Jakarta – Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin dan Menteri Kesehatan Arab Saudi Fahad Abdulrahman Al Jalajel jalin kerja sama penguatan sumber daya manusia. Salah satunya mengenai pengiriman perawat dari Tanah Air ke Arab Saudi.
(/)

Jakarta – Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin dan Menteri Kesehatan Arab Saudi Fahad Abdulrahman Al Jalajel jalin kerja sama penguatan sumber daya manusia. Salah satunya mengenai pengiriman perawat dari Tanah Air ke Arab Saudi.
(/)

Jakarta –
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin kembali menegaskan beasiswa dokter, dokter gigi, dokter spesialis, dan dokter subspesialis, tidak ikut diberhentikan dengan adanya efisiensi anggaran sebesar Rp 19 triliun. Menurutnya, ada kesalahpahaman di balik gaduh pemberitahuan surat yang banyak diakses di media sosial.
Mulanya, dana beasiswa diakui Menkes sempat dipotong pada tahap awal. Namun, dilakukan perbaikan dari hasil diskusi bersama Komisi IX DPR RI.
“Beasiswanya tetap jalan kok, tetap jalan dari dulu, nggak berubah sebenarnya. Dulu kan sempat dipotong pertama kali, tapi kan habis dipotong pertama kali langsung diperbaiki kan,” beber Budi kepada wartawan, Senin (24/2/2025).
“Nah itu, surat itu kayaknya terburu-buru dikeluarkan pada saat belum selesai prosesnya. Kan pada saat kita proses ke DPR, itu kan dikoreksi kembali, jadi semua anggarannya tuh masuk kembali. Jadi sebenarnya sejak awal nggak ada, pernah ada jeda waktu bahwa itu diperbaiki,” lanjutnya.
Kegaduhan pemberhentian beasiswa dokter berawal dari edaran DP.01.01/F.III/340/2025 yang ditandatangani Direktur Penyediaan Sumber Daya Manusia Kesehatan, Anna Kurniati.
Surat tersebut semula menuai banyak respons warganet di media sosial. Beberapa di antaranya menganggap keputusan ini tidak sejalan dengan wacana pemerintah memperbanyak jumlah dokter spesialis.
“Beasiswa dokter spesialis ditangguhkan, tapi ngomong butuh dokter spesialis banyak,” komentar salah satu pengguna X, menanggapi surat viral.
“Dalam debat Pilpres kemarin pak Prabowo menyampaikan Indonesia kekurangan dokter, terutama dokter spesialis, tapi kok ini, seenaknya menyetop beasiswa dokter,” tandas yang lain.
(naf/kna)

Laporan wartawan Tribunnews.com, Rina Ayu
TRIBUNNEWS.COM,JAKARTA – Direktur Utama RS Kanker Dharmais dr. Soeko menekankan, kanker pada anak memiliki prinsip yang sama dengan kanker dewasa dalam hal deteksi dini.
Semakin cepat kanker terdiagnosis, semakin besar peluang kesembuhannya.
Jika kanker pada anak ditemukan sejak dini, peluang sembuhnya jauh lebih tinggi.
Hal ini berbeda dengan kanker dewasa yang bisa dicegah dengan gaya hidup sehat.
“Kanker anak lebih sulit dicegah karena umumnya merupakan faktor genetik. Oleh karena itu, fokus kita adalah deteksi dini dan pengobatan yang cepat,” jelasnya di Jakarta dalam peringatan Hari Kanker Anak Sedunia.
Berdasarkan data Globocan 2022, Indonesia mencatat lebih dari 408.661 kasus baru kanker dan hampir 242.099 kematian akibat kanker.
Pada tahun 2020, terdapat sekitar 11.156 kasus baru kanker pada anak usia 0-19 tahun.
Leukemia menjadi jenis kanker paling banyak diderita anak-anak dengan 3.880 kasus (34,8 persen), diikuti oleh kanker getah bening (limfoma) dan kanker otak, masing-masing dengan sekitar 640 kasus (5,7 persen).
Tingkatkan Angka Kesembuhkan
Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan (Kemenkes RI) menargetkan, angka kesembuhan kanker anak di Indonesia meningkat.
Saat ini di Indonesia, angka kesembuhan kanker anak sekitar 24 persen menjadi lebih dari 50 persen.
“Kami ingin lebih banyak anak Indonesia yang bisa sembuh dari kanker dan memiliki kualitas hidup yang lebih baik. Untuk itu, kita harus bekerja bersama, pemerintah, rumah sakit, komunitas, dan masyarakat,” ujar Menteri Kesehatan (Menkes RI) Budi Gunadi Sadikin
Kemenkes pun meluncurkan Rencana Aksi Nasional Kanker Anak 2025-2029 sebagai bagian dari Rencana Kanker Nasional 2024-2034 pada Kamis (20/2/2024).
Pemerintah terus meningkatkan layanan kanker anak di Indonesia termasuk RS Kanker Dharmais
Selain itu penting juga desentralisasi layanan kanker anak ke seluruh provinsi. Tujuan utamanya adalah agar pasien kanker anak tidak perlu bepergian jauh untuk mendapatkan perawatan.
Pemerintah kini meningkatkan kapasitas rumah sakit daerah dengan dokter spesialis, fasilitas diagnostik, serta terapi mutakhir seperti terapi sel (cell therapy) dan terapi genetik.

