Tag: Bhima Yudhistira

  • Itu Sumbu dari Gejolak Sosial ke Depan

    Itu Sumbu dari Gejolak Sosial ke Depan

    GELORA.CO – Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyebut keputusan Presiden Prabowo Subianto yang ingin menaikkan gaji aparatur sipil negara (ASN) akan semakin memperburuk kesenjangan dengan pekerja informal.

    “Ya ini kan akan memperburuk ketimpangan sebenarnya, antara pegawai pemerintah dengan pekerja informal. Dan itu adalah sumbu dari adanya keretakan sosial atau gejolak sosial ke depan,” ujar Bhima kepada Inilah.com saat dihubungi di Jakarta, Sabtu (20/9/2025).

    Ia menilai, kenaikan gaji ASN di tengah efisiensi anggaran kurang tepat, dan menunjukkan pemerintah tidak memiliki kepekaan terhadap krisis serta empati.

    “Kenapa? Karena mereka PPh 21-nya juga sudah ditanggung oleh negara. Jadi fasilitas negara itu sudah terlalu banyak bagi ASN. Justru para pencari kerja, para orang yang kerja di sektor informal, ojol itu yang harusnya dinaikkan pendapatannya dengan APBN,” terangnya.

    Bhima menyebut bila APBN hanya berputar pada urusan belanja pegawai semata, maka artinya pemerintah tidak punya solusi dan salah dalam menerapkan kebijakan.

    “Sementara kalau dicek dari 2021-2026 atau 5 tahun terakhir, belanja pegawai itu sudah naik 49,7 persen bahkan melebihi dari belanja produktif, seperti belanja modal yang naiknya cuma 14,4 persen. Bahkan lebih tinggi daripada kenaikan subsidi non energi yang tumbuhnya cuma 7 persen di periode yang sama, perlindungan sosial itu -3,6 persen,” ungkap Bhima.

    Oleh karena itu, ia menegaskan pemerintah seharusnya menggunakan anggaran hasil penghematan belanja pegawai untuk melakukan stimulus ke UMKM. “Biar ada lapangan kerja di luar dari sektor pemerintahan,” jelasnya.

    Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto memutuskan untuk menaikkan gaji Aparatur Sipil Negara (ASN), terutama guru, tenaga kesehatan, dan penyuluh, dosen, TNI/Polri serta pejabat negara.

    Peraturan ini tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 79 Tahun 2025 tentang Pemutakhiran Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2025. Perpres ini ditandatangani Prabowo pada 30 Juni 2025 dan berlaku sejak diundangkan pada tanggal yang sama.

    Ketentuan tentang menaikkan gaji ASN dalam Perpres, termuat di bagian lampiran pada Program Hasil Terbaik Cepat dalam RKP Tahun 2025. Setidaknya ada 8 program hasil terbaik cepat dalam RKP Tahun 2025. Kenaikan gaji ASN itu tercantum di nomor 6 dari 8 program hasil terbaik cepat itu.

    “Menaikkan gaji ASN (terutama guru, dosen, tenaga kesehatan, dan penyuluh), TNI/Polri dan pejabat negara,” sebagaimana tertulis dalam Perpres Nomor 79 Tahun 2025.

    Selain menaikkan gaji ASN, lampiran Perpres 79/2025 juga akan memberlakukan peningkatan kesejahteraan ASN, melalui penerapan konsep total reward berbasis kinerja. Kebijakan ini sebagai upaya mendukung terwujudnya kesejahteraan ASN yang adil, layak, dan kompetitif yang akan tergambar dari aspek penggajian penghargaan, dan disiplin Indeks Sistem Merit menjadi 67 persen, serta aspek manajemen kinerja Indeks Sistem Merit menjadi 61 persen.

    “Untuk mewujudkan peningkatan kesejahteraan aparatur sipil negara melalui penerapan konsep total reward berbasis kinerja, aparatur sipil negara dapat dilaksanakan melalui penerapan manajemen penghargaan dan pengakuan bagi aparatur sipil negara, serta penerapan sistem manajemen kinerja aparatur sipil negara,” bunyi lampiran Perpres tersebut.

  • Purbaya Siapkan Insentif Tarik Dana WNI di LN, Sinyal Family Office Terealisasi?

    Purbaya Siapkan Insentif Tarik Dana WNI di LN, Sinyal Family Office Terealisasi?

    Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa mengungkap pemerintah tengah mengkaji insentif untuk menarik investor domestik agar tidak menempatkan uangnya dalam bentuk dolar Amerika Serikat (AS) di luar negeri.

    Pernyataan Purbaya itu diungkapkan saat ramai pembahasan tentang amandemen UU Tax Amnesty dan riuh rendah rencana pembentukan Family Office. 

    Hal itu disampaikan Purbaya usai menghadiri rapat terbatas (ratas) dengan Presiden Prabowo Subianto di Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (19/9/2025).

    Kendati demikian, Purbaya belum memerinci lebih lanjut terkait dengan rencana tersebut meski optimistis realisasinya bisa dilakukan dalam waktu satu bulan ke depan.

    “Bagaimana menarik uang-uang dolar yang orang suka taruh di luar balik ke sini. Tapi masih belum matang, masih kita matangkan lagi. Tapi kalau saya lihat rencananya cukup bagus sekali, jadi kemungkinan bisa dijalankan dalam waktu mungkin satu bulan ke depan, itu utamanya,” jelas Purbaya kepada wartawan.

    Pria yang lama bekerja di Danareksa itu memastikan hal tersebut bakal ditempuh dengan mekanisme pasar. Dia menegaskan cara yang ditempuh pemerintah untuk menarik investor itu bukan dengan paksaan.

    Purbaya menyebut pemerintah akan memikirkan insentif yang bisa membuat orang Indonesia lebih suka menaruh dolarnya di dalam negeri, dibandingkan di luar. Dia mengaku baru tahu bahwa setiap bulannya banyak investor domestik yang mengirimkan dolarnya ke luar negeri, termasuk ke kawasan Asean. 

    “Uang-uangnya utamanya ke beberapa negara di kawasan sini. Jadi kita akan menjaga itu dengan memberikan insentif yang menarik, sehingga mereka nggak usah capek-capek kirim dolarnya ke luar, itu utamanya,” ungkap Purbaya.

    Family Office 

    Adapun dalam catatan Bisnis, keinginan untuk menarik dana konglomerat dan menyimpannya di dalam negeri pernah diungkapkan oleh Luhut Binsar Pandjaitan pada akhir pemerintahan Presiden ke 7 Joko Widodo (Jokowi). Caranya dengan membentuk Family Office.

    Pria yang saat ini menjadi Ketua Dewan Ekonomi Nasional alias DEN itu bahkan sesumbar, pembentukan suaka pajak bagi para konglomerat itu sedang tahap finalisasi.

    Luhut dan Family Office memang tidak bisa dipisahkan. Ide untuk membentuk ‘skema investasi’ itu pertama kali terlontar dari mulut Luhut di akhir pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) 2024 lalu. Nantinya, para konglomerat yang mau menaruh uangnya di Indonesia akan dibuai oleh berbagai macam insentif. Pembebasan pajak salah satunya.

    Namun hasrat Luhut untuk membentuk Family Office itu tidak kunjung terealisasi. Kementerian Keuangan alias Kemenkeu menentangnya. Sejumlah sumber Bisnis, di lingkungan pemerintahan, bahkan pernah menyinggung mengenai risiko jatuhnya reputasi Indonesia. Apalagi sebelumnya, pemerintah juga pernah melakukan 2 kali pengampunan pajak alias tax amnesty. 

    Adapun Luhut dalam pernyataan terbarunya cukup optimistis bahwa Family Office segera terbentuk. Dia berharap tidak ada penolakan lagi. Pemerintah, kata Luhut, akan terus melakukan sejumlah perbaikan, termasuk melibatkan investor kakap asal Amerika Serikat (AS) Ray Dalio. Ray Dalio juga terlibat dalam proyek Danantara.

