Tag: Chairul Huda

  • Sidang Praperadilan Nadiem, Ahli Hukum Sebut Harus Ada Pemeriksaan Calon Tersangka
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        7 Oktober 2025

    Sidang Praperadilan Nadiem, Ahli Hukum Sebut Harus Ada Pemeriksaan Calon Tersangka Nasional 7 Oktober 2025

    Sidang Praperadilan Nadiem, Ahli Hukum Sebut Harus Ada Pemeriksaan Calon Tersangka
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Ahli hukum pidana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Chairul Huda menyebutkan, seseorang yang ditetapkan sebagai tersangka harus diperiksa terlebih dahulu sebagai calon tersangka.
    Hal ini ia sampaikan saat dihadirkan tim hukum mantan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim dalam sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (7/10/2025).
    Mulanya, kuasa hukum Nadiem, Hotman Paris, meminta pandangan Chairul sebagai ahli mengenai mekanisme penetapan tersangka yang dilakukan aparat penegak hukum terhadap seseorang.
    “Anda setuju calon tersangka kalau belum diperiksa tidak boleh ditetapkan sebagai tersangka. Setuju?” tanya Hotman Paris.
    “Betul. Calon tersangka tentu harus diperiksa. Oleh karena itu, harus dipastikan pemeriksaan calon tersangka itu bukan formalitas, tetapi pemeriksaan yang substansial,” jawab Chairul.
    Hotman pun meminta penjelasan tentang penetapan tersangka, bahwa penegak hukum setidaknya harus memiliki minimal dua alat bukti.
    Ia kemudian menyinggung perlunya pemeriksaan seseorang sebagai calon tersangka sebelum penetapan resmi.
    Pasalnya, menurut Hotman, keterangan saksi yang menjadi alat bukti harus terlebih dahulu dikonfirmasi kepada calon tersangka.
    “Dalam kasus ini, Jaksa mengatakan ada 117 saksi. Tentu, apakah Anda setuju bahwa keterangan 117 saksi itu harus dikonfirmasi kepada calon tersangka?” tanya Hotman.
    Mendengar pertanyaan Hotman, Chairul menegaskan bahwa orang itu memang harus diperiksa sesuai substansi perkaranya.
    Ia pun menyinggung putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengisyaratkan adanya pemeriksaan calon tersangka dalam proses hukum.
    “Saya kebetulan yang mulia, juga ahli yang memberikan pendapat di Mahkamah Konstitusi terhadap pengujian ketentuan tersebut. Jadi, prosedur pemeriksaan calon tersangka itu memang dimaksudkan untuk membuat penetapan tersangka tidak sepihak dan subjektif dari penyidik,” papar Chairul.
    Ia menjelaskan bahwa aparat harus memperhatikan keterangan yang diberikan orang yang nantinya secara logis ditetapkan sebagai tersangka.
    Inilah yang kemudian disebut calon tersangka, lantaran dari pemeriksaan itu akan terlihat bahwa orang tersebut diperiksa sebagai calon tersangka meski saat dipanggil dalam kapasitasnya, misalnya sebagai saksi.
    “Kalau menurut saya, kalau memang ada sekian banyak saksi yang kemudian misalnya dari situ bisa disimpulkan dan ada keterangan-keterangan yang memberatkan dia, untuk itulah kemudian perlu dikonfirmasi kepada yang bersangkutan. Di sinilah fungsi kenapa Mahkamah Konstitusi memerintahkan untuk dilakukan pemeriksaan calon tersangka seperti itu,” kata Chairul.
    Dia menambahkan, para saksi yang telah diperiksa aparat pun harus dikonfirmasi keterangannya pada calon tersangka, karena keterangan itu terkait perbuatan yang diterangkan para saksi sekaligus menjadi tanda bahwa dia telah diperiksa sebagai calon tersangka.
    “Barulah dikatakan dia telah diperiksa sebagai calon tersangka. Nanti bisa dilihat saja. Buktinya kan sudah diperiksa sebagai calon tersangka, nanti kan akan diperlihatkan BAP-nya. Itu saja dilihat. Apakah ditanyakan tentang hal-hal itu atau tidak,” kata Chairul.
    “Oke. Anda tadi mengatakan, lihat saja BAP-nya. Mudah-mudahan mohon izin majelis, seluruh BAP dari saksi dan tersangka agar dibawa besok (oleh termohon) agar bisa kami baca. Mohon izin majelis, diminta kepada pihak termohon karena itu sangat penting,” timpal Hotman.
    Hotman pun meminta agar BAP para saksi dalam kasus terkait penetapan Nadiem sebagai tersangka diperlihatkan besok, agar validasi dapat dilakukan bahwa keterangan para saksi telah dikonfirmasi ke kliennya dan kliennya ditanyai tentang perbuatan yang dituduhkan.
    “Takutnya yang ditanyakan kepada tersangka bukan tentang kerugian negara. Jangan-jangan yang ditanya, ‘kapan kau berdansa dengan Hotman Paris di Bali gitu loh.’ Itu makanya itu sangat penting, kalau tidak dikonfirmasi,” kata Hotman berkelakar.
    Diketahui, Nadiem mengajukan gugatan praperadilan agar statusnya sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan laptop Chromebook dicabut.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Sering Disebut di Persidangan, Budi Arie Tak Pernah Diperiksa Polisi

    Sering Disebut di Persidangan, Budi Arie Tak Pernah Diperiksa Polisi

    GELORA.CO – Indikasi keterlibatan Budi Arie Setiadi menjadi beking judi online di Kementerian Komunikasi dan Informatika yang kini berubah nama menjadi Kementerian Komunikasi dan Digital (Menkomdigi) disebut berkali-kali dalam berita acara pemeriksaan (BAP) sehingga Sejumlah kesaksian di persidangan turut mempertebal dugaan.

    Budi Arie tidak hanya diduga mengetahui praktik pelindungan situs web judi, tapi juga diduga terlibat dalam teknis pelaksanaan bekingnya. Paling tidak indikasi itu muncul dalam kesaksian terdakwa Zulkarnaen Apriliantony alias Tony. Kepada penyidik, Tony menceritakan pertemuannya dengan Budi di rumah dinas Menteri Kominfo kala itu di Widya Chandra, Jakarta Selatan, sekitar September atau Oktober 2023.

