Tag: Bhima Yudhistira

  • Pertumbuhan Ekonomi RI 2026 versi Bappenas, BI, dan Sri Mulyani, Mana Paling Realistis?

    Pertumbuhan Ekonomi RI 2026 versi Bappenas, BI, dan Sri Mulyani, Mana Paling Realistis?

    Bisnis.com, JAKARTA — Target pertumbuhan ekonomi 2026 dari Kementerian Keuangan tak ada yang senada dengan estimasi Bank Indonesia maupun Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional atau Bappenas. 

    Sepekan terakhir, pemerintah dan bank sentral wara-wiri di kompleks parlemen untuk menyampaikan kepada wakil rakyat terkait kondisi ekonomi terkini dan proyeksi ke depan, termasuk pertumbuhan ekonomi. 

    Pemerintah, dalam hal ini Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, mematok pertumbuhan ekonomi 2026 di rentang 5,2%—5,8%, lebih tinggi dari target tahun ini yang sebesar 5,2%. 

    Sementara dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2025 milik Bappenas, Menteri PPN/Kepala Bappenas Rachmat Pambudy menargetkan pertumbuhan ekonomi di rentang 5,8%—6,3% pada 2026.

    Beda halnya dengan bank sentral, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo memproyeksikan ekonomi Indonesia hanya mampu tumbuh di rentang 4,7%—5,5% dengan nilai tengah 5,02%.

    Melihat kondisi ekonomi hingga kuartal I/2025, konsumsi rumah tangga, pemerintah, ekspor, impor, hingga investasi hanya mampu mendorong pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) sebesar 4,87%.

    Bahkan pemerintah dan BI mengikuti langkah sejumlah lembaga internasional untuk menurunkan outlook alias proyeksi pertumbuhan ekonomi 2025 ke level yang lebih rendah.

    Mana Lebih Realistis?

    Melilhat target dan proyeksi tersebut, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai angka paling realistis terllihat pada batas bawah BI yang sebesar 4,7%—jauh di bawah target pemerintah.

    “Mempertimbangkan kondisi eksternal, outlook harga komoditas ekspor masih rendah, sisi permintaan dalam negeri juga tumbuh terbatas, serta berlanjutnya efisiensi anggaran pemerintah,” ujarnya kepada Bisnis,Minggu (6/7/2025).

    Bhima memandang sebaiknya asumsi dasar ekonomi makro (ADEM) dalam RAPBN 2026 dibuat lebih moderat dengan tujuan target penerimaan perpajakan tidak kontradiktif dengan kondisi riil pelaku usaha dan masyarakat.

    Selain itu, pemerintah dapat menambah anggaran perlindungan sosial untuk antisipasi tekanan ekonomi pada 2026.

    Sementara Direktur Eksekutif Segara Institute Piter Abdullah Redjalam memandang bahwa target maupun proyeksi dari ketiganya tersebut telah sesuai dengan asumsi masing-masing K/L.

    Misalnya, Kementerian Keuangan menjunjung strategi ekonomi dan fiskal yang fokus pada kedaultan pangan, energi, dan ekonomi serta akselerasi investasi maupun perdagangan global untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.

    Dengan kata lain, apabila seluruh asumsi dan strategi tersebut dapat seluruhnya terwujud, harapan tumbuh sesuai target pun di depan mata.

    “Apapun targetnya dapat dicapai apabila semua prasyarat dipenuhi, program-program kerja dijalankan secara efektif dan efisien,” tuturnya kepada Bisnis.

    Selayaknya proyeksi dari Gubernur BI Perry Warjiyo yang memberikan estimasi lebih rendah dari target pemerintah.

    Bukan tanpa sebab, dalam paparan Perry di DPR, tercantum bahwa proyeksi PDB dari BI memang lebih rendah dibandingkan milik Kemenkeu dengan asumsi penyerapan APBN tidak sampai 100%. Selain itu, strategi stimulus fiskal masih banyak dalam bentuk belanja barang.

    “Prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat mencapai titik tengah kisaran pemerintah bila penyerapan dilakukan secara optimal, strategi stimulus dilakukan dengan tepat sehingga dapat meningkatkan keyakinan pelaku ekonomi,” ungkap Perry.

    Estimasi Lembaga Internasional 

    Lembaga internasional telah mengeluarkan analisis terbarunya terkait proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia, termasuk Indonesia, untuk periode 2025 di tengah ancaman tarif Trump dan disrupsi dagang.

    Bank Dunia atau World Bank mempertahankan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2025 sebesar 4,7% dan akan melaju menuju 5% pada 2027.  

    Berdasarkan GEP Juni 2025 ini, Bank Dunia mengungkapkan bahwa peningkatan ketidakpastian kebijakan perdagangan, penurunan kepercayaan, dan dampak dari melemahnya permintaan eksternal di negara-negara maju utama dan China kemungkinan akan menghambat ekspor dan investasi swasta di kawasan Asia Pasifik, termasuk Indonesia.  

    “Meskipun beberapa perekonomian akan mendapat manfaat dari dukungan kebijakan fiskal—seperti program pengeluaran sosial dan investasi publik di Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Vietnam—dampak makroekonomi penuh dari peningkatan hambatan perdagangan, yang sulit diprediksi, dapat menghambat pertumbuhan,” tulis Bank Dunia, dikutip pada Rabu (11/6/2025).

    Sementara Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF) merevisi ke bawah pertumbuhan ekonomi Indonesia dari 5,1% menjadi 4,7% pada 2025. Hal tersebut sejalan dengan pemangkasan proyeksi ekonomi global dari 3,3% menjadi 2,8%.  

