Tag: Budi Gunadi Sadikin

  • 20 Anak di Sumenep Meninggal, Menkes: Campak Jauh Lebih Menular daripada COVID

    20 Anak di Sumenep Meninggal, Menkes: Campak Jauh Lebih Menular daripada COVID

    Jakarta

    Sebanyak 20 anak di Sumenep, Jawa Timur, meninggal dunia akibat campak. Data ini merupakan angka akumulatif kematian dari Februari hingga Agustus 2025.

    Menyoroti kejadian luar biasa (KLB) campak di Sumenep, Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin menargetkan 70 ribu anak di wilayah tersebut segera diimunisasi dalam kurun waktu 2 pekan. Dia juga mengingatkan penularan campak yang jauh lebih tinggi daripada COVID-19.

    “Jadi campak itu adalah penyakit yang paling menular. Kalau dulu COVID-19, ingat pertama kali ada yang namanya reproduction rate. Jadi satu orang nularin ke-2 atau ke-3. Campak itu satu orang bisa nularin ke-18,” kata Budi saat meninjau penanganan Kejadian Luar Biasa (KLB) campak di Sumenep, Jawa Timur, Kamis (28/8).

    Meski sangat menular, campak bisa dicegah dengan vaksinasi. Di samping itu, ia mengimbau agar masyarakat proaktif mengenali gejala campak yang bisa muncul pada anak seperti demam dan ruam.

    “Sekarang kan banyak berita-berita WhatsApp mengenai jangan imunisasi, jangan vaksinasi. Teman-teman, itu sangat berbahaya dan jahat. Karena kita lihat sampai meninggal 20 anak, hanya gara-gara masyarakat diteror berita-berita itu,” ujar Budi.

    (kna/kna)

  • Menteri Kesehatan Tinjau Imunisasi Massal Campak di Sumenep

    Menteri Kesehatan Tinjau Imunisasi Massal Campak di Sumenep

    Foto Health

    Agung Pambudhy – detikHealth

    Kamis, 28 Agu 2025 16:00 WIB

    Jawa Timur – Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin meninjau imunisasi massal campak di Sumenep untuk percepatan penanganan KLB, sekaligus bertemu keluarga pasien sembuh.

  • Video: Prabowo Minta Menkes Buka 500 RS untuk Cetak Dokter Spesialis

    Video: Prabowo Minta Menkes Buka 500 RS untuk Cetak Dokter Spesialis

    Jakarta

    Presiden Prabowo minta Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin membuka 500 rumah sakit pendidikan sebagai penyelenggara utama (RSPPU) untuk menyelenggarakan pendidikan dokter spesialis berbasis rumah sakit sampai 2030 mendatang. Saat ini, Indonesia kekurangan 70.000 dokter spesialis dan hanya mampu memproduksi 2.700 dokter spesialis per tahun.

    Menkes Budi berusaha merealisasikan target tersebut dengan bekerja sama dengan Accreditation Council for Graduate Medical Education (ACGME). Ia memastikan pendidikan yang bebas dari bullying, kekerasan, dan transparansi.

    (/)

  • Menkes Janji Tak Ada Bullying di ‘PPDS Hospital Based’

    Menkes Janji Tak Ada Bullying di ‘PPDS Hospital Based’

    Jakarta

    Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengklaim tidak akan ada lagi perundungan atau bullying di program pendidikan dokter spesialis (PPDS), utamanya yang berbasis rumah sakit atau hospital based. Program baru tersebut dibuka untuk mempercepat cetakan dokter spesialis di tengah gap kebutuhan yang masih berada di angka 70 ribu.

    Meski dilakukan percepatan, pemerintah disebutnya tidak akan meninggalkan kompetensi atau peningkatan kualitas para tenaga dokter. Memakai Accreditation Council for Graduate Medical Education (ACGME) International, seluruh sistem dibuat online dan bisa dipantau secara transparan.

