Tag: Bobby Nasution

  • Di Balik Pertemuan Jokowi dan Prabowo selama Dua Jam, Rocky Gerung Ungkap Hal Ini

    Di Balik Pertemuan Jokowi dan Prabowo selama Dua Jam, Rocky Gerung Ungkap Hal Ini

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Pengamat Politik, Rocky Gerung angkat suara terkait pertemuan Presiden Prabowo Subianto dengan Mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) selama dua jam. 

    Rocky menilai pertemuan itu pastinya bukan sekadar kangen-kangenan. Pasti ada hal penting yang dibicarakan.

    Dia menyinggung soal pembahasan pendidikan putra Jokowi, yakni Wapres Gibran dan menantunya, dugaan kasus Bobby Nasution yang saat ini menjabat sebagai Gubernur Sumatera Utara bisa saja menjadi kegelisahan Jokowi yang diungkapkan ke Presiden Prabowo. 

    “Tentu orang pada akhirnya pergi pada semacam yang paling masuk akal bahwa pasti itu yang dibicarakan adalah keluarga Jokowi yang mulai terlihat gelisah,” ungkap Rocky melalui kanal YouTube-nya, Minggu, (5/10/2025).

    “Karena tekanan dari BEM, emak-emak, internasional yang ingin melihat seberapa jauh keterlibatan dinasti Jokowi dalam korupsi,” lanjutnya.

    Apalagi KPU disebut telah memberikan fotocopy ijazah Jokowi ke Roy Suryo yang selama ini juga jadi polemik. 

    Sebelumnya, Jokowi menemui Presiden Prabowo Subianto kemarin. Pertemuan keduanya dilakukan di kediaman Prabowo, Jalan Kertanegara, Jakarta Selatan.

    Menteri Sekretariat Negara (Mensesneg) RI, Prasetyo Hadi menyebut pertemuan antara Presiden Prabowo Subianto dan Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi). 

    Prasetyo Hadi mengatakan, keduanya membahas soal masalah kebangsaan hingga masukan terkait rencana ke depan.

    “Tentu banyak hal yang dipercakapkan mengenai masalah-masalah kebangsaan. Termasuk memberikan masukan ke depan sebaiknya seperti apa untuk beberapa hal,” tuturnya.