    Pada awal April lalu, Asian Development Bank (ADB) juga mengeluarkan proyeksi terbarunya di angka 5%, tetapi belum memperhitungkan dampak tarif resiprokal dari Presiden AS Donald Trump. 

    Hanya Asean+3 Macroeconomic Research Office alias AMRO mempertahankan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada level 5,0% pada 2025, di saat lembaga internasional lain memangkas ke angka yang lebih rendah. 

  • 5 Jurus Ini Bakal Bantu RI Bebas Limbah Plastik Tahun 2040

    5 Jurus Ini Bakal Bantu RI Bebas Limbah Plastik Tahun 2040

    Jakarta

    Limbah plastik menjadi persoalan serius di tengah ancaman kerusakan lingkungan. Indonesia sendiri berkomitmen untuk mencapai target bebas limbah plastik pada tahun 2040, termasuk yang mencemari laut hingga saluran air.

    Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira berpendapat ada 5 kebijakan yang perlu diambil untuk mencapai target tersebut. Pertama adalah membuat cukai pada kemasan plastik sekali pakai.

    “Untuk bebas dari polusi plastik 2040 setidaknya ada 5 strategi kebijakan. Pertama, segera membuat cukai kemasan plastik sekali pakai. Ide ini sudah cukup lama, tapi pemerintah belum juga menjalankan pengenaan cukai plastik di 2025,” katanya saat dihubungi detikcom, Minggu (29/6/2025).

    Kedua, menagih tanggung jawab perusahaan produsen plastik melalui pajak plastik yang dibebankan ke produsen. Ketiga, mendorong alternatif produk biodegradable dengan dukungan berbagai insentif, suku bunga rendah, dan belanja riset lebih besar.

    Pemerintah juga perlu menegakkan hukum dan memberi sanksi berat bagi pihak-pihak yang membuang sampah plastik di sungai atau laut. Bhima lalu menekankan pentingnya fasilitas memadai, serta edukasi ke masyarakat.

    “Keempat, penegakan hukum dengan sanksi yang berat ke individu dan korporasi yang membuang sampah plastik di sungai, dan laut. Kelima, penyediaan fasilitas pemilahan sampah plastik disertai edukasi konsisten di setiap rumah tangga,” tutur Bhima.

    Sementara itu, Juru Bicara Kementerian Perindustrian Febri Hendri Antoni Arief mengatakan, plastik telah menjadi tulang punggung bagi banyak industri, termasuk sektor makanan dan minuman. Oleh karena itu perlu ada keseimbangan dalam menanggapi persoalan tersebut, khususnya terkait pengelolaanya.

    “Plastik menjadi tulang punggung industri makanan dan minuman khususnya kemasan sehingga keseimbangan lingkungan dan hasil industri yang ada di lingkungan perlu pengelolaan yang lebih efisien sehingga nilai ekonominya tetap berputar,” sebut Febri.

    Febri menyinggung pentingnya pengelolaan sampah lewat edukasi ke masyarakat. Poinnya, sebut dia, bukan melarang penggunaan produk plastik melainkan pengelolaannya yang butuh pemahaman dan kerja sama banyak pihak.

    Ia mencontohkan sampah plastik yang dapat dijadikan bahan baku industri kembali hingga di-recycle untuk bahan kemasan lainnya. Sampah plastik juga bisa dikelola menjadi sumber energi bagi kebutuhan industri lainnya.

    “Sampah plastik dapat dijadikan bahan baku kembali industri plastik dan bahan kemasan produk lain. Energi dari hasil pengelolaan sampah plastik juga bisa digunakan untuk industri dan kepentingan ekonomi lainnya. Jadi, sebaiknya tidak melarang penggunaan produk plastik atau sampahnya melainkan mengedukasi masyarakat untuk bijak mengelola sampah plastik tersebut,” tutup Febri.

    (ily/kil)

  • Pengelolaan Sampah Jadi Kunci buat RI Agar Bebas Limbah Plastik

    Pengelolaan Sampah Jadi Kunci buat RI Agar Bebas Limbah Plastik

    Jakarta

    Pemerintah Indonesia berupaya mencapai target bebas polusi plastik pada tahun 2040. Secara bertahap Indonesia bakal menekan persoalan sampah plastik yang mencemari saluran air hingga laut lepas.

    Persoalan limbah plastik memang menjadi persoalan serius yang dikhawatirkan mengganggu ekosistem alam. Komposisi sampah plastik mencakup 15% dari total keseluruhan sampah yang mencapai 56 juta ton.

    Meski begitu, Juru Bicara Kementerian Perindustrian Febri Hendri Antoni Arief mengatakan, plastik telah menjadi tulang punggung bagi banyak industri, termasuk sektor makanan dan minuman. Oleh karena itu perlu ada keseimbangan dalam menanggapi persoalan itu, khususnya terkait pengelolaanya.

    “Plastik menjadi tulang punggung industri makanan dan minuman khususnya kemasan sehingga keseimbangan lingkungan dan hasil industri yang ada di lingkungan perlu pengelolaan yang lebih efisien sehingga nilai ekonominya tetap berputar,” katanya saat dihubungi detikcom, Minggu (29/6/2025).

    Febri menyinggung pentingnya pengelolaan sampah lewat edukasi ke masyarakat. Poinnya, sebut dia, bukan melarang penggunaan produk plastik melainkan pengelolaannya yang butuh pemahaman dan kerja sama banyak pihak.

