Tag: Budi Gunadi Sadikin

  • Video Menkes Ajukan Tunjangan Senilai Rp 30 Juta untuk Dokter Wilayah 3T

    Video Menkes Ajukan Tunjangan Senilai Rp 30 Juta untuk Dokter Wilayah 3T

    Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin ajukan tunjangan khusus untuk dokter spesialis di wilayah 3T (tertinggal, terdepan dan terluar). Angkanya mencapai Rp 30 juta per bulan di luar gaji pokok.

    Dokter spesialis ini terdiri dari Spesialis Penyakit Dalam, Anak, Obgyn, Anestesi, Bedah, Patologi, Klinik dan spesialis penyakit lainnya. Rencana ini tinggal menunggu tanda tangan Presiden RI.

    Tonton juga: Menkes Budi Ingin Ada Kurikulum Kesehatan di Sekolah

  • Video Menkes soal Covid-19: Variannya Omicron yang Lemah, Jangan Khawatir

    Video Menkes soal Covid-19: Variannya Omicron yang Lemah, Jangan Khawatir

    Jakarta – Saat ditemui di pelantikan anggota PDGI di kawasan Senayan, Budi Gunadi Sadikin selaku Menteri Kesehatan beri kabar terbaru soal Covid-19 di Indonesia. Menurutnya, kenaikan kasus Covid-19 di Indonesia tidak terlampau banyak, pun belum ada laporan data kematian.

    Ia pun minta masyarakat tidak khawatir. Ia juga ingatkan masyarakat untuk rajin cuci tangan hingga jaga jarak.

    Cek berita lain soal Covid-19 di sini ya detikers!

    (/)

    covid-19 menkes budi gunadi sadikin budi gunadi sadikin

  • Temuan Cek Kesehatan Gratis, Warga +62 Paling Banyak Kena Penyakit Ini

    Temuan Cek Kesehatan Gratis, Warga +62 Paling Banyak Kena Penyakit Ini

    Jakarta – Kementerian Kesehatan RI merilis temuan data dari program cek kesehatan gratis (CKG). Sejak dimulai pada Februari 2025, sudah lebih 8 juta warga Indonesia mengikuti pemeriksaan kesehatan besutan pemerintah ini.

    Program ini dilaksanakan di 9.552 puskesmas di 38 provinsi. Sebanyak 8.623.665 orang telah mengikuti pemeriksaan, dengan mayoritas peserta yakni 62,24 persen adalah perempuan.

    “Ini artinya 2 dari 3 peserta adalah perempuan. Artinya, kesadaran kaum perempuan untuk memeriksakan diri jauh lebih tinggi. Namun kami juga mendorong kaum laki-laki agar tidak ragu untuk cek kesehatan secara berkala,” ujar Menteri Kesehatan RI, Budi Gunadi Sadikin dalam keterangannya, Kamis (12/6/2025).

    Masalah kesehatan terbanyak

    Dari hasil pemeriksaan tersebut, ada empat masalah kesehatan yang paling banyak dialami warga Indonesia yakni hipertensi, kerusakan gigi, diabetes dan obesitas.

    Lebih rinci, data Kementerian Kesehatan per 12 Juni 2025 menunjukkan 1 dari 5 peserta mengalami hipertensi, 5,9 persen mengalami diabetes melitus, dan 1 dari 2 peserta mengalami masalah gigi dan mulut, mulai dari gigi berlubang, gigi goyang, hingga gusi turun.

    Obesitas sentral juga menjadi perhatian, dengan prevalensi 50 persen pada perempuan dan 25 persen pada laki-laki, berdasarkan pengukuran lingkar pinggang (>90 cm untuk laki-laki dan >80 cm untuk perempuan).

    “Tiga masalah besar lainnya hipertensi, diabetes, dan obesitas adalah faktor risiko utama penyakit jantung dan stroke. Dan dua penyakit inilah penyebab kematian nomor satu dan dua di Indonesia,” jelas Menkes.