  • 4
                    
                        Bila Gubernur Gagal Paham
                        Nasional

    4 Bila Gubernur Gagal Paham Nasional

    Bila Gubernur Gagal Paham
    Mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Duta Besar Indonesia untuk Rusia dan Belarusia.
    PAGI
    itu, 15 Agustus 2005, sekitar pukul 10 pagi, di sebuah bangunan yang terletak di jantung kota Helsinki, Filandia. Dunia memandang apa gerangan yang terjadi dalam bangunan itu.
    Di situlah perjanjian Helsinki ditandatangani, antara pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
    Setelah hampir 30 tahun konflik berdarah, pagi itu, segala silang paham di masa silam, dihentikan. Salak senjata antara TNI dengan pasukan GAM, dibungkam.
    Saya sebagai ketua tim perunding pemerintah yang menandatangani perjanjian damai itu, dalam sambutan mengatakan: “Mulai hari ini, garis pemisah antara “mereka” dan “kami”, harus dihapuskan. Kita hanya punya satu garis, yakni “kita”. Mari kita merenda segala perbedaan masa lalu, menjadi sebuah sulaman indah.”
    “Perdamaian yang kita capai hari ini, bukan hanya berarti dihentikannya kekerasan, tetapi kita hidup bersama, saling mendukung, menghargai dan mengerti. Mari kita wujudkan mimpi-mimpi kita. Mimpi untuk berlayar dalam perahu yang sama, bermukim di atas tanah yang sama.”
    Saya menutup pidato dengan mengutip peribahasa Aceh: “Pat ujen han pirang, pat prang tan reda (manalah ada hujan tanpa henti, manalah ada perang tanpa akhir.”
    Memori tentang peristiwa dua dekade silam itu, sontak berjejal-jejal dalam benak saya. Ini dipicu oleh kebijakan Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution yang memberhentikan kendaraan berplat Aceh ketika melintas di wilayah Sumatera Utara. Tujuannya hanya tunggal, memaksimalkan pendapatan asli daerah (PAD).
    Ini sebuah pesan, kini, dalam berhubungan dengan Aceh, Bobby Nasution masih menganut paham “kami” dan “mereka”, yang sudah kita kubur lewat perjanjian Helsinki.
    Sebuah keteledoran yang tak termaafkan buat negeri yang menganut paham “Persatuan Indonesia”, sebagai pilar ketiga dasar bernegara dan berbangsa kita.
    Kebijakan Bobby Nasution terkesan sekali memelihara sekam konflik, yang sewaktu-waktu masih bisa menyala dan menjalar ke mana-mana.
    Gubernur yang satu ini seolah mengundang penafsiran bahwa dirinya belum siap merenda perbedaan masa silam, dengan sulaman indah yang bernama persatuan Indonesia.
    Dengan gampang kita menilai, Gubernur Bobby Nasution gagal paham mengenai posisinya dan aturan main yang berlaku di negeri ini.
    Undang-Undang No 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan jelas mengatakan bahwa kewenangan penindakan pelanggaran lalu lintas ada pada polisi lalu lintas, bukan pada gubernur.
    Plat nomor kendaraan, selama pemiliknya membayar segala kewajibannya, maka kendaraan tersebut boleh beredar dan berada di mana pun dalam yurisdiksi negara kesatuan Republik Indonesia.
    Kendaraan bergerak dinamis ke mana saja. Rodanya berputar, mengikuti misi yang diberikan oleh pemilik atau sopirnya, termasuk kendaraan orang Aceh, yang keluar masuk ke wilayah Sumatera Utara.
    Perspektif yuridis lainnya, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 Tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah jelas mengatakan, pajak kendaraan bermotor (PKB) dikenakan sesuai dengan tempat tinggal (domisili) pemiliknya.
    Ukuran domisi adalah kartu tanda penduduk (KTP). Bila pemiliknya berdomisili di Aceh, maka sang pemilik wajib membayar PKB di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, bukan di Provinsi Sumatera Utara.
    Maka, Gubernur Sumatera Utara tidak boleh memaksa kendaraan yang berplat Aceh membayar pajak di wilayahnya.
    Pemaksaan kehendak adalah kesewenang-wenangan dan itu pelanggaran hukum.
    Maksimalisasi pendapatan asli daerah sama sekali tidak identik dengan membangun dikotomi antara daerah otonom satu dengan daerah otonom lainnya.
    Dalam konteks ini semua, ada baiknya kita semua mengingat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah.
    Di situ dikatakan, gubernur tidak boleh mengambil kebijakan yang melampaui kewenangannya atau berpotensi mengganggu hubungan harmonis antardaerah.
    Penghentian kendaraan berplat Aceh di Sumatera Utara, jelas akan mengganggu hubungan harmonis. Jelas menyinggung perasaan orang-orang Aceh. Jelas bisa menimbulkan rasa fanatisme daerah yang menggerogoti rasa kesatuan dan persatuan bangsa.
    Apa ini yang dikehendaki? Sangat mahal harga untuk menjaga agar kapal kebersamaan bangsa tidak oleng.
    Luka rasa orang-orang Aceh belumlah sembuh betul akibat ambisi Gubernur Bobby Nasution memiliki empat pulau yang menjadi milik Aceh sejak berabad-abad silam.
    Ketika itu, Gubernur Bobby Nasution sangat pro-aktif atas klaim kepemilikan empat pulau itu. Ia malah datang khusus ke Banda Aceh menemui Gubernur Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, Muzakkir Manaf. Kejadian tersebut barulah beberapa bulan lalu.
    Untung, Presiden Prabowo Subianto, turun tangan. Pengalihan empat pulau tersebut batal dieksekusi.
    Terlepas dari perspektif normatif di atas, tegakah kita membiarkan akal waras kita dipecundangi oleh nafsu keserakahan demi pendapatan asli daerah?
    Masih tegakah kita melihat saudara-saudari kita di Aceh meradang, sakit hati, dan luka rasa?
    Luka yang dalam itu membuat orang bakal kebal dari rasa sakit. Di situlah pangkal ikhwal mengapa orang mengayun kapak amuk.
    Kalau kita mau jujur, tanpa truk, bus dan kendaraan orang-orang Aceh yang malang melintang di Sumatera Utara, ekonomi provinsi tersebut bisa terganggu.
    Truk orang-orang Aceh mengangkut hasil bumi dari Aceh untuk dinikmati dan diperdagangkan di Sumatera Utara.
    Sebaliknya, barang-barang dagangan milik orang-orang Sumatera Utara, diangkut oleh truk-truk orang Aceh ke Provinsi Nangroe Aceh Darussalam. Di sini berlaku prinsip
    mutual benefits
    .
    Maka kita pun boleh bertanya: “Apa yang kamu cari, Pak Gubernur?”
    Lantas apa yang harus dilakukan? Menteri Dalam Negeri RI Tito Karnavian, sesuai kewenangannya, dapat menegur, malah bisa memberi sanksi kepada seorang gubernur yang bertindak di luar kewenangannya.
    Gubernur memang adalah kepala daerah otonom provinsi, tetapi ia juga sekaligus sebagai gubernur wakil pemerintah pusat. Ada baiknya, pemerintah pusat sensitif soal ini.
    Christina Panjaitan, penyanyi kondang di era 1980-1990-an, bersenandung penuh peringatan: “Sudah kubilang.”
    Sudah kubilang