    “Titik beratnya pada pengelolaan sampah atau waste masyarakat sekaligus mengedukasi mereka dan bukan melarang penggunaan hasil produk industri plastik ini. Untuk mencapai hal ini butuh pemahaman dan kerjasama yang baik semua stakeholder,” tutur Febri.

    Ia mencontohkan sampah plastik yang dapat dijadikan bahan baku industri kembali hingga di-recycle untuk bahan kemasan lainnya. Sampah plastik juga bisa dikelola menjadi sumber energi bagi kebutuhan industri lainnya.

    “Sampah plastik dapat dijadikan bahan baku kembali industri plastik dan bahan kemasan produk lain. Energi dari hasil pengelolaan sampah plastik juga bisa digunakan untuk industri dan kepentingan ekonomi lainnya. Jadi, sebaiknya tidak melarang penggunaan produk plastik atau sampahnya melainkan mengedukasi masyarakat untuk bijak mengelola sampah plastik tersebut,” beber Febri.

    Ia juga menyatakan Kemenperin mendukung lingkungan yang bersih, pengelolaan sampah yang efisien dan bisa mendukung circular economy, di mana sampah plastik dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku industri plastik kembali.

    Dengan kolaborasi berbagai pihak, termasuk Pemerintah Daerah dan Kementerian Lingkungan Hidup, Febri berharap komitmen menjaga lingkungan selaras dengan menjaga iklim investasi di industri plastik.

    “Dukungan Pemerintah daerah dan KLH untuk sama sama memajukan industri dan menjaga lingkungan menjadi langkah strategis hingga 2040 sehingga iklim investasi di industri plastik lebih meningkat untuk memenuhi kebutuhan industri terutama makanan dan minuman dan sektor lain dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional,” bebernya.

    Sementara itu, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira, mendorong adanya sanksi dan penegakan hukum bagi pihak-pihak yang membuang sampah plastik di sungai atau laut. Ia juga menekankan pentingnya fasilitas memadai, serta edukasi ke masyarakat.

    “Penegakan hukum dengan sanksi yang berat ke individu dan korporasi yang membuang sampah plastik di sungai, dan laut. Lalu penyediaan fasilitas pemilahan sampah plastik disertai edukasi konsisten di setiap rumah tangga,” tutup Bhima.

    (kil/kil)

  • Pertumbuhan Ekonomi 7% Sulit Digapai Tahun Ini, RI Bisa Apa?

    Pertumbuhan Ekonomi 7% Sulit Digapai Tahun Ini, RI Bisa Apa?

    Jakarta

    Pertumbuhan ekonomi senilai 7% dinilai bakal sulit digapai Indonesia akhir tahun ini. Target pertumbuhan tinggi itu sempat diungkap Presiden Prabowo Subianto, dia percaya diri hingga akhir tahun pertumbuhan sebesar 7% bisa digenjot dari perekonomian Indonesia.

    Namun, daripada mengejar pertumbuhan ekonomi sebesar itu, pemerintah diminta untuk fokus mengoptimalkan pertumbuhan ekonomi setidaknya sampai target 5,2% seperti dalam APBN.

    Hal ini diungkapkan oleh Peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet. Menurutnya target pertumbuhan ekonomi 7% untuk jangka pendek terlalu berat untuk digapai.

    “Menurut saya, ketimbang mengejar target yang 7%, dalam jangka pendek, atau sampai akhir tahun 2025, setidaknya pemerintah perlu fokus dalam mengejar target pertumbuhan ekonomi di 5%,” sebut Rendy ketika dihubungi detikcom, Senin (23/6/2025).

    Optimalisasi yang bisa dilakukan pemerintah misalnya dengan melakukan akselerasi belanja pemerintah, hingga mempertimbangkan memperluas cakupan stimulus pemerintah pada angka yang lebih rasional.

    Meski begitu, Rendy bilang target pertumbuhan sampai 7% bukan berarti menjadi semu buat ekonomi Indonesia. Target itu bisa saja ditetapkan dan diraih dalam jangka panjang.

    “Dalam jangka panjang, target pertumbuhan 7%, dapat dicapai dengan berbagai cara, misalnya dengan mengaktifkan kembali industri atau reindustrialisasi. Serta menyelesaikan berbagai permasalahan struktural, hingga peningkatan SDM,” sebut Rendy.

    Yang jelas, saat ini ekonomi Indonesia akan dihadapkan dengan kondisi ekonomi dunia yang memburuk. Perang di Timur Tengah bakal menekan minat investasi dan meningkatkan risiko nilai tukar yang melemah.

    Menurut Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira bisa saja pertumbuhan ekonomi Indonesia tak mencapai 5% tahun ini bila kondisi buruk ekonomi dunia tak diantisipasi.

    Belum lagi ada potensi harga minyak dunia akan terus meningkat seiring dengan panasnya konflik. Bila harga minyak naik terus, pada ujungnya inflasi energi bisa terjadi, khususnya apabila perusahaan sampai terpaksa melakukan penyesuaian harga BBM, LPG, dan juga tarif listrik imbas harga minyak yang meroket.

    “Pertumbuhan ekonomi tahun ini diperkirakan bisa 4,5-4,7% year on year jauh dari mimpi 7%. Perang di timur tengah membuat investasi melemah, risiko kurs juga meningkat tajam,” papar Bhima kepada detikcom.

    (hal/kil)

  • Sulitnya Ekonomi RI Genjot Pertumbuhan 7% Seperti Keinginan Prabowo

    Sulitnya Ekonomi RI Genjot Pertumbuhan 7% Seperti Keinginan Prabowo

    Jakarta

    Ekonomi Indonesia diperkirakan bisa tumbuh sampai 7% tahun ini. Perkiraan ini diungkapkan Presiden Prabowo Subianto di depan publik internasional pada pidatonya di dalam St. Petersburg International Economic Forum 2025 akhir pekan lalu.