    Laporan majalah Tempo edisi 29 Juni 2025 menuliskan bahwa Tony datang membawa flashdisk berisi daftar situs web judi online kelas menengah dan kecil yang hendak diblokir. Daftar tersebut merupakan titipan dari Cencen Kurniawan, pengusaha properti yang bersedia membantu “mengatur” situs-situs web tersebut. Cencen sebelumnya sudah bertemu dengan Budi dan menawarkan skema penyaringan situs web: yang kecil ditutup, yang besar dibiarkan.

    Kemudian, setelah menerima flashdisk itu, Budi disebut melontarkan kalimat, “Masak, situs sudah di-take down, tidak ada duit kopi untuk anak-anak?” Pernyataan ini, menurut pengakuan Cencen kepada penyidik, ditafsirkan sebagai kode permintaan uang.

    Atas dasar itulah Cencen kemudian menyerahkan uang sebesar S $ 50 ribu atau sekitar Rp 500 juta kepada Tony. Uang itu dibungkus dalam kemasan kopi arabika dan diserahkan di sebuah restoran Jepang di kawasan Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara.

    Selanjutnya Tony membawa uang tersebut ke rumah dinas Budi Ari. Saat menyerahkan uang tersebut, ia berkata, “Nih, kopi buat Projo.” Menanggapi ucapan Tony itu, Budi hanya berkata, “Tuh, taruh di situ saja,” sambil menunjuk ke arah karpet ruang tamu.

    Kuasa hukum Tony, Christian Arensen Tanuwijaya Malonda, membenarkan bahwa kliennya memang mengantarkan bingkisan kopi kepada Budi. Namun ia membantah bahwa isinya uang.

    Setelah perkara ini masuk ke ranah hukum, Budi menghubungi Christian pada 18 Mei 2025. Mereka kemudian bertemu di sebuah rumah di Jakarta Selatan. Dalam pertemuan itu, Christian menunjukkan tumpukan BAP para tersangka. Dia membuka dokumen itu dan memperlihatkan nama Budi yang muncul berkali-kali. “Pak Budi Arie sempat marah,” kata Christian kepada Tempo, Selasa, 24 Juni 2025.

    Budi Arie keberatan atas kesaksian para tersangka. Menurut Christian, Budi menduga ada tekanan kepada para tersangka dalam memberi kesaksian di depan polisi. Budi menanyakan kemungkinan bisa bersaksi dan menyampaikan pembelaan dalam persidangan. Masalahnya, Budi hanya bisa bersaksi untuk meringankan atau memberatkan terdakwa, bukan membela diri. Keinginan bersaksi pun urung dilakukan.

    Praktik ilegal di Kementerian Komunikasi itu terbongkar setelah polisi mengungkap perjudian daring yang dioperasikan di situs web “Sultan Menang” pada 19 Oktober 2024. Pemilik situs web itu mengaku menyetorkan sejumlah uang kepada pegawai Kementerian agar tidak diblokir.

    Dari sanalah polisi mengungkap keterlibatan sejumlah pegawai Kementerian Komunikasi. Mereka memiliki “kantor satelit” di Bekasi, Jawa Barat. Dari tempat itu, mereka mengatur situs-situs web yang harus diblokir atau diamankan. Dari 24 tersangka yang diseret ke meja hijau, sembilan di antaranya adalah pegawai Kementerian Komunikasi.

    Dalam surat dakwaan, tercatat bagaimana komplotan itu membagi hasil dari penjagaan situs web judi tersebut, yakni 20 persen untuk Adhi Kismanto (dibagi-bagi kepada anggota tim), 30 persen untuk Tony, dan 50 persen untuk Budi.

    Budi telah membantah dugaan keterlibatannya dalam perkara ini. “Itu adalah narasi jahat yang menyerang harkat dan martabat saya pribadi. Itu sama sekali tidak benar,” ucapnya pada 19 Mei 2025.

    Menurut dia, alokasi dana yang disebutkan dalam dakwaan jaksa hanyalah obrolan internal para tersangka. Ia mengklaim tidak tahu-menahu soal rencana pembagian uang, apalagi menerima aliran dana. “Jadi itu omon-omon mereka saja bahwa Pak Menteri nanti dikasih jatah 50 persen. Saya tidak tahu ada kesepakatan itu. Mereka juga tidak pernah memberi tahu. Apalagi (menerima) aliran dana. Faktanya tidak ada,” ujar Budi.

    Budi mengatakan, saat masih menjadi Menteri Kominfo, dia justru aktif dalam pemberantasan situs web judi online. Ia siap membuktikan tidak terlibat dalam praktik pelindungan situs web terlarang tersebut.

    Hingga akhir Juni 2025, penyidik Kepolisian Daerah Metro Jaya belum berencana memeriksa Budi. Sikap polisi ini mendapat kritik dari Bambang Rukminto, peneliti pada Institute for Security and Strategic Studies. “Selama penyidik masih memiliki kepentingan, Budi Arie tidak akan pernah diusut,” kata Bambang, Senin, 30 Juni 2025.

    Menurut Bambang, keterangan terdakwa dalam BAP dan persidangan seharusnya menjadi perhatian. Dalam logika penyidikan, kata dia, kesaksian bisa menjadi bahan verifikasi awal untuk penelusuran lebih lanjut. Penelusuran itu bisa dilakukan dengan mencocokkan aliran dana, memanggil saksi tambahan, dan mengumpulkan bukti pendukung. “Semestinya cukup untuk dijadikan pintu masuk penyelidikan,” tuturnya.

    Dosen hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menilai dugaan keterlibatan Budi dalam pengamanan situs web judi online sejatinya sudah memenuhi syarat untuk ditindaklanjuti secara hukum. Ia merujuk pada dakwaan jaksa penuntut umum yang secara eksplisit menyebutkan adanya jatah 50 persen untuk Budi.

    Fickar menekankan bahwa proses pidana terhadap seorang menteri tetap dimungkinkan selama ada bukti permulaan yang cukup. Dalam konteks perkara ini, menurut dia, kesaksian para terdakwa yang menyebutkan peran Budi, termasuk soal pembagian persentase uang pengamanan, adalah fakta hukum yang tak bisa diabaikan. “Penegakan hukum terhadap pejabat publik tetap terbuka untuk dilakukan sebagai cerminan prinsip persamaan di depan hukum,” ujarnya.