    Jangan kau petik mawar yang penuh berduri

    Sudah kubilang

    Jangan engkau dekati api yang membara

    Jangan kau tertusuk nanti

    Jangan kau terbakar nanti

    Jangan kau bawa dirimu dalam mimpi.
     
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Gubernur Sumut inisiasi pembentukan satgas pengawasan pengemudi ojol

    Gubernur Sumut inisiasi pembentukan satgas pengawasan pengemudi ojol

    Medan (ANTARA) – Gubernur Sumatera Utara (Sumut) Bobby Nasution menginisiasi pembentukan Satuan Tugas Pengawasan Pelaksanaan Biaya Jasa Pengguna Sepeda Motor Berbasis Aplikasi bagi pengemudi ojek online (ojol) di wilayah Sumut.

    “Kami minta ke satgas, tolong keluhan seperti ini diterbitkan rekomendasi ke pemprov (pemerintah provinsi,” ucap Bobby usai menerima Gabungan Ojek Roda Dua Medan Sekitarnya (GODAMS) bersama Aliansi Solidaritas Driver Medan (SDM) di Kantor Gubernur Sumut, Jumat.

    Gubernur meminta satgas membuat kajian atas keluhan pengemudi ojol menuntut keadilan sistem tarif dan perlindungan keselamatan kerja.

    Ia berjanji paling lambat sepekan usai satgas mengeluarkan rekomendasi untuk Gubernur, Pemprov Sumut akan menerbitkan regulasi.

    “Dalam waktu seminggu kami terima, kami akan keluarkan kebijakan untuk hasil dari rekomendasi tersebut,” kata Bobby.

    Menurutnya, hasil rekomendasi dari satgas ini bisa berupa peraturan gubernur atau kebijakan yang meringankan keluhan dari para pengemudi ojol.

    Pengemudi ojol berbagai platform, seperti Maxim, Shopee, Grab, Indrive, dan Gojek mengeluhkan praktik aplikator yang dianggap merugikan mereka.

    Mulai dari penerapan argo murah yang memicu perang tarif hingga belum ada kepastian hukum atas jaminan keselamatan dan perlindungan kerja.

    “Satgas itu nantinya diketuai oleh kepala Dinas Perhubungan bersama kepala Dinas Komunikasi dan Informatika Sumut,” tegas Bobby.

    Ketua Umum GODAMS Agam Zubir menegaskan pertemuan ini bertujuan mencari solusi konkret atas persoalan yang dihadapi oleh para pengemudi ojol di wilayah Sumut.

    “Harapannya setelah pertemuan ini bisa mencari satu formula atau solusi atas praktik kecurangan yang banyak merugikan ojol,” kata Agam.

    Pihaknya juga meminta segera pemberlakuan batas ambang atas dan bawah nilainya Rp2.000 sampai Rp 2.500 per kilometer sesuai aturan yang berlaku.

    Ia melanjutkan, pengemudi ojol berharap Pemprov Sumut bisa menjadi pelopor menyelamatkan nasib pekerja ojol yang kerap dieksploitasi oleh para aplikator.

    “Dipraktekkan sesuai aturan, sehingga tidak adalagi embel-embel mesti harus mengikuti berbagai macam program aplikator,” tegas Agam.

