Pemerintah dan DPD Serahkan DIM RUU Minerba ke Baleg DPR
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Pemerintah dan Komite II Dewan Perwakilan Rakyat (DPD) RI menyerahkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba) kepada Badan Legislasi (Baleg)
DPR
RI di Kompleks Parlemen, Jakarta Pusat, Rabu (12/2/2025).
Draft pemerintah diserahkan oleh Wakil Menteri (Wamen) ESDM Yuliot Tanjung. Adapun rapat dipimpin oleh Ketua
Baleg DPR
Bob Hasan.
“Untuk pembahasan pertama pembahasan satu
RUU Minerba
dan kita telah menetapkan Panja, ya. Dan setelah kami juga berkoordinasi kita sama-sama ketahui, hari ini sudah hadir dari Kementerian Hukum dan Kementrian ESDM untuk menyerahkan DIM ya,” kata Bob Hasan dalam rapat Baleg.
“Oleh karena itu, kita sama-sama sepakati bahwa acara hari ini adalah diawali dengan penyerahan DIM. sepakat?” ujarnya kemudian mengetuk palu rapat.
Selanjutnya, Bob Hasan mempersilakan pemerintah untuk menyerahkan DIM.
“Dari kementerian dan pemerintah untuk dapat menyerahkan DIM kami persilakan,” katanya.
Setelahnya, Yuliot menyampaikan DIM. Lalu, Komite II
DPD RI
melakukan hal yang sama.
“Bapak Ketua Baleg, dengan ini pemerintah menyampaikan Daftar Inventarisasi Permasalahan perubahan keempat UU nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara,” ujar Yuliot.
Lebih lanjut, Bob Hasan menyatakan DIM yang telah dikompilasi oleh tim Baleg dari pemerintah dan DPR RI berjumlah 256 DIM.
Rinciannya, 104 DIM RUU bersifat tetap, 12 DIM RUU bersifat redaksional, satu DIM bersifat reposisi, 34 DIM RUU bersifat subtansi, 97 DIM RUU bersifat subtansi baru, dan delapan DIM RUU dihapus.
“Untuk DIM bersifat tetap dapat lansung disetujui, DIM bersifat perubahan redaksional diserahkan pada timus, timsin, dan DIM bersifat substansi lainnya dibahas dalam panja,” kata Bob Hasan.
Diketahui, DPR tengah mengebut pembahasan RUU Minerba. Setelah DIM diserahkan, pemerintah dan Baleg DPR RI akan membahas bersama RUU tersebut.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Tag: Bob Hasan
-

Lemkapi Nilai Revisi Tata Tertib DPR Bisa Mengganggu Tugas Penegak Hukum – Halaman all
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Kepolisian Indonesia (Lemkapi) Dr Edi Hasibuan khawatir dengan disahkannya revisi Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib bisa mengganggu proses penegakan hukum.
Dalam tata tertib hasil revisi, DPR kini memiliki kewenangan untuk melakukan evaluasi berkala terhadap pejabat negara yang sebelumnya telah melewati proses uji kelayakan dan kepatutan di DPR.
Seperti diketahui sejumlah pejabat negara yang sebelumnya menjalani uji kelayakan dan kepatutan di DPR di antaranya Kapolri, pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Panglima TNI, Ketua Mahkamah Agung (MA), Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan lainnya.
Menurut Edi Hasibuan, keputusan DPR soal revisi tata tertib tersebut bisa menimbulkan tumpang tindih kewenangan.
“Kami melihat para legislatif berambisi sekali memperluas kewenangan,” kata Edi Hasibuan dalam keterangan yang diterima Tribunnews.com, Sabtu (8/2/2025).
Khusus untuk Kapolri, Edi mengatakan, sesuai Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri, pihak yang berwenang mengangkat dan memberhentikan Kapolri adalah Presiden.
Ia menilai peraturan DPR yang telah disahkan dalam rapat paripurna DPR pada Selasa (4/2/2025) ini bisa membahayakan penegakan hukum.