    “Semua sistemnya dibikin online, transparansi, oleh ACGME, jadi nggak bisa lagi ada like dan dislike antar satu dengan yang lain. Tidak ada lagi bullying yang terjadi, karena ada mekanisme internasional untuk mengontrol bagaimana cara pendidikan dilakukan dengan baik dan transparan,” beber Menkes, Rabu (27/8/2025).

    “Semuanya dilakukan dengan logbook elektronik ini yang bisa lihat progress-nya seperti apa, tadi juga saya lihat baru diupdate oleh ACGME mereka memetakan semua,” tandasnya.

    Termasuk mengontrol kegiatan setiap dokter pengajar dan senior. Menkes optimistis dengan penambahan rumah sakit pendidikan sebagai penyelenggara utama (RSPPU), produksi dokter spesialis dari semula 2.700 setahun, bisa meningkat.

    “Kita belum bisa seperti Inggris yang punya 600 sentra pendidikan, memproduksi 12 ribu dokter spesialis dari 2.700, kita akan senang kalau bisa naik ke 10 ribu kemudian ke 20 ribu setahun dokter spesialis,” lanjutnya.

    Keberadaan PPDS hospital based juga dipastikan Menkes tidak akan menghilangkan program pendidikan dokter spesialis yang selama ini berjalan di universitas.

    “Untuk itu kita akan memperluas jaringan pendidikan, nanti akan ada yang di university based, ada yang hospital based, kita jalan berbarengan untuk bisa memenuhi gap yang 70 ribu itu tadi dengan lebih cepat,” sambungnya.

    “Yang hospital based saya minta tahun ini kita bisa membuka 7 spesialis dasar ditambah 2 spesialis untuk stroke dan jantung, sentra pendidikan dari 6 menjadi 26,” pungkasnya.

    Halaman 2 dari 2

    (naf/up)

  • Siasat Menkes Perbanyak Dokter Spesialis RI, Belajar dari Singapura-India

    Siasat Menkes Perbanyak Dokter Spesialis RI, Belajar dari Singapura-India

    Jakarta

    Menteri Kesehatan RI (Menkes) Budi Gunadi Sadikin mengatakan saat ini Indonesia masih kekurangan sekitar 70.000 dokter spesialis. Ini membuat Kemenkes akan meniru cara Singapura dan India untuk meningkatkan jumlah dokter.

    Kemenkes bekerja sama dengan Accreditation Council for Graduate Medical Education (ACGME) International, yakni organisasi yang menetapkan dan memantau standar pendidikan kedokteran pascasarjana di Amerika Serikat.

    “Kenapa ACGME kita ajak? Karena dia sudah melakukan reformasi dari pendidikan dokter spesialis di Singapura. Singapura menghadapi masalah yang sama (kurang dokter spesialis), tapi mereka melakukan apa yang kita lakukan yaitu back in early 2000,” kata Menkes Budi dalam sambutannya di Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (27/8/2025).

    “Mereka reformasi, undang ACGME untuk masuk, ACGME menolong mereka, sehingga naik hampir dua kali lipat produksi dokter spesialisnya,” lanjutnya.

    Lalu, Menkes Budi juga ingin mencontoh apa yang dilakukan oleh India untuk melahirkan banyak dokter spesialis.

    “India adalah salah satu contoh, di mana bisa naik 4 kali lipat dalam waktu yang lebih singkat untuk pendidikan dokter spesialisnya,” katanya.

    Menkes berharap ACGME dapat membantu pemerintah dalam hal memperbaiki pendidikan kedokteran dengan kualitas standar internasional.

    “Malah suatu saat nanti, syukur-syukur dokter spesialis kita sudah setara dengan dokter spesialis Amerika, jadi kalau mau kerja puter-puter lebih gampang. Karena udah certified by ACGME (mendapatkan sertifikasi ACGME),” tutupnya.