    “Kita harapkan ya dalam beberapa bulan ke depan, tinggal Presiden [Prabowo], karena Presiden sudah memberikan go ahead [persetujuan untuk lanjut]. Jadi secara teknis kita nanti laporkan ke Presiden, kalau Presiden perintah eksekusi ya kita eksekusi,” ujar Luhut, Rabu (12/3/2025) lalu.

    Bisnis mencatat bahwa Family Office sejatinya bukanlah gagasan baru dalam lanskap finansial global. Namun skema penarikan dana konglomerat itu, biasanya diterapkan oleh negara atau yurisdiksi yang memiliki reputasi sebagai suaka pajak. Singapura dan Hong Kong adalah dua di antaranya.

    Reputasi Singapuran dan Hong Kong

    Singapura dan Hong Kong telah memiliki reputasi sebagai pusat keuangan global. Investor atau keluarga konglomerat merasa aman menyimpan atau menginvestasikan uang mereka di negara tersebut. Dana atau investasi asing yang masuk ke Indonesia mayoritas juga berasal dari Singapura.

    Tahun 2024 lalu, ada sekitar 1.500 family office di Singapura dan sekitar 1.400 di Hong Kong. Kendati demikian, kebijakan-kebijakan ramah pajak tersebut, membuat Singapura maupun Hong Kong telah lama memiliki reputasi sebagai suaka pajak alias tax haven. Ada ratusan triliun harta milik warga negara Indonesia (WNI) yang disimpan di negeri Jiran tersebut, khususnya Singapura.

    Para buronan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia alias BLBI sebagian juga tercatat memiliki aset atau tempat tinggal di Singapura. Bisnis juga mencatat beberapa perusahaan asal Indonesia memiliki anak usaha di Singapura (sebagian omsetnya lebih tinggi dibanding induknya di Indonesia), yang diduga tujuannya untuk melakukan penghindaran pajak.

    Laporan Straits Times, satu dari sekian kasus pencucian uang senilai US$2,8 miliar, terindikasi terkait dengan family office yang telah diberikan insentif oleh Otoritas Moneter Singapura. 

    Sementara itu di Indonesia, kendati berangsur positif, tetapi reputasi pasar keuangan di Indonesia juga masih jauh panggang dari api dibandingkan dengan Singapura dan Hong Kong.

    Belum lagi, ada persoalan yang cukup pelik jika family office itu benar-benar terealisasi. Bagaimana pemerintah bisa menjamin jika harta atau uang milik keluarga crazy rich murni dari proses bisnis. Alih-alih mendatangkan modal,  uang atau harta yang ditempatkan atau dikelola family office di Indonesia itu berasal dari hasil kejahatan entah itu pengemplang pajak, korupsi, atau kejahatan keuangan lainnya.

    Sementara itu, Indonesia juga memiliki persoalan klasik tentang kepastian hukum. Penegakan hukum kerap menimbulkan ketidakpastian. Padahal, orang berinvestasi atau mau menempatkan uangnya butuh kepastian baik dari sisi regulasi dan kepastian hukum terkait aset-aset yang nantinya mereka akan simpan. 

    Pengalaman tax amnesty jilid 1, dimana hasilnya tidak terlalu berpengaruh terhadap struktur penerimaan pajak dan perekonomian secara umumnya, perlu menjadi warning bagi pemerintah. Jangan sampai family office mengulangi kesalahan tax amnesty jilid 1 yang yang direpatriasi masih sangat minim.

    Dilema Capital Outflow 

    Meski demikian, harus diakui bahwa investasi atau aliran modal ke dalam negeri sangat dibutuhkan di tengah tren melonjaknya aliran modal keluar selama tahun 2024 lalu.

    Berdasarkan catatan Bisnis, Singapura, Amerika Serikat, dan China menjadi tempat tujuan aliran uang asal Indonesia. Namun demikian, Singapura tetap menjadi tujuan utama kalau merujuk kepada data transaksi asal Indonesia selama 2024.

    Data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan alias PPTAK mencatat bahwa jumlah transfer dana dari Indonesia ke Singapura mencapai Rp4.806,3 triliun selama tahun 2024. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara lain, salah satunya AS.

    Dalam catatan Bisnis, nilai transfer dana keluar dari Indonesa ke AS hanya di angka Rp1.447,9 triliun atau sebesar 30% dari nilai transfer dana ke Singapura. Sementara itu, jika menghitung angka transfer ke China, jumlahnya lebih kecil lagi.

    Data PPATK memaparkan bahwa transfer dana dari Indonesia ke China senilai Rp931,8 triliun. Nilai transfer tersebut hanya sebesar 19,3% dari nilai transfer dana RI ke Singapura. Adapun jika digabungkan, nilai transfer dana dari Indonesia ke 3 negara tersebut mencapai Rp7.186 triliun.

    Sementara itu, jika melihat timeline alias waktu transaksinya, lonjakan transfer dana dari Indonesia ke Singapura terjadi pada bulan April dan Mei 2024. Pada bulan April, nilai transfer dana ke negeri Singa mencapai Rp923,6 triliun. Angka ini melonjak lebih dari 373,6% dari bulan Maret 2024 yang tercatat sebesar Rp195 triliun.

    Pada bulan Mei 2024, lembaga intelijen keuangan merekam nilai transfer dana dari Indonesia ke Singapura bahkan menembus angka Rp1.792,5 triliun.

    Sejauh ini PPATK belum memaparkan secara terperinci mengenai anomali transaksi transfer dana dari Indonesia ke Singapura pada bulan tersebut.

    Risiko Pencucian Uang

    Secara terpisah, Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengungkapkan family office rentan menjadi tempat pencucian uang.

    Orang yang menanamkan harta atau uang di family office, kata Bhima, memiliki banyak sekali layer investasi yang memang akan sulit dilacak oleh otoritas pajak. Selain di Singapura, Hong kong, dan London, mereka juga memiliki banyak sekali pembukaan kantor di negara suaka pajak.

    “Ada Gibraltar, British Virgin Island, kemudian ada di Panama. Nah, itu salah satu ciri Family Office. Memang mereka sangat rentan menjadi tempat pencucian uang.”

    Bhima khawatir jika program itu dipaksakan masuk ke Indonesia justru akan merusak reputasi sektor keuangan RI karena Indonesia dianggap melakukan race to the bottom.

    “Jadi race to the bottom ini adalah perlombaan ke dasar, dengan memberikan insentif perpajakan, kalau perlu bebas pajak ini seperti upaya desperate atau putus asa dalam menarik modal dari luar negeri untuk berinvestasi langsung.”

    Di sisi lain, family office kalaupun nantinya berhasil ditarik, sebagian besar asetnya berbentuk portofolio keuangan, bukan FDI atau Foreign Direct Investment.

    Menurutnya, para pemilik dana atau harta nantinya hanya bermain di surat utang, saham. Artinya, tidak berinvestasi secara langsung dalam membangun pabrik. Padahal, menurut Bhima, yang dibutuhkan sekarang ini justru menarik investasi masuk ke Indonesia dalam bentuk relokasi industri yang bersifat padat karya.

    Bhima menilai ada tujuan yang melenceng jauh dari upaya menarik investasi yang berkualitas. “Justru yang harus dikejar kerja sama perpajakan internasional, kemudian justru melakukan pajak bagi orang kaya atau wealth tax. Nah, itu yang harus dilakukan. Kalau ini [Family Office], kesannya seperti pengampunan pajak jilid 3 gitu ya berkedok family office.”

  • Ambisi Danantara Pertebal Kepemilikan Saham Freeport dengan Harga Cuma-cuma

    Ambisi Danantara Pertebal Kepemilikan Saham Freeport dengan Harga Cuma-cuma

    Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah mulai mengebut kembali negosiasi penambahan kepemilikan saham di PT Freeport Indonesia (PTFI) setelah jalan di tempat selama 2 tahun terakhir.

    Dalam perkembangan terbaru, Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara mengupayakan agar pemerintah melalui holding BUMN tambang MIND ID dapat menambah kepemilikan sebesar 12% di PTFI. Target baru ini lebih besar dari rencana semula yang hanya sebesar 10%.

