Tag: Bob Hasan

  • Baleg Setujui Revisi UU Pertambangan dan Minerba Jadi Usul Inisiatif di Rapat Paripurna DPR – Halaman all

    Baleg Setujui Revisi UU Pertambangan dan Minerba Jadi Usul Inisiatif di Rapat Paripurna DPR – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Badan Legislasi (Baleg) DPR RI menyepakati penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan, Mineral dan Batu Bara.

    Kesepakatan itu diambil dalam rapat pleno Pengambilan keputusan atas hasil Penyusunan RUU tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan, Mineral dan Batubara.

    Rapat dipimpin Ketua Baleg DPR RI Bob Hasan, di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, yang digelar Senin (20/1/2025) malam.

    “Kami meminta persetujuan, apakah hasil penyusunan RUU tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan, Mineral dan Batubara dapat diproses lebih lanjut sesuai peraturan perundang-undangan?” tanya Bob kepada peserta rapat.

    “Setuju,” jawab peserta rapat.

    Adapun setelah ini, hasil penyusunan RUU Pertambangan dan Minerba akan dibawa ke Rapat Paripurna untuk disahkan menjadi usul inisiatif DPR RI.

    Satu di antara poin penting yang diusulkan dalam revisi ini adalah memberikan kesempatan kepada perguruan tinggi dan usaha, mikro, kecil, dan menengah (UMKM) untuk turut mengelola tambang, seperti halnya organisasi masyarakat (ormas) keagamaan.

    Usulan ini tercantum dalam Pasal 51A ayat (1) RUU Minerba, yang menyatakan bahwa Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) mineral logam dapat diberikan kepada perguruan tinggi secara prioritas.

    Pemberian izin tersebut mempertimbangkan luas WIUP, akreditasi perguruan tinggi minimal B, serta kontribusi dalam meningkatkan akses pendidikan.

    Sementara itu, Pasal 51B mengatur pemberian WIUP mineral logam untuk badan usaha swasta dan UMKM. Aturan ini bertujuan mendukung hilirisasi, peningkatan nilai tambah, dan pemenuhan rantai pasok dalam negeri maupun global.

    Poin-poin Revisi Pasal 51A dan 51B
    Pasal 51A 

    (1) WIUP mineral logam dapat diberikan kepada perguruan tinggi dengan cara prioritas. 
    (2) Pemberian dengan cara prioritas mempertimbangkan: a. Luas WIUP mineral logam; b. Akreditasi perguruan tinggi dengan status minimal B; c. Peningkatan akses dan layanan pendidikan. 
    (3) Ketentuan lebih lanjut diatur melalui Peraturan Pemerintah.

    Pasal 51B

    (1) WIUP mineral logam dalam rangka hilirisasi dapat diberikan kepada badan usaha swasta dengan cara prioritas. 
    (2) Pemberian dengan cara prioritas mempertimbangkan: a. Luas WIUP mineral logam; b. Peningkatan tenaga kerja dalam negeri; c. Jumlah investasi; d. Peningkatan nilai tambah dan pemenuhan rantai pasok dalam negeri atau global. 
    (3) Ketentuan lebih lanjut diatur melalui Peraturan Pemerintah.

  • Revisi UU Minerba Bakal Diketok Malam Ini? Ini Kata Baleg

    Revisi UU Minerba Bakal Diketok Malam Ini? Ini Kata Baleg

    Jakarta, CNBC Indonesia – Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI membeberkan bahwa parlemen akan melakukan rapat pleno untuk Revisi Undang-undang (RUU) tentang Perubahan Ketiga atas Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara (UU Minerba) malam ini.

    Wakil Ketua Baleg DPR RI, Ahmad Doli Kurnia mengungkapkan, pihaknya sudah menerima semua masukan dari fraksi yang hadir dalam rapat untuk RUU Minerba tersebut dan akan dilakukan Rapat Pleno malam ini pukul 7 WIB.

    “Nanti jam 7 malam kita lanjutkan (Rapat Pleno) dan kita sudah sepakat juga bahwa walaupun ini dalam pembahasan hak inisiatif Baleg dalam rangka untuk memenuhi meaningful participation itu,” katanya saat ditemui di Gedung DPR RI, Jakarta, Senin (20/1/2025).

    Jika sudah ketok palu dalam Rapat Pleno, Revisi UU Minerba ini diusahakan menjadi pembahasan pada Rapat Paripurna DPR RI. Hal ini untuk mendengarkan masukan dari masyarakat sebelum bisa disahkan menjadi Undang-undang yang berlaku.

    “Mungkin satu dua hari besok ini diajukan di Rapat Paripurna menjadi hak inisiatif, kita dengarkan masukan dari masyarakat,” tambahnya.

    Hingga saat ini, Baleg DPR RI masih melakukan Rapat Panja untuk menerima segala masukan dari fraksi.

    Di lain kesempatan, Ketua Baleg DPR RI Bob Hasan menjelaskan bahwa, rapat ini menindaklanjuti hasil rapat pimpinan Baleg bersama Kapoksi Baleg pada 14 Januari 2025 lalu.

    “Terkait hal tersebut, pimpinan Baleg telah menugaskan tim ahli untuk merumuskan RUU Perubahan Keempat atas UU Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara,” ujar Bob saat membuka Rapat Pleno RUU Minerba yang diselenggarakan Baleg DPR RI, Senin (20/1/2025).

    Ia membeberkan bahwa setidaknya terdapat empat poin yang menjadi pokok pembahasan dalam revisi UU Minerba kali ini. Pertama, terkait percepatan hilirisasi mineral dan batu bara.

