Tag: Bhima Yudhistira

  • Tak Rugikan Negara, Celios Ingatkan Pemerintah Urgensi Suntik Mati PLTU

    Tak Rugikan Negara, Celios Ingatkan Pemerintah Urgensi Suntik Mati PLTU

    Bisnis.com, JAKARTA – Center of Economic and Law Studies (CELIOS) mengingatkan pemerintah tak memandang upaya suntik mati pembangkit listrik tenaga batu bara (PLTU) merugikan negara.

    Peringatan itu merespons pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang baru-baru ini mengkhawatirkan potensi kerugian negara dari pensiun PLTU Cirebon-1 di Jawa Barat. Bendahara negara itu beralasan pensiun dini PLTU memerlukan biaya besar yang ditanggung PLN dan APBN, terutama terkait peningkatan grid-transmisi untuk energi terbarukan.

    Direktur Eksekutif CELIOS Bhima Yudhistira menuturkan, kekhawatiran pemerintah sama sekali tidak berdasar. Menurutnya, jika peningkatan grid-transmisi memerlukan investasi, maka itu adalah tanggung jawab pemerintah melalui APBN dan kerja sama swasta untuk meningkatkan bauran energi terbarukan. 

    “Ini seharusnya tidak dipandang sebagai kerugian negara, melainkan sebagai keuntungan dari penghematan biaya subsidi, kompensasi listrik, dan biaya kesehatan,” kata Bhima melalui keterangan resmi, Selasa (5/11/2024).

    Bhima berpendapat kendala infrastruktur dan finansial yang dianggap beban justru disebabkan oleh kelebihan pasokan listrik, terutama di Jawa dan Sumatra. Hal itu justru mengakibatkan kerugian finansial yang diperkirakan mencapai Rp18 triliun pada 2023 karena kapasitas yang tidak terpakai.

    Bhima menambahkan bahwa paradigma dalam mengindikasikan kerugian negara juga problematis. 

    “Peningkatan belanja pemerintah untuk proyek berbasis bahan bakar fosil, seperti bandara dan ibu kota baru IKN Nusantara, telah menguras sumber daya keuangan sehingga mengurangi dana untuk proyek terbarukan. Apakah itu bukan kerugian negara?” katanya.

    Bhima juga mengingatkan bahwa Indonesia perlu bergerak cepat. Apalagi, negara-negara Asia Tenggara seperti Vietnam telah berinvestasi besar dalam peningkatan transmisi untuk mendukung energi terbarukan dan mengadopsi teknologi jaringan pintar.

    Adapun, investasi itu untuk meningkatkan efisiensi dan keandalan. Hal itu pun berpotensi menurunkan biaya bagi konsumen dan mendukung integrasi energi terbarukan. Menurut Bhima, hal di atas dapat menjadi contoh bagi Indonesia. 

    “Secara keseluruhan, urgensi restrukturisasi komitmen keuangan dan pengembangan inovasi dalam teknologi jaringan listrik untuk mencapai tujuan energi terbarukan Indonesia adalah tanggung jawab negara, bukan dikategorikan sebagai kerugian negara,” tutup Bhima.

    Sebelumnya, Sri Mulyani mengungkapkan pemerintah dan pihak swasta masih mendiskusikan kesepakatan pembiayaan untuk melakukan pensiun dini terhadap PLTU Cirebon-1 pada Desember 2035.

    Padahal, sebelumnya ditargetkan kesepakatan transaksi selesai pada paruh pertama 2024. Kendati, Sri Mulyani mengaku masih banyak tantangan yang harus dibicarakan bersama sehingga kesepakatan tersebut belum tercapai hingga kini. 

    “Kita lihat dari biaya yang muncul akibat dari keputusan itu, konsekuensinya terhadap PLN, terhadap APBN, dan private sector [pihak swasta],” ujarnya usai acara Indonesia International Sustainability Forum 2024 di JCC Senayan, Jakarta Pusat, Jumat (6/9/2024).