    Fickar menyadari bahwa realitas penegakan hukum di Indonesia kerap dihadapkan pada kendala politik. Ia menyoroti pentingnya political will aparat penegak hukum ataupun pemegang kekuasaan untuk membawa perkara seperti ini ke tahap penyidikan yang transparan dan akuntabel. “Secara yuridis, alat buktinya sudah cukup kuat. Tapi political will selalu menjadi faktor penentu pamungkas bagi sebuah tindakan negara,” katanya.

    Pendapat senada disampaikan oleh dosen hukum pidana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta, Chairul Huda. Menurut dia, bukti permulaan dalam kasus ini lebih dari cukup untuk membuka penyelidikan terhadap Budi.

    Chairul menekankan, dalam hukum acara pidana, penyelidikan tidak menuntut standar pembuktian yang tinggi. Terlebih, dalam kasus ini sudah ada dugaan berdasarkan bukti permulaan. “Sudah bisa dilakukan penyelidikan atau penyidikan atas dugaan keterlibatan Budi Arie,” katanya.

    Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Laode Muhammad Syarif, menyatakan kesaksian para terdakwa memang dapat menjadi dasar hukum yang cukup untuk memulai penyelidikan. Kekuatan kesaksian ini akan meningkat setelah ada putusan pengadilan. “Kesaksian yang dikuatkan oleh putusan pengadilan bertambah nilainya,” ujarnya.

    Ketua Harian Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Arief Wicaksono Sudiutomo mengatakan sejauh ini belum ada bukti yang menunjukkan Budi Ari menerima uang secara langsung. Namun nama Budi muncul berkali-kali dalam dokumen resmi pengadilan. Karena itu, penyidik seharusnya menelusuri dugaan keterlibatan Budi. “Supaya tidak menjadi fitnah dan tak bergulir terus, lebih baik diklarifikasi,” tutur Arief.

    Menurut Arief, penyidik dari Polda Metro Jaya ataupun jaksa penuntut umum bisa menindaklanjuti dengan melakukan pemeriksaan tambahan atau memanggil Budi sebagai saksi dalam persidangan. Arief menegaskan, Kompolnas dapat meminta klarifikasi kepada aparat jika ada laporan masyarakat atau indikasi pelanggaran prosedural. “Kalau ada dugaan penyalahgunaan wewenang, kami bisa meminta klarifikasi ke penyidik,” ucapnya.

    Arief juga menekankan pentingnya sensitivitas politik dalam perkara ini, mengingat fokus Presiden Prabowo Subianto terhadap empat isu utama: perjudian, korupsi, penyelundupan, dan narkoba. Arief berharap kepolisian tidak main-main dalam menangani perkara yang menyentuh nama pejabat publik. “Sejauh ini Polda Metro dan Bareskrim sudah melaksanakan tugasnya dengan baik. Tapi, kalau ada temuan, itu bisa menjadi bahan klarifikasi.”

    Di dalam berita yang dimuat oleh Tempo tanggal 1 Juli 2025 denagn llink Mengapa Polisi Tak Mengusut Budi Arie soal Beking Judi Online | tempo.co Tempo telah meminta tanggapan dari sejumlah pejabat Polda Metro Jaya. Di antaranya Direktur Reserse Kriminal Umum Komisaris Besar Wira Satya Triputra dan Direktur Reserse Kriminal Khusus Komisaris Besar Ade Safri Simanjuntak. Namun, hingga berita dimuat, tak ada satu pun dari keduanya yang merespons.

  • Hasto Jelaskan Makna Jawaban ‘Ok Sip’ saat Chat dengan Saeful Bahri – Page 3

    Hasto Jelaskan Makna Jawaban ‘Ok Sip’ saat Chat dengan Saeful Bahri – Page 3

    Ahli hukum pidana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta, Chairul Huda menanggapi kata ‘ok sip’ yang diterjemahkan oleh ahli bahasa Frans Asisi Datang pada sidang sebelumnya, terkait kasus suap pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR RI Harun Masiku dan perkara perintangan penyidikan dengan terdakwa Hasto Kristiyanto.

    Menurut Chairul Huda, kata ‘ok sip’ tidak bisa dijadikan dasar dalam konteks terjadinya tindak pidana korupsi berupa suap.

    Awalnya, kuasa hukum Hasto Kristiyanto, Ronny Talapessy menyinggung hasil analisis ahli bahasa yang menyebutkan kata ‘oke sip’ dapat menjadi dasar untuk menjadikan seseorang sebagai terpidana.

    “Dalam persidangan karena saksi ini sudah diperiksa menyatakan tidak ada perbuatan dari terdakwa, maka, dihadirkan ahli bahasa untuk menerjemahkan percakapan, telepon, dan ahli bahasa sampaikan harus ditanyakan kepada subjek yang berkomunikasi, yang memberi pesan dan menerima pesan,” tutur Ronny di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Jumat (20/6/2025).

    “Pada saat persidangan kita munculkan bahwa saksi ini menyampaikan bapak itu bukan terdakwa, kemudian apakah dari keterangan ahli bahasa itu bisa membuat seseorang itu akan menjadi terpidana?” sambungnya.

    Chairul menjawab bahwa ahli bahasa hanya dapat menilai tentang teks dalam bentuk ujaran lisan. Sementara tidak bisa menyimpulkan terkait konteks di balik percakapan tersebut.

    “Tidak bisa menilai konteks, karena yang bisa menilai konteks itu adalah ahli hukum. Kalau ahli bahasa tidak bisa menilai konteks,” kata ahli hukum pidana itu.

    “Dia cuma menyatakan ‘ok sip’ artinya apa, tetapi konteksnya ini disampaikan dalam keadaan gimana, oleh siapa, dalam situasi apa, itu yang menilai ahli hukum. Jadi kalau ahli bahasa hanya melihat dari segi teks atau ujaran,” lanjutnya.

    Kasus Hasto Tidak Perlu Ahli Bahasa

    Chairul menilai, dalam penanganan kasus dugaan perintangan penyidikan maupun korupsi, tidaklah perlu melibatkan ahli bahasa, melainkan ahli pidana, lantaran dapat memberikan pandangan terkait ada tidaknya pelanggaran pidana.

    Pelibatan ahli bahasa disebutnya lebih cocok dalam penanganan kasus ujaran kebencian. Keahliannya pun tepat digunakan untuk membedah arti dari pernyataan, yang menjadi pokok permasalahan.