    (kna/kna)

  • Susul Tren di India? Menkes Bicara Kemungkinan RI Catat Lagi Kematian COVID-19

    Susul Tren di India? Menkes Bicara Kemungkinan RI Catat Lagi Kematian COVID-19

    Jakarta

    Kasus COVID-19 di India kembali mengalami peningkatan, setelah sebelumnya sempat menurun. Pada hari Jumat, Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan Keluarga India mencatat ada sembilan kematian dan jumlah kasus aktif naik menjadi 7.400 dengan 269 infeksi baru dalam 24 jam terakhir.

    Dari sembilan korban meninggal, empat berasal dari Maharashtra, tiga dari Kerala, serta masing-masing satu dari Tamil Nadu dan Rajasthan. Salah satu korban adalah seorang pria berusia 34 tahun dari Maharashtra, sementara delapan lainnya merupakan lansia dengan riwayat penyakit pernapasan dan kondisi medis kronis.

    Muncul Subvarian Baru

    Peningkatan kasus COVID-19 di India ini disebut karena kemunculan sejumlah subvarian baru, seperti LF.7, XFG, JN.1, hingga NB.1.8.1 yang belakangan terdeteksi. Varian-varian tersebut dinilai lebih cepat menular, meskipun gejalanya masih tergolong ringan pada sebagian besar pasien.

    Secara geografis, Kerala mencatat jumlah kasus aktif terbanyak dengan 2.109 kasus. Sementara itu, Karnataka melaporkan lonjakan harian tertinggi dengan 132 kasus baru dalam 24 jam terakhir, sehingga total kasus aktifnya menjadi 527.

    Gujarat menambahkan 79 kasus baru dan kini memiliki 1.437 kasus aktif, sedangkan Delhi mengalami penurunan menjadi 672 kasus aktif.

    Vaksinasi Booster ke Kelompok Rentan

    Para ahli kesehatan India merekomendasikan pendekatan yang lebih tertarget. Terutama untuk kelompok berisiko tinggi seperti lansia, riwayat gangguan imun, serta pasien dengan penyakit kronis.

    “Mayoritas masyarakat telah memiliki kekebalan hibrida dari infeksi sebelumnya dan cakupan vaksinasi yang tinggi,” ujar seorang ahli kesehatan kepada media lokal.

    Pemerintah juga mendorong masyarakat untuk tetap menjaga diri, seperti kembali menerapkan protokol kesehatan yakni memakai masker, mencuci tangan, dan menghindari kerumunan.

    Masyarakat yang masuk kategori rentan diminta untuk segera mencari bantuan medis jika mengalami gejala yang memburuk. Ikatan Medis India pun kembali menegaskan pentingnya langkah pencegahan demi menekan penyebaran virus.

    NEXT: Bagaimana Kasus Kematian COVID-19 di RI?

    Sebelumnya, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes RI Aji Muhawarman menyebut varian NB.1.8.1 yang menghebohkan India belum masuk ke Indonesia.

    “Sampai Minggu ke-23, Subvarian yang masih bersirkulasi di Indonesia adalah MB.1.1 dan KP.2.18, secara umum memiliki karakteristik yang sama dengan JN.1 (penilaian risiko rendah),” kata Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes RI Aji Muhawarman saat dihubungi detikcom beberapa waktu lalu.

    Menkes Klaim Tidak Ada Kasus Kematian

    Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin mengatakan sampai hari Sabtu (14/6) belum ada laporan pasien COVID-19 meninggal di Indonesia.

    “Belum. Belum (kematian akibat COVID-19),” kata Menkes saat ditemui di Jakarta Pusat, Sabtu (14/6/2025).

    Meskipun begitu, Menkes Budi mendorong masyarakat untuk tetap waspada terkait COVID-19. Menurutnya, kembali menerapkan protokol kesehatan mesti dilakukan.

    “Sarannya saya, karena variannya Omicron yang lemah, nggak usah khawatir, tapi kalau merasa nggak enak badan, batuk-batuk ya lakukan yang sudah dianjurkan,” katanya.