    Menurutnya, pemerintah dan swasta masih mencari jalan keluar terbaik agar transaksi yang disepakati nantinya bisa akuntabel. Sri Mulyani tidak ingin kesepakatan tersebut malah timbulkan permasalahan di masa mendatang. 

    “Sehingga tidak dianggap sesuatu yang merugikan negara,” ungkapnya.

    Sebelumnya, Asian Development Bank (ADB) bersama PT Cirebon Electric Power (CEP) dan Indonesia Investment Authority (INA) sepakat untuk melakukan pensiun dini terhadap PLTU Cirebon-1 di Jawa Barat pada Desember 2035.  

    PLTU Cirebon dengan kapasitas 660 megawatt (MW) tersebut akan pensiun 7 tahun lebih awal daripada yang seharusnya, yaitu Juli 2042. Hal ini berdasarkan hasil diskusi dengan pemilik pembangkit listrik tersebut dan pemerintah Indonesia di bawah program Mekanisme Transisi Energi (Energy Transition Mechanism/ETM) dari ADB.  

    ETM merupakan pembiayaan campuran untuk mengakselerasi transisi dari energi fosil ke energi bersih oleh ADB bersama dengan pemerintah, investor swasta, filantropis, dan investor jangka panjang.  

    Struktur akhir transaksi juga akan menentukan ukuran pembiayaan, tetapi diperkirakan sekitar US$250 juta-US$300 juta.  

  • Uang Kantong Pribadi untuk Program Negara, Dedikasi atau Anomali?

    Uang Kantong Pribadi untuk Program Negara, Dedikasi atau Anomali?

    Bisnis.com, JAKARTA – Belum genap satu bulan, aksi pejabat di pemerintahan Presiden Prabowo Subianto selalu menarik untuk dicermati. Salah satunya, sejumlah pejabat Negara yang menggunakan uang pribadi untuk mendanai kegiatan atau program Negara.

    Mulai dari selebriti sekaligus Utusan Khusus Presiden Bidang Pembinaan Generasi Muda dan Pekerja Seni kabinet Merah Putih Raffi Ahmad yang belum lama ini berkomitmen untuk membuat agenda rutin yang mendukung pekerja seni kreatif dan generasi muda tanah air. Uniknya, kegiatan itu nantinya akan didanai dari RANS, perusahaan milik bersama istrinya Nagita Slavina.

    Belum lagi, Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Maruarar Sirait (Ara) yang melakukan groundbreaking proyek perdana program 3 juta rumah yang digelar di Desa Sukawali, Kecamatan Pakuhaji, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten.

    Dalam laporannya, peletakan batu pertama dari pembangunan rumah susun gratis yang masuk dalam program 3 juta rumah tersebut diklaim oleh Ara tak menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), melainkan menggandeng para pelaku usaha swasta yakni Agung Sedayu Group dan PT Bumi Samboro Sukses.

    Bahkan, dia mendekrarasikan untuk menyumbangkan tanah pribadinya dengan luas 2,5 hektare (Ha) untuk program pembangunan rumah.

    “Jadi tanahnya ini sebagian punya saya, sebagian punya perusahaan. Sebagai menteri harus memberi contoh gotong-royong,” kata Ara saat melakukan groundbreaking di Tangerang, Jumat (1/11/2024).

    Selanjutnya, Kepala Badan Gizi Nasional Dadan Hindayana yang baru-baru ini juga mengatakan bahwa sumber dana uji coba program makan bergizi gratis yang menelan biaya ratusan juta itu berasal dari ‘hamba Allah’.

    Dadan mengatakan biaya yang dikeluarkan untuk uji coba berkisar antara Rp800 juta-Rp900 juta per bulan. Apalagi, dalam praktik di lapangan percobaan ini telah berlangsung selama sepuluh bulan. 