    “Nah, makanya yang diperlukan ahli bahasa itu tindak pidana, yang perbuatan di situ diwujudkan dalam ujaran pasal-pasal ujaran kebencian, hate speech, baru perlu ahli bahasa. Kalau perintangan penyidikan enggak ada perlunya ahli bahasa,” Chairul menandaskan.

  • Bisa Saja karena Ada Gambar Pornonya

    Bisa Saja karena Ada Gambar Pornonya

    GELORA.CO -Merendam handphone (HP) tidak selalu sebagai tindakan menghalang-halangi penyidikan karena tidak ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi.

    Hal itu disampaikan langsung ahli hukum pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta, Chairul Huda saat menjadi ahli meringankan yang dihadirkan terdakwa Hasto Kristiyanto selaku Sekjen DPP PDIP di persidangan perkara dugaan suap dan perintangan penyidikan, Jumat, 20 Juni 2025.

    Awalnya, tim Penasihat Hukum (PH) Hasto, Febri Diansyah menjelaskan soal beberapa fakta terkait adanya perintah seseorang untuk merendam sebuah HP.

    Menurut Chairul, dari ilustrasi yang disampaikan  penasihat hukum menggambarkan tidak ada kaitannya antara perintah merendam HP dengan tindak pidana yang sedang dilakukan penyidikan.

    “Karena apa hubungannya merendam handphone dengan tindak pidana tertentu? Bisa saja disuruh rendam handphone karena ada gambar pornonya di situ,” ata Chairul dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jumat, 20 Juni 2025.

    “Bisa saja seperti itu kan. Tidak ada kaitannya misalnya dengan kalau ini menghalang-halangi penyidikan tindak pidana korupsi kan tidak ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi,” sambungnya.

    Chairul menjelaskan, jika merendam HP benar adanya, perbuatan tersebut tidak selalu dianggap sebagai menghalangi penyidikan.

    “Makanya harus dicari. Apalagi tadi dikatakan handphone yang mau rendam itu nggak tahu handphone yang mana, apa isinya, lalu kaitannya dengan tindak pidana yang dianggap dihalangi-halangi itu apa gitu loh,” terang Chairul.

    Menurut Chairul, merendam HP dianggap sebagai menghalangi penyidikan hanya sebuah asumsi. Penyidik disebut harus dapat membuktikan apa yang menyebabkan HP harus dimusnahkan atau direndam.

    “Apalagi terlebih tadi kalaupun ada instruksi seperti kan dari pihak lain kepada pihak lain, bukan dari orang yang kemudian dipersangkakan atau didakwakan melakukan penghalang-halangan atau perintangan proses penyidikan,” kata Chairul.

    “Ini kan masih diasumsikan. Jadi bukan merupakan fakta, ini merupakan asumsi-asumsi belakang. Saya kira yang seharusnya diurai dalam surat dakwaan dan dibuktikan itu fakta, bukan asumsi,” pungkasnya.

  • Sidang Hasto Kristiyanto, Ahli Hukum Nilai Tak Logis Perintangan di Tahap Penyelidikan: Belum Pro Justitia

    Sidang Hasto Kristiyanto, Ahli Hukum Nilai Tak Logis Perintangan di Tahap Penyelidikan: Belum Pro Justitia

    PIKIRAN RAKYAT – Ahli hukum pidana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta, Chairul Huda, menilai tidak logis jika ada tindakan atau upaya perintangan yang dilakukan di tahap penyelidikan. Pasalnya, tahap penyelidikan belum masuk kategori Pro Justitia sehingga tidak ada tindakan paksa yang dapat dilakukan.

    Hal itu disampaikan Chairul saat memberikan keterangan sebagai ahli dalam sidang kasus dugaan suap pengurusan Pergantian Antar Waktu (PAW) DPR RI 2019–2024 dan perintangan penyidikan kasus Harun Masiku dengan terdakwa Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Jumat, 20 Juni 2025.

    “Dalam sistem hukum kita, penyelidikan itu belum Pro Justitia. Tidak ada upaya paksa yang bisa dilakukan di dalam tahap penyelidikan,” kata Chairul.

    Chairul memaparkan, tindakan penyelidikan merupakan serangkaian upaya untuk mencari dan menemukan dugaan adanya tindak pidana. Oleh karena itu, menurut dia, tidak logis jika ada pihak yang dianggap menghalangi penyelidikan, karena pada tahap tersebut belum ditemukan dugaan tindak pidana.

    ”Tidak logis kalau ada tindakan menghalang-halangi padahal belum ada upaya paksa,” tutur Chairul.

    Lebih lanjut, Chairul menjelaskan, permintaan keterangan dalam proses penyelidikan bersifat sukarela. Artinya, pihak-pihak yang dipanggil boleh tidak menghadiri panggilan karena tidak ada kewajiban hukum yang memaksa.

    “Jadi bagaimana menghalang-halangi sesuatu panggilan atau undangan yang tidak memaksa sifatnya,” ujar Chairul.

    “Kalau ada yang berpendapat bahwa delik ini juga diterapkan untuk menghalang-halangi penyelidikan menurut saya pikirannya tidak logis karena tidak ada upaya paksa di dalam penyelidikan,” katanya melanjutkan.

    Dakwaan Hasto

    Dalam kasus ini, jaksa mendakwa Hasto Kristiyanto menyuap Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) periode 2017-2022 Wahyu Setiawan sebesar Rp600 juta. Suap diberikan dengan tujuan memuluskan proses PAW anggota DPR RI periode 2019-2024 Harun Masiku.

    Jaksa dalam surat dakwaannya menyebut, Hasto menyuap Wahyu bersama-sama advokat PDIP Donny Tri Istiqomah, Saeful Bahri, dan Harun Masiku pada Juni 2019 hingga Januari 2020.

    “Uang tersebut diberikan dengan maksud supaya Wahyu Setiawan mengupayakan agar KPU RI menyetujui permohonan PAW Caleg Terpilih Dapil Sumsel 1 atas nama Riezky Aprilia kepada Harun Masiku,” kata jaksa saat membacakan dakwaan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Jumat, 14 Maret 2025.

