Tag: Bhima Yudhistira

  • Ekonom Soroti Fenomena Serakahnomics, Momentum RI Berbenah!

    Ekonom Soroti Fenomena Serakahnomics, Momentum RI Berbenah!

    Jakarta, CNBC Indonesia – Presiden RI Prabowo Subianto mengungkap adanya mazhab baru dalam ekonomi, yaitu ‘serakahnomics’. Ini adalah terminologi dari Prabowo untuk menggambarkan praktik keserakahan dalam ekonomi.

    Ekonom menilai istilah serakahnomics bisa menjadi momentum untuk pembenahan struktural. Pasalnya, kosakata tersebut adalah cara untuk Presiden RI menyoroti masalah yang sudah mengakar di Indonesia. Yakni akumulasi kekayaan dan sumber daya oleh segelintir pihak.

    Peneliti Ekonom Core Indonesia, Yusuf Rendy Manilet menilai selama ini banyak kelompok masyarakat kecil yang tidak punya akses setara terhadap modal, tanah, atau peluang usaha. Di sisi lain, ada kelompok yang terus mendapat kemudahan, baik dari sisi regulasi maupun jaringan kekuasaan.

    Kondisi inilah yang menjadi penyebab utama sulitnya mengatasi ketimpangan dan kemiskinan di Indonesia.

    Seperti yang diketahui, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat rasio Gini atau ketimpangan pengeluaran penduduk RI pada Maret 2025 mencapai 0,375. Angka ini menurun 0,006 poin jika dibandingkan dengan gini ratio September 2024 yang sebesar 0,381.

    Sebagai catatan, nilai rasio Gini berada di antara 0-1. Jika semakin tinggi atau mendekati 1, semakin tinggi ketimpangannya.

    “Kita tahu ekonomi Indonesia tumbuh cukup konsisten dalam beberapa tahun terakhir, tapi jurang antara yang punya dan yang tidak masih lebar,” ujar Yusuf kepada CNBC Indonesia, Rabu (30/7/2025).

    Maka dari itu, Yusuf menilai dengan penyebutan serakahnomics oleh Presiden Prabowo seharusnya menjadi dorongan politik untuk membenahi struktur ekonomi secara menyeluruh. Namun, tantangannya akan sangat besar. Pasalnya, mengubah pola seperti ini butuh kemauan politik yang kuat, transparansi, dan keberpihakan yang jelas pada kelompok rentan.

    “Yang terpenting, kritik seperti ini sebaiknya diikuti dengan kebijakan nyata yang bisa membuka lebih banyak akses dan kesempatan bagi semua, bukan hanya memperkuat posisi yang sudah kuat,” ujarnya.

    Di sisi lain, Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira menjelaskan bahwa serakahnomics lahir dari dua akar persoalan besar, yakni bentuk ekonomi yang ekstraktif dan perilaku pejabat negara yang koruptif.

    Menurut Bhima, para pelaku serakahnomics kerap memanfaatkan kekuasaan untuk mempengaruhi kebijakan negara, menyuap pejabat tinggi atau bahkan ikut menjadi bagian pemerintahan. Sebagai imbalan, para pelaku mendapat konsesi lahan tambang atau perkebunan yang luas.

    Dalam praktiknya, Bhima mengungkapkan pelaku serakahnomics berkedok ekspor yang dilakukan secara ilegal atau disebut sebagai penghindaran pajak atau underinvoicing.

    “Dia jual tanah dan air, dia keruk dan rusak tapi uangnya ditransfer ke luar negeri. Jadi pajaknya juga kurang bayar. Tapi karena dijaga secara politik maka tidak ada pihak yang berani menganggu selama jangka waktu yang lama,” ujar Bhima kepada CNBC Indonesia, Rabu (30/7/2025).

    Kebijakan deregulasi pemerintah dengan adanya Undang-Undang Cipta Kerja pun dinilai dapat menjadi celah para pelaku Serakahnomics untuk melakukan penguasaan aset. Hal ini disebabkan oleh proses deregulasi yang tidak partisipatif dan transparan.

    “Beberapa deregulasi misalnya di izin lingkungan hidup dan peran pengawasan pemda justru memicu masifnya sektor ekstraktif. Bukan berapa jumlah regulasi yang di hapus atau diganti tapi prosesnya,” ujarnya.

    Sebagai solusi untuk mengentas serakahnomics, Bhima menilai perlu diberlakukan pajak windfall profit atau pajak anomali dari keuntungan sektor ekstraktif. Seperti contohnya, pada perusahaan batu bara.

