Tag: Bhima Yudhistira

  • Daya Beli Lesu, Pengusaha Ritel Berharap Momentum Akhir Tahun

    Daya Beli Lesu, Pengusaha Ritel Berharap Momentum Akhir Tahun

    Bisnis.com, JAKARTA — Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) menilai momentum pertumbuhan ekonomi nasional yang mencapai 5,04% secara tahunan (year-on-year/yoy) pada kuartal III/2025 akan mendorong kinerja sektor ritel menjelang akhir tahun.

    Ketua Umum Hippindo Budihardjo Iduansjah mengatakan kuartal IV biasanya menjadi momentum penting bagi pelaku ritel, seiring meningkatnya permintaan menjelang Natal dan Tahun Baru (Nataru) yang diyakini menjadi penggerak utama lonjakan penjualan.

    Budihardjo menjelaskan, selain faktor musiman, penjualan ritel juga terdorong oleh kebijakan moneter dan fiskal yang lebih longgar, termasuk likuiditas yang meningkat di pasar.

    “Di samping itu ditambah dengan kebijakan uang beredar yang digelontorkan oleh pemerintah ke market, sehingga ada bunga-bunga ringan, kartu kredit juga memberikan banyak program, dan itu juga menggerakkan ekonomi untuk sektor retail offline,” kata Budihardjo kepada Bisnis, Rabu (5/11/2025).

    Dia menambahkan, perbaikan sentimen publik dan konsumen setelah gelombang demonstrasi beberapa waktu lalu turut memperkuat optimisme pelaku ritel.

    Dihubungi terpisah, Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara menilai geliat pertumbuhan ekonomi 5,04% yoy pada kuartal III/2025 belum sepenuhnya mencerminkan pemulihan daya beli masyarakat.

    Bhima menyebut pertumbuhan ekonomi kuartal III/2025 yang mencapai 5,04% yoy itu lebih didorong oleh ekspor daripada konsumsi rumah tangga. 

    Alhasil, kondisi ini membuat banyak pelaku usaha ritel masih menahan ekspansi karena indikator konsumsi seperti penjualan kendaraan bermotor dan barang elektronik yang belum menunjukkan perbaikan signifikan.

    “Masih belum terlalu confidence sih sebenarnya untuk pelaku usaha ritel. Jadi mereka masih mengatur strategi dulu untuk ekspansi,” ujar Bhima kepada Bisnis.

    Meski begitu, Celios melihat dampak stimulus seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT) kemungkinan baru terasa di kuartal IV, bersamaan dengan puncak belanja Nataru di akhir tahun.

    Sementara itu, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economic (Core) Indonesia Mohammad Faisal menilai kondisi ekonomi pada kuartal III/2025 masih diwarnai ketegangan akibat ketimpangan ekonomi.

    Menurutnya, dinamika sosial dan aksi demonstrasi yang terjadi beberapa waktu lalu itu mencerminkan ketidakpuasan publik terhadap distribusi pertumbuhan ekonomi yang tidak merata.

    Dalam hal sektor ritel, kata Faisal, meski pertumbuhannya masih terjaga dengan laju sekitar 5,5%, namun kenaikannya didominasi oleh kelompok berpendapatan menengah atas dan ritel berskala besar.

    Dia menyebut pertumbuhan tersebut lebih banyak disumbang oleh kelompok ekonomi atas, sementara ritel menengah, kecil, dan mikro masih berjuang menghadapi lemahnya daya beli.

    “Dan ini terkonfirmasi juga dengan kalau kita cross-analysis dengan pertumbuhan konsumsinya, konsumsi rumah tangganya itu kan lebih rendah juga 4,89%, jadi artinya daya beli sebetulnya tidak cukup ada peningkatan,” ucap Faisal kepada Bisnis.

    Menurutnya, kenaikan ritel secara agregat banyak ditopang oleh konsumsi kalangan menengah atas, sementara kelompok menengah ke bawah belum menunjukkan pemulihan signifikan.

    Faisal menuturkan konsumsi kalangan menengah dan calon kelas menengah menyumbang lebih dari 80% terhadap total konsumsi nasional. Untuk itu, keberlanjutan pertumbuhan ritel akan sangat bergantung pada pemulihan daya beli kedua segmen tersebut.

    Meski demikian, Faisal menilai prospek jangka pendek sektor ritel masih positif karena ukuran pasar domestik yang besar. Namun, pemerataan pertumbuhan akan menjadi pekerjaan rumah utama bagi pemerintah dan pelaku usaha.

    “Prospek untuk industri ritel ini akan ditentukan juga mestinya oleh seberapa besar pemulihan daya beli dari kelas menengah ke bawah,” pungkasnya.