“Peraturan baru tentang kewenangan DPR ini bisa membahayakan institusi penegak hukum,” ucap Kepala Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Bhayangkara Jakarta ini.
Selain itu, Edi Hasibuan menilai kewenangan baru DPR tersebut dikhawatirkan bisa mengganggu tugas penegak hukum.
Edi berpendapat kewenangan baru DPR bisa mengevaluasi pejabat rawan disalahgunakan.
“Kewenangan DPR ini rawan digunakan untuk kepentingan politik terhadap penegakan hukum,” katanya.
Terpisah, Karopenmas Divisi Humas Polri Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko menegaskan pemberhentian jabatan Kapolri hanya dapat dilakukan presiden.
“Pasal 11 UU Nomor 2 tahun 2002 bahwasanya Kapolri tetap diangkat dan diberhentikan Bapak Presiden,” kata Trunoyudo di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Jumat (7/2/2025).
Kemudian dalam Pasal 8 UU tersebut, Trunoyudo menuturkan Polri juga berkedudukan langsung di bawah presiden.
Selain itu, pada Pasal 5 dituliskan bahwa Polri diamanatkan untuk menjaga situasi Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Kamtibmas).
“UU Nomor 2 Tahun 2002 adalah suatu amanah kepada Polri yang tentunya sampai dengan saat ini menjadi amanah dalam tugas kepolisian,” ucap Trunoyudo.
DPR Membantah
Sementara itu, Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Bob Hasan membantah pihaknya bisa mencopot panglima TNI hingga Kapolri lewat revisi Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib.
Dia menyebut kabar tersebut dipastikan tidak benar.
Menurutnya, DPR RI memiliki kewenangan dalam melakukan proses uji kelayakan atau fit and proper test kepada sejumlah pejabat negara.
Dia menyebut DPR juga bisa mengevaluasi terhadap pejabat yang sudah diangkat lewat rapat paripurna.
“Jadi bukan mencopot. Ya pada akhirnya bahwa pejabat yang berwenang atas evaluasi berkala dari DPR itu akhirnya ada keputusan mencopot. Bukan DPR RI yang mencopot,” ujar Bob Hasan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (6/2/2025).
“Kita melakukan evaluasi karena kita punya kewenangan atas fit and proper test atau uji kelayakan kita bisa meloloskan calon itu,” imbuhnya.
Bob menyebutkan bahwa hasil evaluasi pejabat negara secara mufakat dari DPR RI itu nantinya akan menghasilkan suatu rekomendasi.
Hasil rekomendasi itu akan diberikan kepada instansi yang berwenang.
“Jadi berlaku mengikat di dalam. Tetapi kemudian dengan mekanisme yang berlaku itu dilanjutkanlah berikan rekomendasi hasil evaluasi tersebut secara mufakat kepada instansi yang berwenang,” jelasnya.
Lebih lanjut, Bob menambahkan instansi yang berwenang dalam mencopot jabatan nantinya akan diserahkan kepada pejabat pemegang kewenangan.
Di antaranya Presiden RI, Mahkamah Agung (MA), hingga Komisi Yudisial (KY).
“Siapa instansi yang berwenang yang tertingginya? ya misalkan presiden, kalau di MA misalkan Komisi Yudisial. Jadi itu tergantung kewenangan daripada pejabat pemegang kewenangan itu sendiri,” ujarnya.
Sebelumnya, DPR secara cepat merevisi Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib, yang membuka ruang bagi parlemen untuk melakukan evaluasi berkala terhadap pejabat negara yang telah dipilih melalui rapat paripurna.
Namun, perubahan ini menuai kritik karena dianggap berisiko merusak sistem ketatanegaraan, mengingat aturan Tata Tertib DPR seharusnya hanya mengatur lingkup internal parlemen.
Ternyata, usulan revisi ini berasal dari Mahkamah Kehormatan DPR (MKD) pada Senin (3/2/2025).