    (dpy/naf)

  • Pantau Langsung KLB Campak, Menkes Bakal ke Sumenep

    Pantau Langsung KLB Campak, Menkes Bakal ke Sumenep

    Jakarta

    Menteri Kesehatan (Menkes RI) Budi Gunadi Sadikin akan mengunjungi Sumenep, Jawa Timur dalam waktu dekat. Ini setelah status infeksi campak di Sumenep meningkat menjadi Kejadian Luar Biasa (KLB).

    “Sumenep, rencananya saya besok akan ke sana. Diundur jadi besok pagi,” kata Menkes Budi saat ditemui di Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (27/8/2025).

    Kunjungan Menkes tidak hanya akan berhenti di Sumenep, melainkan di beberapa Kabupaten/Kota di Madura dengan kasus infeksi campak yang termasuk mengkhawatirkan.

    “Nah ini, sebenarnya kan campak bisa dicegah dengan imunisasi. Gimana caranya kita akan drop out imunisasinya lebih baik lagi,” kata Menkes.

    “Sama seperti outbreak polio kemarin kan, itu karena waktu COVID-19, imunisasinya terganggu, sehingga polionya outbreak. Nah ini yang harus kita bikin program akselerasi imunisasi, sehingga tidak ada lagi anak-anak yang kena campak dan ini kan bisa mematikan,” lanjutnya.

    Infeksi Campak Lebih Cepat dari COVID-19

    Kejadian luar biasa campak di Indonesia tidak hanya terjadi di Sumenep, Jawa Timur. Kementerian Kesehatan RI (Kemenkes) mencatat terjadi 46 KLB campak pasti di 42 kabupaten/kota yang tersebar di 13 provinsi.

    “Campak ini penyakit berbayaha dan menyebabkan kematian, bahkan penularannya lebih cepat dari COVID-19,” kata dr Prima Yosephine, MKM, Direktur Imunisasi Kementerian Kesehatan dalam konferensi pers, Selasa (26/8/2025).

    Jumlah kasus campak di Indonesia di tahun 2025 hingga minggu ke-33 menunjukkan ada 23.128 suspek dengan kasus terkonfirmasi 3.444 pasien. Kasus suspek terbanyak tercatat di Sumenep dengan 2.139 suspek.

    Terjadinya kasus campak di banyak wilayah di Indonesia ini dilatarbelakangi cakupan vaksinasi yang rendah. Capaian imunisasi campak-rubella 1 dan 2 tahun 2025 masih berada di angka 45 persen dari target 95 persen.

    Halaman 2 dari 2

    (dpy/up)

  • Menkes Sebut Cuma di 2 Negara Ini Jadi Dokter Spesialis Harus Bayar, Lainnya Digaji

    Menkes Sebut Cuma di 2 Negara Ini Jadi Dokter Spesialis Harus Bayar, Lainnya Digaji

    Jakarta

    Menteri Kesehatan RI (Menkes) Budi Gunadi Sadikin heran dengan program kedokteran spesialis di Tanah Air. Untuk bisa mendapatkan gelar, para calon dokter spesialis harus mengeluarkan biaya pendidikan.

    “Ada dua negara yang (calon) dokter spesialisnya harus bayar, Indonesia dan Lithuania. Ini aku sudah cek,” kata Menkes Budi dalam sambutannya di Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (27/8/2025).

    Padahal, di banyak negara, mereka yang ingin mendapatkan gelar ‘dokter spesialis’ justru mendapatkan gaji. Kalaupun harus bayar, biayanya masih lebih murah.

    “Di negara lain, mau jadi dokter spesialis itu dibayar gajinya. Ini bukan maksudnya kita menyalahkan, tapi kita melihat best practice-nya, di negara lain itu seperti apa,” tegas Menkes.

    Selain akan memperbanyak jumlah dokter spesialis di dalam negeri, Menkes Budi juga menyoroti bagaimana nantinya dokter-dokter ini bisa tersebar merata di seluruh Indonesia.