    Jaksa juga mendakwa Hasto merintangi penyidikan kasus Harun Masiku. Jaksa menyebut Hasto memerintahkan Harun Masiku merendam ponsel ke dalam air setelah mendapat kabar Anggota KPU periode 2017-2022 Wahyu Setiawan terkena Operasi Tangkap Tangan (OTT) pada 8 Januari 2020.

    “Sengaja telah melakukan perbuatan mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan terhadap tersangka Harun Masiku,” kata jaksa.

    “Terdakwa mendapatkan informasi bahwa Wahyu Setiawan telah diamankan oleh Petugas KPK, kemudian Terdakwa melalui Nurhasan memberikan perintah kepada Harun Masiku agar merendam telepon genggam miliknya kedalam air dan memerintahkan Harun Masiku untuk menunggu (standby) di Kantor DPP PDI Perjuangan dengan tujuan agar keberadaannya tidak bisa diketahui oleh petugas KPK,” ucap jaksa melanjutkan.

    Kemudian bertempat di sekitar salah satu hotel di Jakarta Pusat, Harun Masiku bertemu Nurhasan. Menindaklanjuti perintah Hasto atas bantuan Nurhasan, telepon genggam milik Harun Masiku tidak aktif dan tidak terlacak.

    Perbuatan merintangi penyidikan lainnya yakni, Hasto sempat dipanggil KPK sebagai saksi dalam perkara Harun Masiku pada 10 Juni 2024. Atas pemanggilan tersebut, pada 6 Juni 2024, Hasto memerintahkan Kusnadi untuk menenggelamkan telepon genggamnya sebagai antisipasi upaya paksa oleh Penyidik KPK. Kusnadi pun menuruti perintah Hasto.

    “Bahwa pada tanggal 10 Juni 2024 Terdakwa bersama dengan Kusnadi menghadiri panggilan sebagai saksi di KPK. Sebelum Terdakwa diperiksa sebagai saksi, Terdakwa menitipkan telepon genggamnya kepada Kusnadi, namun pada saat penyidik KPK menanyakan telepon genggam milik Terdakwa, Terdakwa menjawab tidak memiliki telepon genggam,” ucap jaksa.

    Berdasarkan informasi yang diperoleh penyidik KPK, kata Jaksa, diketahui telepon genggam milik Hasto dititipkan kepada Kusnadi sehingga penyidik menyita ponsel Hasto dan Kusnadi. Akan tetapi, penyidik tidak menemukan telepon genggam milik Kusnadi yang berisi informasi terkait Harun Masiku.***

  • Ekspos Uang Sitaan dan Tersangka Dinilai Berlebihan, Pakar Minta Diatur Dalam Revisi KUHAP

    Ekspos Uang Sitaan dan Tersangka Dinilai Berlebihan, Pakar Minta Diatur Dalam Revisi KUHAP

    Bisnis.com, JAKARTA — Pakar Hukum Pidana, Chairul Huda memandang tindakan aparat penegak hukum yang memajang uang hasil sitaan dan menunjukkan terduga tersangka dalam konferensi pers kepada publik adalah hal yang berlebihan dan tidak bermanfaat.

    Selain itu, baginya lucu bila terduga tersangka hanya disebut inisialnya, tetapi jabatannya disebut lengkap. Hal tersebut dia sampaikan kala menghadiri Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi III DPR RI, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (19/6/2025).

    Padahal menurutnya, praktek-praktek seperti itu seharusnya dapat dikontrol secara jelas dalam revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Karena selama ini dia melihat aparat hukum kerap kali bertindak sewenang-wenang.

    “Kalau menurut saya ini tindakan yang berlebihan dan itu sepertinya tidak terkontrol oleh KUHAP. Padahal orang belum tentu bersalah nih, kan baru diduga bersalah, baru jadi tersangka. Nah proses-proses ini menurut saya menggambarkan proses yang tidak wajar, proses yang berlebihan,” bebernya.

    Selain dianggap berlebihan dan tidak bermanfaat, dia juga menilai tindakan hal yang dilakukan aparat hukum tersebut dapat memengaruhi pengambilan keputusan hakim. 

    Menurutnya, ada kekhawatiran hakim bisa jadi tidak objektif dalam menilai kasus karena masyarakat sudah terlanjur beropini yang macam-macam. Padahal, orang terduga tersangka itu belum tentu benar melakukan tindak pidana.

    “Ya hormati dong hak-haknya. Jangan kemudian seolah-olah dibentuk suatu opini seolah-olah dia sudah pasti bersalah. Dan itu menyulitkan Hakim. Ya Hakim jadi kesulitan mengambil putusan sehingga kecenderungannya adalah ya sudah bersalah saja deh. Padahal nanti di pengambilan pada tingkat kasasi dibebaskan,” terangnya.

    Lebih jauh, Chairul mengatakan meskipun sistem peradilan pidana harus efektif dalam menanggulangi kejahatan (crime control), akan tetapi tetap harus menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia dan perlindungan bagi seseorang yang belum tentu terbukti bersalah.

    “Jangan sampai tindakan yang dilakukan itu mendahului proses yang seharusnya misalnya puncaknya ada di pengadilan,” ucapnya.

    Sebab itu, dia mengusulkan agar revisi KUHAP didesain secara netral, tidak semata-mata hanya berpihak pada crime control, tetapi juga due process juga perlu diperhatikan.

  • Pakar Hukum Pidana Soroti Potensi Overpenalization dalam Gugatan PT Timah ke MK

    Pakar Hukum Pidana Soroti Potensi Overpenalization dalam Gugatan PT Timah ke MK

    loading…

    PT Timah Tbk mengajukan gugatan meminta MK untuk mengubah Pasal 18 ayat 1 huruf b dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). FOTO/DOK.SindoNews

    JAKARTA – Pakar Hukum Pidana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Chairul Huda menanggapi gugatan PT Timah Tbk yang meminta Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mengubah Pasal 18 ayat 1 huruf b dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Pasal tersebut mengatur tentang kewajiban mengganti kerugian negara akibat tindak pidana korupsi.

    PT Timah berpendapat pasal tersebut perlu diubah agar pembayaran uang pengganti tidak hanya dihitung berdasarkan jumlah harta benda yang diperoleh dari tindak pidana, melainkan juga berdasarkan kerugian keuangan negara dan/atau kerugian perekonomian negara.

    Menurut Chairul Huda, jika gugatan tersebut diterima dan MK mengabulkannya, maka bisa terjadi overpenalization atau hukuman yang berlebihan terhadap terdakwa.