    Menurut prediksi, yang diklaimnya didapatkan dari para ahli ekonomi, perrtumbuhan ekonomi Indonesia di akhir tahun akan mencapai 7%. Sementara itu di tengah tahun ini, ekonomi Indonesia akan kembali tumbuh ke level 5% untuk hitungan satu semester. Di kuartal I sebelumnya pertumbuhan ekonomi Indonesia sedikit melambat dengan pertumbuhan cuma 4,87%.

    “Para ahli saya mengatakan kepada saya bahwa pada semester pertama ini, pertumbuhan ekonomi kita lebih dari 5%. Bahkan, pada akhir tahun ini, pertumbuhan ekonomi kita bisa mencapai hampir 7% atau bahkan lebih,” beber Prabowo saat berpidato di St. Petersburg International Economic Forum (SPIEF) 2025.

    Sulit Diwujudkan

    Pertumbuhan ekonomi hingga 7% di akhir tahun ini sendiri dinilai bakal sulit untuk diwujudkan. Menurut Peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet dibutuhkan setidaknya pertumbuhan ekonomi hingga 7% selama kuartal II, III, dan IV tahun ini bila ingin apa yang diungkapkan Prabowo terwujud.

    “Saya kira sangat sulit, jika tidak mau dikatakan mustahil, untuk mengejar target pertumbuhan ekonomi 7% di akhir tahun ini. Jika berkaca pada pertumbuhan ekonomi di kuartal pertama, maka di sisa kuartal di tahun ini, dibutuhkan pertumbuhan setidaknya 7% di setiap kuartalnya,” beber Rendy ketika dihubungi detikcom, Senin (23/6/2025).

    Target pertumbuhan ekonomi sebesar 7% disebut jauh dari realitas yang ada saat ini, saat capaian pertumbuhan ekonomi di Indonesia stagnan di 5%.

    Rendy mengatakan kalaupun pemerintah ingin mendorong pertumbuhan ekonomi melalui intervensi fiskal, hasilnya pasti tak bisa instan. Tantangannya juga banyak agar belanja pemerintah bisa diserap dengan baik untuk mengungkit pertumbuhan.

    “Kalau pun pemerintah ingin mendorong pertumbuhan tersebut melalui intervensi kebijakan fiskal, ini juga masih akan menemui tantangan karena dibutuhkan waktu untuk kemudian menyerap belanja pemerintah yang akan dikeluarkan dari rencana stimulus yang dikeluarkan pemerintah,” sebut Rendy.

    Pertumbuhan Ekonomi di Bawah 5%

    Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira justru menyebut kemungkinan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini justru bakal berada di bawah 5%. Jauh dari target Prabowo hingga 7%.

    Dia mengatakan kondisi ekonomi dunia yang buruk bakal menghantam Indonesia. Perang di Timur Tengah bakal menekan minat investasi dan meningkatkan risiko nilai tukar yang melemah.

    “Pertumbuhan ekonomi tahun ini diperkirakan bisa 4,5-4,7% year on year jauh dari mimpi 7%. Perang di timur tengah membuat investasi melemah, risiko kurs juga meningkat tajam,” papar Bhima kepada detikcom.

    Belum lagi ada potensi harga minyak dunia akan terus meningkat seiring dengan panasnya konflik. Bila harga minyak naik terus, pada ujungnya inflasi energi bisa terjadi, khususnya apabila perusahaan sampai terpaksa melakukan penyesuaian harga BBM, LPG, dan juga tarif listrik imbas harga minyak yang meroket.

    Dari sisi masyarakat, Bhima mengatakan akan sulit menggenjot pertumbuhan ekonomi bila konsumsi rumah tangga daya belinya lesu. Potensi penambahan pendapatan masyarakat juga banyak hilang karena PHK massal terjadi, konsumsi masyarakat menurutnya kian melemah paska lebaran.

    Sementara itu, dari sisi pemerintah, dia menilai banyak sekali kebijakan yang justru tak mampu mengungkit gerak perekonomian.

    “Efisiensi anggaran pemerintah menambah berat tekanan ekonomi, di saat yang sama program populis MBG belum bisa jadi penggerak roda ekonomi dibanding efek efisiensi belanja lainnya,” pungkas Bhima.

    Tonton juga “Gubernur Lemhannas: Rebana Berpotensi Jadi Pusat Pertumbuhan Ekonomi Baru” di sini:

    (kil/kil)

  • Akankah Jadi Jawaban Kesulitan Kelas Menengah?

    Akankah Jadi Jawaban Kesulitan Kelas Menengah?

    JAKARTA – Kelas menengah disebut kesulitan membeli rumah karena harganya yang semakin tak terjangkau. Rumah subsidi seluas 18 meter persegi yang sedang digodok pemerintah sejauh ini tidak menarik minat masyarakat.

    Rumah subsidi berukuran 18 meter persegi menjadi perbincangan khalayak setelah Menteri Perumahan dan Kawasan Pemukiman Maruarar Sirait mengeluarkan wacana tersebut.

    Kata pria yang karib disapa Ara ini, wacana tersebut disampaikan sebagai solusi perumahan di perkotaan. Menurutnya, generasi muda menginginkan rumah yang dekat dengan tempat kerja atau di tengah kota.

    Wacana pengurangan luas rumah subsidi tertuang dalam draf Keputusan Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman Nomoe/KPTS/M/2025. Di draf tersebut dijelaskan bahwa luas tanah dikurangi menjadi 25 meter persegi, sedangkan luas bangunan minimal 18 meter persegi.