    Selanjutnya, reforma agraria harus dilakukan secara serius. Salah satunya dengan pembagian tanah kepada petani tanpa lahan garapan agar terjadinya pemerataan. Selain itu, seluruh mafia birokrasi atau koruptor di semua lini perizinan dan kebijakan perlu diberantas.

    (haa/haa)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Dampak Ngeri Serakahnomics ke RI

    Dampak Ngeri Serakahnomics ke RI

    Jakarta

    Presiden Prabowo Subianto geram bukan main dengan fenomena ekonomi serakah. Menurutnya, dewasa ini banyak sekali fenomena pengusaha yang mencari keuntungan secara berlebih dan rakus. Dia menyebut fenomena ini sebagai serakahnomics.

    Tak jarang pengusaha itu menabrak regulasi dan aturan yang ada untuk mencari untung. Bahkan, keuntungan yang didapat pun seringkali diraup dari kesusahan yang terjadi di tengah masyarakat.

    Serakahnomics tidak bisa didiamkan, sebab bisa memberikan dampak buruk bagi perekonomian Indonesia. Utamanya, dampak terhadap tingkat ketimpangan masyarakat kaya dan miskin, jurang pemisah antara si kaya dan miskin bakal makin lebar.

    Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyatakan apabila fenomena serakahnomics terus menerus dibiarkan, maka pertumbuhan ekonomi akan terjadi dengan sangat tidak berkualitas di Indonesia. Meski ekonomi dapat tumbuh di angka 5% atau bahkan lebih, namun berkahnya cuma bisa dirasakan segelintir orang.

    “Akhirnya jadi memengaruhi kualitas ekonomi, meski tumbuh 5%, yang sejahtera hanya segelintir,” beber Bhima ketika dihubungi detikcom.

    Bhima melanjutkan dampak ketimpangan itu sebetulnya sudah mulai terjadi di Indonesia dan harus jadi perhatian pemerintah. Tahun 2024 saja, dari laporan yang dibuat pihaknya, tercatat 50 orang terkaya di Indonesia hartanya setara dengan 50 juta orang biasa. “Jadi sudah ekstrem ketimpangan akibat keserakahan elit,” katanya.

    Dampak buruk berikutnya apabila serakahnomics dibiarkan adalah potensi munculnya pemberontakan sosial. Sebab, banyak orang miskin tak bisa mengubah nasibnya di Indonesia.

    “Kalau dibiarkan bisa terjadi pemberontakan sosial, karena yang menganggur dan miskin makin hopeless dengan keadaan terutama berusia muda,” sebut Bhima.

    Solusi Lawan Serakahnomics

    Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Esther Sri Astuti menyatakan hal utama untuk melawan fenomena serakahnomics adalah penegakan hukum yang adil tanpa pandang bulu.

    Menurutnya faktor utama pengusaha melakukan praktik yang serakah adalah kurang tegasnya Pemerintah sebagai regulator untuk menegakkan aturan.

    “Sebenarnya negara bisa mencegah perilaku itu dengan membuat regulasi yang tegas. Tinggal mau atau tidak, alias good will. Jika ada goodwill saya rasa sangat mungkin. Tugas negara sebagai regulator,” tegas Esther ketika dihubungi detikcom.

    Kembali ke Bhima, dia mengatakan ada beberapa hal yang juga bisa dilakukan pemerintah untuk mengantisipasi dampak serakahnomics. Menurutnya ada beberapa instrumen pajak yang harus dibentuk dan ditegaskan pola penarikannya oleh negara.

    Pertama, membentuk instrumen pajak kekayaan, pajak yang dipungut berdasarkan jumlah harta bukan hanya penghasilan. Pajak ini dapat digunakan pemerintah untuk mendistribusikan kekayaan ke masyarakat kecil, sehingga pengusaha serakah pun akan berpikir dua kali untuk memperkaya diri sendiri.

    “Segera bentuk instrumen pajak kekayaan atau 2% pajak untuk aset netto bagi orang super kaya. Uangnya Rp 81,6 triliun bisa digunakan untuk mempersempit ketimpangan,” sebut Bhima.

    Kedua, pajak windfall profit atau pajak yang ditarik dari keuntungan sektor ekstraktif misalnya pada perusahaan batu bara. Pengusaha kaya kebanyakan berbisnis komoditas ekstraktif.

    Selain pajak, pemerintah juga harus melakukan pemberantasan yang tegas dan terstruktur terhadap mafia birokrasi atau koruptor di semua lini perizinan dan kebijakan. Hal ini menjaga agar bisnis tetap patuh aturan dan meminimalkan akal-akalan untuk memperkaya diri sendiri.