    “Karena pidana yang dijatuhkan kepada orang yang memperkaya diri sendiri akan double atau triple dengan pidana yang dijatuhkan kepada pihak lain (orang atau korporasi) yang juga mendapatkan penambahan kekayaan karena korupsi dimaksud,” katanya, Jumat (14/3/2025).

    Terlebih, dalam kasus korupsi tata niaga timah di wilayah IUP PT Timah tersebut, bentuk kerugian negara sebesar Rp300 Triliun bukanlah angka riil, melainkan potensi kerugian akibat kerusakan lingkungan.

    “Mengambil contoh kasus PT Timah sama sekali tidak tepat, karena kerugian yang dianggap ada dalam kasus tersebut bukan kerugian keuangan negara, tapi potensi kerugian akibat kerusakan lingkungan,” ujarnya.

    Chairul menyoroti praktik eksplorasi dan eksploitasi di wilayah tambang timah. Menurutnya, yang lebih banyak menikmati hasil dari eksplorasi tambang itu adalah PT Timah itu sendiri. Karena itu, menurutnya, PT Timah yang justru harus disanksi, tapi tidak menggunakan UU Tipikor, melainkan melalui undang-undang yang lebih spesifik, seperti UU Minerba atau UU Lingkungan.

    “Justru PT Timah yang harus disanksi pidana, dengan UU Minerba dan UU lingkungan, bukan UU Tipikor,” ujarnya.

    Sebelumnya, PT Timah mengajukan gugatan kepada MK untuk mengubah Pasal 18 ayat (1) huruf b dalam UU Tipikor. Gugatan ini dilayangkan pada 3 Maret 2025 melalui kuasa hukum mereka, yang menilai bahwa pasal tersebut sudah tidak relevan dalam konteks perkara yang melibatkan Harvey Moeis dkk.

    Pasal 18 ayat (1) huruf b dalam UU Tipikor yang berlaku saat ini mengatur pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.

    PT Timah meminta agar pasal tersebut diubah menjadi, “Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan kerugian keuangan negara dan/atau kerugian perekonomian negara yang timbul akibat tindak pidana korupsi.”

    Permohonan ini diajukan terkait dengan kasus timah ilegal yang melibatkan Harvey Moeis dan sembilan terdakwa lainnya, yang kini sudah berada di tingkat banding.

    Dalam putusan banding tersebut, kerugian negara mencapai Rp300 triliun, yang terdiri dari kerugian lingkungan akibat tambang timah ilegal sebesar Rp271 triliun dan kerugian lainnya terkait penyewaan alat proses pelogaman timah yang tidak sesuai ketentuan. PT Timah menilai bahwa penerapan Pasal 18 ayat (1) huruf b dalam UU Tipikor tidak memberikan keadilan. Dalam gugatannya, mereka menyatakan, “Akibat penerapan Pasal 18 Ayat (1) huruf b UU Tipikor tersebut menjadi tidak adanya keadilan dan kepastian hukum karena para terdakwa tidak dihukum untuk mengganti kerugian keuangan negara atau perekonomian negara atas kerusakan lingkungan akibat tambang timah ilegal di wilayah IUP Pemohon I sebesar Rp271.069.688.018.700,00”.

    (abd)

  • Saksi pernah dititipkan tas dari Harun Masiku diduga berisi Rp400 juta

    Saksi pernah dititipkan tas dari Harun Masiku diduga berisi Rp400 juta

    Jakarta (ANTARA) – Staf Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto, Kusnadi yang dihadirkan sebagai saksi persidangan pernah dititipkan tas dari Harun Masiku yang diduga berisikan uang Rp400 juta.

    “Tadi saudara saksi sudah menjelaskan terkait dengan keberadaan uang Rp400 juta ya, yang ditanyakan oleh kuasa pemohon dan saudara terangkan itu berasal dari siapa?,” tanya Koordinator tim biro hukum KPK, Iskandar Marwanto dalam sidang gugatan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat.

    “Harun Masiku, tapi saya gak tahu itu uang, saya dititipannya itu barang,” jawab Kusnadi.

    Menurut Kusnadi, Harun Masiku hanya menitipkan tas padanya untuk diberikan pada sopir Saeful Bahri dan advokat Donny Tri Istiqomah. Dia pun tak tahu isi dari tas yang dititipkan padanya itu.

    Tas tersebut dititipkan Harun Masiku padanya di kantor DPP PDIP, Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat.

    Saat itu Harun hendak bertemu Donny, namun Donny belum ada di DPP tersebut, sehingga dititipkan padanya.

    Kusnadi menyatakan baru pertama kalinya menerima titipan dari Harun Masiku untuk diserahkan pada Donny dan Saeful.

    Pada sidang sebelumnya, KPK menyebutkan Kusnadi menyerahkan tas ransel berwarna hitam yang berisi amplop warna cokelat berisikan uang Rp400 juta berasal dari Hasto Kristiyanto.

    Kemudian, tas itu diserahkan Harun Masiku pada Kusnadi untuk diserahkan ke Donny Tri Istiqomah.

    Setelah itu, Donny Tri Istiqomah menghubungi Saeful Bahri dengan menyatakan uang untuk mengurus PAW DPR Harun Masiku sudah ada di tangannya.

    Pada Jumat ini, tim kuasa hukum Hasto Kristiyanto menghadirkan delapan saksi dan ahli dalam sidang gugatan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

    Saksi yakni mantan terpidana kasus suap penggantian antarwaktu (PAW) dari Harun Masiku, Agustiani Tio Fridelina dan staf Hasto Kristiyanto, Kusnadi.

    Kemudian, empat saksi ahli yakni tiga ahli hukum pidana yakni Chairul Huda, Jamin Ginting, dan Mahrus Ali.

    Lalu, satu ahli hukum tata negara yakni mantan hakim Mahkamah Konstitusi, Maruarar Siahaan.

    Penyidik KPK pada Selasa, 24 Desember 2024, menetapkan dua tersangka baru dalam rangkaian kasus Harun Masiku, yakni Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto (HK) dan advokat Donny Tri Istiqomah (DTI).