    Padahal dalam Keputusan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 689/KPTS/M/2023, ditentukan bahwa luas rumah tapak subsidi adalah minimal 60 meter persegi dan maksimal 200 meter persegi. Sementara luas bangunan ditetapkan minimal 21 meter persegi sampai 36 meter persegi.

    Mirip Rumah Barbie

    Rancangan aturan baru terkait luas rumah subsidi memang masih dalam proses pembahasan dan uji publik. Namun, masyarakat kadung menolak gagasan tersebut.

    Apalagi, di tengah proses Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman menggodok aturan baru tersebut, Lippo Group mengeluarkan contoh rumah subsidi 14 meter persegi.

    Representasi visual atau mock-up konsepnya bahkan sudah dipamerkan di lobi Nobu Bank, Plaza Semanggi, Jakarta. James Riady selaku CEO Lippo Group bilang, rumah tipe satu kamar tidur itu dibanderol mulai Rp100 juta, bisa disetujui masuk skema subsidi. Konsumen disebut bisa mencicil Rp600 ribu per bulan dengan bunga flat.

    Pameran rumah subsidi ini memang berhasil menarik perhatian banyak orang. Tapi berdasarkan reaksi di media sosial, banyak yang mengeluhkannya. Dengan luas bangunan hanya 14 meter persegi, interior rumah dibuat minimalis.

    Terdapat dua ruangan utama yang terpisah dinding, yaitu kamar tidur dan ruangan serbaguna. Di pameran tersebut, ruangan serbaguna ini berisi sofa dan meja, kompor listrik, mesin cuci, kulkas, hingga tempat cuci piring. Saking kecilnya rumah tersebut, warganet menyebut rumah subsidi seperti rumah Barbie.

    Direktur Jenderal Perumahan Perkotaan Kementerian PKP Sri Haryati menyampaikan keterangan kepada awak media, di Jakarta, Senin (16/6/2025). (ANTARA/Aji Cakti)

    Rumah contoh dengan lebar 2,6 meter ini mendapat reaksi negatif dari warganet. Terlebih lokasi rumah mungil itu kecil kemungkinan berada di dalam Kota Jakarta. Padahal, generasi Z dan generasi milenial mengharapkan rumah harga terjangkau ini dibangun di Jakarta. Salah satu alasannya adalah supaya tak kehabisan energi karena harus jauh-jauh menempuh perjalanan dari rumah ke kantor, yang biasanya di Kota Jakarta.

    Sejauh ini memang belum ada informasi pasti di mana rumah mungil ini akan dibangun. Tapi Dirjen Perumahan Perkotaan Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman Sri Haryati berujar, kecil kemungkinan hunian tersebut berlokasi di Jakarta.

    “Mungkin yang dekat dengan pinggiran Jakarta, supaya harganya masih masuk,” ucap Sri.

    Selama ini, rumah subsidi memang banyak dibangun di luar Jakarta, seperti Tangerang dan Bekasi, karena harga tanahnya masih terbilang terjangkau.

    “Dengan harga yang kemarin kita sampaikan itu, ada di koridor timur, Cikampek, Purwakarta. Kalau di Bogor mungkin di daerah kabupatennya. Di area-area Tangerang,” kata Head of Project Management PT Lippo Karawaci Fritz Atmodjo, mengutip Antara.

    Tak Dinikmati Kelas Menengah

     Cikal bakal program rumah subsidi dimulai pada 1974, saat pemerintahan Presiden Soeharto memasukkan penyediaan rumah sederhana dalam rencana pembangunan lima tahun (Repelita) II.

    Program rumah subsidi terus berjalan hingga era Presiden Joko Widodo pada 2015 dengan tajuk Program Sejuta Rumah. Artinya, pemerintah memiliki target pembangunan satu juta hunian subsidi setiap tahun.

    Sampai Oktober 2024, program ini diklaim telah berhasil membangun 9.872.741 unit rumah. Presiden Prabowo Subianto pun melanjutkan program ini setelah. Targetnya adalah membangun tiga juta rumah.

    Meski berganti pemerintahan, sejak dulu fokus utama program ini adalah menyediakan hunian yang terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah atau MBR.

    Namun batas penghasilan MBR yang berhak membeli rumah subsidi ini kemudian juga menjadi polemik. Menurut Peraturan Menteri PKP Nomor 5 Tahun 2025, batas maksimal penghasilan MBR berbeda tergantung zona wilayah di seluruh Indonesia.

    Sejumlah warga berjalan di kawasan Dukuh Atas, Jakarta, Jumat (30/8/2024). (ANTARA/Fauzan/nym)

    Daerah Jabodetabek misalnya, batas maksimal penghasilan untuk warga yang tidak kawin sebesar Rp12 juta per bulan, dan kawin dengan satu orang peserta Tapera (Tabungan Perumahan Rakyat) sebesar Rp14 juta per bulan.

    Namun menurut ekonom Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira batas maksimal penghasilan ini hanya membantu masyarakat berpenghasilan rendah. Mereka yang kelas menengah justru tidak masuk syarat membeli rumah subsidi. Hal ini, kata Bhma, menunjukkan pemerintah memang melupakan kelas atas.

    “Dianggap selama mereka bekerja, tidak menganggur, buat apa dibantu pemerintah?” kata Bhima.

    “Jadi memang kebijakannya ‘bolong di tengah’. Meski ada pertumbuhan ekonomi, kelas menengah tidak menikmati itu,” kata dia menambahkan.