    Bob menilai program hilirisasi harus didorong agar Indonesia bisa lebih cepat mewujudkan swasembada energi. Kedua, terkait aturan pemberian izin usaha pertambangan (IUP) kepada organisasi masyarakat (ormas) keagamaan.

    Kemudian yang ketiga, terkait pemberian IUP kepada perguruan tinggi. Keempat, terkait pemberian IUP untuk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).

    Terpisah, Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Bambang Haryadi, menjelaskan bahwa revisi ini masih berada dalam tahap awal dan baru berupa usulan inisiatif dari DPR.

    “Ini masih usul inisiatif, masih jauh. Nanti nunggu surpres (surat presiden) lah, baru mau diajukan ke Paripurna sebagai usul inisiatif. Setelah diparipurnakan baru ini dikirim ke pemerintah. Pemerintah setuju gak itu kan ntar baru ada daftar inventarisasi masalah,” ujar Bambang kepada CNBC Indonesia, Senin (20/1/2025).

    Menurut Bambang, revisi ini akan menyasar beberapa poin pembahasan, salah satunya seperti penyesuaian pasal terkait hilirisasi di sektor pertambangan.

    Selain itu, revisi juga akan mencakup perluasan pembagian Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) kepada sejumlah Perguruan Tinggi Negeri di Indonesia. Langkah ini ditujukan agar dapat mengurangi biaya UKT yang merupakan dana kuliah yang harus dibayarkan mahasiswa per semester.

    “Perguruan tinggi negeri untuk mengurangi biaya UKT lah. Jadi biar merekal, ormas kan udah dikasih ormas keagamaan, nah perguruan tinggi UGM, Undip gitu-gitulah untuk biar mereka bisa mengelola dengan baik,” kata Bambang.

    Meski begitu, ia menekankan kembali bahwa agenda ini masih dalam tahap usulan dan belum masuk ke tahap pembahasan mendalam. Adapun, proses rapat untuk pembahasan usulan inisiatif ini dijadwalkan berlangsung pada hari ini dan bersifat tertutup.

    Bambang membeberkan, setelah usulan disetujui dalam sidang Paripurna, baru nantinya akan dilakukan pembahasan bersama pemerintah.

    “Ormas kan juga dulu skemanya belum ada sih, Makanya diperbaiki Skema pemberian itu kan Pemberian langsung itu kan di undang-undangnya nggak ada, makanya diperbaiki sekalian,” ujar Bambang.

    (pgr/pgr)

  • RUU Minerba Bahas Perguruan Tinggi Jadi Pengelola Tambang: Minimal Akreditasi B

    RUU Minerba Bahas Perguruan Tinggi Jadi Pengelola Tambang: Minimal Akreditasi B

    Jakarta: Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara (Minerba) menghadirkan wacana baru yang menarik. Badan Legislasi (Baleg) DPR RI membahas usulan agar perguruan tinggi mendapat prioritas dalam mengelola Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) mineral logam.

    Ketua Baleg DPR RI, Bob Hasan, menyampaikan apresiasinya terhadap langkah ini, yang dinilai mampu membawa manfaat langsung bagi masyarakat dan dunia pendidikan. 

    “Demikian pula dengan perguruan tinggi dan yang keempat tentunya UMKM, usaha kecil dan sebagainya. Saya secara pribadi melihat hal ini telah terdapat makna dan maksud terlepas daripada pasal 33 tersebut baru kali ini bisa terasionalisasi,” ujar Bob Hasan dalam rapat yang digelar di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta Pusat, Senin, 20 Januari 2025.

    Usulan ini tertuang dalam pasal 51A RUU Minerba, yang menyebutkan bahwa perguruan tinggi dapat diberi WIUP dengan cara prioritas. Syarat-syaratnya antara lain, luas WIUP, akreditasi perguruan tinggi minimal B, serta kontribusi terhadap peningkatan akses pendidikan bagi masyarakat.

    Baca juga: Jadi Jurus Andalan Jokowi, Apa Itu Hilirisasi?

    “Berikutnya, penambahan pasal 51A ayat 1, WIUP mineral logam dapat diberikan kepada perguruan tinggi dengan cara prioritas. Jadi di luar diberikan kepada Ormas keagamaan juga bisa diberikan kepada perguruan tinggi,” ungkap tenaga ahli Baleg DPR RI dalam rapat tersebut.

    Langkah ini disebut-sebut mampu memberikan peluang baru bagi perguruan tinggi untuk berkontribusi dalam pengelolaan sumber daya alam, sekaligus mendukung hilirisasi minerba. Pasal lain, seperti pasal 51B, mengatur prioritas WIUP dalam rangka hilirisasi bagi badan usaha swasta dengan kriteria tertentu, termasuk peningkatan tenaga kerja dan investasi dalam negeri.

    Bob Hasan menekankan bahwa keterlibatan perguruan tinggi dalam pengelolaan tambang dapat memberikan dampak positif bagi masyarakat. “Kemakmuran rakyat, kesejahteraan rakyat, tidak lagi di dalam areal pertambangan itu masyarakat hanya terkena debu batu bara atau akibat-akibat daripada eksploitasi minerba, tapi hari-hari ini merupakan peluang bagi masyarakat di RI,” tambahnya.

    Jika disahkan, aturan ini tidak hanya membuka ruang baru bagi perguruan tinggi untuk berkembang, tetapi diklaim juga mendukung prinsip keadilan dan kemakmuran yang diamanatkan UUD 1945. Namun, pengawasan ketat dan pengelolaan yang baik tetap diperlukan agar tujuan tersebut dapat tercapai secara optimal.