  • Celios Ungkap Modus Pemda Endapkan APBD di Bank, Perencanaan Buruk sampai Nikmati Bunga Deposito

    Celios Ungkap Modus Pemda Endapkan APBD di Bank, Perencanaan Buruk sampai Nikmati Bunga Deposito

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Center of Economic and Law Studies (Celios) mengungkap modus Pemerintah Daerah (Pemda) mengendapkan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Ada dua alasan.

    Itu diungkapkan Direktur Bhima Yudhistira. Menurutnya, ini masalah klasik yang bisa diuraikan penyebabnya.

    “Dana pemda mengendap di bank masih jadi masalah klasik, karena dua faktor utama,” kata Bhima dikutip deikutip Sabtu, (27/10/2025).

    Diketahui dana Pemerintah Daerah (Pemda) yang mengendap di deposito sebesar Rp57,5 triliun. Jumlah itu mencakup 22,61 persen dari total dana di bank senilai Rp254,3 triliun per Agustus 2025.

    Selain itu, perencanaan buruk menyebabkan banyak pencairan, terutama proyek infrastruktur, dilakukan secara besar-besaran di akhir tahun anggaran. Hal tersebut menyebabkan dana Pemda mengendap.

    Padahal, menurutnya dana tersebut bisa disimpan di instrumen simpanan. Karena sedianya bisa tepakai dalam satu tahun.

    “Memang praktik aneh pemda menyimpan uang di deposito dan giro, dengan alasan pencadangan. Padahal dana APBD cukup di instrumen simpanan biasa karena satu tahun pasti terpakai,” terang Bhima

    Selain itu, dia menyoroti pemanfaatan dana jangka panjang dan Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) untuk membantu likuiditas bank daerah. Makin besar dana tersebut, semakin besar potensi bank menyalurkan kredit.

    “Spread bunga dana pemda yang parkir dan penyaluran kreditnya kan dinikmati bank. Tapi kan bagi pemda tidak gratis, oknum pemda ini akan mendapat success fee karena dianggap memberi bantuan penempatan dana bank,” ucapnya.

  • Ekonom: RI perlu daya tawar lebih agar AS beri tarif rendah bagi sawit

    Ekonom: RI perlu daya tawar lebih agar AS beri tarif rendah bagi sawit

    Jakarta (ANTARA) – Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara menilai Indonesia perlu memiliki daya tawar lebih agar Amerika Serikat (AS) dapat mengurangi tarif terhadap minyak sawit hingga 0 persen sebagaimana yang disepakati antara AS dengan Malaysia.

    “Kalau melihat soal sawit, Malaysia bisa 0 persen, (maka) Indonesia harus menggunakan daya tawar lebih,” kata Bhima saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Jumat.

    Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat volume ekspor minyak sawit ke AS pada tahun 2024 mencapai 1,39 juta ton, menempatkan negara itu sebagai tujuan ekspor sawit terbesar keempat setelah India, Pakistan, dan Tiongkok.

    Meski demikian, Bhima menilai pasar ekspor komoditas tersebut ke AS masih cenderung kecil. “Artinya kalau hanya sawit, tarifnya rendah tidak banyak menguntungkan Indonesia”.

    Ia pun menyarankan Indonesia agar mendorong arah negosiasi tarif resiprokal AS untuk produk ekspor unggulan lainnya seperti pakaian jadi dan alas kaki.

    “Indonesia harus mendorong lebih ke arah negosiasi pengurangan tarif signifikan untuk pakaian jadi dan alas kaki, karena dua itulah yang porsi ekspor Amerika Serikatnya di atas 60 persen,” kata Bhima.

    Selain itu, ia menilai Indonesia juga dapat menawarkan posisinya sebagai salah satu negara yang signifikan di Asia Tenggara, antara lain sebagai pasar yang besar untuk produk-produk dari AS, penggerak ekonomi di kawasan, hingga kekayaan sumber daya manusia.

    Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal yang berpendapat sama mengatakan Indonesia memerlukan pendekatan khusus dengan AS jika ingin mendapatkan tarif 0 persen untuk komoditas sawit seperti Negeri Jiran.

    “Perlu special deal dengan Amerika, ini tidak mudah karena dari hasil negosiasi tarif resiprokal kemarin kita sudah terlanjur menawarkan banyak hal untuk diberikan kepada Amerika,” kata Faisal.

    “Nah, dengan begitu memang perlu dicari cara, kira-kira apa yang bisa ditawarkan oleh Indonesia kalau misalkan mau sawit diberi (tarif) 0 persen,” imbuhnya.

    Pada Selasa (30/9), Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan pemerintah masih bernegosiasi terkait keputusan final tarif impor Presiden AS Donald Trump.

    Adapun dalam perundingan tersebut, Indonesia menargetkan agar sejumlah komoditas unggulan seperti kelapa sawit, karet dan kakao, terbebas dari tarif impor 19 persen yang diberlakukan AS.