    “Bisa dihitung setiap bulan itu Rp800—Rp900 juta dikalikan sepuluh bulan, itu sudah berapa satuan layanan. Dan itu yang membiayai adalah hamba Allah,” katanya dalam Rapat Dengar Pendapat BGN dengan Komisi IX DPR RI di Gedung Parlemen, Jakarta, Kamis (31/10/2024).

    Terakhir, Kepala Kantor Komunikasi Presiden Hasan Nasbi juga mengamini bahwa Presiden Prabowo Subianto mendanai secara pribadi pembekalan Retreat Kabinet Merah Putih.

    Dia menekankan bahwa kegiatan yang berjalan selama empat hari tiga malam itu terhitung sejak Kamis (24/10/2024) hingga Minggu (27/10/2024) telah dipersiapkan satu bulan sebelum pelantikan Prabowo sebagai Presiden terpilih periode 2024—2029.

    Lebih lanjut, Hasan melanjutkan bahwa meskipun saat sebelum dilantik Prabowo merupakan Menteri Pertahanan (Menhan) dari Kabinet Presiden Ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi), tetapi Prabowo enggan untuk menggunakan uang Negara.

    “Kegiatan tersebut dipersiapkan oleh beliau dan tim sejak 1 bulan sebelum dilantik. Jadi menggunakan dana dari Pak Prabowo sendiri,” ujarnya kepada wartawan melalui pesan teks, Senin (28/10/2024).

    Pertanyaan pun muncul dikepala, dengan beberapa pihak dari Kabinet menekankan akan menjalankan program dengan menggunakan uang pribadi. Kira-kira apa efeknya? Apakah baik juga untuk keberlangsungan Negara? Dedikasi atau Anomali?

    Kepala Center of Macroeconomics and Finance Institute for Development of Economics and Finance (Indef) M Rizal Taufikurahman menilai bahwa penggunaan dana pribadi oleh pejabat kabinet untuk menjalankan program pemerintahan merupakan langkah yang kontroversial dan jarang terjadi. 

    Dia melanjutkan bahwa tentu hal ini akan mempunyai dampak terhadap tata kelola negara maupun pengelolaan fiskal. Meskipun sekilas tampak memberikan keuntungan, seperti penghematan anggaran negara dan percepatan realisasi program, tetapi sebenarnya mengandung sejumlah persoalan fundamental yang berpotensi melemahkan tata kelola negara dan akuntabilitas pemerintahan.

    Pertama, kata Rizal, akan ada masalah serius dalam hal transparansi. Ketika dana pribadi digunakan untuk program publik, publik harus mempertanyakan sejauh mana transparansi dan pengawasan atas dana ini dapat dipastikan. 

    “Uang pribadi pejabat yang dipakai untuk urusan negara membuka celah bagi konflik kepentingan dan penyalahgunaan kekuasaan, terutama jika sumber dana tersebut tidak dilaporkan atau diawasi dengan ketat,” ujarnya kepada Bisnis, Senin (4/11/2024).

    Lebih lanjut, dia mengatakan bahwa transparansi bukan sekadar formalitas tetapi sebuah prinsip dasar yang menjamin rakyat dapat melihat dan mengawasi kebijakan yang dibuat untuk kepentingan mereka.

    Kedua, dia menyebut ada potensi keberlanjutan program jangka panjang terancam, sebab penggunaan dana pribadi yang pada dasarnya tidak terstruktur bahkan tidak ada dalam APBN, membuat program-program yang didanai dengan cara ini rentan terhadap ketergantungan pada individu, bukan sistem. 

    “Apa yang terjadi jika pejabat yang mendanai suatu program berhenti menjabat atau mengalami perubahan posisi? Langkah ini justru mengakibatkan ketidakpastian keberlanjutan program, karena negara seharusnya bergantung pada anggaran yang konsisten, bukan dana pribadi yang bersifat temporer,” tuturnya.