    CEO Danantara Rosan P. Roeslani mengatakan bahwa rencana akuisisi saham tersebut masih menunggu arahan dari Presiden Prabowo Subianto.

    “Saya target malah 12% [penambahan saham di PTFI]. Dalam waktu dekat sedang menunggu arahan dari Bapak Presiden,” kata Rosan usai menghadiri rapat terbatas bersama Presiden Prabowo Subianto, Selasa (16/9/2025).

    Saat ini, 51,23% saham PTFI telah dikuasai oleh MIND ID dan sisanya 48,77% digenggam oleh Freeport-McMoRan Inc (FCX). Akuisisi tambahan saham 12% akan mempertebal kepemilikan saham Indonesia di salah satu tambang tembaga dan emas terbesar dunia menjadi 63,23%.

    Menurut Rosan, pembahasan teknis akuisisi tambahan saham tersebut kini sudah memasuki tahap akhir. Dia pun memastikan bahwa upaya penambahan saham ini tidak akan membebani keuangan negara.

    “Free of charge [gratis], mantap kan,” ujarnya sambil tersenyum.

    Adapun, divestasi tambahan saham Freeport ini menjadi salah satu syarat bagi Freeport untuk mendapat perpanjangan izin usaha pertambangan khusus (IUPK) selepas 2041.

    Dalam kesempatan terpisah, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menyebut, seiring mulai adanya kepastian negosiasi penambahan saham, pihaknya juga akan memproses perpanjangan IUPK Freeport.

    “Awalnya kan kita sepakat untuk penambahan saham 10% Freeport, tapi tadi berkembang negosiasi yang insyaallah katanya lebih dari itu. Nah, saya diminta untuk bisa melakukan komunikasi percepatan dan kalau itu sudah fix, insyaallah Freeport akan kita pertimbangkan untuk melakukan kelanjutan daripada kontrak,” kata Bahlil usai menghadiri rapat terbatas terkait Stimulus Ekonomi di Kantor Presiden, Senin (15/9/2025).

    Tahun lalu, pemerintah Indonesia telah menerbitkan aturan baru yang mengakomodasi percepatan pengajuan perpanjangan IUPK Freeport.

    Aturan itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Beleid itu diteken Presiden ke-7 RI Joko Widodo atau Jokowi pada Kamis (31/5/2024).

    Lewat PP tersebut, Jokowi memastikan PTFI bisa mendapatkan perpanjangan kontrak tambang setelah memiliki fasilitas pengolahan dan/atau pemurnian (smelter) terintegrasi dalam negeri dan telah melakukan perjanjian jual beli saham baru yang tidak dapat terdilusi sebesar paling sedikit 10% dari total jumlah kepemilikan saham kepada BUMN.

    Sebelumnya, Freeport-McMoRan menyatakan bahwa pengajuan permohonan perpanjangan IUPK akan dilakukan pada 2025.

    Selain itu, President & Chief Executive Officer Freeport-McMoran Kathleen Quirk juga mengungkapkan bahwa penawaran saham tambahan PTFI untuk Indonesia akan berasal dari kepemilikan saham Freeport-McMoran dan pengalihan saham baru akan dilakukan pada 2041. Adapun, penawaran harga divestasi akan mengacu nilai buku pada akhir 2041.

    “Dan harga yang dibayarkan pada saat itu akan menjadi penggantian modal yang telah dikeluarkan antara sekarang dan 2041,” kata Quirk pertengahan tahun lalu.

    “Pada dasarnya, ini hanyalah penggantian nilai buku dari apa yang ada untuk mendapatkan manfaat dari periode setelah 2041. Jadi pada dasarnya, lihatlah pada nilai buku di akhir tahun 2041 dan persentase pro rata, 10% saham kami akan dialihkan dan itu akan menjadi harga pembelian yang akan menjadi penggantian modal,” jelasnya.

    Keuntungan dan Risiko Penambahan Saham Freeport

    Sementara itu, pengamat menilai penambahan saham di PTFI dapat memperkuat posisi pemerintah dalam menerima manfaat ekonomi dan finansial dari perusahaan tambang tersebut.

    Pengamat BUMN sekaligus Managing Director Lembaga Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) Toto Pranoto menilai apabila Indonesia berhasil meningkatkan share di PTFI, tentu akan bagus dilihat dari sisi manfaat ekonomi dan finansial ke depan.

    “Potensi dividen bisa lebih besar, demikian pula cash flow akan makin bisa dikontrol oleh owner mayoritas yaitu MIND ID. Sebagai pemilik mayoritas, tentu bargaining position ke Freeport juga bisa lebih kuat,” jelas Toto kepada Bisnis, Selasa (16/9/2025).

    Kendati demikian, dia mengingatkan pemerintah perlu memperhatikan kesiapan dana untuk menambah saham di PTFI tersebut. Pun, Toto mengingatkan jangan sampai pemerintah mengambil utang baru demi membiayai akuisisi yang dilakukan MIND ID. Oleh karena itu, kesiapan pendanaan perlu dihitung secara cermat oleh pemerintah.

    “Aspek pendanaan jangan fokus di utang saja, bisa juga misal dengan asset backed securitization sehingga mengurangi tekanan utang,” imbuh Toto.

    Lebih lanjut, Toto menuturkan bahwa dengan menjadi mayoritas pemegang saham, maka posisi vital makin kuat di pihak Indonesia. Sementara itu, tambang PTFI saat ini di Grasberg, Papua Tengah perlu penguasaan teknologi tinggi. 

    Oleh karena itu, MIND ID harus mempersiapkan kemampuan untuk mengatasi permasalahan itu.

    “Jadi perlu langkah persiapan lebih kuat dan strategis supaya saat transaksi berhasil maka pihak Indonesia juga sudah ready untuk mempertahankan kinerja operasional yang sudah dicapai saat ini,” kata Toto.

    Sementara itu, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira berpendapat, penambahan saham di PTFI harus menjawab dua pertanyaan besar. 

    Pertama, apakah pemerintah dengan akuisisi saham lebih besar bersedia menyelesaikan dampak lingkungan yang ditimbulkan PTFI?

    “Kalau saham makin besar tapi eksternalitas negatif PTFI ditanggung pemerintah, ini namanya ketiban masalah bukan malah untung,” kata Bhima. 

    Kedua, apakah dengan saham lebih besar pemerintah bisa memastikan nilai tambah produk tembaga dan emas PTFI dirasakan lebih banyak oleh masyarakat? 

    Menurut Bhima, kalau tidak ada manfaatnya untuk masyarakat, penambahan saham di PTFI menjadi percuma. Dia menambahkan bahwa, penambahan saham itu semangatnya tidak bisa sekadar nasionalisme sempit, tetapi perlu pertimbangan ruang fiskal. Oleh karena itu, pemerintah perlu melakukan uji kelayakan secara transparan.

    “Uji kelayakan yang transparan dan pelibatan masyarakat terdampak baik di Papua lokasi tambang dan di Gresik,” kata Bhima.

  • Purbaya Ingin Naikkan Anggaran ke Pemda di Tengah Efisiensi, Realistis?

    Purbaya Ingin Naikkan Anggaran ke Pemda di Tengah Efisiensi, Realistis?

    Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa dinilai bisa tetap menjaga disiplin fiskal di tengah keinginannya untuk menaikkan anggaran transfer ke daerah (TKD) tahun depan. Ada beberapa pos belanja pemerintah yang dinilai bisa ditunda maupun dipertimbangkan lebih lanjut kenaikannya.  

    Sebagaimana diketahui, anggaran TKD pada RAPBN 2026 dirancang sebesar Rp650 triliun atau lebih rendah dari outlook APBN 2025 sebesar Rp864 triliun.

    Saat itu, pendahulu Purbaya yakni Sri Mulyani Indrawati, merancang anggaran TKD yang lebih rendah karena sejumlah belanja ditarik ke pusat. Utamanya terkait dengan program-program prioritas pemerintah.  