    Pewarta: Arnidhya Nur Zhafira
    Editor: Virna P Setyorini
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • PP 38/2025 Bisa Ciptakan Jebakan Utang – Page 3

    PP 38/2025 Bisa Ciptakan Jebakan Utang – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – Center of Economic and Law Studies (Celios) melihat kebijakan pinjaman Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah (Pemdan) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2025 bisa menciptakan jebakan utang.

    Pasalnya, regulasi tersebut memperbolehkan pemda mengajukan pinjaman ke pemerintah pusat. Di sisi lain, pemda harus terkena pemotongan anggaran transfer ke daerah (TKD) yang cukup signifikan.

    Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira menilai, pemberian pinjaman pemerintah pusat ke pemda kontradiktif dengan efisiensi dana transfer daerah. Lantaran, dana TKD telah terpangkas 24,7 persen di 2026. Padahal sekitar 41,3 persen pemda berstatus fiskal rentan.

    “Kemudian ketika pemda sedang tertekan, pemerintah pusat justru beri fasilitas pinjaman. Jelas pemda hampir sulit mengembalikan dana. Ini jebakan utang,” kata Bhima dalam pernyataan tertulis, Selasa (28/10/2025)

    Direktur Kebijakan Publik Celios Media Wahyudi meneruskan, cicilan pinjaman yang harus dibayar dari APBD bisa mempersempit ruang fiskal untuk layanan publik seperti kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan sosial.

    “Untuk menutup kekurangan, pemda kemungkinan menaikkan pajak dan retribusi daerah, seperti pajak bumi dan bangunan, pajak kendaraan bermotor, atau pajak konsumsi. Beban kenaikan pajak ini justru harus ditanggung kelas menengah, yang saat ini sudah sulit secara ekonomi,” ungkapnya.

     

  • Dana Pemda Mengendap Ratusan Triliun Diduga Akibat Main Bunga

    Dana Pemda Mengendap Ratusan Triliun Diduga Akibat Main Bunga

    Jakarta, Beritasatu.com – Polemik dana pemerintah daerah (pemda) yang mengendap di perbankan ramai jadi perbincangan. Kondisi ini dinilai menunjukkan masih lemahnya tata kelola keuangan daerah dan belum efektifnya kebijakan pemerintah pusat dalam mendorong percepatan belanja daerah.

    Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai, dana pemerintah daerah (pemda) yang mengendap di perbankan masih menjadi persoalan klasik yang belum terselesaikan.

    Ia menyebut, praktik mencari keuntungan dan lemahnya perencanaan anggaran membuat penyerapan dana daerah belum berjalan optimal.

    “Dana pemda mengendap di bank masih jadi masalah klasik, karena dua faktor utama,” ujar Bhima saat dihubungi Beritasatu.com, Senin (27/10/2025).

    Menurut Bhima, pertama faktor dana pemda menumpuk karena pemda menikmati pendapatan bunga deposito dari dana yang diparkir di bank. Kedua, perencanaan yang buruk membuat banyak pencairan, terutama proyek infrastruktur, dilakukan di akhir tahun anggaran.

    Hal itu, lanjutnya, menjadi penyebab utama dana pemda mengendap atau belum tersalurkan hingga mencapai Rp 234 triliun sepanjang Januari-September 2025 yang kini ramai menjadi polemik.

    “Memang praktik aneh pemda menyimpan uang di deposito dan giro, dengan alasan pencadangan. Padahal dana APBD cukup di instrumen simpanan biasa karena satu tahun pasti terpakai,” jelas Bhima.

    Ia juga menyoroti adanya oknum pemda yang memanfaatkan lambatnya realisasi pencairan dan sisa lebih pembiayaan anggaran (SILPA) untuk membantu likuiditas bank daerah. Makin besar dana parkir di instrumen jangka panjang, makin besar pula potensi bank menyalurkan dana kredit.

    “Spread bunga dana pemda yang parkir dan penyaluran kreditnya kan dinikmati bank. Tapi kan bagi pemda tidak gratis, oknum pemda ini akan mendapat success fee karena dianggap memberi bantuan penempatan dana bank,” imbuhnya.

    Ia menegaskan, jika ditemukan gratifikasi antara pihak bank dengan oknum pemda, maka hal itu dapat diusut secara pidana. Namun permasalahannya, kata dia, tidak semua success fee penempatan dana pemda di deposito bentuknya uang tunai.

    “Ada yang bentuknya voucher jalan-jalan, golf, promosi jabatan,” tuturnya.

    Selain itu, Bhima menilai, langkah atau resep dari pemerintah pusat dalam menertibkan dana mengendap ini juga belum tepat. Menurutnya, kebijakan efisiensi atau pemotongan anggaran transfer daerah sebagai bentuk pendisiplinan pemda justru berisiko menimbulkan dampak ekonomi lain.