    “Rajin cuci tangan, pakai masker, dan jaga jarak,” lanjutnya.

    Simak Video “Video Menkes soal Covid-19: Variannya Omicron yang Lemah, Jangan Khawatir”
    [Gambas:Video 20detik]

  • Susul Tren di India? Menkes Bicara Kemungkinan RI Catat Lagi Kematian COVID-19

    Menkes Siapkan Aturan Tunjangan Rp 30 Juta, Dokter Spesialis Apa Saja yang Dapat?

    Jakarta – Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin tengah memperjuangkan aturan baru terkait tunjangan bagi para dokter spesialis. Mereka, kemungkinan akan mendapatkan insentif hingga Rp 30 juta.

    “Kemenkes mungkin tinggal sebentar lagi mendapatkan tunjangan khusus, tapi ini masih untuk dokter spesialis ya karena kita kan ada program KJSU (Kanker, Jantung, Stroke, dan Uronefrologi),” kata Menkes saat ditemui di Jakarta Pusat, Sabtu (14/6/2025).

    “Mudah-mudahan bulan depan bisa keluar untuk tunjangan Rp 30 juta per bulan, bagi 8.000-an dokter spesialis yang kerja di daerah. Ini butuh waktu hampir 12 bulan untuk meyakinkan Menteri Keuangan dan Menpan-RB,” sambungnya.

    Ini merupakan apresiasi bagi para dokter spesialis di 150-an Kabupaten/Kota di daerah terpencil. Menkes juga menjelaskan dokter-dokter spesialis yang apa yang nantinya akan mendapatkan tunjangan.

    “Dokter spesialisnya yang tujuh yang dasar, penyakit dalam, anak, obgyn anestesi, bedah, dan patologi klinik, dan spesialis penyakit yang jadi program utamanya kita, jantung, stroke, kanker,” katanya.

    Tunjangan ini, lanjut Menkes akan diberikan di luar gaji pokok yang didapatkan oleh dokter tersebut.

    Jika nantinya program ini sudah berjalan, Menkes Budi menambahkan tunjangan ini bisa dirasakan oleh dokter lain, salah satunya dokter gigi.

    “Kalau ini nanti ini sudah jalan, kami bisa coba ke dokter gigi. Ya mungkin nggak Rp 30 juta, ya berapalah mungkin Rp 10 atau Rp 15 juta,” tutupnya.

    (naf/naf)

  • Kematian COVID-19 di India Naik, RI Aman? Menkes Bilang Gini

    Kematian COVID-19 di India Naik, RI Aman? Menkes Bilang Gini

    Jakarta – Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin menegaskan belum ada laporan kematian akibat COVID-19. Namun, Menkes Budi meminta masyarakat tetap waspada.

    “Belum. Belum (ada kematian akibat COVID-19),” kata Menkes saat ditemui di Jakarta Pusat, Sabtu (14/6/2025).

    Menkes melanjutkan, jika ada keluarga atau seseorang yang mengeluhkan gejala yang diduga infeksi SARS-CoV-2 agar segera melakukan perawatan mandiri dan menghindari kontak dengan orang lain.

    “Sarannya saya, karena variannya Omicron yang lemah, nggak usah khawatir, tapi kalau merasa nggak enak badan, batuk-batuk ya lakukan yang sudah dianjurkan,” katanya.

    “Rajin cuci tangan, pakai masker, dan jaga jarak,” lanjutnya.

    Beberapa negara di Asia seperti Thailand, India, dan Singapura belakangan melaporkan naiknya kasus akibat infeksi COVID-19. Varian NB.1.8.1 atau Nimbus tengah menjadi sorotan.

    Kemenkes mengklaim bahwa varian ini masih belum masuk ke Indonesia.

    “Sampai Minggu ke-23, Subvarian yang masih bersirkulasi di Indonesia adalah MB.1.1 dan KP.2.18, secara umum memiliki karakteristik yang sama dengan JN.1 (penilaian risiko rendah),” kata Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes RI Aji Muhawarman saat dihubungi detikcom beberapa waktu lalu.