    Jakarta: Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara (Minerba) menghadirkan wacana baru yang menarik. Badan Legislasi (Baleg) DPR RI membahas usulan agar perguruan tinggi mendapat prioritas dalam mengelola Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) mineral logam.
     
    Ketua Baleg DPR RI, Bob Hasan, menyampaikan apresiasinya terhadap langkah ini, yang dinilai mampu membawa manfaat langsung bagi masyarakat dan dunia pendidikan. 
     
    “Demikian pula dengan perguruan tinggi dan yang keempat tentunya UMKM, usaha kecil dan sebagainya. Saya secara pribadi melihat hal ini telah terdapat makna dan maksud terlepas daripada pasal 33 tersebut baru kali ini bisa terasionalisasi,” ujar Bob Hasan dalam rapat yang digelar di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta Pusat, Senin, 20 Januari 2025.

    Usulan ini tertuang dalam pasal 51A RUU Minerba, yang menyebutkan bahwa perguruan tinggi dapat diberi WIUP dengan cara prioritas. Syarat-syaratnya antara lain, luas WIUP, akreditasi perguruan tinggi minimal B, serta kontribusi terhadap peningkatan akses pendidikan bagi masyarakat.
     
    Baca juga: Jadi Jurus Andalan Jokowi, Apa Itu Hilirisasi?
     
    “Berikutnya, penambahan pasal 51A ayat 1, WIUP mineral logam dapat diberikan kepada perguruan tinggi dengan cara prioritas. Jadi di luar diberikan kepada Ormas keagamaan juga bisa diberikan kepada perguruan tinggi,” ungkap tenaga ahli Baleg DPR RI dalam rapat tersebut.
     
    Langkah ini disebut-sebut mampu memberikan peluang baru bagi perguruan tinggi untuk berkontribusi dalam pengelolaan sumber daya alam, sekaligus mendukung hilirisasi minerba. Pasal lain, seperti pasal 51B, mengatur prioritas WIUP dalam rangka hilirisasi bagi badan usaha swasta dengan kriteria tertentu, termasuk peningkatan tenaga kerja dan investasi dalam negeri.
     
    Bob Hasan menekankan bahwa keterlibatan perguruan tinggi dalam pengelolaan tambang dapat memberikan dampak positif bagi masyarakat. “Kemakmuran rakyat, kesejahteraan rakyat, tidak lagi di dalam areal pertambangan itu masyarakat hanya terkena debu batu bara atau akibat-akibat daripada eksploitasi minerba, tapi hari-hari ini merupakan peluang bagi masyarakat di RI,” tambahnya.
     
    Jika disahkan, aturan ini tidak hanya membuka ruang baru bagi perguruan tinggi untuk berkembang, tetapi diklaim juga mendukung prinsip keadilan dan kemakmuran yang diamanatkan UUD 1945. Namun, pengawasan ketat dan pengelolaan yang baik tetap diperlukan agar tujuan tersebut dapat tercapai secara optimal.
     
    Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
    dan follow Channel WhatsApp Medcom.id

    (DHI)

  • Dulu Ormas, Kini Perguruan Tinggi dan UKM Berpotensi Dapat Izin Tambang – Page 3

    Dulu Ormas, Kini Perguruan Tinggi dan UKM Berpotensi Dapat Izin Tambang – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta Badan Legislasi (Baleg) DPR membuka peluang bagi pemerintah untuk memberikan wilayah izin usaha pertambangan khusus (WIUPK) kepada perguruan tinggi dan usaha kecil dan menengah (UKM), selain kepada badan usaha ormas keagamaan.

    “Sebagaimana yang telah sering kita dengarkan, perlunya diundangkan prioritas bagi ormas keagamaan untuk mengelola pertambangan, demikian pula dengan perguruan tinggi, dan tentunya UKM, usaha kecil, dan sebagainya,” ucap Ketua Baleg DPR RI Bob Hasan dalam rapat pleno penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Ketiga Atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara (Minerba) di Senayan, Jakarta, Senin.

    Rapat pleno tersebut digelar di tengah masa reses untuk membahas dan menyepakati secara cepat revisi Undang-Undang Mineral dan Batu Bara (Minerba).

    Bob menjelaskan bahwa pemberian WIUPK kepada ormas keagamaan, perguruan tinggi, dan UKM bertujuan untuk memberi kesejahteraan kepada masyarakat.

    Dengan pemberian WIUPK, kata dia, masyarakat di sekitar wilayah pertambangan tidak lagi hanya terkena debu batu bara atau akibat-akibat daripada eksploitasi mineral dan batu bara.

    “Ini merupakan peluang bagi masyarakat, sehingga dapat melakukan satu usaha yang secara langsung,” ucap Bob.

    UU Minerba

    Baleg DPR RI berniat untuk menambahkan pasal dalam UU Minerba, yakni Pasal 51A ayat (1) yang menyatakan WIUP mineral logam dapat diberikan kepada perguruan tinggi dengan cara prioritas.

    Kemudian, Pasal 51A ayat (2) mengatur soal pertimbangan pemberian WIUP ke perguruan tinggi, dan ayat (3) menyampaikan ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian WIUP kepada perguruan tinggi diatur berdasarkan peraturan pemerintah (PP).

    Kemudian, Baleg DPR juga berniat untuk menambahkan aturan untuk luas IUP di bawah 2.500 hektare untuk diprioritaskan diberikan kepada UKM daerah setempat. “Kita yang terus berkembang dari masyarakat agraris menjadi masyarakat industri, hal inilah mungkin yang menjadi pertimbangan sehingga perlunya percepatan dan ditambah dengan hilirisasi,” kata Bob Hasan.