    “Yang terjadi fenomena naiknya pajak daerah justru membahayakan daya beli. Harus ada pendampingan secara konsisten dari Kemenkeu dan Kemendagri pada pemda yang pencairannya lambat,” tegasnya.

    Untuk mencegah penyimpangan, Bhima mendorong kerja sama antara Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

    Ia menilai pengawasan penting dilakukan untuk menelusuri indikasi pidana dalam penempatan dana pemda di deposito dan perencanaan anggaran yang lebih baik.

  • Pasar Nikel Lesu, Proyek Baterai Antam-Huayou Prospektif?

    Pasar Nikel Lesu, Proyek Baterai Antam-Huayou Prospektif?

    Bisnis.com, JAKARTA — Lesunya pasar nikel dan baterai kendaraan listrik global dinilai dapat menahan laju perkembangan megaproyek ekosistem baterai domestik yang digarap Zhejiang Huayou Cobalt Co dan BUMN Indonesia Battery Corporation atau IBC.

    Hingga kini, proyek yang melibatkan PT Aneka Tambang Tbk atau Antam itu tak kunjung groundbreaking. Sebelumnya, groundbreaking direncanakan pada Agustus 2025 dan mundur ke Oktober 2025.

    Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai, lambatnya realisasi proyek bernama Titan itu disebabkan oleh empat faktor utama, mulai dari tekanan harga nikel global hingga ketidakpastian insentif fiskal.

    Bhima menjelaskan, faktor pertama yang menahan laju proyek tersebut adalah situasi harga nikel internasional yang masih melemah. Lesunya pasar nikel turut dipengaruhi oleh permintaan dari China yang belum pulih sepenuhnya.

    “Pada kuartal III/2025, pertumbuhan ekonomi China masih di level 4,8%, turun dari 5% secara tahunan [year-on-year]. Artinya, permintaan terhadap baterai kendaraan listrik yang sebagian besar diekspor ke China ikut melemah,” ujar Bhima kepada Bisnis, Rabu (22/10/2025).

    Kondisi tersebut, kata dia, membuat sejumlah perusahaan perlu meninjau ulang rencana bisnisnya untuk menyesuaikan dengan risiko fluktuasi pasar global. Sementara itu, pasar domestik juga belum cukup kuat menopang industri kendaraan listrik. 

    “Permintaan otomotif di dalam negeri, meskipun sudah mulai muncul kendaraan listrik, belum meningkat signifikan,” tambah Bhima.

    Faktor kedua yang menjadi penghambat adalah persoalan pasokan bijih nikel ke smelter-smelter di dalam negeri. Bhima mengungkapkan, sekitar 25 smelter sempat mengalami gangguan produksi, bahkan sebagian menghentikan operasi.

    “Ketidakpastian pasokan bahan baku nikel memberikan risiko besar terhadap rantai pasok industri baterai kendaraan listrik. Karena itu, kepastian bahan baku menjadi krusial,” jelasnya.

    Adapun, faktor ketiga berkaitan dengan kebijakan fiskal. Sebelumnya, pelaku industri berharap ada insentif seperti tax holiday dan tax allowance untuk mendukung hilirisasi sektor baterai. Namun, penerapan kebijakan global minimum tax mengubah skema tersebut.

    “Aturan baru ini tidak lagi memperbolehkan tarif 0% untuk PPh atau bea ekspor sehingga perhitungan bisnis perusahaan patungan ikut berubah. Di satu sisi, pemerintah harus mematuhi aturan global, tapi di sisi lain perusahaan juga perlu menyesuaikan kembali struktur insentif fiskalnya,” ujar Bhima.

    Sementara itu, faktor keempat berkaitan dengan isu lingkungan dan tata kelola proyek. Sejumlah persoalan seperti amdal, izin lokasi, serta dampak limbah terhadap masyarakat sekitar dinilai masih menjadi perhatian utama.

    “Diharapkan pabrik baterai kendaraan listrik tidak menggunakan pembangkit tenaga batu bara. Maka perlu ada perencanaan energi baru terbarukan [EBT], dan itu butuh waktu untuk transisi,” katanya.

    Bhima menambahkan bahwa ke depan produk baterai yang dihasilkan diharapkan memiliki grade yang layak secara ESG (environmental, social, and governance), bahkan dapat bernilai premium berkat standar lingkungan yang lebih tinggi.

    Adapun, Proyek Titan mencakup investasi pada proyek pertambangan nikel, smelter HPAL, pabrik prekursor/katoda. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkapkan Proyek Titan itu bakal berlokasi di Maluku Utara dan ditargetkan rampung pada akhir 2027.