    (hal/fdl)

  • Prabowo Teriak Serakahnomics, Ini Biang Keroknya!

    Prabowo Teriak Serakahnomics, Ini Biang Keroknya!

    Jakarta

    Perilaku serakah yang dilakukan para pengusaha jadi sorotan langsung Presiden Prabowo Subianto. Banyak oknum pengusaha, dinilai Prabowo, mencari keuntungan dengan sangat berlebihan. Terkadang bahkan mencari keuntungan dari kesulitan masyarakat, tak jarang juga melanggar aturan.

    Perilaku semacam ini, dinilai Prabowo bagaikan membuat sebuah mazhab ekonomi baru mengemuka, yaitu serakahnomics.

    Menurut Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira pola ekonomi serakah nan kapitalistik di Indonesia memang sudah mengakar kuat.

    Indikasinya, ada dua pemicu utama fenomena ini bisa terjadi. Pertama adalah bentuk ekonomi Indonesia yang menyandang sumber daya alam untuk mencari keuntungan alias ekonomi ekstraktif. Kedua adalah perilaku dan budaya koruptif pejabat-pejabat negara yang selama ini belum hilang.

    Ketika kedua unsur ini bertemu, kongkalikong antara pengusaha dan penguasa pun tak terelakkan. Hal ini lah yang membuat banyak pengusaha terlalu berlebih untuk mencari keuntungan, mereka beroperasi bagaikan tak berbatas.

    “Pola ekonomi yang serakah kapitalistik sudah mengakar di Indonesia. Masalahnya ada dua pemicu, bentuk ekonomi yang ekstraktif atau andalkan SDA dan perilaku koruptif pejabat negara,” beber Bhima kepada detikcom, Senin (28/7/2025).

    Tahun 2024, Bhima memaparkan pihaknya sempat membuat laporan yang mengukur ketimpangan kekayaan. Hasilnya, 50 orang terkaya di Indonesia hartanya setara dengan 50 juta orang biasa. Hal ini bisa menjadi bukti kuat bahwa serakahnomics memang menjalar di tanah air.

    “Jadi sudah ekstrem ketimpangan akibat keserakahan elit,” tegas Bhima.

    Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Esther Sri Astuti sendiri mengatakan perilaku serakah pengusaha terjadi karena minimnya penegakkan hukum di Indonesia. Dia menilai seharusnya ketegasan pemerintah perlu digalakkan untuk berbagai regulasi, sehingga pengusaha tidak beroperasi dengan semena-mena.

    “Ini semua karena pemerintah tidak tegas. Regulasi dan implementasinya kurang baik. Salah satu tugas negara kan regulator,” beber Esther kepada detikcom.

    Tonton juga video “Canda Prabowo Minta Universitas Buka Bidang Studi ‘Serakahnomics” di sini:

    (hal/rrd)

  • Terungkap! Ini Penyebab Gerai F&B Asal China Banjiri RI

    Terungkap! Ini Penyebab Gerai F&B Asal China Banjiri RI

    Jakarta

    Gerai makanan dan minuman (F&B) asal China yang mejeng di Indonesia telah mengalami perkembangan pesat. UMKM lokal terpaksa harus bersaing lebih keras dengan gerai-gerai asal China yang mudah ditemui berbagai tempat.

    Ketua Umum Perhimpunan Waralaba & Lisensi Indonesia Levita Ginting Supit mengatakan Indonesia dengan sebuah negara dan penduduk yang besar memang menjadi target market untuk bisnis asal China. Tidak heran jika F&B asal China sangat masif di Indonesia.

    “Memang Indonesia ini menjadi target market untuk bisnis-bisnis yang ada di mancanegara. Jadi sekarang kita jadi target marketnya China. Kenapa? Karena Indonesia itu kan negara dan penduduk yang besar. Itu menjadi target market F&B yang masuk ke Indonesia,” kata Levita kepada detikcom, Senin (21/7/2025).

    Terlebih, kata Levita, orang Indonesia cenderung konsumtif soal urusan makanan dan minuman. Masyarakat tidak perlu menunggu waktu lama untuk mencoba makanan atau minuman yang baru masuk Indonesia.

    “Coba perhatikan setiap ada F&B yang masuk ke Indonesia yang baru dari luar negeri, pasti langsung diserbu, langsung ramai karena masyarakat Indonesia selalu pengin tahu setiap makanan dari luar negeri yang masuk ke Indonesia. Itu lah tipikal masyarakat Indonesia,” ucapnya.

    Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan harga F&B asal China yang lebih murah menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat. Hal itu dikarenakan bahan baku yang diimpor langsung dari China lebih murah.

    “Adanya tarif rendah dari China-ASEAN Free Trade Area (CAFTA) dan RCEP membuat biaya bahan baku F&B China murah di Indonesia. Harga murah sesuai dengan karakter daya beli masyarakat menengah ke bawah,” jelas Bhima.

    Selain itu, biaya operasional F&B di Indonesia lebih rendah ketimbang beberapa negara ASEAN lainnya. Hal itu yang membuat Indonesia menjadi target market tersendiri bagi China.

    “Apalagi sewa tempat di ruko atau mendekati pemukiman, bukan di pusat perbelanjaan atau mall itu biaya sewa lebih murah,” imbuhnya.

    Berdasarkan data lembaga riset asal Singapura, Momentum Works, sejak tahun 2022 lebih dari 6.100 gerai F&B asal China membanjiri pasar Asia Tenggara. Sebanyak 66% atau sekitar 4.000 gerai di antaranya terkonsentrasi di Indonesia dan Vietnam.

    Lonjakan ekspansi ini didorong oleh lesunya pasar domestik di China. Tercatat lebih dari 1 juta gerai F&B di China tutup pada 2024 akibat kelebihan pasokan dan stagnasi konsumsi dalam negeri. Asia Tenggara dengan pertumbuhan ekonomi yang stabil dan regulasi yang relatif longgar, menjadi tujuan baru yang menjanjikan.

    Tonton juga video “Menteri UMKM Berharap Pengusaha F&B Berpartisipasi di Makan Gratis” di sini:

    (acd/acd)

  • Satgas Sabar Pungli Dihapus, Pengamat: Manfaatkan Aparat Penegak Hukum

    Satgas Sabar Pungli Dihapus, Pengamat: Manfaatkan Aparat Penegak Hukum

    Bisnis.com, JAKARTA — Penanganan praktik pungutan liar (pungli) di Indonesia dinilai tidak perlu melalui pembentukan satuan tugas (satgas) baru setelah tim Satgas Sapu Bersih Pungli dihapuskan.

    Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan sebaiknya institusi dan Aparat Penegak Hukum (APH) yang sudah ada, seperti kepolisian, seharusnya diperkuat fungsinya agar mampu menindak tegas praktik pungli yang merugikan masyarakat dan perekonomian nasional.

    “Masalah pungli ini sebenarnya bisa ditangani oleh kepolisian. Artinya, kalau institusi tersebut diperkuat fungsinya, sudah cukup. Tidak perlu lagi ada satgas-satgas baru yang justru menghabiskan anggaran dan terbukti kurang efektif,” ujarnya kepada Bisnis dikutip, Jumat (18/7/2025).

    Lebih lanjut, pungli disebutnya sebagai masalah mendesak yang menimbulkan beban biaya tersembunyi di berbagai sektor ekonomi, termasuk pada logistik pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) serta industri berskala besar. 

    Akibatnya, biaya produksi menjadi tidak kompetitif, baik untuk pasar ekspor maupun dalam negeri.

    “Pungli membuat Indonesia dipersepsikan sebagai negara dengan biaya siluman yang tinggi. Ini bukan hanya merugikan dunia usaha, tapi juga menciptakan harga barang yang tidak bersaing,” lanjutnya.

    Tak hanya itu, pungli juga disebut sebagai salah satu penyebab tingginya aktivitas ekonomi bawah tanah (underground economy) di Indonesia, yang diperkirakan mencapai Rp5.000 triliun atau sekitar 35% dari Produk Domestik Bruto (PDB). 

    Tingginya informalitas dan ekonomi tak tercatat juga membuat potensi pajak negara menguap.

    Sebagai solusi, menurutnya, Presiden dinilai bisa memberikan penugasan khusus kepada Kapolri untuk menindak tegas praktik pungli dari akar-akarnya. Penegakan hukum yang konsisten dan pemberian sanksi tegas diharapkan mampu memberikan efek jera.

    “Selama pungli masih dibiarkan, reformasi perizinan dan birokrasi yang dilakukan pemerintah tidak akan memberikan dampak optimal. Jadi, jawabannya bukan satgas baru, tetapi penegakan hukum oleh institusi yang sudah ada,” tegasnya.

    Pengamat kebijakan publik Agus Pambagio menilai lembaga seperti tim satgas saber pungli tidak efektif sejak awal dan menyarankan agar dibubarkan tanpa perlu mencari pengganti.