     

  • Menhub Sebut DPR Bakal Bahas Perlindungan buat Ojek Online

    Menhub Sebut DPR Bakal Bahas Perlindungan buat Ojek Online

    Jakarta

    Menteri Perhubungan Dudy Purwagandhi mengungkapkan pihak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akan menginisiasi pembentukan regulasi perlindungan terhadap ojek online (ojol), khususnya untuk pengemudi di Indonesia.

    Dia menyebutkan Kementerian Perhubungan akan terbuka dengan rencana tersebut.

    “Nanti saya coba lihat, karena yang saya dengar itu sepertinya DPR akan menginisiasi perlindungan terhadap ojek online, khususnya untuk pengemudi. Kita sih terbuka,” kata Dudy kepada wartawan di Taman Rekreasi Wiladatika, Depok, Jawa Barat, Minggu (22/12/2024).

    Dalam penyusunan regulasi tersebut, Dudy menilai perlu koordinasi lanjutan dengan stakeholder terkait, termasuk para aplikator ojol. Ia mengaku akan mendukung tiap kebijakan yang berkaitan dengan pengemudi, baik online maupun konvensional.

    “Pada intinya, bahwa Kemenhub akan selalu men-support apapun itu untuk kepentingan pengemudi online maupun yang biasa,” jelasnya.

    Ia mengaku tengah menanti naskah akademik ihwal regulasi perlindungan ojol. Melalui naskah akademik tersebut, kata Dudy, Kemenhub akan mengkaji lebih lanjut tentang regulasi perlindungan ojol yang disusun DPR.

    “Kalau inisiasi datang dari DPR tentu kita akan dapatkan telaah, kajian akademis ya, nanti kita akan pelajari itu,” tutupnya.

    Sementara itu, Ketua Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Bob Hasan, berkomitmen untuk menyusun payung hukum para pengemudi konvensional. Hal itu ia ungkap dalam sambutannya di kongres Rumah Berdaya Pengemudi Indonesia (RBPI) di Taman Rekreasi Wiladatika, Depok, Jawa Barat, Minggu (22/12/2024).

    Bob Hasan menuturkan, jumlah peredaran kendaraan di Indonesia menyentuh 18 juta unit pada tahun 2023. Angka tersebut menunjukkan peningkatan sekitar 4 juta unit dibanding 2018 sebanyak 14 juta unit.

    Ia menyebut, jumlah kendaraan didominasi oleh kendaraan penumpang sebanyak 15 juta unit, mobil niaga 3,8 juta unit, mobil barang 2,3 juta unit, dan mobil dinas 1,2 juta unit.

    “Ada 12 sampai 13 juta unit yang disupiri atau dikendarai oleh Bapak Ibu sekalian (RBPI) yang tentunya perlu jaminan hukum, perlu pengamanan hukum, karena pendapatan yang diperoleh tidak merong-rong negara sampai hari ini,” kata Bob Hasan dalam sambutannya.

    Bob Hasan menilai, perlindungan hukum bagi pengemudi harus ditetapkan dalam regulasi. Menurutnya, kepastian hukum juga berkaitan dengan kesejahteraan para pengemudi.

    “Kepastian hukum bagi pengemudi demi kepastian hidup yang lebih baik, layak, dan sejahtera,” tutupnya.

    Dalam kesempatan yang sama, Kementerian Koperasi (Kemenkop) juga meresmikan Koperasi Pengemudi Berdaya Indonesia (KOPDI). Adapun koperasi itu dibentuk dengan harapan dapat memastikan kesejahteraan dan mewadahi 13 juta pengemudi di Indonesia.

    Menteri Koperasi, Budi Arie Setiadi mengatakan, KOPDI ke depan juga akan merangkul para pengemudi ojek online (ojol). Meski begitu, ia mengaku butuh waktu untuk memetakan tiap-tiap pengemudi di berbagai sektor moda transportasi.

    “Nanti kita (rangkul) semuanya. Yang pasti ini kooperasi pengemudi. Kemudian ada di sektor ojek, ada di sektor mobil, ada truck, dan sebagainya. Bus, jenisnya macam-macam. Tapi paling tidak ini bisa menginspirasi terbentuknya wadah organisasi perjuangan bersama untuk meningkatkan kesejahteraan anggota, khususnya pengemudi,” kata Budi Arie kepada wartawan di Taman Rekreasi Wiladatika, Depok, Jawa Barat, Minggu (22/12/2024).

    (kil/kil)

  • Baleg DPR RI tunggu pemerintah terkait usulan pilkada dipilih DPRD

    Baleg DPR RI tunggu pemerintah terkait usulan pilkada dipilih DPRD

    Sumber foto: Antara/elshinta.com.

    Baleg DPR RI tunggu pemerintah terkait usulan pilkada dipilih DPRD
    Dalam Negeri   
    Editor: Sigit Kurniawan   
    Selasa, 17 Desember 2024 – 21:32 WIB

    Elshinta.com – Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Bob Hasan mengatakan pihaknya menunggu pengajuan dari pemerintah terkait adanya usulan dari Presiden Prabowo Subianto yang ingin pemilihan kepala daerah dipilih oleh para Anggota DPRD.

    Dia mengatakan sejauh ini belum ada rencana Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada dibahas pada tahun 2025. Pasalnya, kata dia, pembahasan suatu RUU akan mempertimbangkan Prolegnas Prioritas 2025.

    “Intinya itu masuk ke prioritas apa tidak, itu saja dulu. Kalau kita di Baleg menunggu pembahasan dulu,” kata Bob Hasan di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (17/12).