    (dpy/naf)

  • Kemenkes Tunggu Undangan Dialog dengan Guru Besar, Dekan FK UI Bilang Gini

    Kemenkes Tunggu Undangan Dialog dengan Guru Besar, Dekan FK UI Bilang Gini

    Jakarta – Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Prof Ari Fahrial Syam menyuarakan kekecewaannya terkait nihil dampak dari pertemuan berulang dengan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin. Pernyataan ini disampaikannya menanggapi rencana Kementerian Kesehatan (Kemenkes RI) untuk hadir dalam dialog terbuka bila diundang para guru besar.

    Seperti diberitakan sebelumnya, aksi yang berlangsung Kamis (12/6/2025) di sejumlah fakultas kedokteran melibatkan lebih dari 300 guru besar. Protes soal melemahnya independensi kolegium hingga framing citra buruk dokter kembali mencuat.

    Para Guru Besar mengaku hilang kepercayaan kepada Menkes.

    “Rasanya kalau ke Pak Menkes, sudah bolak‑balik kita ketemu, tapi ya nihil hasilnya,” ungkap Prof Ari saat dikonfirmasi Sabtu (14/6).

    Prof Ari juga menyoroti pernyataan Menkes sebelumnya yang dinilai mendiskreditkan peran dokter, khususnya spesialis penyakit dalam yang semula dinilai tidak bisa seluruhnya memberikan layanan hemodialisis.

    Contoh Menkes mendiskreditkan spesialis konsultas ginjal hipertensi. Faktanya dari dulu KGH sudah mengajari internist untuk membantu HD dan masih berlangsung sampai sekarang para internist plus ini yg membantu HD di RSUD/RS tipe B/C,” tuturnya.

    Juru bicara Kemenkes RI, drg Widyawati, MKM, sebelumnya menegaskan kesiapan Kemenkes untuk hadir jika menerima undangan resmi dari pihak FKUI maupun guru besar lain.

    “Kemenkes siap hadir kalau diundang oleh mereka. Tata kelola kolegium merupakan amanat Undang‑Undang Kesehatan. Mari kita semua mematuhi UU yang ada,” tandas wanita yang akrab disapa Wiwid itu sebelumnya.

    Meski begitu, para guru besar memutuskan ingin langsung melakukan audiensi dengan Presiden RI Prabowo Subianto, alih-alih kembali membuka komunikasi dengan Menkes Budi.

    (naf/naf)

  • Fakta-fakta Aturan Co-Payment Asuransi Kesehatan, Dinilai ‘Ada Bagusnya’ oleh Menkes

    Fakta-fakta Aturan Co-Payment Asuransi Kesehatan, Dinilai ‘Ada Bagusnya’ oleh Menkes

    Jakarta

    Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengeluarkan aturan baru yang mewajibkan nasabah asuransi kesehatan swasta menanggung sendiri sebagian biaya pengobatan (co-payment) paling sedikit 10 persen. Aturan tersebut tertuang dalam SEOJK Nomor 7 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Produk Asuransi Kesehatan.

    Menanggapi hal ini, Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin mengaku belum bisa memberikan komentar lebih lanjut. Pasalnya, dirinya masih akan mempelajari regulasi baru tersebut.

    Namun, secara prinsip, ia menilai sistem co-payment bisa memberikan nilai edukatif bagi para pemegang polis.

    “Di mata saya, ada bagusnya juga dengan adanya co-payment ini. Jadi mirip seperti asuransi kendaraan, kalau ada tabrakan, kita tetap harus bayar sedikit. Dengan begitu, kita jadi lebih hati-hati dalam berkendara,” ujar Menkes Budi kepada wartawan, Kamis (12/6/2025).

    “Saya rasa itu bagus juga untuk mendidik para pemegang polis asuransi swasta, agar mereka menjaga kesehatan dan tidak gampang sakit,” sambungnya.