    Pewarta: Muhammad Said
    Editor: Hisar Sitanggang
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Pelat BL Sah, Tak Ada Aturan yang Batasi Pergerakan Kendaraan

    Pelat BL Sah, Tak Ada Aturan yang Batasi Pergerakan Kendaraan

    Jakarta

    Heboh perdebatan soal penggantian pelat nomor Aceh menjadi pelat nomor Sumatera Utara. Dalam video yang beredar, rombongan Gubernur Sumut Bobby Nasution memberhentikan truk berpelat BL (nomor polisi dari Aceh) dan meminta agar pelatnya diubah menjadi BK (nomor polisi dari Sumut).

    Video viral itu awalnya memperlihatkan rombongan Bobby Nasution yang menyetop dan meminta agar pengemudi truk turun dari mobilnya. Kemudian, Asisten Administrasi Umum Pemprov Sumut Muhammad Suib terlihat berdialog dengan sopir truk tersebut.

    Suib meminta agar pelat BL (nomor polisi dari Aceh) yang digunakan truk itu diubah menjadi BK (nomor polisi dari Sumut). Permintaan untuk mengubah pelat itu yang kemudian viral dan menjadi perbincangan masyarakat.

    Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Wilayah Aceh dan akademisi transportasi Universitas Syiah Kuala, Yusria Darma, mengatakan langkah Gubernur Sumatera Utara yang menghentikan truk berpelat Aceh (BL) di Langkat demi mendorong penggantian pelat ke BK atau BB patut dikaji ulang.

    “Penggantian pelat nomor hanya relevan bagi kendaraan yang pemiliknya telah berdomisili permanen di Sumatera Utara. Itu pun harus melalui prosedur mutasi resmi sesuai aturan Polri dan SAMSAT,” kata Yusria Darma dikutip dari keterangan tertulisnya dikutip Kamis (2/10/2025).

    Menurutnya, kebijakan tersebut berpotensi mengganggu kelancaran logistik antarprovinsi dan menimbulkan ketidakpastian hukum.

    MTI Aceh menekankan bahwa truk BL yang beroperasi di Sumut adalah bagian vital dari rantai pasok komoditas antarprovinsi. Tindakan penghentian dan permintaan penggantian pelat tanpa dasar domisili sah berisiko mengganggu stabilitas ekonomi regional dan menciptakan konflik administratif.

    “STNK dan TNKB BL adalah dokumen legal yang berlaku nasional. Tidak ada Perda yang dapat membatasi pergerakan kendaraan antarprovinsi yang sah,” lanjut Yusria.

    “Jika Pemprov Sumut ingin meningkatkan PAD, pendekatannya harus sesuai hukum dan tidak mengorbankan prinsip kebebasan berlalu lintas,” sambungnya.

    MTI Aceh juga mengapresiasi aspek positif dari aksi tersebut, yakni teguran terhadap truk ODOL (Over Dimension Overload). “Kami mendukung penuh target Zero ODOL 2027. Namun, penegakan ODOL tidak bisa dijadikan alasan untuk intervensi administratif terhadap kendaraan dari provinsi lain,” ujar Yusria.

    (rgr/din)

  • 10
                    
                        Terungkap di Persidangan, Hasil Survei Jalan Rombongan Topan Ginting dan Bobby Nasution Hanya Dokumentasi Foto
                        Medan