    Walaupun begitu, menurutnya pembahasan mengenai usulan Presiden tersebut bisa diajukan secara inisiatif oleh DPR RI. Namun menurut dia, Baleg DPR RI secara resmi belum menerima gambaran atau arahan soal RUU Pilkada yang mengubah sistem politik itu.

    “Inisiatif itu bisa datang dari mana saja, dari DPR, dari pemerintah,” ucap Bob Hasan.

    Walaupun begitu, dia memastikan Baleg DPR RI juga bakal mendengar masukan dari publik terkait usulan pilkada dipilih DPRD, yang banyak disorot karena dinilai akan mengurangi kedaulatan rakyat.

    Dia pun menilai bahwa jika pilkada dipilih oleh DPRD, maka belum tentu sepenuhnya menutup partisipasi publik. Karena sebelumnya sistem politik seperti itu pernah diterapkan.

    “Kalau ada pembahasan terhadap RUU politik tersebut diperlukan pembahasan partisipasi publik, kita juga akan mendengar forum diskusi atau keterangan dari publik,” ujar dia.

    Sumber : Antara

  • Baleg DPR tunggu pemerintah terkait usulan pilkada dipilih DPRD

    Baleg DPR tunggu pemerintah terkait usulan pilkada dipilih DPRD

    Intinya itu masuk ke prioritas apa tidak, itu saja dulu. Kalau kita di Baleg menunggu pembahasan dulu

    Jakarta (ANTARA) – Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Bob Hasan mengatakan pihaknya menunggu pengajuan dari pemerintah terkait adanya usulan dari Presiden Prabowo Subianto yang ingin pemilihan kepala daerah dipilih oleh para Anggota DPRD.

    Dia mengatakan sejauh ini belum ada rencana Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada dibahas pada tahun 2025. Pasalnya, kata dia, pembahasan suatu RUU akan mempertimbangkan Prolegnas Prioritas 2025.

    “Intinya itu masuk ke prioritas apa tidak, itu saja dulu. Kalau kita di Baleg menunggu pembahasan dulu,” kata Bob Hasan di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa.

    Walaupun begitu, menurutnya pembahasan mengenai usulan Presiden tersebut bisa diajukan secara inisiatif oleh DPR RI. Namun menurut dia, Baleg DPR RI secara resmi belum menerima gambaran atau arahan soal RUU Pilkada yang mengubah sistem politik itu.

    “Inisiatif itu bisa datang dari mana saja, dari DPR, dari pemerintah,” ucap Bob Hasan.

    Walaupun begitu, dia memastikan Baleg DPR RI juga bakal mendengar masukan dari publik terkait usulan pilkada dipilih DPRD, yang banyak disorot karena dinilai akan mengurangi kedaulatan rakyat.

    Dia pun menilai bahwa jika pilkada dipilih oleh DPRD, maka belum tentu sepenuhnya menutup partisipasi publik. Karena sebelumnya sistem politik seperti itu pernah diterapkan.

    Pewarta: Bagus Ahmad Rizaldi
    Editor: Chandra Hamdani Noor
    Copyright © ANTARA 2024

  • Tax Amnesty Jilid III, Dari Siapa dan Untuk Siapa?

    Tax Amnesty Jilid III, Dari Siapa dan Untuk Siapa?

    Bisnis.com, JAKARTA — Rancangan Undang-Undang tentang Pengampunan Pajak resmi masuk ke dalam daftar Program Legislasi Nasional atau Prolegnas Prioritas 2025. Wacana pemberlakuan kembali program pengampunan pajak alias tax amnesty jilid III pun terkuak.

    Alhasil, muncul berbagai pertanyaan di kalangan masyarakat: siapa yang pertama kali mengusulkan RUU Tax Amnesty tersebut? Untuk siapa program tax amnesty jilid III itu? Demi kepentingan negara atau malah segelintir pihak?

    Usulan RUU Tax Amnesty sendiri pertama kali muncul dalam rapat kerja antara Badan Legislasi (Baleg) DPR dengan pemerintah dan DPD pada Senin (18/11/2024). Ketika itu, RUU Tax Amnesty ditulis sebagai usulan dari Baleg DPR.

    Dalam perkembangan, Komisi XI DPR—yang menangani perihal keuangan negara—bersurat kepada Baleg DPR untuk ‘mengambil alih’ usulan RUU Tax Amnesty.

    Meski demikian, Ketua Komisi XI DPR Misbakhun mengaku tidak tahu siapa yang pertama kali mengusulkan RUU Tax Amnesty tersebut. Dia menekankan, Komisi XI hanya mengambil alih usulan RUU Tax Amnesty dari Baleg.

    “Cek ke Baleg,” ujar Misbakhun di Kantor Bappenas, Jakarta Pusat, Selasa (19/11/2024).

    Sementara itu, Ketua Baleg DPR Bob Hasan mengaku bahwa RUU Tax Amnesty sudah ada dalam daftar panjang Program Legislasi Nasional (Prolegnas), sebelum DPR periode 2024—2029.

    Oleh sebab itu, RUU Tax Amnesty hanya operan dari DPR periode sebelumnya yang belum sempat dibahas secara serius. Bob pun tidak tahu siapa yang pertama kali mengusulkan RUU Tax Amnesty tersebut.

    “Mau tanya dari mana, dari apa, segala macam, kami ini [Baleg periode 2024—2029] orang baru, sudah masuk dalam list waktu itu. Ya dulu-dulu kan [DPR periode sebelumnya] ada pembahasan mungkin, kan gitu,” ujar Bob kepada Bisnis, Jumat (22/11/2024).

