Data Pertumbuhan Ekonomi Diragukan, Luhut: Sudah Bagus, Malah Bisa Lebih Tinggi Lagi
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan menyebut pertumbuhan ekonomi Indonesia seharusnya bisa lebih tinggi lagi dari 5,12 persen.
Hal tersebut Luhut sampaikan saat menjawab keraguan ekonom mengenai data pertumbuhan ekonomi dari Badan Pusat Statistik (BPS) itu.
“Saya kira sudah bagus. Malah bisa lebih tinggi lagi kalau deregulasinya jalan,” ujar Luhut di Istana, Jakarta, Rabu (6/8/2025).
Adapun BPS melaporkan bahwa laju pertumbuhan ekonomi Indonesia pada Semester I 2025 mengalami perlambatan dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Deputi Bidang Neraca dan Analisis Statistik BPS, Moh Edy Mahmud, menjelaskan bahwa ekonomi nasional pada kuartal II-2025 tumbuh sebesar 4,99 persen secara tahunan (year on year/yoy).
Angka ini tercatat lebih rendah dibandingkan pertumbuhan Semester I-2024 yang mencapai 5,08 persen.
“Kumulatif ekonomi Indonesia pada Semester I 2025 itu mencapai 4,99 persen,” ujar Edy dalam konferensi pers di Kantor Pusat BPS, Jakarta, dikutip pada Rabu (6/8/2025).
Edy mengungkapkan, meskipun pertumbuhan pada kuartal II-2025 tercatat mencapai 5,12 persen, namun capaian pada kuartal I-2025 yang hanya sebesar 4,87 persen membuat angka kumulatif Semester I sulit menembus level di atas 5 persen.
Karena pertumbuhan ekonomi di kuartal I cukup rendah, maka meskipun kuartal II lebih tinggi, tetap belum mampu mengerek pertumbuhan kumulatif semester ke level di atas 5 persen.
Ia menambahkan, angka pertumbuhan ini dihitung berdasarkan nilai tambah dari kedua kuartal yang kemudian dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu (cumulative to cumulative/c to c).
“Ini selama Kuartal I dan Kuartal II digabungkan yang nilai tambahnya, kemudian kita bandingkan dengan nilai tambah yang ada pada periode yang sama pada tahun lalu atau c to c, maka diperoleh pertumbuhan ekonomi di Semester I 2025,” beber Edy.
Sementara itu, dikutip dari KONTAN, Direktur Eksekutif Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menyoroti data pertumbuhan ekonomi kuartal II-2025 yang dirilis oleh BPS.
Menurutnya, data BPS tersebut tidak sepenuhnya mencerminkan kondisi ekonomi riil di lapangan dan banyak ditemui kejanggalan.
“Ada beberapa data yang janggal, salah satunya soal pertumbuhan industri pengolahan. Selisih datanya terlalu berbeda antara BPS dan Purchasing Managers Index Manufaktur,” tutur Bhima kepada Kontan.
Sebagai informasi, S&P Global mencatat bahwa PMI Manufaktur Indonesia berada di bawah ambang ekspansi atau kontraksi sepanjang kuartal II-2025.
Tercatat, pada April indeks berada di level 46,7, naik tipis di Mei menjadi 47,4, namun kembali melemah pada Juni ke posisi 46,9.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Tag: Bhima Yudhistira
-
/data/photo/2025/07/31/688b64afe8093.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Data Pertumbuhan Ekonomi Diragukan, Luhut: Sudah Bagus, Malah Bisa Lebih Tinggi Lagi Nasional 6 Agustus 2025
-

Video: Ekonomi Tumbuh 5,12%, Ekonom Blak-blakan Realitanya
Jakarta, CNBC Indonesia –Direktur Eksekutif Center of Economic And Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan kredibilitas data pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II 2025 ini diragukan. Pasalnya, ada sejumlah komponen perhitungan yang dinilai tidak sesuai dengan indikator perhitungan lainnya.
Selengkapnya dalam program Autobizz CNBC Indonesia, Selasa (05/08/2025).
-

Anak Buah Luhut Beberkan Mesin Penggerak Pertumbuhan Ekonomi RI 5,12%
Jakarta –
Anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Firman Hidayat merespons data Badan Pusat Statistik (BPS) yang mengumumkan ekonomi Indonesia tumbuh sebesar 5,12% pada kuartal II-2025. Angka ini cukup mengejutkan karena bertolak belakang dengan proyeksi banyak ekonom.