    Ketiga, Rizal menyoroti bahwa langkah ini berisiko mengaburkan batas antara kepentingan publik dan pribadi. Menurutnya, program pemerintah seharusnya dibiayai oleh anggaran negara yang diambil dari pajak rakyat, bukan uang pribadi pejabat. 

    Apalagi, dia melanjutkan ketika dana pribadi digunakan untuk kepentingan negara, ada risiko bahwa pejabat tersebut melanggar prinsip netralitas dalam pengelolaan program. 

    Alhasil, hal ini membuka peluang bagi politisasi program dan penguatan pengaruh pribadi dalam kebijakan negara, sesuatu yang secara fundamental berlawanan dengan prinsip tata kelola yang sehat.

    “Jika dianggap perlu menggunakan dana pribadi, pertanyaannya adalah mengapa tidak mendorong perubahan sistem anggaran negara untuk lebih fleksibel atau cepat dalam merespon kebutuhan? Apakah ini menandakan bahwa mereka sudah kehilangan kepercayaan terhadap sistem keuangan negara yang mereka kelola sendiri?” ujarnya.

    Rizal menambahkan justru reformasi sistem keuangan negara adalah yang paling dibutuhkan jika memang ada masalah dalam pencairan anggaran atau alokasi dana yang tepat waktu.

    Dengan demikian, dia menilai bahwa langkah penggunaan dana pribadi untuk menjalankan program negara tidak cukup hanya dilihat dari manfaat praktisnya. Ini menyentuh prinsip dasar akuntabilitas, transparansi, dan keberlanjutan sistem pemerintahan. 

    Menurutnya, apabila serius ingin membangun negara yang kuat, sehat, dan mandiri, maka pemerintah seharusnya memastikan bahwa setiap program publik dibiayai oleh dana publik dan dikelola oleh sistem yang transparan, bukan oleh individu atau kelompok tertentu yang bisa mengarahkan arah kebijakan sesuai kepentingan pribadi.

    Setali tiga uang, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira melihat bahwa program pemerintah yang gunakan uang pribadi menunjukkan bahwa anggaran sangat terbatas atau ruang fiskal tengah menyempit sehingga perlu didorong adanya kerjasama dengan pengusaha. 

    “Tentu ada risiko moral hazard-nya, kalau skemanya tidak jelas bisa tercampur antara anggaran negara APBN dengan dana pribadi. Potensi korupsinya besar,” ujarnya. 

    Bhima juga menilai praktik ini cenderung melahirkan konsep abuse of power sehingga menteri yang mengeluarkan dana pribadi akan mendorong kebijakan yang menguntungkan bisnis pribadi atau kelompoknya. 

    Senada, Direktur Indonesia Publik Institut Karyono Wibowo justru memandang bahwa menjelang 100 hari pemerintahan Prabowo Subianto, setiap pembantunya justru memberikan anomali dengan gencar berdedikasi untuk Negara.

    “Saya melihat ini gimik dan lucu, bahkan agak bias ini program pemerintah dibiayai oleh dana pribadi itu bias dan tidak ada aturan di sana. Akhirnya akan membuka ketidak percayaan publik terhadap keuangan Negara nantinya,” ujarnya.

    Karyono menilai bahwa apabila setiap kementerian melakukan lobi agar tercipta kerja sama antara pemerintah dengan swasta akan lebih masuk akal apabila dibandingkan dengan pencitraan penggunaan uang pribadi untuk Negara.

    Menurutnya, seharusnya setiap pembantu dari Prabowo Subianti sebaiknya memberikan gagasan yang lebih rasional dan tidak memberikan wacana yang kurang masuk akal dan hanya mengedepankan gimik semata.

    Penyebabnya, langkah bias itu, kata Karyono akan berdampak pada laporan pertanggungjawaban. Menariknya akan mengubah sistem dan format pelaporan karena ada sumber pembangunan dari pembiayaan pribadi. 