    10 Terungkap di Persidangan, Hasil Survei Jalan Rombongan Topan Ginting dan Bobby Nasution Hanya Dokumentasi Foto Medan

    Terungkap di Persidangan, Hasil Survei Jalan Rombongan Topan Ginting dan Bobby Nasution Hanya Dokumentasi Foto
    Tim Redaksi
    MEDAN, KOMPAS.com
    – Survei jalan Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution, mantan Kadis PUPR Sumut, Topan Ginting, bersama rombongan, hasilnya hanya dokumentasi berupa foto-foto.
    Hal ini terungkap dalam sidang pemeriksaan saksi, yaitu Topan Ginting dan mantan Kepala UPTD PUPR Gunung Tua di ruang Cakra 9 Pengadilan Negeri (PN) Medan, Kamis (2/10/2025).
    Mereka memberi kesaksian untuk pembuktian dua terdakwa, yakni Direktur Utama PT Dalihan Na Tolu Grup, Muhammad Akhirun Piliang alias Kirun, dan Direktur PT Rona Mora, Muhammad Rayhan Dulasmi.
    Rombongan Bobby dan Topan melakukan survei jalan di Desa Sipiongot, Kecamatan Dolok, Kabupaten Padanglawas Utara, pada Selasa (22/4/2025).
    Pada persidangan, kuasa hukum terdakwa Akhirun Piliang dan Rayhan Dulasmi menanyakan hasil survei tersebut.
    “Kemudian setelah selesai kegiatan, tentu ada dong hasil surveinya. Apa hasilnya surveinya? Dalam bentuk apa produk surveinya?” tanya kuasa hukum itu.
    “Ada, foto-foto,” jawab Topan.
    Topan yang mencoba ingin menjawab pertanyaan kuasa hukum Akhirun, tetapi Ketua Majelis Hakim, Khamozaro Waruwu, memotong pembicaraan dan langsung bertanya pada Topan.
    Khamozaro mengatakan, sebagai mantan Kadis Pekerjaan Umum yang sudah berpengalaman, kalau sebuah survei proyek pembangunan jalan, minimal apa saja kira-kira yang menjadi konten atau isinya.
    “Cukup foto-foto saja? Jawab Topan,” tegas Khamozaro.
    “Kita lihat kondisi jalannya,” ucap Topan.
    Hakim lanjut bertanya apakah itu semua terdokumentasi. Topan kemudian mengatakan yakin bahwa semua hasil surveinya terdokumentasi.
    Ia lalu bertanya kepada JPU KPK mengenai bukti-bukti yang dikatakan Topan.
    “Tidak ada, hanya foto-foto,” kata salah satu JPU KPK, Eko Wahyu Prayitno.
    Khamozaro menyampaikan jangan foto-foto saja. Dokumen secara teknis tidak ada.
    “Kalau survei sesuai kebenaran, ada dokumen tervalidasi secara teknis,” tutur Khamozaro.
    Dalam kasus ini, terdakwa menyuap Topan dan pihak lain sebesar Rp 4 miliar agar dimenangkan sebagai pelaksana proyek Jalan Sipiongot-Batas Labuhanbatu senilai Rp 96 miliar serta proyek Jalan Hutaimbaru-Sipiongot senilai Rp 61,8 miliar.
    Atas perbuatannya, Kirun dan Rayhan didakwa secara alternatif.
    Dakwaan pertama, Pasal 5 ayat (1) huruf a UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.
    Dakwaan kedua, Pasal 13 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Sejarah Konflik Aceh dan Sumut, Dari Rebutan Pulau Sampai Pajak Daerah. Berakhir Bobby Minta Maaf

    Sejarah Konflik Aceh dan Sumut, Dari Rebutan Pulau Sampai Pajak Daerah. Berakhir Bobby Minta Maaf

    JAKARTA – Hubungan Aceh dan Sumatera Utara (Sumut) diwarnai ketegangan berulang, yang seolah menjadi bom waktu regional. Konflik perbatasan paling sensitif adalah sengketa empat pulau di Aceh Singkil—yakni Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Besar, dan Pulau Mangkir Kecil.

    Tiga bulan setelah penyelesaian pulau, pada Sabtu, 27 September, viral video yang memperlihatkan rombongan Gubernur Sumut, Bobby Nasution, menghentikan sebuah truk berpelat BL (nomor polisi Aceh) di Kabupaten Langkat, dekat perbatasan. Tujuannya adalah agar pajak kendaraan bermotor (PKB) sumber PAD Sumut, dapat masuk ke kas daerah Sumut, bukan ke Aceh. setelah viral dan mendapat banyak kritik, Pemprov Sumut meminta maaf. ​

    Gubernur Aceh Muzakir Manaf (Mualem) memilih bersikap tenang. Alih-alih bersitegang soal pelat kendaraan, Pemerintah Provinsi Aceh mengambil langkah strategis untuk meningkatkan PAD dengan cara lain. Pada Selasa, 30 September 2025, Gubernur Mualem dan Forkopimda Aceh menggelar rapat terkait penertiban tambang ilegal. Simak informasi selengkapnya di VOI.id. 

  • Aceh-Sumut Memanas, Pelat Kendaraan Jadi Rebutan Pajak Daerah. Mualem Peringatkan Bobby

    Aceh-Sumut Memanas, Pelat Kendaraan Jadi Rebutan Pajak Daerah. Mualem Peringatkan Bobby

    JAKARTA – Setelah bulan Juni lalu sempat berseteru terkait empat pulau milik Aceh yang diklaim milik Sumut, kini muncul masalah baru terkait pelat kendaraan. Pemicunya adalah sebuah video yang viral di media sosial pada Sabtu, 27 September.