    Apa itu Sistem Co-payment?

    Sistem co-payment berarti peserta asuransi menanggung sebagian kecil dari total biaya layanan kesehatan, sedangkan sisanya ditanggung oleh perusahaan asuransi. Kebijakan ini sebelumnya menuai pro dan kontra di masyarakat, terutama soal keadilan dan beban biaya tambahan yang harus ditanggung pasien.

    SEOJK No.7/2025 tentang Penyelenggaraan Produk Asuransi Kesehatan akan mulai efektif per 1 Januari 2026, dengan masa penyesuaian sampai 31 Desember 2026 bagi polis yang otomatis diperpanjang.

    “Melalui ketentuan ini, OJK mendorong efisiensi pembiayaan layanan kesehatan jangka panjang di tengah tren inflasi medis yang terus naik,” tulis OJK dalam keterangan resminya, Kamis (5/6/2025).

    OJK menegaskan, skema co‑payment diterapkan untuk menahan laju inflasi medis yang rata‑rata 2-3 kali inflasi umum di Indonesia. Selain itu juga mencegah ‘over‑utilization’ atau penggunaan layanan kesehatan berlebihan oleh pemegang polis, menekan premi agar tetap terjangkau dalam jangka panjang.

    “Copayment diharapkan membuat peserta lebih bijak memakai layanan medis, sekaligus menekan moral hazard,” tulis OJK dalam dokumen FAQ resmi.

    NEXT: BPJS Kesehatan Pastikan Peserta JKN Tak Tanggung 10 Persen

    Terkait skema co-payment ini, BPJS Kesehatan menegaskan bahwa para peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) tidak akan ikut terdampak dalam membayar 10 persen klaim.

    “Kami sampaikan bahwa ketentuan co-payment saat ini tidak berlaku bagi peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) atau BPJS Kesehatan,” kata Kepala Humas BPJS Kesehatan, Rizzky Anugerah saat dihubungi detikcom, Jumat (13/6/2025).

    Hal ini karena BPJS Kesehatan menerapkan skema Coordination of Benefit (CoB), sesuai dengan Perpres 59/2024 BPJS Kesehatan dapat berkoordinasi dengan penyelenggara jaminan lainnya. Pasal 51 Perpres 59/2024 menyebut peserta JKN dapat meningkatkan perawatan yang lebih tinggi dari haknya termasuk rawat jalan eksekutif dengan mengikuti asuransi kesehatan tambahan (AKT).

    Hal tersebut kata dia diatur secara rinci diatur oleh Kementerian Kesehatan dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07/MENKES/1366/2024 tentang Pedoman Pelaksanaan Selisih Biaya Oleh Asuransi Kesehatan Tambahan Melalui Koordinasi Antar Penyelenggara Jaminan.

    Alasan OJK Menerapkan Skema Co-payment

    Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan dan Dana Pensiun OJK Ogi Prastomiyono mengatakan aturan tersebut diberlakukan sebagai salah satu upaya menekan inflasi kesehatan yang mengancam perekonomian.

    “Jadi justru kenaikan premi kesehatan yang tidak terkendali itu yang menyebabkan adanya co-payment ini,” kata Ogi dalam Forum Group Discussion (FGD) di Jakarta, Kamis (12/6/2025).

    Menurut Ogi, terdapat tren peningkatan inflasi medis di Indonesia yang lebih tinggi dibandingkan inflasi umum pada 2024, dengan inflasi umum tercatat 3 persen dan inflasi medis sebesar 10,1 persen yang lebih tinggi dibandingkan angka global yakni 6,5 persen.

    Dalam skema co-payment, OJK menetapkan batas maksimum yang harus dibayar peserta sebesar Rp 300 ribu per pengajuan klaim untuk rawat jalan dan Rp 3 juta untuk rawat inap per pengajuan klaim.

    “Dengan co-payment, harapannya preminya ikut turun,” ujar Ogi.