    “Kenapa distribusi ini nggak pernah beres-beres sudah 80 tahun Indonesia merdeka?” kata Menkes Budi.

    Menurutnya, ini terjadi karena masih adanya ‘kompetisi’ terkait rekrutmen dokter spesialis. Padahal, hal-hal seperti ini tidak terjadi di negara-negara maju seperti Amerika Serikat atau Korea Selatan.

    “Kita misalkan rumah sakit di Taliabu, kami mau kasih cath lab (Catheterization Laboratory), ada spesialis radiologinya nggak di Taliabu? ‘Nggak ada’. Nah, rumah sakit di Taliabu (harusnya) dokter umumnya belajar dokter spesialis (radiologi),” katanya.

    “Bukan kemudian dia dikompetisikan dengan orang Jakarta atau Surabaya, pasti kalah. Dan orang Jakarta atau Surabaya nggak mungkin mau masuk ke Taliabu,” lanjutnya.

    Ke depannya, masalah distribusi dokter akan menggunakan metode prioritas yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat.

    “Masyarakat butuh dokter spesialis di Taliabu, butuh dokter spesialis di Aru, butuh dokter spesialis di Anambas, nah rumah sakit Anambas, rumah sakit Aru, rumah sakit Taliabu mendapatkan prioritas untuk mengirimkan (calon) dokter spesialisnya. Orangnya yang sudah bekerja di sana,” katanya.

    “Akibatnya apa? Setelah lulus, mereka kembali,” tutupnya.

    Halaman 2 dari 2

    (dpy/up)

  • Bayi Raya di Sukabumi Bukan Meninggal karena Cacing, tapi Diduga TBC

    Bayi Raya di Sukabumi Bukan Meninggal karena Cacing, tapi Diduga TBC

    Jakarta

    Menteri Kesehatan (Menkes), Budi Gunadi Sadikin, menyebut Raya, balita 4 tahun di Sukabumi tidak meninggal karena cacing yang ada di tubuhnya. Melainkan diduga karena meningitis tuberkulosis (TBC)

    “Kemarin kan ada yang meninggal karena cacing, itu sebenarnya kalau dokter-dokter lihat medical recordnya, ahli-ahli datang, meninggalnya bukan karena cacing. Dugaannya meningitis karena TBC,” kata Budi Gunadi dalam acara #DemiIndonesia di Menara Bank Mega, Jakarta Selatan, Selasa (26/8/2025).

    Budi menduga infeksi yang diderita Raya mungkin terjadi karena beberapa kemungkinan. Salah satu diagnosanya yakni batuk berbulan-bulan yang dialami Raya.

    “Ini saya bukan alihnya, saya akui, tapi sebagai apa, enggak ada orang yang meninggal karena cacing itu enggak ada. Tapi cacing itu berdampak apa itu ada. Biasanya berdampak ke infeksi, berdampak karena TBC, berdampak lain-lain,” jelas Budi.

    “Anak ini meninggalnya, dugaan utamanya adalah TBC. Karena dia batuk tiga bulan tanpa henti. Ya, itu pasti sekeluarga sudah pasti tertular kalau seperti itu,” tuturnya.

    Dalam kesempatan itu, Budi Gunadi menyatakan penanganan TBC menjadi salah satu tugas prioritas di kementeriannya. Dia menjelaskan bahwa TBC merupakan penyakit menular pembunuh paling besar di Indonesia.

    “Setiap tahun yang kena 1 juta, yang meninggal 125 ribu. Jadi saya bilang ke teman-teman, jangan banyak omon-omon, kerja aja cepat,” ungkapnya.

    Dia mengatakan cara terbaik mengatasi penyakit menular seperti TBC adalah cepat mengetahuinya. Tujuannya agar penularannya dapat diantisipasi.

    Salah satu mendeteksi TBC, lanjut Budi, dapat melalui program cek kesehatan gratis (CKG) yang dicanangkan pemerintah. “Jadi kalau cek kesehatan gratis jangan lupa screen TBC,” pungkasnya.