    Dalam Proyek Titan, Antam akan berperan sebagai pemasok bahan baku baterai EV berbasis nikel atau nikel mangan kobalt (NMC). Di samping itu, Antam juga merupakan salah satu pemegang saham IBC, yakni sebesar 25%.

    Proyek Titan merupakan bagian dari proyek strategis nasional (PSN) di sektor energi dan mineral, yang ditaksir bernilai lebih dari US$8 miliar atau setara Rp132,6 triliun (asumsi kurs Rp16.576 per US$)

    Terbaru, Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung memastikan pemerintah terus mendorong percepatan Proyek Titan. Menurut Yuliot, progres Proyek Titan saat ini masih dalam tahap penyelesaian perjanjian kerja sama antara Antam dan Huayou.

    “Titan ini kita lagi dorong untuk percepatan kerja sama antara Antam sama Huayou, lagi menyelesaikan perjanjian. Mudah-mudahan dalam waktu dekat selesai, kita dorong bagaimana groundbreaking-nya,” ujar Yuliot.

    Perlu Dukungan Pemerintah

    Sementara itu, Ketua Badan Kejuruan Teknik Pertambangan Persatuan Insinyur Indonesia (BK Tambang PII) Rizal Kasli berpendapat terus mundurnya jadwal groundbreaking Proyek Titan bisa disebabkan oleh beberapa hal. Persoalan itu antara lain adalah belum selesainya penandatanganan perjanjian kerja sama yang memuat hak dan kewajiban dan skema bisnis lainnya antar pihak.

    “Kemudian juga kemungkinan belum selesainya studi kelayakan [FS], amdal serta masalah perizinan yang diperlukan belum dapat dipenuhi,” ucap Rizal.

    Padahal, kata dia, atau investasi tersebut berupa PSN tentu akan lebih mudah karena banyak fasilitas yang diberikan pemerintah untuk kemudahan berinvestasi.

    Oleh karena itu, Rizal mengatakan pemerintah harus turun tangan memberikan kepastian bagi para pelaku usaha di Proyek Titan. Salah satunya, dengan mempercepat semua persyaratan dan perizinan.

    “Harus dibantu percepatan semua persyaratan dan perizinan yang diperlukan serta fasilitas-fasilitas yang disetujui,” ujar Rizal.

    Dia menuturkan, Proyek Titan dapat memberikan keuntungan besar bagi Indonesia. Sebab, akan ada investasi besar yang masuk ke Tanah Air.

    Dengan begitu tentu akan menambah terbukanya lapangan kerja, dan pertumbuhan ekonomi. 

    “Indonesia diuntungkan dengan adanya industri ini sehingga menjadi salah satu negara dalam ekosistem kendaraan listrik global. Dengan berdirinya industri ini berarti sudah ada dua industri baterai EV dibangun di Indonesia,” tuturnya.

  • Bukan Restrukturisasi 60 Tahun, Ekonom Usul Ini untuk Bayar Utang Whoosh

    Bukan Restrukturisasi 60 Tahun, Ekonom Usul Ini untuk Bayar Utang Whoosh

    Bisnis.com, JAKARTA — Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) memandang, kesepakatan restrukturisasi pembayaran utang Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB) atau Whoosh selama 60 tahun tak akan menyelesaikan masalah. 

    Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira memandang penyelesaian utang tak dapat hanya menggunakan restrukturisasi dengan perpanjangan tenor. 

    “Kalau restrukturisasi cuma menambah tenor utang, enggak menyelesaikan masalah karena pokok utang masih akan tetap harus dibayar,” ujarnya kepada Bisnis, Rabu (22/10/2025). 

    Kesepakatan yang terungkap beberapa waktu lalu oleh Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhur Binsat Pandjaitan tersebut, dinilai memiliki risiko yang sangat tinggi.

    Belum lagi, mempertimbangkan kinerja Badan Usaha Milik Negara (BUMN) maupun Badan Pengelola Investasi (BPI) Daya Anagata Nusantara (Danantara) dalam 60 tahun ke depan. 

    Bhima menuturkan, bahwa tekanan fiskal dalam kurun waktu lima tahun ke depan pun, masih cukup tinggi. 

    Ketimbang melakukan restrukturisasi biasa, kata Bhima, Danantara, pemerintah, maupun KAI harus mampu mendorong debt cancellation atau penghapusan utang. 

    “Artinya mengurangi beban pokok utang. Pakailah daya tawar bahwa selama ini RI sudah memberikan konsesi smelter nikel kepada China, fasilitas insentif fiskal, masa beban utang enggak dikurangi?” tutur Bhima. 

    Padahal, skema debt cancellation wajar dilakukan di sejumlah negara. Sekalipun tak memilih skema tersebut, seharusnya pemerintah pun dapat menawarkan debt swap atau pertukaran utang. 