    Menurutnya, keberadaan Saber Pungli selama ini justru tidak memberi dampak nyata dalam pemberantasan pungutan liar dan korupsi.

    Alih-alih membentuk lembaga baru, ia menekankan pentingnya penguatan Aparat Penegak Hukum (APH) yang sudah ada. 

    “Ga usah bikin lagi. Pokoknya yang nyolong, yang meres, tangkap. Kalau sudah korupsi dan bikin rakyat susah harus ditindak,” katanya.

    Ia menyebut bahwa lembaga seperti Saber Pungli hanya menjadi kamuflase dari ketidakmampuan aparat hukum yang seharusnya bisa menindak secara langsung. 

    Ia juga menyinggung perbandingan dengan negara-negara sosialis seperti Vietnam, Kuba, dan Kamboja yang menurutnya memiliki penegakan hukum tegas tanpa toleransi terhadap pelaku korupsi. 

    “Di sana enggak ada yang berani nyolong karena hukum ditegakkan. Di sini? Ditangkap, disogok, selesai,” katanya.

    Terkait operasi-operasi Saber Pungli yang selama ini dilakukan, ia menilai hasilnya nihil karena yang lebih banyak ditangkap adalah pelaku kecil yang melakukannya untuk bertahan hidup.

    Sebagai solusi, ia menegaskan bahwa perbaikan harus dimulai dari institusi penegak hukum, mulai dari kepolisian, kejaksaan, hingga dinas-dinas pemerintahan. 

    “Kalau sapunya kotor, ya enggak bisa bersih-bersih. Yang harus dibenahi adalah APH-nya, bukan malah bentuk lembaga baru lagi,” tegasnya.

  • Trump & Prabowo Lagi Mesra, Untung atau Buntung buat RI?

    Trump & Prabowo Lagi Mesra, Untung atau Buntung buat RI?

    Jakarta

    Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump memangkas tarif impor untuk barang-barang asal Indonesia dari 32% menjadi 19%. Keputusan itu harus dibayar mahal pemerintah Presiden Prabowo Subianto melalui beberapa syarat.

    Ekonom Universitas Andalas Syafruddin Karimi mengatakan diskon tarif 19% yang diberikan Trump tidak layak disebut sebagai kabar bahagia. Pemangkasan tarif itu justru dinilai menjadi hambatan serius bagi daya saing produk Indonesia.

    “Diskon tarif sebesar 19% yang diberikan Presiden Trump terhadap barang ekspor Indonesia tidak layak dirayakan sebagai kabar bahagia. Di balik angka yang tampak lebih ringan dibandingkan ancaman tarif 32% sebelumnya, tersembunyi tekanan struktural yang membahayakan posisi Indonesia dalam perdagangan global,” kata Syafruddin kepada detikcom, Rabu (16/7/2025).

    Syafruddin menyebut kesepakatan ini menempatkan Indonesia dalam posisi timpang. Bagaimana tidak, saat Indonesia terkena tarif 19% untuk semua barang yang masuk ke AS, barang-barang AS tidak akan dikenakan tarif apapun saat masuk ke Indonesia.

    Ketimpangan ini membuka jalan bagi produk-produk asal AS menguasai pasar lokal Indonesia dan menekan daya saing produk dalam negeri. “Ketika barang impor menjadi lebih murah karena bebas tarif, maka pelaku usaha lokal akan menghadapi tekanan besar dan ruang bagi industrialisasi nasional pun semakin menyempit,” tutur Syafruddin.

    RI Lebih Banyak Dirugikan

    Indonesia juga dibebani komitmen pembelian dalam jumlah besar yakni senilai US$ 15 miliar untuk membeli produk energi AS, US$ 4,5 miliar untuk membeli produk pertanian AS dan pembelian 50 pesawat Boeing.

    “Ini bukan sekadar perjanjian dagang, melainkan paket pembelian sepihak yang melemahkan fondasi kemandirian ekonomi nasional. Dalam kerangka kesepakatan ini, Indonesia lebih terlihat sebagai pasar konsumtif yang pasif, bukan mitra dagang yang setara dan berdaulat,” kritik Syafruddin.

    Banjirnya barang-barang impor dinilai berpotensi melemahkan industri dalam negeri terutama sektor-sektor yang belum sepenuhnya kompetitif. Tekanan ini disebut bisa memicu penurunan produksi, pemutusan hubungan kerja (PHK), bahkan gejala deindustrialisasi dini.