Data BPS juga lebih tinggi dari perkiraan Firman yang memperkirakan pertumbuhan ekonomi hanya berada di kisaran 4,9%. Prediksi Firman disampaikan beberapa menit sebelum BPS menyampaikan rilis pertumbuhan ekonomi.
Firman menyebut terdongkraknya ekonomi Indonesia kemungkinan dipicu oleh angka pertumbuhan investasi yang mencapai 6,99%. Firman juga menilai capaian ekspor pada kuartal dua cenderung positif.
Menurutnya pertumbuhan ekonomi 5,12% sudah sesuai dan dapat dijelaskan oleh indikator ekonomi pada kuartal II 2025. Meski masih ada tekanan di beberapa sisi, namun terdapat perbaikan dibandingkan kuartal I 2025.
Saat dikonfirmasi apakah perbedaan data BPS dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi lainnya bakal mempengaruhi kepercayaan investor, Firman menyebut hal itu perlu dilihat lebih detail terlebih dahulu.
“Saya kira nanti kita perlu lihat lagi lebih detail, tapi sekilas angkanya masih cukup bisa dijelaskan dengan data-data indikator yang keluar di kuartal II. Kalau nggak salah C nya sebenarnya masih di bawah 5%, berarti kan menunjukkan ada tekanan di sisi daya beli, tapi ada perbaikan dibandingkan kuartal II kemarin,” jelas Firman ditemui di Hotel JS Luwansa, Selasa (5/8/2025).
“Yang mendorong (pertumbuhan ekonomi) ya tadi dari sisi investmentnya, karena dari impor barang modal kelihatannya masih sangat tinggi di kuartal II. dan ini didorong oleh impor mesin di kuartal II kemarin,” tambah Firman.
Sebagai informasi, BPS mencatat konsumsi rumah tangga tumbuh 4,97% YoY, naik dari kuartal I yang sebesar 4,89%. Konsumsi rumah tangga berkontribusi sebesar 54,25% terhadap pertumbuhan ekonomi.
Firman yakin pemerintah bisa mengejar target pertumbuhan 5,2% tahun 2025. Beberapa hal yang perlu didorong adalah relaksasi dari sisi kebijakan moneter, percepatan realisasi belanja pemerintah, hingga eksekusi dari program-program prioritas Presiden Prabowo Subianto.
Adapun para ekonom memperkirakan pertumbuhan tak akan sampai angka 5% di periode ini. Namun Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada kuartal II tercatat mencapai Rp 5.947 triliun. BPS menyebut pertumbuhan ekonomi secara tahunan (year-on-year/yoy) berada di angka 5,12%. Lalu dibandingkan dengan kuartal sebelumnya tercatat tumbuh 4,04%.
Ekonom Senior INDEF, Tauhid Ahmad, memproyeksikan angka pertumbuhan di kuartal II tak akan menyentuh 5%. Tauhid cukup kaget ekonomi Indonesia bisa tumbuh 5,12%.
“Angka pertumbuhan ekonomi ini ya ditetapkan pemerintah 5,12% agak kaget. Di luar perkiraan banyak orang termasuk saya yang memperkirakan di bawah 5%. Bahkan jauh, sekitar 4,8%, 4,9%. Saya sempat perkirakan antara 4,7% sampai 5,0%” ujarnya kepada detikcom, Selasa (5/8/2025).
Hal senada disampaikan Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira yang memperkirakan pertumbuhan kuartal II-2025 hanya berada di kisaran 4,5-4,7% yoy, bahkan lebih rendah dari realisasi kuartal I-2025 yang sebesar 4,87%. Menurutnya, lesunya daya beli masyarakat jadi penyebab utama.
“Pertumbuhan kuartal II-2025 di kisaran 4,5-4,7% yoy, karena tidak ada lagi pendorong musiman setelah Lebaran, daya beli sedang lesu,” ujar Bhima.