  • Kasus Tambang Raja Ampat Jadi Momentum Evaluasi Hilirisasi Nikel

    Kasus Tambang Raja Ampat Jadi Momentum Evaluasi Hilirisasi Nikel

    Bisnis.com,JAKARTA- Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dinilai tidak mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang melarang penambangan di pulau-pulau kecil.

    Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) mengatakan bahwa empat izin usaha pertambangan (IUP) di Raja Ampat yang dicabut oleh pemerintah, masih berada pada tahap eksplorasi. Tersisa satu IUP yang tidak turut dicabut yakni di Pulau Gag.

    Menurut Bhima, memang IUP di pulau itu sudah terbit sejak lama dan PT Gag Nikel merupakan subholding dari PT Aneka Tambang Tbk. (ANTM). Lanjutnya, ketika Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa pulau kecil tidak boleh ditambang, seharusnya Kementerian ESDM langsung menyatakan bahwa semua aktivitas pertambangan itu dihentikan di pulau-pulau kecil.

    “Problemnya masih berpaku pada, oh izinnya sudah ada sebelum aturan itu dikeluarkan. Kan seharusnya tidak bisa begitu ya. Ya ke depan tidak boleh lagi di pulau kecil ada tambang,” dalam program Broadcast, di kanal youtube Bisniscom, dikutip Selasa (17/6/2025).

    Bhima melanjutkan persoalan penambangan di Raja Ampat mesti menjadi momentum untuk mengevaluasi program hilirisasi, karena hasil tambang di kepulauan itu dialirkan ke smelter yang berada di wilayah Maluku Utara. Di sana, katanya, sedang dibangun pula beberapa smelter sehingga saat ini di Indonesia terdapat 44 smelter.

    Evaluasi hilirisasi, tuturnya, mesti menjawab pertanyaan mengenai jumlah pasokan nikel terhadap jumlah smelter sebanyak itu. Dia menilai, dengan jumlah smelter sebanyak itu, pada akhirnya menyebabkan bahan galian nikel tidak terserap, yang berujung pada jatuhnya harga nikel di mana harga saat ini, terangnya, sama dengan harga pada 2022.

    Menurutnya, jika produksi nikel Indonesia mayoritasnya diarahkan menjadi ekosistem kendaraan listrik, maka smelter sebanyak itu merupakan suatu kewajaran. Akan tetapi, produksi nikel Indonesia lebih banyak digunakan untuk memproduksi stainless steel atau baja tahan karat.

    “Sudah beda itu hilirisasinya ya. Sebagian besar investasi dan pasar dari smelter nikel, ini tujuannya ke China yang ekonominya sedang menurun sektor propertinya. Itu pengaruhnya bukan kepada mobil listrik secara langsung tapi pengaruhnya adalah baja tahan karat yang dipakai bahan baku konstruksi di sana, sementara kita juga melihat ini buat apa izin smelter baru lagi ada,” ucapnya.

    Bhima melanjutkan nikel yang paling baik adalah nikel yang tidak pernah ditambang. Filosofi ini disebut juga dengan nikel yang berkelanjutan. Sebagai alternatif, tuturnya, bisa memanfaatkan daur ulang limbah baterai alat elektronik seperti ponsel dan laptop.

    “Ada mineral kritis di barang-barang elektronik. Kenapa kita tidak fokus untuk melakukan daur ulang. Kalau dikumpulkan dengan jumlah konsumsi elektronik yang sangat besar itu pemurnian ulang dari nikel yang ada di sana tembaga termasuk timah itu juga bisa menghambat izin tambang baru,” ujarnya.

    Jika pendaurulangan limbah elektronik itu sudah dijalankan dan dinilai belum cukup kapasitasnya, bisa melakukan penambangan tetapi harus diukur secara cermat, mulai dari lokasi penambangan, tata kelola serta komunikasi dengan masyarakat adat setempat.

    Pada kesempatan itu dia mengataan Indonesia mestinya berpikir jauh ke depan untuk menyertakan sektor pertambangan sebagai penopang menuju visi Indonesia Emas 2045.

    Kalau caranya disokong oleh sektor pertambangan, Indonesia bisa mendapatkan sekitar Rp1.000-an triliun sampai 2045. Tapi, bebernya, kalau menggunakan ekonomi hijau, Indonesia bisa mendapatkan Rp2.000-an triliun.

    “Selain itu, kita membandingkan dengan data 75.000 desa di Indonesia, desa tambang versus desa non-tambang. Jadi untuk melihat dari sisi ekonomi iya, tapi bagaimana dari sisi kesehatan, akses kesehatan, kemudian dampak lingkungan, bencana alam. Itu hasilnya desa yang ada basis pertambangannya, itu lebih susah akses ke puskesmas daripada desa yang tidak ada tambangnya. Desa yang tidak ada tambangnya, itu prevalensi gizi buruknya lebih tinggi daripada desa tanpa tambang. Desa yang punya basis tambang, akses untuk ke sekolahnya, terutama sekolah menengah pertama, itu jauh lebih susah daripada desa yang non-tambang. Ini data di seluruh Indonesia,” pungkasnya.

  • Gaya Hidup Online Bikin Dompet Bocor di Tengah Krisis Kerja

    Gaya Hidup Online Bikin Dompet Bocor di Tengah Krisis Kerja

    Jakarta

    Fenomena ‘uang makin susah dicari tapi mudah dihabiskan’ semakin terasa di tengah masyarakat Indonesia. Kondisi terlihat dari sejumlah indikator seperti terbatasnya lapangan kerja namun jumlah pengeluaran semakin tinggi.

    Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan salah satu penyebab utama fenomena ini semakin terasa di masyarakat modern karena gaya hidup yang semakin konsumtif.

    “Jadi memang masyarakat kita makin bergerak ke arah masyarakat yang konsumtif gitu bukan masyarakat yang produktif. Artinya pendapatannya tidak seberapa apalagi di tengah PHK dia rela untuk pinjam uang lewat pinjol atau paylater untuk memenuhi gaya hidup,” kata Bhima kepada detikcom, Rabu (18/6/2025).

    Kondisi ini semakin diperparah dengan perkembangan teknologi seperti media sosial yang mempengaruhi gaya hidup masyarakat. Ditambah kemudahan dalam berbelanja secara online membuat produk atau barang konsumtif ini semakin mudah dijangkau.

    “Jadi banyak yang FOMO juga, banyak yang ikut-ikutan trend dan media sosial itu menciptakan kelas masyarakat yang konsumtif. Persoalannya di situ, jadi anak-anak muda sekarang itu didorong untuk lebih konsumtif dibandingkan produktif,” ucap Bhima.

    “Dengan perkembangan teknologi yang ada, internet makin cepat tapi belanja barang yang tidak diperlukan atau non-esensial itu semakin lama semakin tinggi. Sementara lapangan kerja yang diciptakan itu makin lama makin berkurang atau makin rendah,” tambahnya.

    Sementara itu, Ekonom senior INDEF Tauhid Ahmad mengatakan terdapat sejumlah penyebab terjadinya fenomena ‘uang makin susah dicari tapi mudah dihabiskan’. Baik karena perubahan gaya hidup masyarakat hingga kondisi perekonomian saat ini.

    Ia menjelaskan dari sisi sulitnya untuk mencari uang secara umum disebabkan oleh pelemahan pertumbuhan ekonomi nasional kerena faktor domestik maupun karena situasi global.

    “Domestik ini karena investasi yang terjadi ini nggak cepat langsung menyerap tenaga kerja. Kedua, anggaran pemerintah di kuartal pertama itu belum bisa memberikan efek yang lebih besar, padahal banyak sektor-sektor yang sangat tergantung dengan anggaran pemerintah,” ucap Tauhid.

    “Ketiga faktor global ini ketidakpastiannya tinggi. Karena ketidakpastian tinggi bagi perusahaan-perusahaan itu berarti kan uncertainty-nya tinggi. Nah, kalau uncertainty tinggi, mereka biasanya menahan pembelian, menahan ekspansi investasi,” jelasnya lagi.

    Sementara untuk biang kerok penyebab uang makin mudah atau cepat habis dipengaruhi oleh perubahan gaya hidup hingga kemudahan dalam bertransaksi yang membuat pola masyarakat konsumtif.

    “Orang sekarang karena kemudahan gadget di tangan, sekarang orang cenderung untuk gampang belanja. Sesuatu yang tadinya tidak penting, itu karena pengaruh sosial media dan sebagainya mereka akhirnya ikut belanja,” paparnya.

    “Kalau belanja-belanja yang lain, kebutuhan pokok kan sebenarnya relatif stabil ya. Nah, problemnya di pokok ini katakanlah ada kenaikan harga sedikit, misalnya beras dan sebagainya. Jadi, itu yang kemudian menyebabkan kantong masyarakat cepat habis,” sambung Tauhid.

    (igo/fdl)

  • Pemprov Jakarta Segera Realisasikan Daycare Gratis untuk Perempuan Pekerja
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        14 Juni 2025

    Pemprov Jakarta Segera Realisasikan Daycare Gratis untuk Perempuan Pekerja Megapolitan 14 Juni 2025

    Pemprov Jakarta Segera Realisasikan Daycare Gratis untuk Perempuan Pekerja
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Center of Economic and Law Studies (Celios) mengusulkan agar Pemerintah Provinsi Jakarta menyediakan fasilitas penitipan anak atau
    daycare gratis
    untuk perempuan di dunia kerja, termasuk
    sektor informal
    .
    Pasalnya, masih banyak perempuan di Jakarta dan sekitarnya yang kesulitan mencari tempat penitipan anak yang terjangkau ketika harus bekerja.
    “Apa yang kurang dari Jakarta? Ini lagi kita perjuangkan nih, lagi didorong. Satu aja deh, beresin daycare. Semoga Om Pram punya konsen juga soal ini, membuat perempuan itu nyaman bekerja,” ujar Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta Pusat, Sabtu (14/6/2025).
    Menurutnya, keberadaan daycare merupakan solusi konkret dan praktis untuk meningkatkan produktivitas perempuan.
    Oleh karenanya, penyediaan daycare gratis penting agar perempuan, baik yang bekerja di sektor formal maupun informal, tidak kesulitan mencari tempat menitipkan anak.
    Apalagi tidak semua perempuan memiliki privilege untuk menitipkan anak kepada anggota keluarga seperti ibu mertua.
    “Banyak perempuan yang akan berpartisipasi di tempat kerja. Kalau perempuannya ingin jadi full time ibu rumah tangga, enggak ada masalah, itu pilihan. Mau kerja informal, silahkan,” kata dia.
    Bhima berharap agar program daycare gratis bisa masuk dalam agenda pembangunan Jakarta menjelang ulang tahun ke-500.
    “Ini hal kecil, konkret, praktikal, tapi belum banyak dikerjakan pemerintah,” ucap dia.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Pengamat Sarankan Tambang Nikel di Raja Ampat Ditutup Permanen

    Pengamat Sarankan Tambang Nikel di Raja Ampat Ditutup Permanen

    Bisnis.com, JAKARTA — Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi mencurigai ada kongkalikong antara pemerintah dengan pengusaha terkait izin tambang nikel di kawasan Raja Ampat, Papua Barat Daya.

