Jakarta, Beritasatu.com – Hukum tidak salat Jumat tiga kali berturut-turut tanpa alasan syar’i kerap menjadi perdebatan di kalangan umat Islam. Beberapa menyebut hal itu dapat menyebabkan seseorang murtad atau keluar dari Islam. Namun, apakah klaim ini benar-benar sesuai dengan ajaran syariat Islam?
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh At-Thabarani disebutkan: “Barang siapa meninggalkan tiga kali salat Jumat tanpa uzur, maka dicatat di antara golongan orang munafik”.
Hadis ini tidak secara eksplisit menyatakan pelakunya murtad, melainkan mendapat cap kemunafikan, yang berarti dia menjalani Islam secara lahiriah, tetapi batinnya jauh dari ketaatan.
Dalam hadis lain juga dijelaskan: “Siapa meninggalkan tiga kali Jumat karena meremehkan, maka Allah menutup batinnya”. Penafsiran dari Imam Ar-Ramli dalam Nihayatul Muhtaj menjelaskan makna “Allah menutup batinnya” adalah hatinya dikunci dan dijauhkan dari nasihat serta kebenaran. Hal ini adalah ancaman serius secara spiritual, tetapi belum tentu berarti dia keluar dari Islam.
Perbedaan Antara Munafik dan Murtad
Perlu dibedakan antara munafik amali dan murtad. Munafik amali adalah orang yang masih mengakui Islam secara keyakinan tetapi perilakunya bertentangan, sementara murtad adalah keluar dari Islam secara keyakinan dan tindakan.
Buya Yahya, salah satu ulama terkemuka di Indonesia, menyatakan jika seseorang meninggalkan salat Jumat tiga kali berturut-turut tetapi masih meyakini salat Jumat adalah wajib, maka dia hanya dianggap berdosa besar dan mendapat label munafik amali, bukan murtad.
Namun, jika dia secara sadar menolak kewajiban salat Jumat, maka itu merupakan bentuk penolakan terhadap syariat, yang bisa membuatnya keluar dari Islam.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga memperkuat pendapat tersebut. Dalam beberapa fatwanya, MUI menyatakan meninggalkan salat Jumat tanpa alasan syar’i adalah dosa besar, dan dapat mengakibatkan pelakunya tergolong munafik, tetapi tidak otomatis menjadi kafir, kecuali bila ia menolak prinsip kewajiban salat Jumat itu sendiri.
Menurut ulama, seperti Syaikh al-Manawi dan peneliti Pusat Kajian Hadis, kemurtadan hanya terjadi jika seseorang secara sadar menolak kewajiban syariat Islam, seperti salat Jumat. Sementara meninggalkan karena malas, lalai, atau meremehkan, tetapi tetap meyakini kewajibannya, maka pelaku hanya dianggap melakukan dosa besar, bukan murtad.
Hadis riwayat Muslim juga menegaskan: “Barang siapa meninggalkan Jumat tiga kali tanpa alasan, Allah akan mengunci hatinya, lalu ia menjadi dari golongan orang-orang lalai (ghaafilin)”. Hal tersebut memperjelas dampaknya lebih kepada kerusakan spiritual dan sosial, bukan status kekafiran secara langsung.
Islam tidak menutup mata terhadap situasi sulit. Syariat Islam memberikan kelonggaran (rukhsah) dalam menunaikan salat Jumat jika seseorang memiliki uzur syar’i, seperti sakit berat, hujan lebat, ancaman keamanan, atau perjalanan jauh.
Bahkan dalam kondisi darurat seperti pandemi global, para ulama membolehkan umat Islam untuk sementara meninggalkan salat Jumat, selama dilakukan atas dasar kehati-hatian dan niat menjaga keselamatan.
Berdasarkan penjelasan para ulama, hukum tidak salat Jumat sebanyak tiga kali berturut-turut tanpa alasan yang dibenarkan syariat adalah dosa besar dan mendapat ancaman keras berupa kemunafikan serta terkuncinya hati. Namun, tindakan tersebut tidak secara otomatis menyebabkan pelakunya murtad, selama dia masih meyakini salat Jumat adalah kewajiban.
Sebaliknya, jika seseorang secara sadar menolak atau mengingkari kewajiban salat Jumat, maka itu adalah bentuk penolakan terhadap rukun agama, yang berpotensi membuatnya keluar dari Islam.