    Pewarta: Luthfia Miranda Putri
    Editor: Syaiful Hakim
    Copyright © ANTARA 2025

  • Besok Putusan, Ini 7 Fakta Praperadilan Tom Lembong versus Kejaksaan Agung

    Besok Putusan, Ini 7 Fakta Praperadilan Tom Lembong versus Kejaksaan Agung

    Jakarta: Pengadilan Negeri Jakarta Selatan akan menggelar sidang putusan praperadilan mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong (Tom Lembong), Selasa besok 26 November 2024 pukul 14.00 WIB. Kasus ini melibatkan dugaan korupsi impor gula yang merugikan negara hingga Rp400 miliar.

    Pihak Tom Lembong berharap praperadilan ini akan menguatkan posisi mereka. Sementara Kejaksaan optimis bahwa status tersangka tetap sah.

    Sidang putusan ini akan menjadi penentu bagi langkah hukum Tom Lembong selanjutnya. Apakah penetapan tersangka akan dibatalkan atau tetap dilanjutkan, semua tergantung pada keputusan hakim tunggal esok hari.

    Berikut adalah tujuh fakta menarik terkait praperadilan ini:
    1. Pengacara Tom Lembong: Penetapan Tersangka Tidak Sah
    Kuasa hukum Tom Lembong, Ari Yusuf Amir, dalam persidangan menyatakan bahwa penetapan tersangka kliennya tidak sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku.

    “Menyatakan dan menetapkan bahwa penetapan tersangka yang diterbitkan oleh termohon terhadap pemohon berdasarkan Surat Penetapan Tersangka Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor TAP-60/F.2/Fd.2/10/2024 tertanggal 29 Oktober 2024 adalah tidak sah dan tidak mengikat secara hukum,” ujar Ari Yusuf Amir, Senin 25 November 2024.

    Selain itu, pihaknya juga meminta agar status tahanan Tom Lembong dibatalkan serta penyidikan dihentikan.
    Baca juga: Kasus Tom Lembong, Masalah Hukum atau Politik?

    2. Jaksa: Penetapan Tersangka Sesuai Prosedur
    Di sisi lain, Kejaksaan Agung melalui tim jaksa bersikukuh bahwa penetapan tersangka terhadap Tom Lembong telah memenuhi prosedur hukum berdasarkan dua alat bukti yang sah. Jaksa meminta agar praperadilan ini ditolak sepenuhnya oleh hakim.

    “Menolak permohonan praperadilan untuk seluruhnya,” tegas jaksa saat menyampaikan kesimpulan.
    3. Ahli Pidana: Penetapan Tersangka Berdasarkan Bukti Awal
    Kejaksaan menghadirkan Hibnu Nugroho, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, sebagai saksi ahli. Hibnu menjelaskan bahwa penetapan tersangka berdasarkan dua alat bukti sudah cukup. Bukti tambahan dapat terus dikembangkan dalam penyidikan.

    “Apa itu penetapan? Kalau kita mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi adalah penetapan dua alat bukti. Dua alat bukti itu merujuk pada pasal 184. Saksi, ahli, surat, keterangan. Termasuk pasal 26A, kalau itu terkait dengan screenshot, kemudian bukti-bukti elektronik, dan sebagainya,” kata Hibnu, Jumat 22 November 2024.

    Ia menekankan bahwa laporan audit awal sudah dapat dijadikan bukti permulaan, meskipun laporan final tetap penting untuk memastikan.
    4. Ahli Pihak Tom: Penetapan Tersangka Prematur
    Tom Lembong menghadirkan Chairul Huda, ahli hukum pidana, yang menilai bahwa penetapan tersangka tidak dapat dilakukan tanpa hasil audit final dari BPK.

    “Belum adanya hasil audit itu menyebabkan penetapan tersangka prematur,” jelas Chairul Huda, Kamis 21 November 2024.

    Menurutnya, audit yang membuktikan kerugian negara merupakan elemen kunci dalam menetapkan tersangka kasus korupsi.

    5. Perdebatan Soal Peran PTUN
    Ahli hukum administrasi negara, Ahmad Redi, yang dihadirkan jaksa, menyoroti isu penyalahgunaan wewenang dalam kasus ini. Menurutnya, meskipun dugaan penyalahgunaan wewenang biasanya diuji di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), namun tidak perlu dilakukan apabila kasus sudah masuk ke ranah pidana.

    “Ketika ada irisan hukum pidana, maka tidak perlu ada putusan PTUN,” ujar Ahmad Redi, Jumat 22 November 2024.
    6. Duduk Perkara Kasus Korupsi Impor Gula
    Kasus ini berawal dari kebijakan impor gula pada 2015-2016 saat Tom Lembong menjabat sebagai Menteri Perdagangan. Saat itu, hanya BUMN yang diizinkan mengimpor gula kristal putih (GKP) untuk menjaga ketersediaan dan stabilitas harga.

    Namun, Tom Lembong diduga memberikan izin kepada perusahaan swasta untuk mengimpor gula kristal mentah (GKM) yang kemudian diolah menjadi GKP. Keputusan ini dianggap melanggar aturan dan menyebabkan kerugian negara sebesar Rp400 miliar.
    7. Penantian Putusan Hakim Tunggal
    Hakim tunggal yang memimpin persidangan, mengumumkan bahwa putusan akan dibacakan pada Selasa 26 November 2024 pukul 14.00 WIB.

    “Putusannya besok ya, jam 2,” ujar hakim menutup sidang terakhir.

     

    Jakarta: Pengadilan Negeri Jakarta Selatan akan menggelar sidang putusan praperadilan mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong (Tom Lembong), Selasa besok 26 November 2024 pukul 14.00 WIB. Kasus ini melibatkan dugaan korupsi impor gula yang merugikan negara hingga Rp400 miliar.
     
    Pihak Tom Lembong berharap praperadilan ini akan menguatkan posisi mereka. Sementara Kejaksaan optimis bahwa status tersangka tetap sah.
     
    Sidang putusan ini akan menjadi penentu bagi langkah hukum Tom Lembong selanjutnya. Apakah penetapan tersangka akan dibatalkan atau tetap dilanjutkan, semua tergantung pada keputusan hakim tunggal esok hari.
    Berikut adalah tujuh fakta menarik terkait praperadilan ini:

    1. Pengacara Tom Lembong: Penetapan Tersangka Tidak Sah

    Kuasa hukum Tom Lembong, Ari Yusuf Amir, dalam persidangan menyatakan bahwa penetapan tersangka kliennya tidak sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku.
     