MKD mengajukan penambahan Pasal 228A, yang berbunyi:
“Dalam rangka meningkatkan fungsi pengawasan dan menjaga kehormatan DPR terhadap hasil pembahasan komisi, DPR dapat melakukan evaluasi secara berkala terhadap calon yang telah ditetapkan dalam rapat paripurna DPR. Hasil evaluasi itu bersifat mengikat dan disampaikan oleh komisi yang melakukan evaluasi kepada pimpinan DPR untuk ditindaklanjuti sesuai dengan mekanisme yang berlaku.”
Setelah revisi ini diajukan, pimpinan DPR langsung menggelar rapat Badan Musyawarah (Bamus) untuk membahasnya di Badan Legislasi (Baleg) DPR.
Proses revisi ini berlangsung sangat cepat, kurang dari tiga jam, sebelum akhirnya disepakati seluruh fraksi partai politik.
Perubahan ini resmi disahkan dalam Rapat Paripurna DPR pada Selasa (4/2/2025) siang.
Dengan revisi ini, DPR kini memiliki kewenangan lebih besar untuk mengevaluasi dan merekomendasikan pemberhentian sejumlah pejabat negara yang dipilih melalui rangkaian fit and proper test.
(Tribunnews.com/ adi/ igman/ reynas)
-

DPR Kini Bisa Copot Kapolri, Panglima TNI, Pimpinan KPK, hingga Hakim MK dan MA? Begini Klarifikasinya
PIKIRAN RAKYAT – Sempat ramai beredar informasi bahwa DPR kini bisa mencopot Kapolri, Panglima TNI, Pimpinan KPK, hingga Hakim MK dan MA. Namun, wakil rakyat itu mengklarifikasi bahwa apa yang bisa mereka lakukan adalah melakukan evaluasi, bukan pencopotan.
“Pada intinya, yang dilakukan satu proses uji kelayakan baik itu fit and proper test dan sebagainya di komisi masing-masing. Maka calon-calon itu yang sebelum diparipurnakan. Dan setelah diparipurnakan di sisipkan pasal 228A itu dalam tata tertib itu, dijelaskan dapat dilakukan evaluasi itu 228A secara berkala,” tutur Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR, Bob Hasan, Jumat 7 Februari 2025.
“Jadi bukan mencopot. Ya pada akhirnya bahwa pejabat yang berwenang atas evaluasi berkala dari DPR itu akhirnya ada keputusan mencopot. Bukan DPR yang mencopot, tapi kita melakukan evaluasi karena kita punya kewenangan atas fit and proper test atau uji kelayakan kita bisa meloloskan calon itu,” katanya menambahkan.
Oleh karena itu, DPR kini memiliki kewenangan baru untuk melakukan evaluasi berkala terhadap pejabat negara yang telah melalui proses uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test). Kewenangan ini tertuang dalam revisi Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib yang telah disahkan dalam rapat paripurna pada Selasa 4 Februari 2025.
Dengan perubahan ini, DPR memiliki ruang lebih besar untuk menilai kinerja pejabat yang sebelumnya telah mereka tetapkan.
Bob Hasan menjelaskan bahwa evaluasi ini bisa berujung pada rekomendasi pemberhentian jika pejabat yang bersangkutan dianggap tidak menunjukkan kinerja optimal.
Evaluasi Pejabat: Bukan Pemecatan Langsung
Bob Hasan menegaskan bahwa revisi ini tidak berarti DPR bisa langsung mencopot pejabat negara.
“Dengan pasal 228A diselipkan, DPR memiliki kewenangan untuk melakukan evaluasi terhadap jabatan calon-calon yang sebelumnya dilakukan fit and proper test melalui DPR,” ujarnya.
Menurutnya, evaluasi yang dilakukan DPR bersifat mengikat dan hasilnya akan disampaikan kepada pimpinan DPR untuk ditindaklanjuti. Namun, keputusan akhir terkait pemberhentian tetap berada di tangan lembaga atau pejabat berwenang.