Jakarta –
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin buka suara terkait viral surat edaran Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yang memberhentikan sementara rekrutmen program beasiswa dokter, dokter gigi, dokter spesialis-subspesialis tahun 2025.
Menkes Budi menuturkan awalnya memang ada rencana efisiensi dan pemotongan anggaran di beberapa sektor. Namun, setelah beberapa kali pertemuan dengan DPR-RI, akhirnya diputuskan tidak ada pemotongan anggaran untuk beasiswa dokter.
Ia menuturkan bahwa kehebohan yang terjadi hanya bagian dari miskomunikasi saja.
“Yang beasiswa itu pertama memang dilakukan pemotongan tapi habis itu kan ada perbaikan. Kita ke DPR dua kali, setelah ke DPR itu sudah tidak ada lagi pemotongan untuk beasiswa. Sebenarnya angka itu ada, itu miskomunikasi saja jadi ramai,” katanya ketika ditemui awak media di Jakarta Barat, Kamis (20/2/2025).
Menkes Budi menegaskan beasiswa Kemenkes akan tetap berlanjut. Ia juga menambahkan bahwa anggaran yang ditujukan untuk beasiswa Kemenkes cukup, sehingga masyarakat, khususnya calon penerima beasiswa tidak perlu khawatir.
“Anggarannya cukup. Tenang saja,” tandasnya.
Beberapa waktu setelahnya, surat edaran viral yang diteken oleh Direktur Penyediaan Sumber Daya Manusia Kesehatan Anna Kurniati itu akhirnya diralat.
Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Publik Kemenkes Aji Muhawarman mengatakan surat baru ini untuk menganulir keputusan pada surat pemberitahuan Nomor DO.01.01/F.III/340/2025. Aji mengatakan pemerintah telah mengkaji pembiayaan untuk program beasiswa pada 2025 agar bisa berjalan.
“Bersama ini kami sampaikan bahwa program beasiswa pendidikan dokter, dokter gigi, dan dokter spesialis/subspesialis tetap berjalan, termasuk bagi peserta aktif penerima beasiswa yang saat ini sedang dalam proses pendidikan,” kata Aji terpisah.
(avk/naf)

Bali, Beritasatu.com – Perkembangan teknologi di bidang kesehatan akan membawa perubahan signifikan bagi peningkatan layanan kesehatan di Indonesia. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menekankan pentingnya kolaborasi antara pemerintah dan sektor swasta dalam melakukan transformasi layanan kesehatan.
“Transformasi layanan kesehatan di Indonesia mencakup pendidikan, pengajaran, dan penelitian. Kita tidak hanya bisa berpikir di permukaan, tetapi kita juga harus berpikir tentang pendidikan, pengajaran, dan penelitian. Semua itu harus kita lakukan dalam transformasi rumah sakit,” kata Direktur Tata Kelola Pelayanan Kesehatan Rujukan Kemenkes, Sunarto dalam diskusi Global Health Indonesia Summit, Conference & Awards, Minggu (16/2/2025).
Menurutnya, Indonesia memiliki potensi besar dalam sektor kesehatan. “Kolaborasi antara rumah sakit Internasional dan Indonesia penting untuk meningkatkan industri kesehatan serta perjalanan pasien,” tambahnya.
Dalam upaya ini, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengunjungi Canberra, Australia pada pekan lalu guna memperkuat kerja sama kesehatan antara kedua negara. Kerja sama dikhususkan dalam pengembangan tenaga medis, penelitian inovatif, serta standardisasi layanan kesehatan.
“Kita ingin membangun sistem kesehatan yang lebih tangguh, berbasis riset, dan didukung teknologi mutakhir. Melalui kerja sama dengan Australia, kita memperkuat kapasitas tenaga medis dan membuka akses bagi inovasi kesehatan yang akan berdampak langsung bagi masyarakat Indonesia,” kata Budi dilansir dari Antara.
Lebih lanjut Presiden Direktur & Founder JMM Consulting, Nurhadi Yudiyantho mengatakan peluncuran Global Health Indonesia tahun lalu merupakan langkah strategis dalam memperkuat industri kesehatan nasional di tingkat regional.
“Industri kesehatan Indonesia harus meningkat. Kolaborasi berbagai pihak serta adopsi teknologi terkini akan memperkuat ekosistem dan layanan kesehatan Indonesia,” katanya.