    Di tengah pemangkasan TKD untuk 2026 hingga 24% lebih dari tahun ini, pemerintah menyebut belanja dialihkan ke pos anggaran yang langsung diterima masyarakat daerah.

    Nilainya mencapai Rp1.376,9 triliun, meliputi program-program seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), Koperasi Desa Merah Putih hingga Cek Kesehatan Gratis. 

    Kini, Purbaya telah menyatakan keinginan untuk menaikkan anggaran TKD tahun depan guna meredam keresahan para kepala daerah. Dia mengakui turunnya TKD turut memicu penaikan tarif Pajak Bumi Bangunan Perkotaan dan Pedesaan (PBB-P2) oleh pemda, akibat semakin sempitnya ruang fiskal daerah. 

    Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet mengamini perlunya penyesuaian anggaran TKD. Namun, dia memandang defisit anggaran berpotensi meningkat apabila kebijakan itu tidak diimbangi oleh realokasi belanja lain.

    Sebagai informasi, RAPBN 2026 yang telah disepakati pemerintah dan Komisi XI DPR memasang target defisit sekitar 2,48% terhadap PDB. 

    Untuk itu, Yusuf mendorong pemerintah merealokasi belanja terutama dari program-program yang bisa ditunda terlebih dahulu atau disesuaikan. Apalagi, jika belanja TKD naik tanpa dibarengi penerimaan negara yang bertambah. 

    “Misalnya, program fleksibel seperti koperasi daerah, bantuan makanan/nutrisi gratis, maupun inisiatif lain yang bisa dijalankan secara bertahap [pilot project] di daerah prioritas terlebih dahulu,” jelasnya kepada Bisnis, Minggu (14/9/2025).

    Yusuf mendorong belanja tahun depan memiliki output yang jelas dan terukur sehingga setiap rupiah anggaran dapat memberikan manfaat nyata bagi masyarakat. 

    Alokasinya juga dinilai perlu fokus ke pos-pos dengan dampak besar terhadap perekonomian. Khususnya, belanja untuk mendukung daya beli kelas menengah yang selama ini relatif kurang tersentuh dibandingkan dengan kelompok dengan pendapatan bawah maupun atas. 

    Adapun untuk penerimaan, pemerintah juga dinilai perlu meningkatkan pendapatan negara secara berkelanjutan tanpa mendistorsi perekonomian.

    “Salah satu opsi adalah menggali sumber baru seperti pajak karbon, serta mengevaluasi kembali berbagai insentif atau diskon pajak yang sudah berjalan. Dengan begitu, target penerimaan dapat naik tanpa mengganggu aktivitas ekonomi,” paparnya. 

    Di sisi lain, Direktur Eksekutif Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira memandang Purbaya juga perlu mengevaluasi anggaran pertahanan, keamanan dan ketertiban. Dia menilai fokus justru perlu dialihkan ke anggaran perlindungan sosial dan ekonomi.

    Dia mencatat bahwa alokasi belanja pertahanan naik 166,5% dan keamanan tumbuh 52,4% dalam kurun waktu 2021-2026. Sementara itu, anggaran perlindungan sosial hanya naik 2,5% pada periode yang sama.

    Apabila penaikan anggaran TKD terwujud sejalan dengan penghematan sejumlah pos anggaran, Bhima meyakini Purbaya masih dapat menerapkan target defisit sesuai koridor UU yakni di bawah 3% terhadap PDB.

    “Dengan pengaturan pos anggaran yang bisa dihemat maka disiplin fiskal bisa terjaga dengan defisit di bawah 3% dari PDB pada 2026,” ujarnya.

    Wanti-wanti Ekonom soal Defisit Fiskal 

    Menurut Kepala Ekonom PT Bank Permata (Tbk.) Josua Pardede, penaikan anggaran TKD bisa dinilai tepat apabila tujuan utamanya untuk menjaga layanan dasar, meredam tekanan daya beli masyarakat daerah, serta mempercepat realisasi program prioritas pemda. 

    Namun, dia mewanti-wanti agar gebrakan itu tidak menggerus disiplin fiskal. Apalagi, Presiden Prabowo Subianto sudah menyatakan dalam pidato Nota Keuangan dan RAPBN 2026 di DPR Agustus 2025 lalu, bahwa target defisit APBN 2,48% terhadap PDB adalah bagian dari strategi pembiayaan yang hati-hati. 

    Josua memandang bahwa target defisit yang naik dari rancangan sebelumnya yakni 2,48% terhadap PDB bisa berimplikasi pada sensitivitas pasar keuangan. 

    Untuk itu, dia mendorong agar penyesuaian defisit dibingkai sebagai tindakan terukur, sementara sinyal kebijakan tetap konsisten dengan jangkar disiplin fiskal. Koordinasi yang baik dengan Bank Indonesia (BI) juga harus dilakukan guna menjaga stabilitas nilai tukar. 

    “Pengumuman perombakan fiskal dan ketidakpastian desain kebijakan cenderung melemahkan rupiah, menahan arus portofolio, dan menekan imbal hasil SBN, terutama jika pasar menilai pelebaran defisit tidak dibarengi peta jalan konsolidasi,” terangnya.  

    Sebelumnya, Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa menyebut pemerintah tinggal menunggu keputusan Badan Anggaran (Banggar) DPR untuk memberikan restu dalam menaikkan anggaran TKD pada RAPBN 2026. Dengan begitu, dia memastikan ada perubahan postur hingga defisit APBN tahun depan.

    “Karena anggarannya terlalu terpotong banyak, sehingga mereka menaikkan PBB [Pajak Bumi dan Bangunan] jadi enggak kira-kira. Kita menyadari hal itu, saya dengan Pak Misbakhun [Ketua Komisi XI DPR], dengan izin Pak Misbakhun, ngomong sedikit izin ya Pak ya, mungkin akan memberi pelonggaran sedikit kepada transfer ke daerah,” ungkapnya saat memberikan keynote speech pada acara Great Lecture Transfromasi Ekonomi Nasional: Pertumbuhan yang Inklusif Menuju 8% di Hotel Bidakara, Jakarta, Kamis (11/9/2025).

    Purbaya berharap dengan anggaran TKD yang ditingkatkan nantinya bisa meredam keresahan pemda sekaligus mendorong pembangunan ekonomi di daerah. Dia mengaku belum menentukan besaran kenaikan anggaran TKD yang tadi disampaikannya. 

    Pada kesempatan terpisah, yakni usai rapat di Komisi XI DPR pada hari yang sama, Purbaya menyebut akan mengumumkan detail kenaikan anggaran TKD itu usai disetujui di Badan Anggaran (Banggar) DPR. Dia juga tak menampik bahwa postur dan asumsi RAPBN 2026 bisa berubah, salah satunya target defisit.

    “Nanti kalau diketuk Banggar baru kita umumin. Ada perubahan sedikit pasti,” ujarnya di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta.

  • Respons Pengamat soal Rencana Purbaya Revisi Alokasi TKD Warisan Sri Mulyani

    Respons Pengamat soal Rencana Purbaya Revisi Alokasi TKD Warisan Sri Mulyani

    Bisnis.com, JAKARTA — Pengamat menyambut positif  langkah Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa untuk menyusun ulang RAPBN 2026 khususnya anggaran transfer ke daerah (TKD). 

    Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menjelaskan, rencana Menkeu untuk menaikkan anggaran TKD pada RAPBN tahun depan sudah tepat. Sebagaimana diketahui, anggaran TKD tahun depan ditetapkan Rp650 triliun atau turun 24,8% dari tahun ini. 

    Di dalam outlook APBN 2025, belanja TKD sudah mencapai Rp864 triliun. Bhima menilai penurunan TKD yang disusun saat Menkeu masih dijabat oleh Sri Mulyani Indrawati jsutru kontraproduktif terhadap pemulihan ekonomi di daerah. 