    Di samping itu, politisi Partai Gerindra itu merasa tidak terlalu penting siapa yang pertama kali mengusulkan RUU Tax Amnesty tersebut. Entah pengusulnya pengusaha, pemerintah, maupun DPR, Bob meyakini yang terpenting adalah kebermanfaatan beleid tersebut untuk negara.

    Dia mengingatkan bahwa pemerintah baru Presiden Prabowo Subianto memerlukan dana yang tidak sedikit untuk mengeksekusi berbagai program unggulan seperti makan bergizi gratis hingga renovasi dan pembangunan sekolah-sekolah.

    Menurutnya, program tax amnesty bisa menjadi salah satu cara untuk meraih dana segar jumbo secara instan bagi pemerintah. Bagaimanapun, para konglomerat akan membayar uang tebusan atas pengungkapan atau deklarasi harta yang selama ini tidak dipajaki.

    “Intinya itu pemerintah butuh duit. Untuk ngolah-ngolah semua ini kan enggak mungkin dengan selalu pinjam-pinjam,” jelas Bob.

    Bisnisgrafik Tax Amnesty: Mengampuni ‘Pendosa’ Pajak. / Bisnis-M. Imron GhozaliPerbesar

    Tax Amnesty Jilid III, Untuk Apa?

    Sebagai informasi, dalam 10 tahun terakhir, pemerintah sebenarnya sudah pernah dua kali mengeluarkan kebijakan tax amnesty yaitu jilid I (periode 18 Juli 2016—31 Maret 2017) dan jilid II (1 Januari—30 Juni 2022) melalui Program Pengungkapan Sukarela atau PPS.

    Ketua Pengawas Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Prianto Budi Saptono meyakini bahwa semua wacana tax amnesty jilid III tersebut tidak pernah hadir dari ruang hampa.

    Prianto mencontohkan sebelumnya pemerintah mengungkap fenomena penghindaran pajak di sektor perkebunan. Tidak hanya itu, pemerintah juga menyatakan akan berupaya mengejar pajak shadow economy seperti aktivitas ekonomi ilegal.

    Dia menilai bahwa ada dua cara penegakan hukum untuk mengejar pengemplang pajak (tax evader) dan pelaku penghindaran pajak (tax avoider) tersebut. Pertama, penegakan hukum administrasi hingga penegakan hukum pidana pajak. 

    Pengajar di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia itu mengungkapkan bahwa cara pertama cenderung mendapatkan perlawanan dari terduga tax evader maupun tax avoider seperti lewat proses sengketa pajak hingga ke Pengadilan Pajak hingga Mahkamah Agung.

    “Cara pertama di atas tidak gampang dan belum tentu mendapatkan pajak sesuai ekspketasi pemerintah. Alih-alih banyak menang sengketa pajak, pemerintah justru hampir 60% mengalami kekalahan ketika ada sengketa [banding dan gugatan] di pengadilan pajak,” ujar Prianto kepada Bisnis, pekan lalu.

    Kedua, melalui tax amnesty. Dia berpendapat bahwa tax amnesty merupakan cara yang lebih sederhana dan cenderung tanpa ada proses perlawanan.

    Kebijakan tax amnesty, lanjutnya, cenderung digulirkan ketika pemerintah belum mampu mengatasi permasalah tax evasion dan tax avoidance. Oleh sebab itu, Prianto menilai tidak ada yang salah dengan wacana tax amnesty jilid III ketika negara butuh dana instan dari masyarakat.

    “Kebijakan tax amnesty di banyak negara pada kenyataannya juga berulang meskipun teorinya menyatakan bahwa seharusnya tax amnesty itu cukup sekali untuk satu generasi wajib pajak,” tutupnya.

    Presiden Joko Widodo menyampaikan pidato dalam acara sosialisasi Tax Amnesty di Medan, Sumatra Utara pada Kamis (21/7/2016). / dok. KemensetnegPerbesar

    Pendapat berbeda disampaikan oleh Manajer Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar. Menurutnya, tidak ada urgensinya penerapan Tax Amnesty Jilid III.

    Kebijakan tersebut, sambung Fajry, hanya akan mencederai rasa keadilan bagi wajib pajak yang telah patuh. Sejalan dengan itu, dia khawatir akan banyak Wajib Pajak yang semakin melakukan penghindaran pajak.

    “Buat apa untuk patuh, toh ada tax amnesty lagi?” kata Fajry kepada Bisnis, pekan lalu.

    Dia menilai Tax Amnesty Jilid III akan menjadi langkah mundur pemerintah. Apalagi, wacana pengampunan pajak untuk orang tajir itu bergulir ketima pemerintah berencana menaikkan tarif PPN menjadi 12% pada tahun depan.

    Oleh sebab itu, Fajry tidak heran apabila nantinya banyak penolakan dari berbagi kalangan masyarakat ihwal wacana Tax Amnesty Jilid III.

    “Terlebih, tax amnesty ini untuk siapa? Sebagian besar konglomerat sebenarnya sudah masuk ke Tax Amnesty Jilid I dan sebagian lagi melengkapinya kemarin,” jelasnya.

    Tanggapan Pengusaha soal Tax Amnesty Jilid III

    Kalangan pengusaha mengakui program pengampunan pajak atau tax amnesty tidak terlalu ideal, tetapi dibutuhkan untuk menambah penerimaan negara.

    Analis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Ajib Hamdani menilai tax amnesty mempunyai sisi negatif yakni memberikan rasa ketidakadilan bagi wajib pajak yang telah patuh.