  • 4 Jenis Penyakit yang Ditemukan Saat Program Kesehatan Gratis

    4 Jenis Penyakit yang Ditemukan Saat Program Kesehatan Gratis

    Jakarta, Beritasatu.com – Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin membeberkan penemuan penting dari program cek kesehatan gratis (CKG) yang telah menjangkau lebih dari 8,2 juta warga Indonesia sejak diluncurkan pada 10 Februari 2025.

    Menkes Budi Gunadi Sadikin mengungkapkan, empat masalah kesehatan kronis utama yang mendominasi hasil pemeriksaan massal tersebut.

    Ia menjelaskan temuan tertinggi justru berasal dari masalah gigi, yang selama ini kurang mendapat perhatian masyarakat.

    “Yang paling tinggi ternyata masalah gigi. Kedua hipertensi, ketiga diabetes, dan keempat obesitas,” ujar Menteri Budi Gunadi Sadikin kepada wartawan, Kamis (12/6/2025).

    Ketiga masalah terakhir yaitu hipertensi, diabetes, dan obesitas juga merupakan faktor risiko utama yang berkontribusi besar terhadap penyakit jantung dan stroke, dua penyebab kematian tertinggi di Indonesia selama bertahun-tahun.

    “Setiap tahun, lebih dari setengah juta orang Indonesia meninggal karena jantung dan stroke. Akar masalahnya: tekanan darah tinggi, gula darah tinggi, dan berat badan berlebih,” tambahnya.

    Salah satu temuan yang mengkhawatirkan adalah banyaknya warga yang tidak menyadari kondisi kesehatannya, khususnya tekanan darah tinggi dan prediabetes.

    “Penyakit-penyakit ini sering tidak menunjukkan gejala. Itulah pentingnya cek kesehatan dini,” katanya.

    Ia menekankan, deteksi dini adalah kunci pencegahan agar kondisi tidak berkembang menjadi penyakit mematikan seperti serangan jantung atau strok.

    Dari sisi partisipasi, Kementerian Kesehatan mencatat bahwa perempuan lebih aktif mengikuti program CKG dibandingkan laki-laki.

    “Ini panggilan buat kita, kaum pria. Mari kita beri contoh hidup sehat. Rata-rata usia perempuan lebih panjang, salah satunya karena mereka lebih rajin cek kesehatan,” ujarnya.

  • Guru Besar Kedokteran Unand Padang Berharap Prabowo Evaluasi Kinerja Menkes

    Guru Besar Kedokteran Unand Padang Berharap Prabowo Evaluasi Kinerja Menkes

    Bisnis.com, PADANG – Para guru besar di berbagai perguruan tinggi di Indonesia dan termasuk di Fakultas Kedokteran Universitas Andalas berharap agar Presiden RI Prabowo Subianto untuk mengevaluasi kinerja dari Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin

    Salah seorang guru besar di Universitas Andalas, Prof. Masrul mengatakan semenjak munculnya penerapan Undang-undang No.17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan eranya Menkes Budi Gunadi Sadikin, kondisi perguruan tinggi terutama pendidikan kedokteran membuat suasana jadi gaduh, karena aturan tersebut membuat peran pendidikan kedokteran di perguruan tinggi jadi hilang.

    “Bahkan jika tidak direspon juga, aksi jilid III, jilid IV, hingga ke jidil 100 akan terus kami lakukan. Karena kondisi pendidikan kedokteran saat ini sedang tidak baik-baik saja,” katanya, Jumat (11/6/2025).

    Menurutnya ada beberapa pasal yang terdapat di dalam UU. No.17/2023 itu yang membuat peran perguruan tinggi melahirkan tenaga medis dan kesehatan jadi hilang, dan kemudian berdasarkan aturan tersebut, malah membuat peran dari Fakultas Kedokteran ini seperti menjadi lembaga pelatihan saja.