    “Daerah butuh dukungan pusat terutama mencegah naiknya pajak daerah seperti PBB yang berisiko ke penurunan daya beli. Setidaknya TKD bisa dinaikkan 10% dibanding alokasi 2025,” jelasnya, Minggu (14/9/2025). 

    Adapun Bhima memandang Purbaya juga perlu mengevaluasi anggaran pertahanan, keamanan dan ketertiban. Dia menilai fokus justru perlu dialihkan ke anggaran perlindungan sosial dan ekonomi. 

    Dia mencatat bahwa alokasi belanja pertahanan naik 166,5% dan keamanan tumbuh 52,4% dalam kurun waktu 2021-2026. Sementara itu, anggaran perlindungan sosial hanya naik 2,5% pada periode yang sama. 

    Apabila penaikan anggaran TKD terwujud sejalan dengan penghematan sejumlah pos anggaran, Bhima meyakini Purbaya masih dapat menerapkan target defisit sesuai koridor UU yakni di bawah 3% terhadap PDB. 

    “Dengan pengaturan pos anggaran yang bisa dihemat maka disiplin fiskal bisa terjaga dengan defisit di bawah 3% dari PDB pada 2026,” ujarnya. 

    Rencana Purbaya

    Sebelumnya, Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa menyebut pemerintah tinggal menunggu keputusan Badan Anggaran (Banggar) DPR untuk memberikan restu dalam menaikkan anggaran TKD pada RAPBN 2026. Dengan begitu, dia memastikan ada perubahan postur hingga defisit APBN tahun depan. 

    Purbaya sebelumnya telah mengatakan bahwa telah berdiskusi dengan Komisi XI DPR untuk meningkatkan anggaran TKD tahun depan usai penolakan dari banyak kepala daerah. 

    Menkeu yang belum sepekan dilantik oleh Presiden Prabowo Subianto itu mengakui, pemotongan anggaran TKD turut menyebabkan sejumlah daerah menaikkan Pajak Bumi Bangunan Perkotaan dan Pedesaan (PBB-P2).

    “Karena anggaranya terlalu terpotong banyak, sehingga mereka menaikkan PBB jadi enggak kira-kira. Kita menyadari hal itu, saya dengan Pak Misbakhun [Ketua Komisi XI DPR], dengan izin Pak Misbakhun, ngomong sedikit izin ya Pak ya, mungkin akan memberi pelonggaran sedikit kepada transfer ke daerah,” ungkapnya saat memberikan keynote speech pada acara Great Lecture Transfromasi Ekonomi Nasional: Pertumbuhan yang Inklusif Menuju 8% di Hotel Bidakara, Jakarta, Kamis (11/9/2025).

    Tujuan Purbaya untuk meningkatkan kembali TKD adalah untuk mengendalikan keresahan pemda. Dia berharap dengan anggaran TKD yang ditingkatkan nantinya pemda bisa membangun ekonomi daerah dengan tenang. Dia mengaku belum menentukan besaran kenaikan anggaran TKD yang tadi disampaikannya. Namun, dia memastikan anggaran itu akan ditingkatkan. 

    Pada kesempatan terpisah, yakni usai rapat di Komisi XI DPR pada hari yang sama, Purbaya menyebut akan mengumumkan detail kenaikan anggaran TKD itu usai disetujui di Badan Anggaran (Banggar) DPR. Dia juga tak menampik bahwa postur dan asumsi RAPBN 2026 bisa berubah, salah satunya target defisit. 

    “Nanti kalau diketuk Banggar baru kita umumin. Ada perubahan sedikit pasti,” ujarnya di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta. 

  • Bhima Yudhistira Beber PR yang Harus Diselesaikan Menkeu Purbaya Sadewa

    Bhima Yudhistira Beber PR yang Harus Diselesaikan Menkeu Purbaya Sadewa

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Menteri Keuangan (Menkeu), Purbaya Yudhi Sadewa belakangan ini menjadi sorotan utama publik tanah air setelah dilantik oleh Presiden Prabowo Subianto menggantikan Sri Mulyani.

    Purbaya menjadi pihak yang paling disorot karena di tangannya akan ditentukan kondisi perekonomian Indonesia secara umum. Karena itu, ada banyak pekerjaan rumah (PR) yang mesti diselesaikan jika ingin mencapai target pertumbuhan ekonimo yang dibebankan.

    Direktur Kebijakan Fiskal Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira Adhinegara pun merinci sejumlah pekerjaan rumah (PR) yang harus dikerjakan oleh Purbaya Yudhi Sadewa.

    Salah satunya mengenai efisiensi anggaran. Dia menilai, kebijakan ini wajib dilakukan dengan dasar kajian makroekonomi yang transparan dan tidak menganggu pelayanan publik dan infrastruktur dasar.

    “Selain itu efisiensi yang salah dilakukan oleh Sri Mulyani harus dievaluasi ulang karena telah menimbulkan guncangan pada dana transfer daerah dan kenaikan pajak daerah yang merugikan masyarakat,” ucap Bhima dilansir JPNN.com, pada Rabu (10/9).

    Purbaya juga diminta segera melakukan restrukturisasi utang pemerintah, menekan beban bunga utang hingga membuka ruang debt swap for energy transition (menukar kewajiban utang dengan program transisi energi).

    “Juga debt swap for nature (menukar utang dengan konservasi hutan, mangrove, karst, dan debt cancellation (pembatalan utang yang merugikan),” kata dia.

    Eks Direktur LPS itu juga disarankan mencopot Wakil Menteri dan pejabat di Kementerian Keuangan yang melakukan rangkap jabatan di BUMN.

  • Perjalanan Sri Mulyani Kawal Kebijakan Fiskal SBY, Jokowi, hingga Prabowo

    Perjalanan Sri Mulyani Kawal Kebijakan Fiskal SBY, Jokowi, hingga Prabowo

    Bisnis.com, JAKARTA — Sri Mulyani Indrawati akhirnya menyelesaikan jabatan sebagai Menteri Keuangan (Menkeu). Dia resmi digeser dari posisi yang dipegangnya secara berturut-turut sejak Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 2016.

    Sejatinya ekonom senior perempuan lulusan Indonesia hingga Amerika Serikat (AS) itu sudah mengemban tugas sebagai Menkeu pada tiga rezim presiden dan lima kabinet. Perempuan akrab disapa Ani itu pertama kali mengemban amanah sebagai Menkeu pada 2005 atau Kabinet Indonesia Bersatu pada pemerintahan periode pertama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). 

    Saat itu, dia menggantikan Jusuf Anwar. Sebelumnya, dia lebih dulu dilantik sebagai Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). 

    Sri Mulyani lalu melanjutkan kiprahnya sebagai Bendahara Negara pada 2009 ketika SBY kembali menjadi presiden untuk memimpin Kabinet Indonesia Bersatu II. Namun, jabatan itu tidak lama dipegangnya. Umur jabatan itu hanya sampai pertengahan 2010 ketika akhirnya dia memilih untuk mengambil pekerjaan sebagai Direktur Pelaksana Bank Dunia. 

    Jabatan Menkeu lalu diduduki oleh tiga orang ekonom pria, yaitu Agus Martowardojo dan Chatib Basri pada sisa periode pemerintahan SBY, kemudian Bambang Brodjonegoro. Bambang menjadi Menkeu pertama yang ditunjuk Presiden Jokowi pada 2014.

    Namun, hanya sampai sekitar 2016, jabatan Menkeu kembali ke pangkuan Sri Mulyani. Jokowi memanggilnya untuk kembali ke Indonesia dan menjadi Bendahara Negara pada sisa periode Kabinet Kerja yakni 2016-2019, kemudian lanjut ke Kabinet Indonesia Maju 2019-2024. 

    Isu terkait dengan rencana mundurnya Sri Mulyani dari jabatan itu mulai berembus di akhir pemerintahan Jokowi. Isu penyaluran bantuan sosial (bansos) besar-besaran di era Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 turut menyeretnya. 

    Bahkan, pada April 2024, dia dan tiga orang lainnya termasuk Menko Perekonomian Airlangga Hartarto dihadirkan pada sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU), yang mana akhirnya pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming secara berkekuatan hukum tetap dinyatakan memenangkan kontestasi. 