PIKIRAN RAKYAT – Netty Prasetiyani, Anggota Komisi IX DPR RI, meminta masyarakat untuk memanfaatkan program Cek Kesehatan Gratis. Netty pun meminta masyarakat agar tak perlu takut mengikutinya.
“Masyarakat tidak perlu takut memeriksakan diri dan mengetahui kondisi kesehatannya,” ujarnya. Dengan demikian, jelasnya, menjadi tindakan preventif mencegah munculnya penyakit.
“Dengan begitu dapat mencegah datangnya serangan penyakit yang mendadak,” tambahnya.
Ia pun meminta agar pemerintah dan media lebih mensosialisasikannya tersebut kepada masyarakat luas.
Program ini ditujukan kepada masyarakat Indonesia yang berulang tahun. Segmentasi masyarakat penerimanya mencakup anak-anak, remaja, ibu hamil, balita, dan dewasa maupun lansia.
Untuk menggunakan layanan Cek Kesehatan Gratis, masyarakat perlu mengunduh aplikasi SatuSehat terlebih dahulu di perangkat smartphone.
Aplikasi ini tersedia untuk smartphone Android maupun iPhone. Setelahnya, mengisi data yang diminta untuk penjadwalan pemeriksaan.
Bagi kelompok usia 0 hingga 6 tahun dan kelompok usia di atas 17 tahun, pemeriksaan dilakukan di fasilitas kesehatan. Sedangkan bagi kelompok usia 7 hingga 17, pemeriksaan akan dilakukan di sekolah.
Sementara itu, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyebut program ini akan diterapkan merata di seluruh wilayah Indonesia. Ia pun mengungkapkan telah mengunjungi sejumlah fasilitas kesehatan yang ada di luar Pulau Jawa.
Terkait kebijakan efisiensi anggaran yang telah diterapkan Pemerintah Prabowo Gibran, Budi menjelaskan tak berpengaruh terhadap program prioritas tersebut.
Bila pun anggarannya kurang, jelasnya, akan berkoordinasi dengan Presiden dan Menteri Keuangan untuk menambah anggaran program tersebut.
Menkes menargetkan 100 juta warga Indonesia menjadi penerima manfaat program Cek Kesehatan Gratis pada tahun 2025. Untuk pencapaian awal, menargetkan setengahnya.
“Targetnya 100 juta peserta, kami akan fokus pencapaian awal sebesar 50 persen dari target tersebut,” katanya.***
Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