(ily/kil)
-

Ekonomi Katanya Tumbuh 5,12%, Tapi Banyak Ekonom Tak Yakin
Jakarta –
Badan Pusat Statistik melaporkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II 2025 sebesar 5,12% secara year on year (yoy). Angka pertumbuhan ekonomi ini ternyata menimbulkan keraguan dari para ekonom.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan kredibilitas data pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II 2025 ini diragukan karena ada sejumlah komponen perhitungan yang dinilai tidak sesuai dengan indikator perhitungan lainnya.
Sebut saja salah satunya dari komponen Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) yang menurut BPS pada kuartal II 2025 ini tumbuh hingga 6,99%. Menurutnya angka pertumbuhan komponen yang satu ini tidak sesuai dengan realita, mengingat sektor industri manufaktur dalam negeri sedang mengalami tekanan karena berbagai faktor.
“Ada keraguan dong. Karena situasi ekonomi sekarang terutama dari investasi, kok di tengah ketidakpastian ada kenaikan investasi yang cukup tinggi dari PMTB. Nah ini juga menjadi salah satu keraguan terhadap kredibilitas data BPS,” kata Bhima kepada detikcom, Selasa (5/8/2025).
Bhima menjelaskan ketika sektor industri manufaktur Tanah Air sedang mengalami tekanan, seharusnya komponen PMTB ikut mengalami pelemahan. Sebab menurutnya tidak mungkin pengusaha dalam negeri meningkatkan investasi dalam bentuk aset tetap saat sektor industrinya sedang tertekan.
“Industri manufaktur sebenarnya mengalami kontraksi. Tercermin dari PMI manufaktur turun pada Juni dari 47,4 menjadi 46,9. Jadi kalau ada PMI manufaktur yang turun sementara pertumbuhan industri manufakturnya naik tinggi, ini kan ada data yang janggal, ada data yang tidak sinkron dari data BPS. Nah ini butuh penjelasan lebih detail,” jelasnya.
“Kenapa industri naik padahal banyak dikabarkan PHK, efisiensi, banyak yang terpengaruh oleh rencana kebijakan tarif versi lokal Amerika, ini kok pertumbuhannya anomali? Nah inilah yang membuat kita bertanya-tanya terhadap data BPS ini. Kenapa kok nggak mencerminkan realitas sebenarnya di industri manufaktur?” terang Bhima lagi.
Senada dengan itu, Ekonom senior INDEF Tauhid Ahmad juga ikut mempertanyakan perhitungan komponen PMTB oleh BPS yang tumbuh sangat tinggi pada kuartal II 2025 ini. Padahal menurutnya sekarang ini kredit investasi dalam negeri sedang mengalami perlambatan karena berbagai faktor.
“PMTB itu naik drastis menjadi 7%. PMTB ini kan pembelian belanja barang ya, mesin-mesin peralatan dan sebagainya begitu. Nah sementara kita tahu ini kan investasi baik pemerintah maupun masyarakat, kredit investasi dan sebagainya ini lagi masalah gitu ya,” ucap Tauhid.
“PMTB naik itu biasanya ketika triwulan III atau triwulan IV. Jadi banyak bangun gedung, konstruksi dan sebagainya. Kenapa triwulan II naik tinggi begitu? Ini yang saya kira menjadi pertanyaan,” sambungnya.
Lihat juga Video BPS: Ekonomi RI Tumbuh 5,12% di Kuartal II 2025
(igo/fdl)
-

Data BPS Bikin Kaget! Ekonomi RI Tumbuh 5,12%, Melenceng dari Ramalan Ekonom
Jakarta –
Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan ekonomi Indonesia tumbuh sebesar 5,12% pada kuartal II-2025. Angka ini cukup mengejutkan karena bertolak belakang dengan proyeksi banyak ekonom. Para ekonom memperkirakan pertumbuhan tak akan sampai angka 5% di periode ini.
Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia pada kuartal II tercatat mencapai Rp 5.947 triliun. BPS menyebut pertumbuhan ekonomi secara tahunan (year-on-year/yoy) berada di angka 5,12%. Lalu dibandingkan dengan kuartal sebelumnya tercatat tumbuh 4,04%.
Ekonom Senior INDEF, Tauhid Ahmad, memproyeksikan angka pertumbuhan di kuartal II tak akan menyentuh 5%. Tauhid cukup kaget ekonomi Indonesia bisa tumbuh 5,12%.