    “UMKM di sektor pertanian dan pangan menjadi kelompok yang paling rentan karena harus bersaing langsung dengan produk asing yang masuk tanpa beban tarif,” beber Syafruddin.

    Dalam kondisi seperti ini, kebijakan fiskal dan moneter diperkirakan akan semakin tertekan. Pemerintah kemungkinan harus mengalokasikan subsidi tambahan untuk meredam dampak sosial ekonomi, sementara ketimpangan pasar bisa menimbulkan tekanan terhadap nilai tukar rupiah, memicu inflasi berbasis impor dan meningkatkan volatilitas harga pangan.

    “Semua ini menciptakan tantangan serius bagi stabilitas ekonomi makro yang justru tergerus akibat skema dagang yang tidak imbang,” imbuh Syafruddin.

    Senada, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan kabar itu lebih banyak risikonya bagi neraca dagang Indonesia ketimbang baiknya.

    “Tarif 19% untuk barang ekspor Indonesia ke AS, sementara AS bisa mendapat fasilitas 0% sebenarnya punya risiko tinggi bagi neraca dagang Indonesia. Jadi lebih banyak risikonya karena AS dapat 0% tarif impor ke Indonesia,” kata Bhima dihubungi terpisah.

    Bhima menilai hasil negosiasi tarif Trump ini tetap merugikan posisi Indonesia. Ia menyarankan agar pemerintah mendorong akses pasar ke Eropa sebagai bentuk diversifikasi pasar pasca perjanjian dagang Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA) disahkan.

    “Begitu juga dengan pasar intra-ASEAN bisa didorong. Jangan terlalu bergantung pada ekspor ke AS karena hasil negosiasi tarif tetap merugikan posisi Indonesia,” ucap Bhima.

    Tonton juga video “Kelakar Prabowo: Mau Ketemu Trump, Tapi Takut Diajak Main Golf” di sini:

    (acd/acd)

  • Produk Indonesia Dikenai Tarif 19 Persen Tapi Produk AS Nol Persen, Bhima Yudhistira: AS akan Untung Besar

    Produk Indonesia Dikenai Tarif 19 Persen Tapi Produk AS Nol Persen, Bhima Yudhistira: AS akan Untung Besar

    “Tarif 19 persen untuk barang ekspor Indonesia ke AS, sementara AS bisa mendapat fasilitas nol persen sebenarnya punya risiko tinggi bagi neraca dagang Indonesia,” ungkap Bhima dilansir jpnn, Rabu (16/7).

    Bhima tidak menampik jika kebijakan tarif ini memang sedikit akan menguntungkan ekspor produk alas kaki, pakaian jadi, CPO, dan karet.

    Namun dia memastikan, impor produk dari AS akan membengkak, salah satunya sektor migas, produk elektronik, suku cadang pesawat, serealia (gandum dsb), serta produk farmasi. “Tercatat sepanjang 2024, total impor lima jenis produk ini mencapai USD 5,37 miliar setara Rp87,3 triliun,” beber Bhima.

    Bhima memastikan, AS akan untung besar dari penetrasi ekspor gandum ke Indonesia karena tarif nol persen. Konsumen mungkin senang harga mie instan, dan roti bakal turun, tetapi produsen pangan lokal terimbas dampak negatifnya.

    Oleh karena itu, pemerintah sebaiknya mendorong akses pasar ke Eropa sebagai bentuk diversifikasi pasar paska EUI-CEPA disahkan. “Begitu juga dengan pasar intra-ASEAN bisa didorong. Jangan terlalu bergantung pada ekspor ke AS karena hasil negosiasi tarif tetap merugikan posisi Indonesia,” ungkap Bhima.

    Pemerintah juga harus memonitor pelebaran defisit migas, menekan kurs rupiah dan menyebabkan postur subsidi RAPBN 2026 untuk energi meningkat tajam.

    “Alokasi subsidi energi 2026 yang sedang diajukan pemerintah Rp 203,4 triliun, tentu tidak cukup. Setidaknya butuh Rp 300-320 triliun. Apalagi ketergantungan impor BBM dan LPG makin besar,” kata Bhima.

  • Ekonom: Penetapan tarif 19 persen AS momentum RI beralih ke EBT

    Ekonom: Penetapan tarif 19 persen AS momentum RI beralih ke EBT

    Jakarta (ANTARA) – Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira Adhinegara menilai penetapan tarif dagang Amerika Serikat (AS) sebesar 19 persen terhadap Indonesia menjadi momentum untuk beralih ke energi baru terbarukan (EBT).