Jakarta –
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyoroti masih kurangnya dokter spesialis bedah toraks dan kardiovaskular. Dokter spesialis ini berfokus pada menangani penyakit di organ dalam rongga dada, khususnya pada jantung dan paru-paru.
Menkes Budi menuturkan bahwa Indonesia sampai 10 tahun ke depan membutuhkan setidaknya 1.300 spesialis bedah toraks dan kardiovaskular. Namun, hingga saat ini jumlah yang dimiliki oleh Indonesia hanya berjumlah 270 dokter.
Hal ini tentu harus menjadi perhatian lantaran masalah kesehatan jantung dan paru menjadi beberapa contoh masalah kesehatan dengan kasus terbanyak di Indonesia.
“Indonesia itu butuh sampai 10 tahun ke depan butuh 1300 spesialis bedah toraks dan kardiovaskular, karena usia kan menua, yang sakit jantung paru banyak, yang tidak terdeteksi juga banyak, ya hitung-hitung 1300,” kata Menkes Budi ketika ditemui awak media di Jakarta Selatan, Minggu (16/2/2025).
“Kita sekarang itu 270 dokter, itu yang dokter yang kayak gini masih kerja itu, yang 84 dan 70 (tahun), karena mereka kan harusnya sudah tinggal mengajari saja,” sambungnya sambil berkelakar.
Disebutkan bahwa hingga saat ini tercatat baru ada enam perguruan tinggi yang menghasilkan spesialis bedah toraks dan kardiovaskular dengan jumlah lulusan 50-an dokter setiap tahun. Menkes Budi menceritakan, bahkan ketika awal ia menjabat, jumlah perguruan tinggi yang menghasilkan spesialis bedah toraks dan kardiovaskular hanya berjumlah dua di seluruh Indonesia.
Menkes Budi menuturkan hal inilah yang membuat pihaknya mendorong program pendidikan dokter spesialis (PPDS) Hospital Based. Diharapkan nantinya akan ada lebih banyak spesialis bedah toraks dan kardiovaskular yang bisa dihasilkan.
“Nah, itu sebabnya kami mau bikin yang hospital based, untuk mempercepat centernya. Misalnya sudah bagus, nanti dibikin murah, rumah sakit-rumah sakit bikin, untuk banyakin spesialis bedah toraks dan kardiovaskular,” sambungnya.
Hingga saat ini, ada 24 provinsi yang memiliki spesialis bedah toraks dan kardiovaskular. Diharapkan nantinya jumlah spesialis tersebut bisa terus meningkat menjadi satu dokter per provinsi, meski jumlah tersebut menurut Menkes Budi masih belum ideal.
Menkes Budi menuturkan bahwa idealnya Indonesia memiliki 3-5 dokter spesialis bedah toraks dan kardiovaskular di setiap kabupaten atau kota.
Ketua Himpunan Bedah Toraks dan Kardiovaskular Indonesia (HBTKVI) Dr dr Prasetyo Edi, SpBTKV menjelaskan bahwa distribusi dokter spesialis juga menjadi tantangan yang besar. Hal ini menjadi sesuatu yang rumit karena di saat bersamaan, jumlah dokter spesialis bedah toraks dan kardiovaskular juga masih kurang.
“Sebetulnya kita butuh SDM atau problem di titik distribusi. Diskusinya di situ, jadi sebetulnya, kalau SpBTKV jumlahnya juga belum optimal, ditambah dengan distribusinya itu belum maksimal dua-duanya. Jadi kita tetap perlu produksi, tapi penempatan itu juga lebih penting dari produksi,” tandas dr Prasetyo dalam kesempatan yang sama.
(avk/kna)

Jakarta, CNBC Indonesia – Pemerintah berencana menaikkan iuran BPJS Kesehatan pada tahun 2026. Meski demikian, masyarakat miskin tetap mendapatkan layanan BPJS Kesehatan secara gratis.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyatakan bahwa kenaikan iuran ini tak terhindarkan akibat inflasi yang terus meningkat, terutama dalam belanja kesehatan yang mencapai 15% per tahun.
Namun, ia menegaskan masyarakat miskin akan tetap menjadi Penerima Bantuan Iuran (PBI) apabila iuran BPJS Kesehatan dinaikkan pada 2026.
“Tapi kalau kita perhatikan, BPJS itu terakhir naik tarif 2020. Setiap tahun naiknya 15 persen, kan tidak mungkin uang yang ada sekarang itu bisa menanggung kenaikan yang 15 persen itu,” kata Menkes Budi dalam rapat kerja bersama DPR-RI Komisi IX, dikutip Minggu (16/2/2025).
Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 Tahun 2020, besaran iuran yang dibayar pemerintah untuk peserta kategori PBI adalah sebesar Rp 42 ribu per bulan. Diharapkan setelah kenaikan iuran nantinya tidak mengganggu skema PBI pada masyarakat yang membutuhkan.
“Kalau naik kita mesti adil, gimana caranya yang miskin jangan kena. Itu sebabnya yang miskin tetap di-cover 100 persen skenario kita oleh PBI. Yang akan naik artinya beban pemerintah dan pemerintah berkonstitusi kan tugas kita memberikan layanan kesehatan,” sambungnya.
Tantangannya, menurut Menkes Budi, adalah memastikan bahwa peserta BPJS Kesehatan yang mendapatkan manfaat PBI benar-benar tepat sasaran. Dalam beberapa kasus, peserta penerima manfaat PBI justru dari kalangan orang-orang yang mampu.
Ia lantas mengusulkan data PBI untuk dibandingkan dengan data transaksi perbankan atau dengan data tagihan listrik.
“Saya minta waktu saya ke DJSN (Dewan Jaminan Sosial Nasional) sama teman BPJS, tolong datanya diperbaiki dengan crossing seperti itu, data listrik dan perbankan adalah kualitas datanya paling baik lah,” tandas Menkes Budi.
(lih/haa)