    Masrul menyampaikan bicara soal kebutuhan dokter spesialis atau nakes dan sebagainya itu, bukan berarti untuk mendapatkan sumber daya manusia di bidang kesehatan ini dibuka tanpa ada standar tertentu.

    Dia menilai menjadi dokter atau nakes itu, ada kode etik yang harus dipatuh, dan hal tersebut akan dibentuk melalui pendidikan berkarakter melalui kuliah di Fakultas Kedokteran.

    “Jadi tidak bisa mencetak dokter dan nakes sebanyak-banyaknya tanpa ada standar tertentu. Karena kerja dokter dan nakes ini tanggung jawabnya besar, hidup dan mati pasien itu yang dihadapi mereka. Jadi dalam pelayanan kesehatan ini, tidak boleh asal-asalan,” tegasnya.

    Dia juga melihat bahwa kebijakan dari Menkes tersebut benar-benar telah menimbulkan kegaduhan, dan bisa berdampak kepada harapan para mahasiswa yang kini tengah menjalani masa proses pendidikan di Fakultas Kedokteran dengan berbagai jurusan yang di dalamnya.

    Dia berharap agar kegaduhan tersebut tidak terjadi berkepanjangan, sangat diharapkan tanggapan dan kebijakan dari Presiden Prabowo, sehingga dunia pendidikan kesehatan bisa berjalan dengan baik.

    “Kami melihat Presiden Prabowo ini tidak senang yang namanya kegaduhan seperti ini. Sekarang persoalannya ada di Menkes, kalau bisa diganti saja Menteri Kesehatannya,” tutup Masrul.

    Pandangan Hukum Sisi Pendidikan Kedokteran

    Sementara itu, melihat dari sisi hukum, Pakar Hukum dari Universitas Andalas Khairul Fahmi menyatakan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, secara prinsip dari sisi pendidikan tidak lagi sinkron dan melemahkan peran pendidikan kedokteran.

    Menurutnya secara prinsipnya aturan tersebut terjadi pergeseran paradigma dari university based menjadi hospital based.

    Artinya pendidikan kedokteran tidak lagi dalam skema pendidikan nasional, dari yang sebelumnya berada di bawah Kementerian Pendidikan dan beralih di bawah kewenangan Kementerian Kesehatan, dan hal ini lah yang memunculkan persoalan.

    “Selama ini peran pendidikan kedokteran melalui Fakultas Kedokteran, dan itu telah jelas menyiapkan tenaga kesehatan yang siap bekerja, dan melalui pendidikan yang dijalani itu, telah membentuk diri memiliki pendidikan berkarakter. Karena di bagian pendidikan kesehatannya itu ada farmasi, keperawatan,” katanya.

    Pasalnya, kata dia, pendidikan diletakan di bawah agenda pengadaan tenaga medis atau kesehatan.

    Hal ini membuat peran Fakultas Kedokteran ditargetkan untuk menyiapkan sumber daya manusia saja, padahal Fakultas Kedokteran bisa menghadirkan riset dan lain-lainnya yang dapat memberikan manfaat kepada dunia kesehatan.

    Bicara soal SDM kesehatan, kata dia, Fakultas Kedokteran itu sangat menjunjung tinggi kode etik, dan dalam menyiapkan tenaga kesehatan itu, dijalankan secara ketat, karena orang-orang yang akan terjun langsung di tengah masyarakat itu, akan menentukan hidup dan mati orang di sisi memberikan pelayanan kesehatan.

    “Kini melalui undang-undang kesehatan itu, Kementerian Kesehatan menganggap pendidikan kesehatan ini lama melahirkan tenaga kesehatan. Sementara kondisi yang terjadi, pemerintah merasa tenaga kesehatan atau dokter spesialis lagi kurang. SolusI itu, bukan harus mengubah atau merevisi aturan yang telah ada, akibatnya malah tidak sinkron,” ujar Khairul Fahmi yang juga Ketua Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) Fakultas Hukum Universitas Andalas ini.