    Video tersebut memperlihatkan rombongan Gubernur Sumut, Bobby Nasution, menghentikan sebuah truk berpelat BL (nomor polisi Aceh) di Langkat, dekat perbatasan Aceh-Sumut. Rombongan tersebut mengimbau sopir truk agar menyampaikan kepada pemilik perusahaan untuk mengganti pelat kendaraan menjadi BK atau BB (nomor polisi Sumut).

    Tujuannya adalah agar pajak kendaraan bermotor yang merupakan salah satu sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) Sumut dapat masuk ke kas daerah Sumut, bukan ke Aceh.

    Hal tersebut diungkapkan oleh Asisten Administrasi Umum Setda Sumut Muhammad Suib dan diamini oleh Gubernur Sumut Bobby Nasution pada 29 September.

    Sementara itu, Gubernur Aceh, Muzakir Manaf (Mualem), memilih bersikap tenang. Mualem menyatakan tidak ambil pusing, namun ia menegaskan akan bertindak jika kebijakan tersebut merugikan masyarakat Aceh secara luas. Dengan bahasa Aceh, Mualem memberikan peringatan keras kepada Pemprov Sumut.

    Pertanyannya, apakah kebijakan Pemprov Sumut sesuai dengan semangat persatuan dan keharmonisan antar-daerah bertetangga yang diatur dalam undang-undang lalu lintas nasional? Simak informasi selengkapnya di VOI.id.

  • Didi Lionric Semprot Bobby Nasution: Ini Mantunya Jokowi Sengaja Bikin Masalah Sama Aceh?

    Didi Lionric Semprot Bobby Nasution: Ini Mantunya Jokowi Sengaja Bikin Masalah Sama Aceh?

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Konten kreator Didi Lionric menumpahkan kekesalannya terkait kisruh yang kembali mencuat antara Gubernur Sumatera Utara (Sumut), Bobby Nasution, dengan Gubernur Aceh, Muzakir Manaf alias Mualem.

    Didi secara terang-terangan mengkritik aturan razia kendaraan berpelat Aceh yang disebut berasal dari kebijakan Pemprov Sumut.

    Dikatakan Didi, aturan itu justru tidak masuk akal dan hanya memicu keributan baru.

    “Ini mantunya si Jokowi yang jadi Gubernur Sumatera Utara ngapain coba bikin aturan kek begini? (Razia plat kendaraan Aceh),” ujar Didi melalui akun X pibadinya, @didilionric (1/10/2025).

    “Biar apa coba? Sengaja bikin keributan gitu? Sengaja bikin masalah?,” tambahnya.

    Ia bahkan mengaitkan polemik tersebut dengan isu lama soal klaim empat pulau yang sempat menjadi perdebatan antara Aceh dan Sumut.

    “Atau jangan-jangan ini ada hubungan sama empat pulau Aceh yang gagal diembat oleh Sumut? Apakah karena itu makanya lu jadi ngambek terus sengaja bikin masalah sama Aceh?” tukasnya.

    Didi menuturkan bahwa kebijakan yang memaksa kendaraan berpelat Aceh untuk diganti dengan pelat Sumut tidak memiliki urgensi. Bahkan, ia menyebut langkah itu konyol.

    “Apa coba urgensinya maksa mobil plat Aceh disuruh ganti ke plat Sumut? Gunanya buat apa, kan tolol,” tegasnya.

    Lebih lanjut, ia membandingkan dengan kondisi di Jakarta. Menurutnya, di ibu kota banyak kendaraan dari daerah lain yang beroperasi tanpa pernah dipersoalkan.

    “Banyak tuh mobil plat daerah yang beroperasi di Jakarta dan gak diapa-apain. Karena memang gak ada urgensinya. Ngadi-ngadi juga lu jadi manusia,” kuncinya.

