam kondisi yang tidak terlalu tegang.”

    Berakhirnya persatuan yang semakin erat?

    Ada berbagai pertanyaan kecil mengenai berfungsinya UE yang lebih besar yang juga perlu dijawab: Berapa banyak lagi anggota parlemen yang akan masuk Parlemen Eropa? Berapa banyak lagi bahasa resmi UE yang ada? Bisakah setiap negara mempertahankan anggota Komisi Eropa yang berdedikasi?

    Mengingat permasalahan hukum dan politik yang mungkin terjadi di masa depan, beberapa pihak berpendapat sudah waktunya untuk memperluas definisi blok tersebut. Minggu ini, para pemimpin Eropa menuju ke Spanyol untuk menghadiri pertemuan ketiga Komunitas Politik Eropa (EPC). Dalam EPC, visi mengenai hubungan antarpemerintah yang lebih luas mulai terlihat.

    Pembentukan EPC digagas Presiden Perancis Emmanuel Macron. Ketika ia pertama kali mengemukakan gagasan tersebut secara terbuka pada tahun 2022, Macron mengatakan, dibutuhkan waktu “puluhan tahun” bagi Ukraina untuk bergabung dengan UE, dan mengusulkan pembentukan kelompok baru yang “akan memungkinkan negara-negara Eropa yang demokratis” untuk “menemukan ruang baru bagi kerja sama politik dan keamanan.”

    Saat ini, EPC secara formal tidak lebih dari sekedar ruang diskusi, tanpa struktur, hak suara, atau perjanjian yang mapan. Namun ini adalah satu-satunya forum yang menyatukan komunitas luas yang beranggotakan 45 undangan. EPC mencakup semua negara dan kandidat UE, negara-negara kaya yang berada di luar blok tersebut seperti Swiss, Norwegia, dan Inggris, serta bahkan negara-negara yang tengah bertikai Armenia dan Azerbaijan. Rusia tidak ada dalam daftar tamu.

    Bagi Thu Nguyen dan rekan-rekan penelitinya, struktur yang lebih longgar ini dapat memberikan petunjuk tentang apa yang mungkin terjadi jika UE gagal menyepakati rencana ekspansinya.

    Mereka menyarankan mungkin ada “lingkaran dalam” inti yang terdiri dari negara-negara UE yang terintegrasi erat, kemudian UE yang lebih luas, kemudian “anggota asosiasi” tingkat berikutnya yang menikmati beberapa manfaat terkait dengan pasar tunggal blok tersebut, dan “lingkaran luar” yang didasarkan pada EPC, yang menurut Nguyen “tidak akan mencakup segala bentuk integrasi dengan undang-undang UE yang mengikat… melainkan kerja sama berdasarkan pertimbangan geostrategis.”

    Siap untuk tahun 2030?

    Namun potensi pendekatan multicepat ini mungkin terbukti tidak populer, karena dipandang oleh sebagian orang sebagai hal yang menciptakan warga negara kelas dua di klub UE. Perdana Menteri Ukraina Dennis Shmyhal baru-baru ini mengatakan kepada media Politico bahwa negaranya “melakukan semua upaya maksimal untuk memastikan bahwa Ukraina akan menjadi anggota penuh Uni Eropa.”

    Komisi Eropa sering kali menegaskan, aksesi adalah proses yang berdasarkan prestasi dan tidak memiliki batas waktu. Namun, Presiden Dewan Eropa Charles Michel baru-baru ini menegaskan, blok tersebut harus siap untuk diperluas pada tahun 2030.

    Thu Nguyen juga mendukung target akhir dekade tersebut– namun ketika ditanya apakah target tersebut realistis, ia menjawab singkat: “Sulit untuk membuat prognosis.”

    “Ini adalah proses jangka panjang,” pungkas Nguyen. “Sementara kita masih berada di tingkat awal diskusi dan perdebatan.”

    ap/as

    (ita/ita)