    Sejumlah menteri Kabinet Merah Putih hadir dalam acara #DemiIndonesia ‘Wujudkan Asta Cita’ malam ini. Adapun mereka yang hadir yakni Menkop Budi Arie, Menaker Yassierli, Menag Nasaruddin Umar.

    Ada juga Menteri ATR/BPN Nusron Wahid, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, hingga Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga serta Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Wihaji.

    Mereka mengupas tuntas programnya dalam mewujudkan Asta Cita Prabowo. Acara dialog interaktif diikuti oleh stakeholder, peserta didik, asosiasi, hingga komunitas.

    Acara ini didukung oleh PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk., MIND ID, PT Pertamina (Persero), dan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk.

    Halaman 2 dari 2

    (ond/maa)

  • Bayi Raya di Sukabumi Bukan Meninggal karena Cacing, tapi Diduga TBC

    Menkes Bakal Bertolak ke Sumenep Tangani KLB Campak

    Jakarta

    Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin buka suara terkait kasus campak di Sumenep, Jawa Timur. Dia mengatakan akan bertolak ke Sumenep dalam rangka penanganan Kasus Luar Biasa (KLB) tersebut.

    “Rencananya saya mau ke sana, saya mau ke sana,” kata Budi Gunadi di Menara Bank Mega, Jakarta Selatan, Selasa (26/8/2025).

    Namun, dia belum membeberkan kapan waktu pasti akan menyambangi Sumenep. Di sisi lain, Budi Gunadi mengakui angka kasus campak di Pulau Madura memang meningkat.

    “Sebenarnya nggak hanya di Sumenep, tapi di beberapa kota di Madura itu memang naik (kasusnya),” ucap Budi.

    “Salah satu penyebab utamannya karena memang imunisasinya rendah sekali di sana,” lanjutnya.

    Sebelumnya, kasus campak di Sumenep sudah dinyatakan sebagai kejadian luar biasa (KLB) setelah 17 orang meninggal. Daerah tersebut juga mencatat ada 2.035 kasus suspek yang tersebar di 26 kecamatan.

    Kementerian Kesehatan (Kemenkes RI) menyebut kasus kematian akibat campak di Sumenep mayoritas tidak memiliki riwayat imunisasi. Kebanyakan pasien meninggal karena campak adalah balita.

    Wakil Menteri Kesehatan (Wamenkes) Dante Saksono Harbuwono mengatakan imunisasi terkait campak di Sumenep tergolong rendah. Menurutnya, ada beberapa alasan mengapa orang tua tidak memberikan vaksinasi pada anak.

    “Banyak (alasan keluarga nggak mau vaksinasi anak). Ada yang dikaitkan soal agama, takut karena nanti ada efek samping,” kata Prof Dante kepada wartawan di kantor BRIN, Jakarta Pusat, Senin (25/8).

    “Sebenarnya ini sudah kami kaji. Vaksinasi-vaksinasi yang kami berikan ke masyarakat itu sudah dikaji secara empiris dalam waktu lama, sehingga aman untuk diberikan ke anak,” sambungnya.

    Halaman 2 dari 2

    (ond/maa)

  • Video: Raya Diduga Meninggal gegara TBC, Bukan Cacing

    Video: Raya Diduga Meninggal gegara TBC, Bukan Cacing

    Jakarta – Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin membahas terkait pemberitaan mengenai seorang anak bernama Raya yang sebelumnya dikabarkan meninggal dunia akibat penyakit cacingan.

    Dalam penjelasannya, Menteri Kesehatan menegaskan bahwa penyebab utama kematiannya bukanlah cacingan, melainkan Tuberkulosis (TBC).

    Ungkapan ini disampaikan langsung dalam acara Demi Indonesia Wujudkan Asta Cita pada Selasa, (26/8/2025).

    (/)