  • 3
                    
                        Ketua Komisi II DPR Maklumi Bobby Nasution yang Minta Truk Aceh Ganti Pelat
                        Nasional

    3 Ketua Komisi II DPR Maklumi Bobby Nasution yang Minta Truk Aceh Ganti Pelat Nasional

    Ketua Komisi II DPR Maklumi Bobby Nasution yang Minta Truk Aceh Ganti Pelat
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Ketua Komisi II DPR RI Rifqinizamy Karsayuda menilai langkah Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution yang meminta truk asal Aceh berpelat BL diganti menjadi pelat BK adalah hal yang wajar dalam upaya meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD).
    “Fenomena ini kan sebetulnya ada di banyak tempat. Daerah sekarang sedang berikhtiar sekuat tenaga untuk meningkatkan penerimaan atau pendapatan daerahnya,” ujar Rifqinizamy kepada wartawan, Rabu (1/10/2025).
    Dia menjelaskan bahwa pajak kendaraan bermotor menjadi salah satu sumber utama pendapatan pemerintah daerah.
    Oleh karena itu, kendaraan operasional perusahaan perlu menggunakan pelat nomor sesuai domisili dan wilayah operasinya agar pajak tetap masuk ke daerah tersebut.
    “Tentu secara administratif kan harus bernomor polisi setempat agar nanti begitu perpanjangan bayar pajak itu di tempat itu. Jadi menurut pandangan saya, itu hal yang normal sebetulnya. Hal yang wajar bagi sebuah daerah,” kata Rifqinizamy.
    Politikus Nasdem itu mengungkapkan bahwa kebijakan tersebut tidak hanya terjadi di Sumut.
    Dia mencontohkan langkah serupa juga dilakukan oleh Gubernur Riau Abdul Wahid.
    Meski begitu, Rifqinizamy menilai perlu ada regulasi yang lebih proporsional dari pemerintah pusat agar kebijakan tersebut tidak menimbulkan konflik antarwilayah.
    “Saya juga melihat kemarin Gubernur Abdul Wahid di Riau juga melakukan hal yang sama. Beliau meminta kepada beberapa sopir untuk segera menyampaikan kepada pemilik kendaraan, perusahaan agar segera mengubah pelatnya,” katanya.
    “Ini saya kira fenomena umum, tetapi mungkin harus disikapi oleh pusat. Nanti kami sampaikan kepada Kementerian Dalam Negeri agar jangan terkesan ini membangun konflik di bawah,” pungkasnya.
    Diberitakan sebelumnya, beredar video Gubernur Sumut Bobby Nasution menghentikan truk berpelat BL asal Aceh di Kabupaten Langkat, Sumut, Sabtu (27/9/2025).
    Dalam video tersebut, Asisten Administrasi Umum Pemprov Sumut Muhammad Suib sempat berbincang dengan sopir truk dan menjelaskan bahwa pelat BL harus diganti menjadi pelat BK supaya pajak kendaraan masuk ke kas daerah Sumut.
    Tak lama kemudian, Bobby juga mendatangi sopir itu.
    “Biar bosmu tahu, kalau enggak nanti bosmu enggak tahu,” kata Bobby dalam video itu.

    Bobby menjelaskan bahwa mulai 2026 pihaknya akan menerapkan aturan yang mewajibkan kendaraan operasional perusahaan menggunakan pelat nomor sesuai domisili dan wilayah operasinya.
    “Kami hanya mendata, menyosialisasikan, ini akan diberlakukan tahun 2026. Saya minta kepada bupati, tolong didata perusahaan yang berdomisili dan beroperasi di Sumut, tapi menggunakan kendaraan operasionalnya bukan pelat BK, agar diganti jadi BK atau BB. Kenapa? Karena pajak kendaraannya tidak masuk,” kata Bobby usai rapat paripurna di DPRD Sumut, Senin (29/9/2025).
    Menurutnya, aturan serupa juga sudah diterapkan di beberapa daerah, seperti Riau, Jawa Barat, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah.
    Sementara itu, Gubernur Aceh Muzakir Manaf mengaku tidak terlalu mempersoalkan tindakan Bobby.
    Namun, dia menegaskan tetap akan memantau perkembangan di lapangan.
    “Kita wanti-wanti juga,
    meunyo ka dipublo, tablo
    (kalau sudah dijual, kita beli).
    Nyo ka gatai, tagaro
    (kalau sudah gatal, kita garuk),” kata Muzakir dalam rapat paripurna di DPR Aceh, Senin (29/9/2025) malam.
    Muzakir yang akrab disapa Mualem itu menganggap polemik ini tak lebih dari “angin berlalu”.
    “Kita tenang saja, kita nilai itu angin berlalu, kicauan burung yang merugikan dia sendiri,” ucap Mualem.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Heboh Truk Pelat BL Aceh Diminta Ganti Jadi Pelat BK Sumut, Bagaimana Aturannya?