“Iya, itu kan ujungnya masalah pemberhentian dan keberlanjutan daripada pejabat ataupun calon yang telah diparipurnakan melalui fit and proper test DPR itu. Itu kan pejabat yang berwenang, mekanisme yang berlaku itu kan pejabat yang berwenang, ya kan,” tutur Bob Hasan.
Siapa Saja yang Akan Dievaluasi?
Pejabat yang akan masuk dalam mekanisme evaluasi berkala ini meliputi:
Komisioner dan Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA) Panglima TNI dan Kapolri Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu)
Sebelumnya, pejabat-pejabat ini menjalani fit and proper test di DPR sebelum disahkan dalam rapat paripurna. Dengan adanya revisi tata tertib ini, kinerja mereka bisa dinilai kembali secara berkala.
Bagaimana Mekanisme Evaluasi Ini?
Revisi tata tertib ini memasukkan Pasal 228A, yang berisi dua ayat penting:
DPR dapat melakukan evaluasi berkala terhadap calon yang telah ditetapkan dalam rapat paripurna DPR. Hasil evaluasi bersifat mengikat dan akan disampaikan oleh Komisi yang melakukan evaluasi kepada pimpinan DPR untuk ditindaklanjuti sesuai mekanisme yang berlaku.
Wakil Ketua Baleg DPR, Sturman Panjaitan menegaskan bahwa revisi ini dibahas dengan cepat setelah mempertimbangkan pendapat dari seluruh fraksi.
“Materi muatan yang dirumuskan dalam Rancangan Peraturan DPR RI tentang Perubahan atas Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib yaitu, di antara Pasal 228 dan Pasal 229 disisipkan 1 Pasal, yakni Pasal 228A,” ucapnya.
DPR Mengawasi, Bukan Memberhentikan Langsung
Meskipun DPR kini memiliki kewenangan untuk mengevaluasi pejabat negara secara berkala, keputusan pemberhentian tetap berada di tangan lembaga yang berwenang, seperti Presiden atau Komisi Yudisial. Evaluasi ini diharapkan bisa memperkuat fungsi pengawasan DPR terhadap kinerja pejabat negara agar tetap sesuai dengan harapan masyarakat dan kepentingan nasional.
Dengan adanya aturan baru ini, publik bisa berharap bahwa pejabat yang dipilih melalui fit and proper test tidak hanya teruji di awal, tetapi juga terus dipantau agar tetap menjalankan tugasnya dengan baik.***
Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News
-
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5124085/original/035460500_1738838371-Banner_Infografis_DPR_Bisa_Rekomendasikan_Copot_Kapolri_hingga_Pimpinan_KPK.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Infografis DPR Bisa Rekomendasikan Copot Kapolri hingga Pimpinan KPK dan Pasca-Revisi Tatib DPR – Page 3
Liputan6.com, Jakarta – DPR kini memiliki kewenangan untuk mengevaluasi pejabat yang dipilih melalui mekanisme fit and proper test atau uji kelayakan dan kepatutan. Evaluasi bisa dilakukan apabila pejabat tersebut dinilai tidak berkinerja baik, maka selanjutnya DPR dapat memberikan rekomendasi pemberhentian.
Adanya kewenangan itu usai Parlemen menyetujui perubahan atas Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib DPR pada Senin 3 Februari 2025 melalui Badan Legislasi atau Baleg. Paripurna DPR pun mengesahkan revisi Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib (Tatib).
Paripurna dipimpin Wakil Ketua DPR Adies Kadir di Jakarta, Selasa 4 Februari 2025. Adapun revisi Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 itu tertuang dalam Pasal 228A tentang Tata Tertib.
Beberapa pejabat yang bisa dicopot berdasar aturan baru itu antara lain pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Panglima TNI, Kapolri, komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), hakim Mahkamah Konstitusi (MK) hingga hakim Mahkamah Agung (MA).
Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Bob Hasan menegaskan, dengan adanya revisi tersebut, maka legislator memiliki kewenangan mengevaluasi pejabat yang dipilih melalui uji kelayakan dan kepatutan di Parlemen. Bila pejabat tersebut dinilai tidak berkinerja baik, maka selanjutnya Parlemen dapat memberikan rekomendasi pemberhentian.