“Angka pertumbuhan ekonomi ini ya ditetapkan pemerintah 5,12% agak kaget. Di luar perkiraan banyak orang termasuk saya yang memperkirakan di bawah 5%. Bahkan jauh, sekitar 4,8%, 4,9%. Saya sempat perkirakan antara 4,7% sampai 5,0%” ujarnya kepada detikcom, Selasa (5/8/2025).
Hal senada disampaikan Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira yang memperkirakan pertumbuhan kuartal II-2025 hanya berada di kisaran 4,5-4,7% yoy, bahkan lebih rendah dari realisasi kuartal I-2025 yang sebesar 4,87%. Menurutnya, lesunya daya beli masyarakat jadi penyebab utama.
“Pertumbuhan kuartal II-2025 di kisaran 4,5-4,7% yoy, karena tidak ada lagi pendorong musiman setelah Lebaran, daya beli sedang lesu,” ujar Bhima.
Lemahnya daya beli ini juga berdampak pada sektor manufaktur. Purchasing Managers’ Index (PMI) manufaktur Indonesia tercatat berada di angka 49,2 pada Juli 2025. Meski membaik dibandingkan bulan sebelumnya yang sempat anjlok ke 46,9, posisi ini masih di bawah ambang batas 50-yang berarti aktivitas manufaktur masih mengalami kontraksi.
Selain itu, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal. Ia memprediksi pertumbuhan ekonomi kuartal II-2025 akan berada di bawah 5%, tepatnya pada kisaran 4,7-4,8% yoy. Alasannya serupa: konsumsi rumah tangga yang melemah.
“CORE memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II-2025 melambat ke kisaran 4,7-4,8%, turun dari 4,87% pada kuartal I,” ujarnya.
Faisal juga menilai stimulus pemerintah belum cukup kuat untuk mendorong pertumbuhan. Di sisi lain, kontribusi dari net ekspor pun makin mengecil, karena surplus neraca perdagangan terus menyusut selama kuartal II.
“Kontribusinya terhadap pertumbuhan jadi lebih rendah. Kami juga prediksi belanja pemerintah masih minus. Di kuartal I minus, dan di kuartal II kami prediksi minus 1%, jadi kontraksi. Itu yang juga memperlambat laju ekonomi,” jelasnya.
Proyeksi Dipangkas: Lembaga-lembaga Turut Ragu
Foto: ANTARA FOTO/Aprillio Akbar
LPEM UI
Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) dalam riset Trade and Industry Brief Vol VIII No. 2 edisi Juni 2025 juga menyoroti adanya perlambatan ekonomi nasional.
“Pada awal 2025, Indonesia menunjukkan gejala perlambatan ekonomi yang diakibatkan oleh tergerusnya daya beli, menyusutnya kelas menengah, dan menurunnya produktivitas sektoral yang tercermin dalam dinamika industri dan ketenagakerjaan,” tulis tim peneliti LPEM FEB UI.
Mereka mencatat, sektor manufaktur-yang selama ini menjadi tulang punggung penyerapan tenaga kerja-mengalami tantangan deindustrialisasi prematur: kontribusinya terhadap PDB menurun, serapan tenaga kerja melemah, dan produktivitas stagnan.
Sementara sektor pertanian pun belum lepas dari persoalan klasik, mulai dari ketersediaan input, teknologi, logistik, pembiayaan, hingga persaingan dengan produk impor dan praktik perdagangan internasional yang tidak sehat.
“Indonesia perlu menciptakan lebih banyak lapangan kerja untuk menampung angkatan kerja berpendidikan rendah-menengah agar bisa menekan angka kemiskinan dan menjaga daya beli,” saran LPEM UI.
OECD
Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) juga memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2025 menjadi 4,7%, dari proyeksi sebelumnya yang sebesar 4,9%.
World Bank
Bank Dunia pun menyampaikan peringatan bahwa perekonomian Indonesia rawan terdampak gejolak global. Ketegangan geopolitik yang meningkat saat ini berisiko mendorong pelemahan ekonomi lebih lanjut.
Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor-Leste, Carolyn Turk, menyampaikan hal ini dalam peluncuran laporan Indonesia Economic Prospects (IEP) edisi Juni 2025.
Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini hanya 4,7%, dan 4,8% untuk tahun depan. Perkiraan ini mempertegas tren penurunan, setelah di kuartal I-2025 ekonomi RI hanya tumbuh 4,87%-turun dari angka 5% yang sempat tercapai sebelumnya.