    Akan tetapi, pada akhirnya dia tetap menuntaskan jabatannya sebagai Menkeu dalam satu periode penuh. Apabila ditarik mundur, baru pada Kabinet Indonesia Maju Sri Mulyani tuntas menjabat Menkeu dari awal sampai akhir periode. 

    “Hari ini adalah titik di mana saya mengakhiri tugas, dari kabinet di bawah pimpinan Pak Jokowi dan wakil Ma’ruf Amin,” lanjutnya dengan suara bergetar saat membacakan ucapan perpisahan di DPR ketika pengesahan APBN 2025, September 2024 lalu. 

    Saat hampir diyakini tak akan melanjutkan jabatannya, Sri Mulyani ternyata menjadi salah satu tokoh yang dipanggil Prabowo, saat itu masih Presiden Terpilih, ke Kertanegara IV untuk ditawarkan menjadi Menkeu yakni 14 Oktober 2024. 

    Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani saat melayat ke rumah duka Kwik Kian Gie, di RSPAD Jakarta, Selasa (29/7/2025)/BISNIS-Annisa Nurul Amara

    Enam hari setelahnya, Sri Mulyani diumumkan sebagai Menkeu Kabinet Merah Putih pada malam hari setelah Prabowo mengucapkan sumpah jabatan di DPR pada 20 Oktober 2024. Dia kemudian kembali dilantik memimpin Kemenkeu pada 21 Oktober 2024. 

    Seperti halnya periode jabatannya di Kabinet Indonesia Bersatu II, posisi itu tak lama dipegang oleh Sri Mulyani. Dia akhirnya digeser oleh Ketua Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Purbaya Yudhi Sadewa, rekannya di Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). 

    Tantangan Ekonomi

    Selama di pemerintahan, Sri Mulyani pernah juga memegang jabatan sebagai Menteri PPN/Kepala Bappenas, Plt. Menko Perekonomian serta Ketua KSSK. 

    Doktor lulusan AS itu turut menghadapi berbagai tantangan perekonomian, utamanya krisis akibat bencana alam. Saat menjadi menteri, dia ikut menangani bencana alam yakni tsunami di Aceh 2004 (sebagai Menteri PPN/Bappenas), gempa Yogyakarta 2006 hingga likuifaksi di Palu pada 2018. 

    Bencana terbesar yang pernah dihadapinya sebagai Menkeu adalah pandemi Covid-19. Tingkat penyebaran dan kematian akibat virus tersebut utamanya tinggi pada 2020, dan lanjut saat merebaknya virus Corona varian Delta pada 2021. 

    Hal itu turut berdampak pada pengelolaan fiskal. Dampak terdalam adalah pada tahun pertama pagebluk yakni 2020. Dengan melonjaknya kebutuhan belanja pemerintah untuk penanggulangan pandemi, pemerintah memutuskan untuk melakukan kebijakan fiskal ekspansif dan menetapkan defisit APBN 2020 melampaui batas UU yakni 3% terhadap PDB. 

    Realisasinya, pada 2020 APBN mengalami defisit sampai 6,09% terhadap PDB. Belanja diutamakan untuk penanganan Covid-19, bansos hingga pemulihan ekonomi nasional. 

    Pada saat itu juga Sri Mulyani atas restu Presiden Jokowi menggaet Bank Indonesia (BI) untuk bersama-sama menanggung beban biaya fiskal atau burden sharing. Bank sentral saat itu berperan untuk membeli SBN pemerintah pada pasar primer. Kebijakan itu pun dilanjutkan setidaknya melalui pasar sekunder sampai dengan pemerintahan Prabowo saat ini. 

    Defisit pun menyusut menjadi 4,65% terhadap PDB pada 2021. Setelahnya, sampai dengan outlook 2025 sebesar 2,78%, defisit kini terjaga pada level di bawah 3% PDB.  

    Perempuan yang pernah menjabat di Bank Dunia (World Bank) dan Dana Moneter Internasional (IMF) itu juga pernah menghadapi krisis keuangan global pada 2008, yang dipicu oleh subprime mortgage crisis di AS. 

    Kenaikan Pajak

    Kendati kerap menorehkan prestasi dan pengakuan di level internasional, kebijakan-kebijakan Sri Mulyani tak selalu disambut positif. Beberapa yang disambut positif yakni saat program pengampunan pajak atau tax amnesty pada periode pertama dan kedua pemerintahan Jokowi. 

    Tax amnesty ditujukan untuk mengincar pajak konglomerat yang memiliki tunggakan besar. Kebijakan itu lalu dilanjutkan kedua kalinya usai pandemi melandai yakni 2022, dengan Program Pengungkapan Sukarela (PPS). Hal itu berbarengan dengan pengesahan Undang-Undang tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). 

    Spanduk iklan program pengampunan pajak atau tax amnesty pada 2016. / dok. Kominfo

    Namun demikian, dalam catatan Bisnis, realisasinya masih jauh panggang dari api. Dari tingkat partisipasi, wajib pajak (WP) yang ikut tax amnesty jilid pertama hanya kurang dari 1 juta WP. Jumlah tersebut hanya 2,4% dari wajib pajak yang terdaftar pada tahun 2017 yakni pada angka 39,1 juta. 

    Sementara itu untuk uang tebusan, dengan realisasi Rp114,5 triliun jumlah tersebut masih di luar ekspektasi pemerintah yang sebelumnya berada pada angka Rp165 triliun. Realisasi repatriasi juga sama, dari janji yang dalam pembahasan di DPR sebesar Rp1.000 triliun, otoritas pajak ternyata hanya bisa merealisasikan sebesar Rp146,7 triliun.

    Kenaikan pajak pun turut membayangi kiprah Sri Mulyani sebagai pemegang kuasa otoritas fiskal. Pada 2023, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) resmi dikerek dari 10% menjadi 11%. Kenaikan itu awalnya ingin dilanjutkan menjadi 12% pada awal 2025, tetapi batal usai masyarakat ramai-ramai menolaknya. 

    Pemerintah kemudian mengakalinya dengan menerapkan tarif PPN 12% hanya pada barang terkategorikan mewah atau dalam daftar kena Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). 

    Tidak hanya pajak yang dipungut oleh pusat, kenaikan pajak di daerah juga terjadi utamanya Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan dan Perdesaan (PPB-P2) oleh pemda.

    Dalam catatan Kemendagri, penaikan tarif PBB-P2 adalah cara pemda untuk mengerek pendapatan asli daerah (PAD), yang wewenangnya diatur dalam Undang-Undang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (UU HKPD). UU itu juga menjadi warisan Sri Mulyani yang disahkan pada 2022 lalu 

    Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menyebut ada lima daerah yang menerapkan kebijakan kenaikan PBB-P2 pada 2025, di antaranya Pati dan Jepara yang kini sudah dibatalkan. Namun, dia juga mengungkap ada 15 pemda lain yang mengerek tarif PBB-P2 di atas 100% kendati pada periode 2022-2024, atau sebelum kebijakan efisiensi. 

    “Artinya tidak ada hubungannya, 15 daerah, tidak ada hubungannya dengan efisiensi yang terjadi di tahun 2024. Nah jadi sekali lagi inilah inisiatif baru dari teman-teman daerah, hanya lima daerah yang melakukan kenaikan NJOP dan PBB di tahun 2025. Yang lainnya 2022-2024,” terang Tito di kantor Ditjen Pajak Kemenkeu, Jakarta, Jumat (15/8/2025).

    Kenaikan pajak ini pun menjadi salah satu hal yang disoroti publik terhadap Sri Mulyani belakangan ini. Ditambah lagi dengan kejadian penjarahan di rumahnya di Bintaro, Tangerang Selatan, 31 Agustus dini hari lalu, hal itu semakin memicu berembusnya kabar Sri Mulyani ingin mengundurkan diri dari jabatannya. 