Lantas, seperti apakah revisi peraturan DPR yang baru saja disetujui dalam paripurna DPR? Pejabat publik mana saja yang bisa direkomendasikan diberhentikan Parlemen? Simak selengkapnya dalam rangkaian Infografis berikut ini:
-

Baleg Klarifikasi Revisi Tatib: DPR Tidak Bisa Mencopot Pejabat Negara
Jakarta, Beritasatu.com – Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Bob Hasan memberikan klarifikasi terkait polemik revisi Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib (Tatib) DPR, khususnya terkait Pasal 228A.
Menurut Bob Hasan, poin revisi Tatib tidak memberikan kewenangan kepada DPR untuk mencopot pejabat, melainkan hanya melakukan evaluasi berkala terhadap pejabat yang telah melalui proses uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test).
“Tata tertib ini diberitakan seolah-olah DPR bisa mencopot jabatan tertentu. Padahal, yang sebenarnya terjadi adalah proses evaluasi berkala terhadap pejabat yang telah melalui fit and proper test di komisi terkait,” ujar Bob Hasan di gedung DPR, kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (6/2/2025).
Bob Hasan menilai Pasal 228A yang disisipkan dalam aturan tersebut hanya mengatur mekanisme evaluasi yang dapat dilakukan secara berkala oleh DPR terhadap pejabat yang telah disetujui dalam rapat paripurna.
“DPR hanya melakukan evaluasi dan memberikan rekomendasi hasilnya kepada instansi yang berwenang, seperti presiden atau Komisi Yudisial jika terkait Mahkamah Agung,” tutur dia.
Menurut Bob Hasan, keputusan pencopotan pejabat tetap berada di tangan instansi berwenang, bukan DPR. Hanya saja, kata dia, DPR memiliki kewenangan dalam meloloskan calon pejabat melalui fit and proper test, maka DPR juga berhak memberikan evaluasi atas kinerja mereka.
“Jadi bukan DPR yang mencopot, melainkan instansi yang berwenang yang akhirnya mengambil keputusan berdasarkan hasil evaluasi dari DPR,” katanya.
Senada dengan itu, Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Martin Manurung menegaskan DPR tidak mempunyai wewenang mencopot pejabat negara yang telah ditetapkan melalui paripurna DPR. Dia mengatakan DPR sifatnya hanya bisa memberikan rekomendasi agar pejabat negara yang ditetapkan melalui paripurna dievaluasi jika bermasalah.
“Ya enggak bisa (copot) dong tetapi DPR bisa menilai bahwa yang bersangkutan misalnya layak untuk ditinjau kembali gitu lho. Bukan berarti langsung kemudian DPR mencopot,” kata Martin.
Rekomendasi tersebut, kata dia, biasanya dibuat oleh komisi terkait terhadap mitra kerjanya dan memberikan hasil rekomendasi kepada pimpinan DPR agar pejabat yang bersangkutan dievaluasi. Setelahnya, pimpinan DPR menyampaikan kepada pemerintah.
“(Dari) komisi ke pimpinan DPR, memang internal, baru pimpinan DPR nanti menindaklanjuti kepada pemerintah. Jadi bukan DPR mencopot yang bersangkutan, enggak lah,” jelas Martin.
Martin menegaskan, semua pejabat negara yang telah ditetapkan melalui paripurna DPR masing-masing memiliki Undang-undang (UU).
“Nanti kan itu kan ada UU-nya masing-masing. Setiap pejabat yang fit and proper itu kan (ada) UU-nya. Kalau KPK ada UU-nya, MK ada UU-nya, apalagi tuh, KY ada UU-Nya. Nah yaitu kembali ke UU-nya. Makanya di revisi Tatib itu dikatakan untuk ditindaklanjuti sesuai dengan mekanisme yang berlaku,” pungkas dia.