    Hal ini menyusul Presiden AS Donald Trump yang tak hanya memberlakukan tarif impor senilai 19 persen terhadap produk-produk Indonesia yang masuk ke negaranya, tapi juga kesepakatan yang mencakup komitmen RI membeli energi dari AS senilai 15 miliar dolar AS.

    “Dengan outlook pelebaran defisit migas, sudah saatnya Indonesia mempercepat transisi dari ketergantungan fosil,” kata Bhima saat dihubungi di Jakarta, Rabu.

    Bhima mengatakan potensi pelebaran defisit migas dapat menekan kurs rupiah dan menyebabkan postur subsidi Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 untuk energi meningkat tajam.

    “Alokasi subsidi energi 2026 yang sedang diajukan pemerintah adalah Rp203,4 triliun, tentu tidak cukup. Setidaknya butuh Rp300-320 triliun. Apalagi ketergantungan impor BBM dan LPG makin besar,” kata Bhima.

    Ia menilai ketergantungan impor minyak sudah membebani APBN dan ada kekhawatiran ujungnya Indonesia harus beli minyak dari AS lebih mahal dari harga pasar karena terikat hasil negosiasi dagang.

    “Kalau Indonesia disuruh beli produk minyak dan LPG tapi harganya di atas harga yang biasa dibeli Pertamina, repot juga. Ini momentum semua program transisi energi harus jalan agar defisit migas bisa ditekan,” ujar dia.

    Selain mulai mempertimbangkan transisi energi, Bhima juga mengatakan penerapan tarif ini juga menjadi momentum bagi Indonesia untuk mengeksplorasi pasar ekspor baru, contohnya di Uni Eropa hingga negara-negara tetangga di kawasan Asia Tenggara (ASEAN).

    Adapun harapan terkait peningkatan kerja sama dan relaksasi sejumlah aturan untuk melakukan ekspor ke kawasan Eropa pun menyusul Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Uni Eropa (IEU-CEPA) yang akhirnya disepakati setelah 10 tahun negosiasi.

    “Pemerintah sebaiknya mendorong akses pasar ke Eropa sebagai bentuk diversifikasi pasar paska IEU-CEPA disahkan. Begitu juga dengan pasar intra-ASEAN bisa didorong. Jangan terlalu bergantung pada ekspor ke AS karena hasil negosiasi tarif tetap merugikan posisi Indonesia,” ujar Bhima.

    Pewarta: Arnidhya Nur Zhafira
    Editor: Kelik Dewanto
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Ekonom: Ekspor unggulan RI diuntungkan, namun waspadai neraca dagang

    Ekonom: Ekspor unggulan RI diuntungkan, namun waspadai neraca dagang

    Jakarta (ANTARA) – Produk ekspor unggulan Indonesia seperti alas kaki, pakaian jadi, hingga karet dan CPO diuntungkan dengan tarif bea masuk 19 persen ke Amerika Serikat (AS) seperti yang baru saja diumumkan Presiden AS Donald Trump, kata ekonom lembaga wadah pemikir (think tank) Celios.

    Namun, menurut Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira Adhinegara yang dihubungi Antara di Jakarta, Rabu, Indonesia juga perlu mewaspadai impor produk dari AS yang diperkirakan membengkak, seperti migas, produk elektronik, suku cadang pesawat, sereal dan gandum, serta produk farmasi menyusul pernyataan Trump bahwa negaranya mendapat tarif nol persen ke Indonesia.

    “Tarif 19 persen untuk barang ekspor Indonesia ke AS, sementara AS bisa mendapat fasilitas 0 persen, sebenarnya punya risiko tinggi,” kata Bhima.

    Menurut Bhima, sektor migas, produk elektronik, suku cadang pesawat, serealia dan gandum, serta produk farmasi mencatat nilai impor yang tinggi pada 2024. Karena itu, dampak potensi meningkatnya impor terhadap neraca perdagangan harus diwaspadai.

    “Tercatat sepanjang 2024, total impor lima jenis produk ini mencapai 5,37 miliar dolar AS atau setara Rp87,3 triliun,” ujar dia.

    Bhima menjelaskan AS akan sangat diuntungkan dari penetrasi ekspor gandum ke Indonesia karena tarif 0 persen. Hal ini juga perlu diwaspadai menyusul pemerintah memiliki target swasembada pangan melalui pemberdayaan petani dan produsen pangan lokal.

    “Konsumen mungkin senang harga mie instan, dan roti bakal turun, tapi produsen pangan lokal terimbas dampak negatifnya,” kata Bhima.

    Lebih lanjut, ia menilai tarif untuk produk Indonesia ke AS idealnya masih bisa turun lagi.