    Apalagi, tax amnesty sudah pernah pernah dilakukan selama dua kali yaitu pada 2016—2017 dan 2022. Akibatnya, masyarakat akan cenderung meremehkan kebijakan-kebijakan umum tentang perpajakan karena secara rutin pemerintah mengeluarkan program tax amnesty.

    “Inilah yang membuat kebijakan tax amnesty ini adalah program yang kurang ideal,” jelas Ajib dalam keterangannya, Rabu (20/11/2024).

    Di samping itu, lanjutnya, secara umum literasi perpajakan masih rendah. Akibatnya, budaya taat pajaknya juga rendah.

    Dia mengingatkan, pemerintah berencana memberlakukan kebijakan core tax system atau sistem inti administrasi perpajakan pada tahun depan. Ajib berpendapat, sistem tersebut membutuhkan prasyarat penting yaitu wajib pajak harus mempunyai pemahaman dan kepatuhan pajak yang lebih baik.

    “Hal ini yang membuat tax amnesty dibutuhkan oleh masyarakat,” katanya.

    Selain itu, sambungnya, secara praktis tax amnesty juga akan menambah pemasukan buat APBN. Dengan pengampunan pajak, harta yang dilaporkan oleh wajib pajak yang sebelumnya tidak dilaporkan akan muncul masuk ke Sistem Keuangan Indonesia sehingga ke depan menjadi aset yang lebih produktif untuk perekonomian nasional.

    Bahkan, menurut Ajib, tax amnesty bisa memberikan daya ungkit untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi 8% karena penerima manfaatnya tidak akan ragu lagi membelanjakan uang yang telah dilaporkan.

    “Secara prinsip, fungsi pajak adalah untuk keuangan negara atau budgeteir dan juga fungsi mengatur ekonomi atau regulerend. Dalam konteks kebijakan tax amnesty ini, aspek budgeteir dan regulerend bisa didorong bersama dan memberikan manfaat,” tutupnya.

  • Bukan Revisi, Aturan Tax Amnesty Jilid III Akan Beda Jauh dengan Jilid I dan II

    Bukan Revisi, Aturan Tax Amnesty Jilid III Akan Beda Jauh dengan Jilid I dan II

    Bisnis.com, JAKARTA — RUU tentang Pengampunan Pajak yang masuk Prolegnas Prioritas DPR 2025 bukanlah revisi dari aturan lama. Akibatnya, ketentuan tax amnesty jilid III kemungkinan besar akan berbeda jauh dari tax amnesty jilid I maupun jilid II.

    Usulan RUU Tax Amnesty pertama kali muncul dalam rapat kerja antara Badan Legislasi (Baleg) DPR dengan pemerintah dan DPD pada Senin (18/11/2024). Ketika itu, RUU Tax Amnesty ditulis sebagai usulan dari Baleg DPR.

    Ketua Baleg DPR Bob Hasan menjelaskan bahwa pihaknya mengusulkan beleid dengan nomenklatur RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11/2016 tentang Pengampunan Pajak. Artinya, Baleg DPR ingin merevisi UU Tax Amnesty yang lama.

    Kendati demikian, Bob mengungkap bahwa Komisi XI DPR bersurat kepada Baleg DPR untuk ‘mengambil alih’ usulan RUU Tax Amnesty tersebut. Dalam usulan Komisi XI, ternyata nomenklaturnya diganti menjadi RUU tentang Pengampunan Pajak (Tax Amnesty).

    Oleh sebab itu, Komisi XI bukan ingin merevisi UU Tax Amnesty yang lama melainkan membuat beleid baru dari nol sehingga akan terjadi banyak perubahan ketentuan dalam pelaksanaan tax amnesty jilid III nantinya.

    “Kalau sudah sampai 50% perubahan di setiap Undang-Undang itu, ya sudah judulnya bukan revisi tapi ya judul baru,” jelas Bob kepada Bisnis, Jumat (22/11/2024).

    Di samping itu, politisi Partai Gerindra tersebut paham betul muncul sejumlah kritik atas wacana penerapan kembali pengampunan pajak atau tax amnesty jilid III.

    Kendati demikian, dia mengingatkan bahwa pemerintah baru Presiden Prabowo Subianto memerlukan dana yang tidak sedikit untuk mengeksekusi berbagai program unggulan seperti makan bergizi gratis hingga renovasi dan pembangunan sekolah-sekolah.

    Menurutnya, program tax amnesty bisa menjadi salah satu cara untuk meraih dana segar jumbo secara instan bagi pemerintah. Bagaimanapun, para konglomerat akan membayar uang tebusan atas pengungkapan atau deklarasi harta yang selama ini tidak dipajaki.

    “Intinya itu pemerintah butuh duit. Untuk ngolah-ngolah semua ini kan enggak mungkin dengan selalu pinjam-pinjam,” jelas Bob.

    Sebagai informasi, dalam 10 tahun terakhir, pemerintah sebenarnya sudah pernah dua kali mengeluarkan kebijakan tax amnesty.

    Pertama, tax amnesty jilid I pada 18 Juli 2016—31 Maret 2017. Program tersebut dijalankan berdasarkan UU Nomor 11/2016 tentang Pengampunan Pajak, yakni UU yang ingin direvisi oleh DPR.

    Tax amnesty jilid I diperuntukkan untuk seluruh wajib pajak, baik orang pribadi maupun badan usaha. Tarifnya pun berbeda-beda tergantung waktu pelaporan dan repatriasi harta, mulai dari 2% hingga 10%.