Menurut Carolyn, gejolak global menahan laju penciptaan lapangan kerja dan menghambat upaya penanggulangan kemiskinan ekstrem. Pelemahan kinerja perdagangan dan investasi asing, ditambah arus modal yang labil, menciptakan tekanan luas terhadap stabilitas makroekonomi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
“Dalam situasi yang sangat rentan ini, ekonomi Indonesia memang menunjukkan ketahanan. Tapi kami melihat pertumbuhan PDB yang lebih rendah dari 5%. Konsumsi pemerintah dan investasi juga menurun tahun ini,” sebut Carolyn.
Halaman 2 dari 2
(fdl/fdl)
-

Ekonomi RI Tumbuh 5,12% di Kuartal II-2025, Semua Kaget!
Jakarta, CNBC Indonesia – Semua kaget dengan rilis angka pertumbuhan ekonomi kuartal II-2025 yang telah diumumkan Badan Pusat Statistik (BPS) sebesar 5,12%, Selasa (5/8/2025).
Kalangan ekonom kompak menyebut angka pertumbuhan itu di luar dugaan dan bahkan ada yang menyebut janggal.
Ekonom yang mengaku terkejut dengan angka itu ialah Kepala Ekonom BCA David Sumual. Angka pertumbuhan ekonomi kuartal II-2025 yang dirilis BPS hari ini memang jauh di atas ekspektasi nya yang memperkirakan hanya di kisaran 4,69%-4,81% karena masih besarnya tekanan indikator belanja masyarakat dan kinerja sektor manufaktur pada periode itu.
“Cukup suprising, tidak ada yang prediksi di atas 5%, apalagi 5,12%,” kata David kepada CNBC Indonesia, Selasa (5/8/2025).
David mengatakan, komponen PDB yang tumbuhnya menurut BPS sangat tinggi hingga mampu mendorong ekonomi tumbuh 5,12% yoy di antaranya ialah pertumbuhan angka investasi yang mencapai 6,99%, tertinggi sejak kuartal II-2021.
“Investasi angkanya sangat akseleratif. Angka pertumbuhan kuartal I juga banyak revisi dan investasi memang kami juga expect akselerasi, tapi tidak setajam angka BPS,” ucap David.
Ia juga cenderung bertanya-tanya dengan melesatnya angka pertumbuhan industri pengolahan atau manufaktur yang pada kuartal II-2025 disebut BPS mencapai 5,68%, dari yang selama ini pergerakannya selalu di kisaran 4% sejak kuartal II-2022.
Head of Macro Economic & Financial Market Research Permata Bank Faisal Rachman juga mengaku terkejut dengan angka pertumbuhan kuartal II-2025. Ia mengatakan, pertumbuhan PDB Indonesia mengalami akselerasi yang signifikan melampaui ekspektasi pasar.
“Perekonomian Indonesia mencatat pertumbuhan yang lebih kuat dari perkiraan sebesar 5,12% yoy pada Triwulan II 2025, jauh di atas ekspektasi pasar yang memproyeksikan pertumbuhan tetap di bawah 5%,” tegas Faisal.
Ekonom Bank Danamon Hosianna Evalita Situmorang juga tak bisa menutupi keterkejutannya dengan angka realisasi investasi kuartal II-2025. Ia mengatakan, seharusnya kinerja PMTB pada kuartal II-2025 yang tumbuh cepat menurut BPS tak banyak berefek pada dorongan cepat ekonomi karena hanya terdiri dari belanja modal pemerintah berupa mesin dan impor barang modal meski bahan baku melambat.
“Cenderung enggak banyak spill over ke domestik pada semester I-2025 ini,” ucap Hosianna.
Ekonom Maybank Indonesia Myrdal Gunarto juga mengungkapkan keterkejutannya dengan angka rilis BPS ini. Sebab, proyeksi secara keseluruhan para pelaku pasar keuangan tak ada yang menyebut ekonomi pada kuartal II-2025 bisa tembus di atas 5%.
“Suprising, karena ekspektasi kita di bawah 5%,” tutur Myrdal.
Dugaan Kejanggalan
Sementara itu, sejumlah ekonomi dari lembaga think tank, menganggap ada kejanggalan dari data ekonomi kuartal II-2025 ini. Misalnya, sebagaimana disampaikan Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira.