    “Menyatakan dan menetapkan bahwa penetapan tersangka yang diterbitkan oleh termohon terhadap pemohon berdasarkan Surat Penetapan Tersangka Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor TAP-60/F.2/Fd.2/10/2024 tertanggal 29 Oktober 2024 adalah tidak sah dan tidak mengikat secara hukum,” ujar Ari Yusuf Amir, Senin 25 November 2024.
     
    Selain itu, pihaknya juga meminta agar status tahanan Tom Lembong dibatalkan serta penyidikan dihentikan.

    2. Jaksa: Penetapan Tersangka Sesuai Prosedur

    Di sisi lain, Kejaksaan Agung melalui tim jaksa bersikukuh bahwa penetapan tersangka terhadap Tom Lembong telah memenuhi prosedur hukum berdasarkan dua alat bukti yang sah. Jaksa meminta agar praperadilan ini ditolak sepenuhnya oleh hakim.
     
    “Menolak permohonan praperadilan untuk seluruhnya,” tegas jaksa saat menyampaikan kesimpulan.

    3. Ahli Pidana: Penetapan Tersangka Berdasarkan Bukti Awal

    Kejaksaan menghadirkan Hibnu Nugroho, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, sebagai saksi ahli. Hibnu menjelaskan bahwa penetapan tersangka berdasarkan dua alat bukti sudah cukup. Bukti tambahan dapat terus dikembangkan dalam penyidikan.
     
    “Apa itu penetapan? Kalau kita mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi adalah penetapan dua alat bukti. Dua alat bukti itu merujuk pada pasal 184. Saksi, ahli, surat, keterangan. Termasuk pasal 26A, kalau itu terkait dengan screenshot, kemudian bukti-bukti elektronik, dan sebagainya,” kata Hibnu, Jumat 22 November 2024.
     
    Ia menekankan bahwa laporan audit awal sudah dapat dijadikan bukti permulaan, meskipun laporan final tetap penting untuk memastikan.

    4. Ahli Pihak Tom: Penetapan Tersangka Prematur

    Tom Lembong menghadirkan Chairul Huda, ahli hukum pidana, yang menilai bahwa penetapan tersangka tidak dapat dilakukan tanpa hasil audit final dari BPK.
     
    “Belum adanya hasil audit itu menyebabkan penetapan tersangka prematur,” jelas Chairul Huda, Kamis 21 November 2024.
     
    Menurutnya, audit yang membuktikan kerugian negara merupakan elemen kunci dalam menetapkan tersangka kasus korupsi.

    5. Perdebatan Soal Peran PTUN

    Ahli hukum administrasi negara, Ahmad Redi, yang dihadirkan jaksa, menyoroti isu penyalahgunaan wewenang dalam kasus ini. Menurutnya, meskipun dugaan penyalahgunaan wewenang biasanya diuji di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), namun tidak perlu dilakukan apabila kasus sudah masuk ke ranah pidana.
     
    “Ketika ada irisan hukum pidana, maka tidak perlu ada putusan PTUN,” ujar Ahmad Redi, Jumat 22 November 2024.

    6. Duduk Perkara Kasus Korupsi Impor Gula

    Kasus ini berawal dari kebijakan impor gula pada 2015-2016 saat Tom Lembong menjabat sebagai Menteri Perdagangan. Saat itu, hanya BUMN yang diizinkan mengimpor gula kristal putih (GKP) untuk menjaga ketersediaan dan stabilitas harga.
     
    Namun, Tom Lembong diduga memberikan izin kepada perusahaan swasta untuk mengimpor gula kristal mentah (GKM) yang kemudian diolah menjadi GKP. Keputusan ini dianggap melanggar aturan dan menyebabkan kerugian negara sebesar Rp400 miliar.

    7. Penantian Putusan Hakim Tunggal

    Hakim tunggal yang memimpin persidangan, mengumumkan bahwa putusan akan dibacakan pada Selasa 26 November 2024 pukul 14.00 WIB.
     
    “Putusannya besok ya, jam 2,” ujar hakim menutup sidang terakhir.
     
     
     
    Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
    dan follow Channel WhatsApp Medcom.id

    (DHI)

  • Penahanan Tom Lembong Tanpa Alat Bukti Dinilai Melanggar HAM, Pakar Hukum Ungkap Kejanggalan Ini

    Penahanan Tom Lembong Tanpa Alat Bukti Dinilai Melanggar HAM, Pakar Hukum Ungkap Kejanggalan Ini

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Sikap Kejagung yang menetapkan Tom Lembong sebagai tersangka korupsi impor gula periode 2015-2016 dinilai sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Hal ini mengacu pada sejumlah ketentuan yang menyatakan bahwa penetapan tersangka harus berdasarkan bukti.

    Ada pun, pada sidang praperadilan terkait kasus Tom Lembong, Kejagung sama sekali tidak memperlihatkan bukti yang dimiliki. Sementara, Kuasa Hukum Tom Lembong, telah memberikan bukti lengkap dari audit BPK.

    “Jaksa tak mau memberikan bukti perkara Tom Lembong. Sementara itu Tim pengacara Tom Lembong memberikan semua pembuktian,” tulis Geisz Chalifah yang juga orang dekat Tom Lembong melalui cuitannya di X, dikutip Kamis (21/11/2024).

    “Bagaimana mau berikan bukti-bukti. Tom Lembong memang ditarget ada atau tidak ada bukti. Yang penting tangkap dulu. Itulah fakta yang sesungguhnya,” tambahnya.

    Sementara itu, Pakar hukum pidana Universitas Indonesia (UI) Chairul Huda menilai, penetapan Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong sebagai tersangka kasus dugaan korupsi impor gula periode 2015-2016 sangat prematur.

    Menurut Chairul, dasar hukum penetapan tersangka masih belum kuat, mengingat belum ada bukti kerugian negara yang jelas dan terverifikasi.

    Apalagi klaim kerugian negara baru disampaikan pada 9 November 2024, sedangkan penetapan tersangka sejak 29 Oktober di tahun yang sama.

    Chairul menyoroti pernyataan pihak Kejaksaan Agung (Kejagung) yang mengklaim kerugian negara mencapai Rp400 miliar. Angka tersebut dipandang terlalu spekulatif dan belum menunjukkan kerugian yang pasti.