    “Karena kalau pakai uang pribadi rumusnya bagaimana. Akan berdampak pada pertanggung jawabananya. Jadi, ini lebih mengejar kepada opini publik dan membangun citra pemerintah 100 hari ke depan,” pungkas Karyono.

  • Industri Otomotif Eropa Guncang, Apa Dampaknya Buat Indonesia?

    Industri Otomotif Eropa Guncang, Apa Dampaknya Buat Indonesia?

    Jakarta

    Di tengah sulitnya industri otomotif Eropa, khususnya di Jerman, Menteri Ekonomi Jerman Robert Habeck mengundang perwakilan dari industri otomotif Jerman ke “konferensi tingkat tinggi otomotif” virtual pada hari Senin (23/09).

    Habeck ingin mencari cara membantu produsen mobil yang tengah berjuang untuk bertahan hidup ini. Konferensi tingkat tinggi tersebut diadakan di tengah seruan untuk mengambil langkah lebih lanjut untuk meningkatkan permintaan mobil listrik.

    Produsen mobil Eropa hanya bisa menjual lebih sedikit produknya dari target semula. Model kendaraan listrik (EV) baru juga masih berjuang menarik minat konsumen. Penurunan penjualan bukan hanya dihadapi produsen mobil terbesar Eropa yakni Volkswagen dari Jerman, produsen mobil Prancis, Renault, dan Stellantis (grup mobil Italia yang punya 14 merek), juga mengalami kelesuan pasar serupa.

    Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

    Situasi sangat buruk khususnya dihadapi di pabrik Stellantis di Mirafiori, Italia, tempat produksi mobil listrik Fiat 500e. Produksi di sana turun lebih dari 60% pada paruh pertama tahun 2024. Sementara itu, pabrik mobil premium Audi di Belgia, yang memproduksi model mewah Q8 e-tron, berisiko ditutup.

    Masalah penjualan juga menghantui pabrik Renault di Douai, Prancis utara, dan di VW di Dresden, Jerman. Mobil listrik yang mereka produksi kesulitan menemukan pembeli.

    Tekanan terhadap produsen mobil Eropa semakin meningkat, khususnya dari Cina. Sejumlah produsen mobil Listrik dari Cina sebelumnya diberitakan juga ingin membuka pabrik di Eropa. Ini menambah saingan bagi industri Eropa.

    Diversifikasi pasar olahan nikel Indonesia terancam

    Dikutip dari Kompas pada akhir 2023, Menteri Investasi Bahlil Lahadalia menyatakan bahwa VW berencana membangun industri baterai kendaraan listrik secara terpadu di Indonesia. Hal ini rencananya akan direalisasikan lewat anak Perusahaan VW yakni PowerCo.

    Kepada DW Indonesia, Direktur Center of Economic and Law Studies, CELIOS, Bhima Yudhistira, mengatakan rencana ini berisiko gagal karena perubahan kondisi keuangan di perusahaan induknya. Ia mengatakan, apabila pabrik VW di Jerman tutup, Indonesia berisiko makin bergantung kepada Cina untuk menjual nikel olahan sebagai bahan baku baterai.

    “Pemerintah kan ingin agar ada diversifikasi pasar olahan nikel, tidak hanya dominan ke China namun bisa masuk ke negara lain termasuk ke rantai pasok industri otomotif di Eropa,” kata Bhima kepada DW Indonesia.

    Selain untuk memperbaiki harga, diversifikasi ke pasar Eropa juga penting supaya nikel Indonesia punya standarisasi lingkungan dan perlindungan pekerja yang lebih baik.

    Begitu mendengar kabar VW berisiko tutup pabrik, Bhima khawatir perusahaan smelter nikel di Indonesia kurang tertarik meningkatkan standarisasi pengelolaan nikelnya.

    Otomotif Indonesia punya peluang

    Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) menyebutkan, di tengah lemahnya ekonomi global, industri otomotif di Indonesia juga cenderung menurun.