    Misalnya, mempersilakan perusahaan China mengerjakan proyek-proyek kawasan berorientasi transit atau transit-oriented development (TOD) di kawasan Stasiun Whoosh. 

    Bhima menyayangkan keberadaan Whoosh dengan harga tiket yang cukup mahal. Seharusnya, justru pemerintah menyediakan layanan transportasi publik yang lebih cocok untuk kelas menengah ke bawah. 

    Terpisah, Peneliti di Inisiatif Strategis untuk Transportasi (Intrans) Ki Darmaningtyas pun memandang, sekalipun restrukturisasi dilakukan sehingga tagihan per tahunnya lebih rendah, tetapi operasional Whoosh belum maksimal. 

    “Kalau pendapatan tiket sama pendapatan non-tiket mungkin untuk operasional saja tidak cukup gitu. Jadi untuk operasional saja itu masih perlu subsidi dari negara. Misalnya direstrukturisasi 60 tahun, cicilan tiap tahunnya itu dari mana sumbernya?” tuturnya kepada Bisnis. 

    Menurut catatan KCIC, jumlah penumpang Whoosh tercatat belum mencapai potensi maksimal, meski terus menunjukkan peningkatan dalam dua tahun terakhir. 

    Sejak resmi beroperasi secara komersial pada 17 Oktober 2023, Whoosh telah melayani lebih dari 12 juta penumpang dengan rata-rata pertumbuhan yang konsisten setiap bulan. Puncaknya terjadi pada bulan Juni 2025 dengan 26.770 penumpang dalam satu hari.

    Padahal bila diasumsikan terisi penuh, jumlah penumpang Whoosh setidaknya mampu membawa 36.000 penumpang per hari dengan jumlah perjalanan yang sama seperti saat ini, yakni 62 perjalanan di hari biasa dan 56 perjalanan di akhir pekan.

    Sebelumnya, Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan mengungkapkan bahwa pihak China telah setuju terkait skema tersebut. Namun, saat ini pelaksanaannya masih tertunda. 

    “Kita mau lakukan tadi restrukturisasi dengan pihak China, dan itu mereka sudah setuju. Hanya kemarin pergantian pemerintahan ya tertunda,” ujarnya dalam acara 1 Tahun Prabowo—Gibran, dikutip pada Rabu (22/10/2025).  

    Luhut pun telah melakukan komunikasi dengan Kementerian Keuangan terkait restrukturisasi utang selama 60 tahun. Skema tersebut pun akan membuat pembayaran utang kepada China dapat lebih kecil. 

    “Misalnya [bayar] Rp2 triliun satu tahun, kemudian penerimaan [dari operasional Whoosh] Rp1,5 triliun,” tambah Luhut. 

    Meski demikian, Luhut tak menyebutkan sumber dana untuk pembayaran Whoosh tersebut. Padahal Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa telah terang-terangan menolak membayar utang kereta cepat tersebut. 

  • Celios: Upah Rendah Picu Lonjakan PHK di Berbagai Daerah

    Celios: Upah Rendah Picu Lonjakan PHK di Berbagai Daerah

    Bisnis.com, JAKARTA — Lembaga riset Center of Economic and Law Studies (Celios) menilai bahwa upah rendah menjadi pemicu lonjakan pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai daerah, ditambah dengan variabel lain seperti efisiensi anggaran pemerintah pusat.

    Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira menyampaikan bahwa kenaikan upah minimum justru dapat menciptakan gelombang lapangan kerja baru, alih-alih membebani pengusaha. Dia menukil pendapat peraih Hadiah Nobel Ekonomi 2021 David Card tentang keterkaitan upah buruh dan lapangan kerja.

    “Mitos itu yang bilang upah naik terlalu tinggi menyebabkan pengangguran, justru sebaliknya kalau upah minimum bisa lebih baik maka akan menciptakan lapangan kerja baru,” kata Bhima kepada Bisnis, Selasa (21/10/2025).

    Dia menjelaskan, kenaikan upah minimum pekerja akan mempercepat perputaran ekonomi dalam lingkup domestik, misalnya melalui belanja kebutuhan sehari-hari.

    Bhima lantas menyebut tekanan perekonomian domestik masih akan terasa dalam beberapa waktu ke depan, lebih lagi dengan berlanjutnya efisiensi anggaran pemerintah.

    Oleh karena itu, Celios merekomendasikan kenaikan upah minimum 2026 di atas 10%, lebih tinggi dari realisasi kenaikan UMP 2025 yang sebesar 6,5% secara nasional. Harapannya, konsumsi domestik yang menjadi penopang pertumbuhan ekonomi Tanah Air dapat turut meningkat.

    “Kalau kita pakai upah sebagai penghalang produktivitas, upah menjadi mitos sehingga membuat lapangan kerja jadi sempit, akhirnya justru sekarang ini terjadi akumulasi. Oleh karenanya, kita tidak bisa menggunakan rumus yang sama,” ujar Bhima.