    Kedua, tax amnesty jilid II atau Program Pengungkapan Sukarela (PPS) pada 1 Januari—30 Juni 2022. Dasar hukumnya berdasarkan UU Nomor 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang kemudian diperkuat dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 196/PMK.03/2021.

    Peruntukan tax amnesty jilid II/PPS dibagi menjadi dua. Kebijakan I, untuk wajib pajak yang telah mengikuti tax amnesty jilid I tetapi masih memiliki harta yang belum dilaporkan; Kebijakan II, untuk wajib pajak orang pribadi yang memiliki harta yang diperoleh pada 2016—2020 tetapi belum dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) 2020.

    Sedangkan tarifnya lebih tinggi dibanding tax amnesty jilid I. Kebijakan I, 6%—11% tergantung pada repatriasi atau investasi; Kebijakan II, 12%—18% tergantung lokasi harta (dalam atau luar negeri) dan pengalihan ke investasi dalam negeri.

    Belakangan, muncul wacana tax amnesty Jilid III usai DPR resmi memasukkan RUU Tax Amnesty ke dalam Prolegnas Prioritas 2025. Kendati demikian, belum jelas arah RUU Tax Amnesty yang baru tersebut.

    Ketua Komisi XI DPR Misbakhun menjelaskan bahwa pembahasan RUU Tax Amnesty masih akan sangat panjang. Setelah disahkan masuk Prolegnas Prioritas 2025, pimpinan DPR masih akan menentukan RUU Tax Amnesty nantinya akan menjadi inisiatif pemerintah atau parlemen.

    Jika menjadi inisiatif DPR maka naskah akademik dan draf RUU Tax Amnesty akan disusun oleh Komisi XI. Sebaliknya, jika menjadi inisiatif pemerintah maka naskah akademik dan draf RUU Tax Amnesty akan disusun oleh Kementerian Keuangan.

    Oleh sebab itu, Misbakhun mengaku belum bisa menjelaskan substansi yang akan dibahas dalam RUU Tax Amnesty. Kendati demikian, dia tidak menampik bahwa nantinya akan ada tax amnesty jilid III apabila beleid tersebut selesai dibahas.

    “Sektor apa saja yang akan dicakup di dalam tax amnesty itu, tax amnesty itu meliputi perlindungan apa saja, ya nanti kita bicarakan sama pemerintah,” ujar Misbhakun di Kantor Bappenas, Jakarta Pusat, Selasa (19/11/2024).

    Bisnisgrafik Tax Amnesty: Mengampuni ‘Pendosa’ Pajak. / Bisnis-M. Imron GhozaliPerbesar

  • DPR Sahkan Revisi UU DKJ, Ridwan Kamil: Kami Akan Taat
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        19 November 2024

    DPR Sahkan Revisi UU DKJ, Ridwan Kamil: Kami Akan Taat Megapolitan 19 November 2024

    DPR Sahkan Revisi UU DKJ, Ridwan Kamil: Kami Akan Taat
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Calon Gubernur Jakarta nomor urut 1,
    Ridwan Kamil
    , menyatakan kesiapannya menghormati keputusan DPR RI terkait revisi Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta (
    UU DKJ
    ).
    “Iya, itu (UU DKJ) kesepakatan bangsa, jadi kita hormati saja. Bagi kita, apapun isinya nanti kita akan taat,” ujar Ridwan Kamil saat ditemui di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Selasa (19/11/2024).
    Ridwan merasa yakin isi UU DKJ yang baru disepakati bertujuan untuk kemajuan Jakarta.
    “Karena, semua aturan pasti tujuannya untuk membangun Jakarta menjadi lebih cepat, lebih maju, lebih (baik),” tambahnya.
    Sebelumnya, Badan Legislasi (Baleg) DPR RI menyepakati revisi UU Nomor 2 Tahun 2024 tentang DKJ dalam rapat tingkat pertama, Senin (18/11/2024) malam.
    Rapat yang juga dihadiri DPD RI dan perwakilan pemerintah tersebut menghasilkan persetujuan revisi melalui mekanisme pemungutan suara.
    “Apakah hasil pembahasan tentang UU DKJ dapat diproses lebih lanjut sesuai peraturan perundang-undangan?” tanya Ketua Baleg DPR RI, Bob Hasan, dalam rapat.
    Seluruh peserta rapat menjawab “setuju,” diikuti ketukan palu sebagai tanda persetujuan.
    Revisi UU DKJ mencakup perubahan nomenklatur jabatan pada Pasal 70.
    Gubernur hasil
    Pilkada Jakarta
    2024 akan disebut sebagai Gubernur DKJ, sedangkan DPRD Jakarta akan menjadi DPRD DKJ.
    Selain itu, wakil rakyat dari daerah pemilihan DKI Jakarta di DPD dan DPR RI akan dikenal sebagai perwakilan dapil DKJ.
    Perubahan ini merupakan konsekuensi dari peralihan status Jakarta yang tidak lagi menjadi ibu kota negara setelah diterbitkannya Keputusan Presiden (Keppres) mengenai pemindahan ibu kota.
    Revisi ini mendapat persetujuan dari seluruh fraksi di Baleg DPR RI, kecuali Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang menyampaikan beberapa catatan.
    PKS meminta ketentuan peralihan terkait batas waktu penerbitan Keppres pemindahan ibu kota dimasukkan ke dalam beleid ini.
    Pemerintah, melalui Menteri Hukum Supratman Andi Agtas, dan Komite I DPD RI juga telah menyetujui revisi tersebut. Pengesahan UU DKJ dijadwalkan berlangsung dalam Rapat Paripurna DPR RI mendatang.
    Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.