Sama seperti David Sumual yang turut mempertanyakan cepatnya pertumbuhan kinerja industri manufaktur, Bhima menyebut angka janggal pertumbuhan itu berlainan dengan data PMI Manufaktur yang malah kini tengah dalam zona pesimis.
Berdasarkan data S&P Global, Purchasing Managers’ Index (PMI) manufaktur Indonesia pada Juli 2025 tercatat sebesar 49,2, yang berarti berada di zona kontraksi. Ini menjadi bulan keempat berturut-turut PMI berada di bawah ambang ekspansi (50,0), menandakan pelemahan yang konsisten dalam aktivitas manufaktur nasional.
Sebelumnya, PMI manufaktur Indonesia tercatat di level 46,7 pada April, 47,4 pada Mei, dan 46,9 pada Juni 2025. Meskipun angka pada Juli menunjukkan sedikit perbaikan, posisi yang masih berada di bawah 50 menandakan bahwa pelaku industri tetap menghadapi tekanan, terutama dari sisi permintaan dan produksi.
“Pertumbuhan industri pengolahan tidak sinkron dengan data PMI Manufaktur. Ini ada yang janggal,” tegas Bhima.
Sementara itu, Head of Center Macroeconomics and Finance INDEF M. Rizal Taufikurahman mengingatkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,12% (yoy) pada kuartal II 2025 patut dicermati secara lebih kritis.
Ia menyebut, secara nominal, angka pertumbuhan ini memang di luar ekspektasi karena di kisaran 4,7-5,0%. Bahkan, mampu tumbuh tinggi di atas periode yang memiliki dorongan faktor musiman seperti pada kuartal I-2025 dengan capaian hanya 4,87%.
“Sangat mengejutkan, di luar ekspektasi,” tegas Rizal.
Namun, Rizal mengingatkan, jika dilihat dalam konteks historis, capaian ini sebenarnya masih merefleksikan pola pertumbuhan yang masih stagnan sejak pasca-pandemi.
“Artinya, kita tidak menyaksikan lonjakan pertumbuhan struktural, melainkan repetisi siklus musiman yang seringkali terdorong oleh momen Lebaran dan pola konsumsi jangka pendek, tanpa transformasi signifikan di sisi produktif,” paparnya.
“Ini menandakan bahwa struktur ekonomi nasional belum sepenuhnya pulih dalam kualitas, meskipun terlihat stabil dalam kuantitas,” tegas Rizal.
Lebih jauh, ia mengingatkan kontribusi terbesar terhadap pertumbuhan berasal dari lonjakan impor (11,65%), konsumsi rumah tangga, dan PMTB (investasi tetap bruto), bukan dari peningkatan ekspor bersih atau efisiensi belanja pemerintah di mana konsumsi pemerintah justru tumbuh negatif (-0,33%).
“Ini mengindikasikan bahwa permintaan domestik masih menjadi tulang punggung utama, sementara sisi produksi dan ekspor masih belum cukup kuat menopang pertumbuhan jangka menengah,” paparnya.
Ketergantungan terhadap sektor konsumsi dan importasi bahkan dapat memperlebar defisit transaksi berjalan dan meningkatkan tekanan terhadap neraca pembayaran bila tidak dibarengi dengan penguatan sektor tradable.
Dengan kata lain, ia melihat pertumbuhan Q2‑2025 lebih mencerminkan stabilitas struktural ekonomi Indonesia di tengah ketidakpastian global, meskipun masih bergantung pada faktor musiman dan permintaan domestik,
Walaupun ia anggap angka ini belum terjadi pergeseran strategis menuju industrialisasi dan produktivitas sektor riil. Dengan kata lain, Rizal menekankan, pertumbuhan ekonomi kuartal II‑2025 sebesar 5,12% memang cukup impresif secara headline, tetapi belum menjawab tantangan struktural ekonomi Indonesia.
“Ketergantungan pada konsumsi dan investasi tanpa dukungan kuat dari sektor produksi dan ekspor yang dapat menjadikan capaian pertumbuhan rawan tidak sustain,” tegas Rizal.
(arj/haa)
[Gambas:Video CNBC]


:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5303419/original/005458100_1754102666-1000012531.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