    Adapun, aktivitas tambang nikel di kawasan Raja Ampat tepatnya di Pulau Gag tengah menjadi sorotan karena dinilai merusak lingkungan. Kegiatan tambang dituding mengancam kawasan pariwisata Papua Barat Daya.

    Fahmy berpendapat, semua proses tambang pasti merusak lingkungan dan ekosistem. Apalagi, jika penambang sering mengabaikan reklamasi.

    “Untuk penambangan Raja Ampat, meski dengan reklamasi sekalipun, sudah pasti akan merusak alam geopark yang merupakan ekosistem destinasi wisata,” ucap Fahmy dalam keterangannya, Senin (9/6/2025).

    Dia pun mengingatkan agar semua penambangan di Raja Ampat dan sekitarnya harus dihentikan secara permanen. Fahmy lantas menuding ada ‘permainan’ dalam pemberian izin tambang di Raja Ampat.

    “Saya menduga ada kongkalikong alias konspirasi antara oknum pemerintah pusat dengan pengusaha tambang sehingga diizinkan penambangan di Raja Ampat, yang merupakan strong oligarchy,” katanya.

    Menurutnya, Kejaksaan Agung (Kejagung) perlu mengusut dugaan konspirasi tersebut. Kalau terbukti, kata Fahmy, siapa pun harus ditindak secara hukum.

    Sementara itu, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mendorong pemerintah melakukan evaluasi total dan moratorium izin tambang di kawasan Raja Ampat.

    Menurutnya, selain masalah lingkungan dan hilangnya nilai karbon, pertambangan yang terlalu meluas dan ekspansif berisiko tinggi terhadap hilangnya pendapatan masyarakat lokal jangka panjang. Ini khususnya di sektor pertanian dan perikanan.

    “Kalau pemerintah pusat serius bisa segera bentuk tim moratorium izin tambang, baik nikel dan galian C, berkoordinasi dengan akademisi independen dan kepala daerah,” ucap Bhima.

    Dia berpendapat, selama ini banyak pemerintah daerah merasa ekspansi tambang tidak banyak membantu pendapatan daerah. Sementara itu, biaya kerusakan tetap timbul dan biaya kesehatan membengkak imbas kerusakan lingkungan.

    Bhima pun mengingatkan Kementerian ESDM untuk tidak membela perusahaan tambang. Menurutnya, Kementerian ESDM harus memikirkan konservasi sumber daya alam jangka panjang.

    Pasalnya, efek ke branding nikel Indonesia di pasar internasional bisa terdampak pengelolaan tambang yang bermasalah.

    “Masalah Raja Ampat cuma puncak gunung es aktivitas pertambangan di pulau kecil. Pada saat memberi izin, yang namanya pulau kecil tidak boleh ditambang. Tapi ini kan dibiarkan terus menerus sampai menjadi perhatian publik,” tutur Bhima.

    Asal Usul Pertambangan Nikel Raja Ampat

    Berdasarkan pemantauan Kementerian ESDM, terdapat lima perusahaan yang menjalankan usaha tambang di Raja Ampat, PT Gag Nikel (PT GN), PT Anugerah Surya Pratama (ASP), PT Kawei Sejahtera Mining (KSM), PT Mulia Raymond Perkasa (MRP), dan PT Nurham. Namun, hanya PT Gag Nikel yang telah berproduksi, yakni di Pulau Gag.

    Pulau itu memiliki luas 6.030 hektare (ha) dan masuk dalam kategori pulau kecil. Sementara itu, PT GN memiliki kontrak karya (KK) seluas 13.136 ha yang berada di Pulau Gag dan perairannya, seluruhnya berada di dalam kawasan hutan lindung.

    Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq mengatakan, secara prinsip, kegiatan tambang terbuka dilarang dilakukan di kawasan hutan lindung. Ini sesuai dengan ketentuan dalam UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

    Namun, berdasarkan UU Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan Menjadi Undang-undang, terdapat 13 KK yang diperbolehkan untuk menambang dengan pola terbuka di kawasan hutan lindung.

    Salah satu perusahaan itu yakni PT GN. Dengan dasar itu, maka kegiatan tambang terbuka PT GN di Pulau Gag, Raja Ampat dinyatakan legal atau boleh dilakukan.

    “13 perusahaan termasuk PT GN ini diperbolehkan melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 sehingga dengan demikian maka berjalannya kegiatan penambangan legal,” ujar Hanif dalam konferensi pers yang disiarkan secara daring, Minggu (8/6/2025).

    Kementerian ESDM telah menurunkan tim inspektur tambang untuk melakukan evaluasi teknis terhadap seluruh wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) di ‘Surga Terakhir dari Timur’ itu.

    Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mengatakan, hasil evaluasi tim di lapangan akan menjadi dasar kebijakan dan keputusan lebih lanjut.

    “Saya datang ke sini untuk melihat langsung situasi di lapangan dan mendengarkan masyarakat. Hasilnya akan diverifikasi dan dianalisis oleh tim inspektur tambang,” kata Bahlil dalam keterangan resminya.

    Dia menerangkan, kelima perusahaan tambang nikel di Raja Ampat telah memiliki izin resmi usaha tambang. Namun, pihaknya akan tetap melakukan evaluasi menyeluruh dan berkelanjutan guna menjaga keseimbangan antara keberlanjutan lingkungan dan kegiatan ekonomi.