    “Penurunan tarif Vietnam dari 46 persen ke 20 persen lebih signifikan dibanding penurunan tarif Indonesia yang sebelumnya 32 persen ke 19 persen. Idealnya Indonesia bisa lebih turun lagi,” katanya.

    Sebelumnya, Presiden Amerika Serikat Donald Trump menyatakan tarif impor senilai 19 persen akan diberlakukan terhadap produk-produk Indonesia yang masuk ke AS, berdasarkan negosiasi langsung yang dilakukannya dengan Presiden RI Prabowo Subianto.

    Nilai baru tersebut menunjukkan telah tercapai kesepakatan untuk menurunkan tarif impor AS untuk produk Indonesia dari angka 32 persen yang diumumkan pertama kali oleh Trump pada April lalu.

    Trump mengatakan Indonesia berjanji akan membebaskan semua halangan tarif dan non-tarif bagi produk AS yang masuk ke RI.

    Apabila ada produk dari negara ketiga dengan tarif lebih tinggi yang akan diekspor ke AS melalui Indonesia, tarif 19 persen itu akan ditambahkan pada produk tersebut.

    Selain penetapan nilai tarif, kesepakatan yang diteken antara Trump dan Prabowo juga mencakup komitmen RI membeli energi dari AS senilai 15 miliar dolar AS dan produk agrikultur senilai sebesar 4,5 miliar dolar AS.

    Pewarta: Arnidhya Nur Zhafira
    Editor: Indra Arief Pribadi
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • RI Kena Tarif Trump 32%, Bisa Picu Pengangguran-Ekspor Loyo

    RI Kena Tarif Trump 32%, Bisa Picu Pengangguran-Ekspor Loyo

    Jakarta

    Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengirimkan surat kepada Presiden RI Prabowo Subianto mengenai penetapan tarif untuk Indonesia sebesar 32%. Tarif itu akan resmi berlaku mulai 1 Agustus 2025.

    Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan bahwa pengenaan tarif ini akan mengakibatkan turunnya nilai ekspor Indonesia hingga Rp 105,9 triliun. Kemudian turunnya output ekonomi nasional sebesar Rp 164 triliun.

    “Jadi ini cukup signifikan dampaknya terhadap ekonomi Indonesia, karena beberapa sektor padat karya masih bergantung pada Amerika Serikat. Alas kaki pakaian jadi dominan ke Amerika,” katanya saat dihubungi detikcom, Selasa (8/7/2025).

    Bhima menambahkan, dampak langsung yang akan dirasakan masyarakat ialah menurunnya pendapatan tenaga kerja di Indonesia. Ia menyebut penurunan pendapatan tenaga kerja mencapai Rp 52 triliun.

    Kemudian, ia menyebut bahwa tarif 32% ini akan mengakibatkan terjadinya penurunan serapan tenaga kerja hingga mencapai 1,2 juta orang. Hal ini karena tarif ini sangat berdampak terhadap industri padat karya.

    “Itu dampak langsungnya bagi masyarakat soal pengangguran dan pendapatan tenaga kerja turun tajam,” katanya.

    Dengan kondisi tersebut, Bhima mendorong pemerintah untuk segera mengambil langkah konkret guna merespons kebijakan tarif tersebut dengan melakukan diversifikasi tujuan ekspor ke sejumlah negara lain.

    “Salah satunya ke Intra ASEAN, kemudian lebih penetrasi lagi ke negara BRICS. Atau ke daerah lain misalnya di Timur Tengah, kemudian Amerika Latin, Asia Selatan juga. Jadi mau nggak mau memang harus terus melakukan perluasan pasar ekspor,” katanya.

    Senada, Direktur Eksekutif Center for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri mengatakan bahwa tarif ini akan berdampak terhadap menurutnya ekspor Indonesia ke AS. Terlebih ekspor Indonesia ke AS lebih banyak padat karya yang bakal menimbulkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di sektor tersebut.

    “Tentunya akan ada pressure, akan ada challenge juga terhadap industri padat karya ini. Termasuk juga kemungkinan pemutusan hubungan kerja seperti misalnya industri tekstil atau garment saja itu ada sekitar 1 juta orang yang terlibat di dalamnya. Dan itu kalau misalnya ekspor yang ke Amerika Serikat akan turun tentunya akan berdampak terhadap employment di sektor ini,” katanya saat dihubungi detikcom.

    Tonton juga “Trump Bakal Kenakan tarif 50% Pada Impor Tembaga” di sini:

    (acd/acd)