    Heboh Truk Pelat BL Aceh Diminta Ganti Jadi Pelat BK Sumut, Bagaimana Aturannya?

    Jakarta

    Heboh perdebatan penggantian pelat nomor Aceh menjadi pelat nomor Sumatera Utara. Beredar video yang bernarasi rombongan Gubernur Sumut Bobby Nasution memberhentikan truk berpelat BL (nomor polisi dari Aceh) dan meminta agar pelatnya diubah menjadi BK (nomor polisi dari Sumut).

    Video viral itu awalnya memperlihatkan rombongan Bobby Nasution yang menyetop dan meminta agar pengemudi truk turun dari mobilnya. Kemudian, Asisten Administrasi Umum Pemprov Sumut Muhammad Suib terlihat berdialog dengan sopir truk tersebut.

    Suib meminta agar pelat BL (nomor polisi dari Aceh) yang digunakan truk itu diubah menjadi BK (nomor polisi dari Sumut). Permintaan untuk mengubah pelat itu yang kemudian viral dan menjadi perbincangan masyarakat. Bagaimana aturannya?

    Secara regulasi, sebenarnya tidak ada aturan yang mengharuskan kendaraan melewati daerah tertentu harus menggunakan pelat nomor daerah tersebut. Hanya, regulasi mengatur bahwa identitas kendaraan sesuai dengan alamat pemilik kendaraan. Misalnya, identitas atau KTP pemilik kendaraan terdaftar di Aceh, maka kendaraan yang dimilikinya terdaftar di Aceh dan membayar pajak ke Provinsi Aceh.

    Dikutip detikSumut, Anggota DPD RI asal Aceh Sudirman Haji Uma mengatakan keberadaan kendaraan berpelat BL yang beroperasi di Medan tidak dapat dipisahkan dari fakta bahwa kendaraan angkutan barang maupun penumpang memiliki jalur lintas provinsi.

    “Sebagai daerah bertetangga, tentunya kendaraan saling melintas antar Aceh dan Medan dengan pelat BL maupun pelat BK. Ini mestinya tidak boleh menjadi sasaran dari razia tersebut karena ada aturan hukum yang mengatur yaitu UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan,” ujarnya.

    “Hubungan Aceh dan Medan sudah terjalin lama, baik dalam perdagangan maupun interaksi sosial. Jangan sampai hubungan yang baik ini dirusak oleh kebijakan sepihak yang justru mengorbankan kepentingan masyarakat luas,” lanjut Haji Uma.

    Mutasi dan Balik Nama

    Gubernur Sumatera Utara (Gubsu) Bobby Nasution berharap agar kendaraan milik perusahaan di Sumatera Utara mengubah ke pelat BK atau BB. Mengubah pelat nomor di sini berarti proses mutasi atau balik nama.

    Bobby meluruskan anggapan kendaraan yang melintas di Sumut harus pakai pelat nomor Sumut. Menurutnya, bukan kendaraan yang melintas di Sumut, tapi perusahaan yang beroperasional di Sumut perlu memutasikan kendaraannya ke Sumut.

    “Bukan sentimen terhadap suatu wilayah di Indonesia, tapi seluruh wilayah atau perusahaan yang ada di Sumatera Utara harus menggunakan pelat BK atau pelat BB untuk mengoperasikan pengangkutan hasil buminya yang ada di Sumatera Utara, bukan untuk yang melintas tapi untuk perusahaan yang beroperasional,” kata Bobby Nasution.

    Imbauan untuk mengubah pelat nomor sesuai daerah operasional juga pernah disampaikan oleh provinsi lain. Salah satunya Provinsi Jawa Barat. Pada April 2025 lalu, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi meminta perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Jawa Barat tapi kendaraannya masih terdaftar di daerah lain agar bisa dimutasikan.

    “Perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Jabar, mobil-mobilnya beroperasi di Jabar tapi nomornya masih luar Jabar, baik perorangan maupun perusahaan pemerintah, perusahaan swasta, saya minta mulai hari besok, tanggal 9 April 2025 sampai 30 Juni 2025 segera untuk mutasi,” kata Dedi kala itu.

    “Ini kesempatan, mohon dimanfaatkan. Karena apa, jangan sampai operasinya di Jawa Barat, ngerusak jalan di Jawa Barat, tapi bayar pajaknya di provinsi lain,” sebut Dedi saat itu.

    (rgr/din)