    Tanggapan Ahli

    Para ekonom maupun analis memberikan respons beragam. Center of Law and Economic Studies (Celios) blak-blakan menyebut berita penggantian kursi Menkeu dari Sri Mulyani adalah berita positif bagi ekonomi. 

    “Tuntutan untuk mengganti Sri Mulyani sudah lama diserukan oleh berbagai organisasi think tank dan masyarakat sipil sebagai bentuk kritik atas ketidakmampuan Menteri Keuangan dalam mendorong kebijakan pajak yang berkeadilan, pengelolaan belanja yang hati-hati, dan naiknya beban utang yang kian mempersempit ruang fiskal,” terang Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira, Senin (9/9/2025). 

    Sementara itu, ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Fadhil Hasan memandang bahwa figur Sri Mulyani selama ini diakui dan dipercaya terutama oleh dunia usaha dan lembaga internasional sebagai pejabat yang berhasil menjaga kebijakan fiskal secara stabil, prudent, dan sustainable. 

    Dengan demikian, terangnya, Indonesia masih merupakan salah satu dari negara yang dipercaya mengelola ekonominya dengan baik dan masih menarik untuk investasi. 

    “Walau dalam beberapa tahun terakhir terutama di masa kedua Jokowi banyak melakukan akomodasi terhadap keinginan Presiden sehingga mengakibatkan semakin meningkatnya utang publik dan menurunnya kredibilitas kebijakan fiskal sendiri,” paparnya. 

  • Jadi Pembiayaan Program Prabowo, Burden Sharing Dapat Sentimen Negatif Ekonom

    Jadi Pembiayaan Program Prabowo, Burden Sharing Dapat Sentimen Negatif Ekonom

    Jakarta

    Skema burden sharing yang dilakukan oleh Bank Indonesia (BI) dan Kementerian Keuangan menuai kritik. Burden sharing sendiri dilakukan untuk mendanai program prioritas Presiden Prabowo Subianto, khususnya Perumahan Rakyat serta Koperasi Desa/Kelurahan (Kopdes/Kel) Merah Putih.

    Dukungan melalui burden sharing diberikan melalui pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder dengan realisasi mencapai Rp 200 triliun. Namun, Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira Adhinegara menyebut menyoroti burden sharing yang dilakukan tidak pada saat krisis.

    “Burden sharing dilakukan tidak pada saat krisis (kecuali memang pemerintah dan BI menganggap saat ini kondisi krisis),” ujarnya dalam keterangan kepada detikcom, Jumat (5/9/2025).

    Bhima juga menilai independensi BI semakin tidak ada dan lebih mirip seperti Dewan Moneter pada masa Orde Baru. Dewan Moneter adalah lembaga negara yang mengendalikan kebijakan moneter, kredit, dan perbankan, dengan Menteri Keuangan sebagai ketua serta Gubernur BI sebagai anggota.

    Lembaga ini membuat Bank Indonesia tidak independen karena keputusan moneter harus sejalan dengan kebijakan pemerintah. BI sendiri sudah menjadi independen mulai 1999.

    Bhima juga mewanti-wanti ancaman inflasi akibat uang beredar naik tanpa disertai kenaikan permintaan riil. Selain itu, beban fiskal dilimpahkan ke moneter yang bisa mengganggu stabilitas keuangan hingga neraca BI jangka panjang.

    Lebih jauh, ia menyoroti dampak jangka panjang terhadap reputasi fiskal Indonesia. Kredibilitas pemerintah berpotensi tertekan apabila skema ini terus dipakai untuk membiayai program yang bermasalah.

    “Rating utang pemerintah (sovereign bond rating) terancam downgrade karena BI membiayai program yang bermasalah terutama Kopdes MP (Merah Putih),” tegas Bhima.

    Independensi BI

    Senada, Ekonom sekaligus Direktur Ekonomi CELIOS, Nailul Huda menyebut kebijakan burden sharing akan melunturkan independensi BI yang seharusnya menjaga kebijakan moneter Indonesia.

    “Dengan melakukan burden sharing, kewajiban pemerintah untuk menjaga kesehatan fiskal akan semakin luntur dan dibebankan kepada BI. Harusnya sektor moneter yang dikelola oleh BI tidak boleh melonggarkan kebijakan fiskal,” sebut Nailul.

    Ia menilai fiskal harus bisa berhemat dengan cara kebijakan fiskal seperti realisasi anggaran dan sebagainya. Kondisi tersebut bisa dikecualikan ketika terjadi ancaman krisis ataupun untuk memberi bantuan langsung ke masyarakat.

    “Saat Covid, sektor swasta tidak bisa bergerak lebih cepat, sehingga bantuan ke masyarakat dibutuhkan secara langsung dan cepat. Saat ini, kondisi tersebut tidak terjadi dimana sektor ekonomi masih banyak yang bergerak, pemerintah memberikan stimulus melalui kebijakan fiskal. Bukan meminta BI untuk menanggung utang secara bersama,” bebernya.

    Terlebih utang yang beban bunganya ditanggung oleh BI dan pemerintah, digunakan untuk program yang menurut Nailul akan rugi besar. Ia menyebut pemerintah sebenarnya tahu bahwa program KMP dan perumahan ini risikonya tinggi sehingga meminta BI menanggung risikonya.

    Ketika program dengan risiko tinggi ini dibiayai dengan utang, maka risikonya bukan hanya saat ini, tapi risiko fiskalnya akan besar ke depan. Pembayaran untuk bunga utang akan semakin besar, kapasitas fiskal pemerintah untuk membuat kebijakan ekonomi pro rakyat akan semakin sempit.

    “Strategi ini nampaknya BI mungkin akan memanfaatkan kas yang ada terlebih dahulu, baru ketika tidak mencukupi pasti akan cetak uang. Jadi BI membeli SBN dengan kas yang ada atau mencetak uang, sehingga likuiditas di masyarakat bisa terjaga. Tapi cara membeli SBN-nya ini nampaknya dengan mencetak uang baru setelah kas BI habis. Nampaknya sih akan mencetak uang ya,” jelas Nailul.

    Sebagai informasi, skema burden-sharing pernah dilakukan untuk membiayai pemulihan ekonomi selama pandemi COVID-19. Dalam skema ini, Kementerian Keuangan menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN) kepada Bank Indonesia (BI) dengan acuan suku bunga reverse repo.

    “Pemerintah membayar bunga/yield sesuai jatuh tempo, tapi di hari yang sama BI mengembalikan bunga itu ke pemerintah sebagai bentuk kontribusi sesuai skema. Sederhananya, ini adalah cara mencetak uang yang kemudian disalurkan ke Kemenkeu untuk mendukung belanja fiskal,” jelas publikasi Asian Development Bank, dikutip Jumat (5/9/2025)

    Halaman 2 dari 2

    (ily/eds)

  • Celios Kritisi Pendekatan Top-Down Kopdes Merah Putih

    Celios Kritisi Pendekatan Top-Down Kopdes Merah Putih

    Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah mencanangkan Koperasi Desa/Kelurahan (Kopdes) Merah Putih sebagai jaringan distribusi komoditas dan bahan pokok hingga akar rumput. Pada saat bersamaan, kalangan pengamat mengingatkan perlunya aspek pengawasan yang ketat terhadap risiko yang ada.

    Menteri Koperasi (Menkop) Budi Arie Setiadi menyampaikan bahwa intisari program 80.000 Kopdes Merah Putih adalah kehadiran negara dalam menyalurkan kebutuhan masyarakat ke tangan pertama, terutama untuk barang-barang yang disubsidi.

    Menurutnya, pemerintah selama ini telah memberikan subsidi kepada masyarakat melalui bahan pokok seperti gas, beras, sembako lainnya, hingga kebutuhan pertanian seperti pupuk. Namun, proses penyalurannya terhambat karena rantai distribusi yang dinilai terlalu panjang, misalnya melalui tengkulak.