    Sebelumnya, Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Yassierli mengungkapkan bahwa besaran kenaikan upah minimum provinsi 2026 masih dalam pembahasan sampai pertengahan Oktober 2025 ini. 

    Yassierli berujar bahwa tim yang terlibat dalam proses penentuan besaran kenaikan upah, dalam hal ini Dewan Pengupahan Nasional (Depenas), masih melakukan sejumlah kajian. 

    Dia memastikan bahwa pengumuman besaran UMP akan mengikuti lini masa, yakni pada November setiap tahunnya. Hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) No.51/2023 tentang Pengupahan.

    “Kita ingin sebenarnya UMP ini juga memperhatikan standar kehidupan yang layak bagi pekerja itu seperti apa, tetapi ini masih berproses,” kata Yassierli saat ditemui di Kantor Kemnaker, Senin (13/10/2025).

  • Gaji Cuma Numpang Lewat, Kelas Menengah RI Dihajar Utang, Inflasi, dan Pajak

    Gaji Cuma Numpang Lewat, Kelas Menengah RI Dihajar Utang, Inflasi, dan Pajak

    Jakarta

    Kelompok kelas menengah di Indonesia terengah-engah menghadapi tekanan ekonomi yang semakin berat. Gaji yang mereka terima seketika habis hanya untuk membayar utang dan cicilan.

    Ekonom senior Institute for Development Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad menjelaskan kondisi ini disebabkan oleh sejumlah faktor. Mulai dari faktor kondisi ekonomi nasional, regulasi perpajakan, hingga gaya hidup masyarakat itu sendiri.

    Dari faktor kondisi ekonomi, Tauhid mengatakan saat ini inflasi atau kenaikan harga barang dan jasa secara nasional per September 2025 sudah naik di atas 2%. Di mana menurut data BPS secara year-on-year inflasi nasional bulan kemarin sebesar 2,65% dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) sebesar 108,74.

    Sayang, kenaikan inflasi ini tidak diiringi dengan kenaikan pendapatan masyarakat. Artinya harga barang dan jasa merangkak makin mahal, sementara pendapatan masih ‘jalan di tempat’.

    “Pertama, kalau kita lihat inflasi mulai naik lagi ya, mendekatkan di atas 2%. Nah, inflasi yang terjadi ini tidak diimbangi dengan kenaikan gaji dan pendapatan mereka. Saya kira ini fenomenanya itu penyebab pertama,” kata Tauhid kepada detikcom, Senin (6/10/2025).

    Kemudian secara regulasi, menurut Tauhid kehidupan kelas menengah saat ini sangat terbebani oleh pajak seperti PPN (pajak penambahan nilai). Hal ini dinilai membuat harga barang/jasa yang sudah naik imbas inflasi akan semakin mahal. Sehingga biaya hidup semakin tinggi.

    “PPN naik, kemudian beberapa kenaikan di komponen biaya hidup juga naik, terutama di transportasi dan komunikasi. Pajak, transportasi dan komunikasi ini sudah mulai bergerak naik lah,” ucapnya.

    “Kalau pajak kan jelas, tapi kalau transportasi dan komunikasi ini kan nggak sengaja. Biaya telekomunikasi itu makan komponen besar tuh, orang internet dan sebagainya. Termasuk transportasi, ojol dan sebagainya itu makan banget tuh kelas menengah,” sambung Tauhid.

    Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah kelas menengah di Indonesia tahun ini tahun ini sebanyak 46,85 juta jiwa. Foto: Pradita Utama

    Terakhir ada faktor dari kelas menengah sendiri yang kini dinilai semakin konsumtif. Di mana menurutnya tak sedikit orang yang kini banyak membeli barang atau jasa yang sebetulnya tidak terlalu mereka butuhkan.

    Padahal besaran gaji masih pas-pasan, membuat mereka mau tak mau mengambil pinjaman. Hal inilah yang membuat cicilan bulanan mereka semakin besar. Akibatnya gaji yang diterima hanya habis untuk bayar utang, dan sisanya hanya cukup untuk konsumsi makanan.

    “Memang sekarang kelas menengah di tengah digitalisasi, itu budaya konsumsinya semakin tinggi juga begitu ya. Misalnya dengan digitalisasi mereka gampang mengakses pembiayaan, belanja, dan sebagainya dengan digital. Sehingga budaya konsumstifnya akhirnya lebih tinggi dibandingkan sebelum-sebelumnya,” papar Tauhid.

    Sementara itu, Direktur Eksekutif CELIOS Bhima Yudhistira mengatakan salah satu faktor utama yang membuat kelompok kelas menengah kian terimpit utang adalah sulitnya mencari pekerjaan layak. Kondisi ini membuat pendapatan mereka jadi sangat terbatas, bahkan cenderung kurang yang kemudian mendorong mereka untuk ajukan pinjaman.