    Dia menjelaskan tidak sinkron dimaksud yakni melihat pada UU No.20/2013 pendidikan kedokteran itu, menghasilkan dokter dan dokter gigi yang bermanfaat, bermutu, dan berkompeten.

    Memenuhi kebutuhan dokter dan dokter gigi, serta meningkatkan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kedokteran dan kedokteran gigi. 

    Pada UU No.17/2023 itu dirancang hanya untuk pengadaan tenaga medis dan tenaga kesehatan.

    Artinya tidak ada lagi pendidikan kedokteran, dan yang ada hanya pengadaan tenaga medis.

    Dari hal itu, apabila Kemenkes berorientasi pada penempatan proses pendidikan sebagai sarana menyiapkan tenaga kerja pada sektor kesehatan, dan tidak lagi berorientasi pada pencapaian tujuan pendidikan tinggi sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 31 ayat (3) UUD 1945, UU Sisdiknas dan UU Pendidikan Tinggi. 

    “Jadi yang terjadi adalah mencampuradukan pendidikan dan penyediaan tenaga kerja medis dan nakes,” jelas Khairul Fahmi yang juga Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas.

    Selain itu dalam aturan yang terdahulu itu kan sudah jelas bahwa perguruan tinggi menyelenggarakan pendidikan dan bekerja sama dengan rumah sakit pendidikan dan wahana pendidikan kedokteran, serta perguruan tinggi wajib membentuk Fakultas Kedokteran atau Kedokteran Gigi oleh Universitas atau Institut.

    Namun yang terjadi saat ini, UU No.17/2023 itu hanya mengatur pendidikan tinggi sebagai sarana pengadaan tenaga medis dan tenaga kesehatan.

    Serta tidak diatur lagi tentang perguruan tinggi dan bentuk institusi pelaksana pendidikan tenaga medis dan tenaga kesehatan. 

    Selanjutnya dalam PP 28/2024 dinyatakan, pendidikan tinggi tenaga medis dan nakes diselenggarakan perguruan tinggi bekerja sama dengan Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Pasal 576) Kerjasama dituangkan dalam PKS, serta tidak ada lagi kewajiban membentuk FK dan/atau FKG.

    “Kalau begitu, fakultas-fakultas kedokteran seakan tidak ada lagi sebagai penyelenggara dan pengelola pendidikan dalam satu rumpun ilmu, tapi melainkan sebagai unit pengadaan tenaga medis dan nakes saja,” ungkapnya.

    Selanjutnya melihat pada aturan yang dulu, prodi kedokteran dan kedokteran gigi menerima mahasiswa sesuai dengan kuota nasional, atau dapat ditingkatkan kuota penerimaan dalam rangka penugasan penyiapan tenaga medis berdasarkan koordinasi dengan Menteri Kesehatan.

    Seleksi mahasiswa baru serentak dengan penerimaan mahasiswa di seluruh perguruan tinggi negeri untuk PTN.

    Sedangkan pada UU No.17/2023 itu, tidak ada yang diatur, dimana untuk seleksi peserta didik pendidikan tinggi tenaga medis dan nakes mencakup tes tertulis, wawancara dan/atau portofolio (Pasal 582 PP 28/2024).

    Apabila hal ini jalan, maka penerimaan mahasiswa untuk kedokteran ini terpisah dengan perguruan tinggi lainnya (panitia bersama).

    “Pendidikan medis dan nakes seakan ditempatkan sebagai pendidikan kedinasan, tetapi tetap dilaksanakan perguruan tinggi,” ucapnya.

    Dia mencontohkan solusi yang seharusnya bisa dilakukan pemerintah untuk memperbanyak sumber daya manusia untuk kesehatan itu, misalnya pemerintah pusat memperbolehkan Fakultas Kedokteran untuk menambah daya tampung penerimaan mahasiswanya.

    “Solusi yang tidak tepat itu lah yang kemudian memunculkan pergeseran paradigma, dan kini membuat para guru besar di Fakultas Kedokteran di indonesia menolak adanya aturan yang baru tersebut,” sambungnya.