-

Ketua Baleg Klaim Revisi Tata Tertib DPR Bukan untuk Mencopot Pejabat Negara – Halaman all
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Ketua Baleg DPR RI Bob Hasan memberi penegasan bahwa revisi Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib, bukan untuk memberikan kewenangan mencopot pejabat negara.
Bob mengatakan, tambahan pasal 228A pada Tatib DPR memberi kewenangan parlemen untuk melakukan evaluasi berkala, kepada setiap pejabat negara yang disetujui DPR melalui mekanisme fit and proper test.
“Bukan mencopot. Pada akhirnya bahwa pejabat yang berwenang atas evaluasi berkala dari DPR itu akhirnya ada keputusan mencopot. (Tapi) bukan DPR RI yang mencopot,” kata Bob di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (6/2/2025).
Legislator Partai Gerindra itu menjelaskan, evaluasi terhadap pejabat negara diatur pada bab tersendiri pada Tatib DPR.
Nantinya, hasil evaluasi diteruskan kepada pimpinan DPR yang menghasilkan rekomendasi terhadap pejabat negara yang dievaluasi.
“Kemudian dengan mekanisme yang berlaku itu dilanjutkanlah, berikan rekomendasi hasil evaluasi tersebut secara mufakat kepada instansi yang berwenang,” ucapnya.
“Siapa instansi yang berwenang yang tertingginya? Ya misalkan presiden, kalau di MA misalkan Komisi Yudisial. Jadi itu tergantung kewenangan daripada pejabat pemegang kewenangan itu sendiri,” imbuhnya.
Untuk diketahui, DPR RI telah mengesahkan revisi perubahan peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2020 tentang tata tertib (Tatib) DPR.
Pengesahan itu dilakukan dalam Rapat Paripurna ini digelar di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (4/2/2025).
DPR kini bisa mengevaluasi pejabat yang ditetapkan dalam rapat paripurna DPR.
Itu artinya, semua pejabat negara yang ditetapkan dalam rapat paripurna DPR bisa dievaluasi oleh DPR.
Misalnya pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), komisioner Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Kapolri, Panglima TNI, Anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), hakim Mahkamah Agung (MA) dan sebagainya.
Hasil revisi tersebut, dinilai membuka ruang bagi DPR untuk mengevaluasi secara berkala pejabat negara yang telah dipilih dengan rekomendasi pemberhentian.
Mengutip Kompas.id, perubahan aturan tersebut dinilai sangat fatal dan merusak ketatanegaraan karena seharusnya Peraturan Tata Tertib DPR hanya bisa mengatur lingkup internal.
Namun ternyata usulan merevisi Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib (Tatib) datang dari Mahkamah Kehormatan DPR (MKD), Senin (3/2/2025).
MKD mengusulkan untuk dilakukan penambahan satu pasal dalam revisi Tatib DPR yakni Pasal 228A.
Dalam bunyinya pasal tersebut menjelaskan, dalam rangka meningkatkan fungsi pengawasan dan menjaga kehormatan DPR terhadap hasil pembahasan komisi, DPR dapat melakukan evaluasi secara berkala terhadap calon yang telah ditetapkan dalam rapat paripurna DPR.
Hasil evaluasi itu bersifat mengikat dan disampaikan oleh komisi yang melakukan evaluasi kepada pimpinan DPR untuk ditindaklanjuti sesuai dengan mekanisme yang berlaku.
Setelah merevisi kilat tatib tersebut, pimpinan DPR langsung menggelar rapat Badan Musyawarah (Bamus) untuk menentukan pembahasan revisi Tatib DPR di Badan Legislasi (Baleg) DPR.
Kemudian dalam tahapannya, pembahasan revisi Tatib DPR di Baleg selesai dengan waktu kurang dari 3 jam.
Perubahan tatib ini disetujui oleh seluruh fraksi partai politik dan telah disahkan dalam Rapat Paripurna DPR pada Selasa (4/2/2025) siang.
/data/photo/2025/02/11/67ab090b072d0.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/01/23/6791fe5318d6b.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)