    “Kelas menengah tertekan sulitnya mencari pekerjaan yang stabil, dan upah layak. Pekerjaan ada tapi sebagian besar informal, basisnya kontrak tidak pasti,” jelas Bhima.

    Kemudian sama seperti Tauhid, dirinya juga turut menyoroti gaya hidup kelas menengah yang kerap kali tidak sesuai dengan besaran gaji atau pendapatan yang dimilikinya. Pada akhirnya membuat mereka rela berutang hanya karena keinginan sesaat.

    “Sebagian terjebak pada gaya hidup yang tidak sesuai kemampuan, FOMO lihat iklan sosial media lalu beli barang via paylater,” ucapnya.

    Lihat juga Video: Cara Sederhana Biar Gaji Tidak Habis di Tengah Jalan

    (igo/fdl)

  • Mengenal Konsep Sumitronomics, Strategi Purbaya Genjot Ekonomi 8%

    Mengenal Konsep Sumitronomics, Strategi Purbaya Genjot Ekonomi 8%

    Jakarta

    Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengungkapkan konsep Sumitronomics menjadi strategi pembangunan ekonomi Indonesia untuk menjadi negara maju. Strategi itu diyakini dapat membawa pertumbuhan ekonomi hingga 8% dalam jangka menengah.

    Purbaya mengatakan konsep Sumitronomics berfokus pada tiga pilar utama yaitu pertumbuhan ekonomi tinggi, pemerataan manfaat pembangunan, serta stabilitas nasional yang dinamis. Pilar-pilar tersebut hanya bisa berjalan jika kebijakan fiskal, sektor keuangan dan investasi berjalan selaras.

    “Untuk menjadi negara maju, strategi pembangunan ekonomi Indonesia berbasis pada konsep Sumitronomics yang difokuskan pada tiga pilar utama. Pertama, pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Kedua, pemerataan manfaat pembangunan dan ketiga, stabilitas nasional yang dinamis,” kata Purbaya dalam Rapat Paripurna DPR RI ke-5 Masa Persidangan I Tahun Sidang 2025-2026, Selasa (23/9/2025).

    Purbaya mengakui target pertumbuhan ekonomi 8% tidaklah mudah, namun bukan berarti tidak bisa dicapai. Terlebih Indonesia mempunyai sejarah pernah mencapai rata-rata ekonomi di atas 6%.

    “Target ini tidak mudah, namun bukan berarti tidak bisa diwujudkan. Sejarah menunjukkan sebelum krisis keuangan tahun 1997-1998, ekonomi Indonesia tumbuh rata-rata di atas 6%,” ungkap Purbaya.

    Ia pun mengingatkan ada Korea Selatan dan Singapura yang mampu tumbuh rata-rata di atas 7,5% dalam sepuluh tahun sebelum menjadi negara maju. China bahkan sempat melesat dengan pertumbuhan di atas 10% pada periode 2003-2007 dan di tahun 2010.

    “Dengan konsistensi menjaga keselarasan mesin-mesin pertumbuhan, diharapkan (Indonesia) dapat memacu pertumbuhan menuju 8% dalam jangka menengah,” ujarnya.

    Lantas, Apa Itu Sumitronomics?

    Istilah Sumitronomics kembali mencuat usai Prabowo Subianto menjadi presiden. Nama itu merujuk pada gagasan ekonomi Prof. Sumitro Djojohadikusumo, ayah Prabowo yang dikenal sebagai ekonom berpengaruh di Indonesia.

    Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan Sumitronomics adalah konsep kapitalisme negara yang tiang utamanya ada lima. Pertama, peran aktif negara dalam membantu sektor swasta terutama dalam hilirisasi sumber daya. Kedua, fiskal yang ekspansif dalam menciptakan lapangan kerja meski defisit APBN melebar dan utang bertambah.

    Ketiga, penggunaan moneter di bawah komando pemerintah untuk injeksi likuiditas ke ekonomi meski independensi bank sentral menurun. Keempat, stabilitas nasional baik ekonomi dan politik dengan pelibatan militer atau dikenal sebagai military-driven economy. Kelima, deregulasi atau relaksasi berbagai aturan yang dianggap menghambat pelaku usaha.

    “Yang perlu diperhatikan dari Sumitronomics adalah ambisi mencapai pertumbuhan tinggi memicu inflasi, pelemahan nilai tukar bila impor bahan baku melonjak dan kehadiran militer dalam ekonomi cenderung tidak efisien,” pesan Bhima.

    Tonton juga video “Menkeu Purbaya Pilih Genjot Ekonomi Tanpa Tambah Utang Besar” di sini:

    (kil/kil)