    “Jadi Kopdes Merah Putih ini sebenarnya adalah alat negara untuk melakukan intervensi terhadap distribusi kebutuhan-kebutuhan strategis. Itu intisarinya, negara punya jalur distribusi,” kata Budi dalam wawancara khusus dengan Bisnis di kantornya, Rabu (3/9/2025).

    Dia melanjutkan, penyaluran barang bersubsidi ke masyarakat selama ini kerap kali tidak tepat sasaran, khususnya bahan bakar minyak (BBM) hingga tabung gas elpiji. Budi menilai hal ini menjadi pekerjaan rumah bersama untuk diselesaikan agar pengeluaran masyarakat dapat berkurang, karena memiliki opsi membeli barang yang lebih murah melalui Kopdes.

    Pendekatan Top-Down Disorot

    Ekonom dan Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengingatkan bahwa pengawasan perlu dilakukan terhadap beberapa aspek Kopdes, mengingat pendekatan dari atas ke bawah (top-down) yang diterapkan dalam pembentukannya.

    Menurutnya, hal ini membuka peluang bahwa terdapat intervensi politis dari persiapan manajerial Kopdes di masing-masing wilayah.

    “Jadi harus diawasi dan juga harus dipastikan ya bahwa Kopdes Merah Putih ini juga tidak kental intervensi politisnya dari sisi persiapan manajerial sebagai koperasi, karena dari awal memang sifatnya sudah top-down, bukan swakelola,” kata Bhima kepada Bisnis, Kamis (4/9/2025).

    Terkait visi jaringan distribusi, dia justru menyatakan risiko yang membayangi Kopdes adalah kehadirannya yang mensubstitusi pedagang dan pengepul, sehingga seolah-olah memangkas rantai distribusi.

    Padahal, menurut Bhima, hal ini justru menjadi disrupsi negatif terhadap lapangan kerja yang sebelumnya telah ada.

    Selain itu, dia juga mempertanyakan aspek keberlanjutan dari Kopdes, mengingat manajemen yang belum teruji usai peluncurannya beberapa waktu lalu.

    Apabila hal ini tidak diatasi saat proses distribusi bahan pokok dimulai, maka dikhawatirkan dapat berpengaruh terhadap perekonomian daerah.

    “Nah, jangan sampai Kopdes Merah Putihnya tidak siap menyalurkan produk-produk untuk masyarakat, terutama subsidi. Itu efeknya justru akan membuat inflasi terjadi di daerah,” tutur Bhima.

    Sementara itu, Akademisi sekaligus Pengamat Koperasi Rully Indrawan menyampaikan bahwa Kopdes Merah Putih semestinya bisa menjadi perangkat negara dalam menyalurkan barang-barang bersubsidi secara lebih tepat sasaran.

    Namun demikian, dia menyoroti perihal model bisnis dan regulasi program prioritas pemerintah itu yang masih perlu dibuktikan secara konkret.

    “Model bisnis dan regulasi yang mendukungnya membutuhkan validasi agar harapan itu bisa terwujud,” kata Rully saat dihubungi.

    Lebih lanjut, dia menilai bahwa anatomi persoalan yang dihadapi oleh Kopdes Merah Putih belum sepenuhnya terpetakan secara jernih. Hal ini dinilai menjadi tantangan, bahwa orkestrasi program yang dijalankan belum optimal.

    “Memahami konsep close loop untuk Koperasi Desa Merah Putih pun tampaknya masih diperdebatkan,” pungkas Rully.

  • Pengamat Sebut Ini soal Prabowo ke China Ketemu Xi-Putin & Kim Jong Un

    Pengamat Sebut Ini soal Prabowo ke China Ketemu Xi-Putin & Kim Jong Un

    Jakarta, CNBC Indonesia– Presiden Prabowo Subianto hadir dalam parade militer memperingati 80 tahun kemenangan China dan menyerahnya Jepang, Rabu (3/9/2025). Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi membenarkan hal tersebut Selasa malam, setelah sebelumnya mengatakan penundaan pada Sabtu.

    Menurutnya hal tersebut karena permohonan China langsung. Prabowo-pun akan segera kembali Rabu malam.

    Menurut sejumlah pengamat kehadiran Prabowo menunjukkan Indonesia sebagai middle power ingin mendengar langsung apa posisi negara-negara lain, yang saat ini sedang merasa tertekan oleh kekuatan-kekuatan lain. “Dan harapan saya, Presiden menindaklanjuti dengan menjaga situasi global tetap tenang dan tidak terprovokasi juga dengan berapi-apinya Xi,” ujar praktisi dan pengajar hubungan internasional, Dinna Prapto Raharja, menanggapi perjalanan Prabowo, kepada CNBC Indonesia.

    Hal sama juga disorot Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira. Ia menyebut posisi China yang sangat penting dalam ekonomi Indonesia berperan dalam keputusan kehadiran Prabowo.

    “Ya ini karena posisi China sebagai investor dan juga mitra dagang sangat signifikan bagi Indonesia. Dan, Ini juga coba meredam kunjungan Prabowo, bahwa kondisi Indonesia sangat terkendali,” ujarnya menjawab CNBC Indonesia.

    Meski demikian, menurut Bhima, kesempatan ini justru bisa dimanfaatkan oleh Prabowo untuk bertemu Xi Jinping. Khususnya untuk memperbaiki kualitas kerja sama.

    “Seperti dari sisi kualitas tenaga kerjaan, investasi-investasi China dihilirisasi, permasalahan terkait dengan lingkungan, limbahnya, masyarakat lokal di sekitar lokasi nikel… Ini harus disampaikan oleh Prabowo ke Xi Jinping,” jelasnya.

    “Sehingga hubungan kerja sama win-win, termasuk mendorong peningkatan nilai tambah pada hilirisasi. Jangan hanya sekedar berhenti pada smelter. Kemudian China akhirnya membangun investasi pabrik mobil listrik. Tetapi yang diharapkan kekosongan di tengah industri atau hollow in the middle, di mana antara smelter sampai menjadi kendaraan listrik itu butuh investasi antara. Itu investasi intermediary yang jauh lebih besar,” katanya berharap China nantinya bisa bekerja sama baik dengan BUMN ataupun Danantara.

    Trump dan Perang Dagang

    Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump juga berkomentar. Dalam unggahannya di media sosial, Trump menuduh pertemuan ketiga pemimpin itu “berkonspirasi melawan Amerika Serikat”.

    “Semoga Presiden Xi dan rakyat China yang luar biasa merayakan hari perayaan yang agung dan abadi. Mohon sampaikan salam hangat saya kepada Vladimir Putin, dan Kim Jong Un, saat kalian berkonspirasi melawan Amerika Serikat,” tulis Trump.

    Menurut Bhima, sejak Indonesia bergabung di BRICS, sebagian menilai Indonesia makin dekat dengan China. Ini, kata dia, membuat Indonesia, seolah lebih pro terhadap China.

    “Nah ini yang memang dikhawatirkan. Kalau Presiden AS masih Trump, maka Trump akan menekan Indonesia dengan berbagai hambatan tarif yang lebih tinggi, hambatan non tarif yang akan melukai pelaku usaha,” kata Bima.

    “Memang mem-balancing itu penting, balance itu penting sehingga Indonesia bisa menjadi negara yang tetap non blok. Itu sebenarnya bisa untuk mengamankan posisi Indonesia. Sebenarnya kalau eskalasi perang dagangnya tetap berlanjut. Ya Indonesia bisa bersiap kehilangan pasar di AS. Nah sementara untuk negara BRICS selain China, penetrasi dagang kita masih kecil, mungkin sama India,” tambahnya.

    Ia meminta risiko tadi dicermati. Sehingga jangan sampai Indonesia terlihat seperti pro Beijing atau memberikan insentif-insentif perpajakan tertentu hanya untuk perusahaan-perusahaan China.

    Dina sendiri melihat imbas lain. Ini dikhawatirkan berdampak ke Jepang.

    “Efeknya yang pasti sebagai salah satu mitra investasi, dagang dan pembangunan. Acara China kan ingin menohok Jepang,” katanya.

    (sef/sef)

    [Gambas:Video CNBC]