    Pada tahun ini, penjualan mobil di Indonesia mencapai sekitar 484,000 unit, atau turun 17,5% dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu, menurut Gaikindo. Penyebabnya adalah daya beli Masyarakat yang tertekan inflasi dan ketidakpastian ekonomi global.

    Namun menariknya, penjualan whole sales mobil listrik justru melonjak pesat. Pada periode Januari-Agustus, penjualan mobil listrik dari pabrikan ke dealer di Indonesia mencapai lebih dari 23 ribu unit. Ini berarti ada kenaikan sebesar 177,32% dibandingkan periode yang sama tahun 2023. Demikian tulis Gaikindo dalam laman web mereka.

    Sejumlah produsen bahkan mengutarakan rencana untuk berinvestasi di Indonesia, Citron misalnya. Brand otomotif asal Prancis, pada Juli 2024 justru malah mengumumkan akan membangun pabrik di Purwakarta, Jawa Barat.

    “Peresmian produksi dalam negeri ini ditandai dengan penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) untuk memproduksi model Citron -C3 All Electric secara lokal yang akan dimulai pada bulan Agustus 2024,” tulis Citron Indonesia dalam laman web mereka. Total investasinya mencapai Rp381 milliar.

    Sebagian diadaptasi dari artikel DW Jerman

    (ita/ita)

  • Kenapa Impor Beras Jutaan Ton Gagal Redam Lonjakan Harga?

    Kenapa Impor Beras Jutaan Ton Gagal Redam Lonjakan Harga?

    Jakarta, CNN Indonesia

    Harga beras kian melambung di pasaran. Biasanya sekitar Rp12 ribu – Rp14 ribu per kilogram (kg), kini melonjak di atas Rp18 ribu per kg.

    Sekretaris Jenderal Ikappi Reynaldi Sarijowan mengatakan harga beras saat ini adalah tertinggi sepanjang pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

    “Ya (harga beras premium Rp18.500 per kg tertinggi di era Presiden Jokowi). Hati-hati, jika pasar tradisional stok berasnya tidak melimpah tentu akan terganggu distribusi pangan rakyat yang ada di pasar,” ujarnya kepada CNNIndonesia.com.

    Tak hanya itu, di ritel modern, beras premium pun mendadak hilang. Banyak toko yang kehabisan stok beras untuk dijual.

    Padahal, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada 2023 impor beras mencapai 3,06 juta ton. Jumlah ini meningkat 613,61 persen dibandingkan 2022.

    Dalam lima tahun terakhir ini, impor beras 2023 menjadi yang terbesar. Sebab, tahun-tahun sebelumnya, impor beras bahkan tak sampai 500 ribu ton.

    Pada 2019, impor sebesar 444,51 ribu ton, lalu pada 2020 sebesar 356,29 ribu ton dan pada 2021 sebesar 407,74 ribu ton. Lalu meningkat lagi menjadi 429,21 ribu ton pada 2022. Tahun lalu, impornya naik ugal-ugalan jadi 3,06 juta ton.

    Sayangnya, banjir impor beras jutaan ton itu tak mampu membendung laju kenaikan harga. Beras tetap dijual mahal. Lalu, ke mana larinya gelontoran beras impor yang gagal mengatasi lonjakan harga tersebut?

    Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution (ISEAI) Ronny P Sasmita mengatakan lonjakan harga beras ini mencerminkan jumlah pasokan yang tak seimbang dengan kondisi permintaan. Padahal, ini belum memasuki bulan Ramadan dan Idulfitri, yang biasa terjadi peningkatan lebih tinggi lagi.

    Ia menilai penyebab stok kosong karena beras impor digunakan untuk program bantuan sosial (bansos) beras pemerintah. Padahal semestinya bantuan tersebut menggunakan beras produksi domestik.

    “Sebagaimana diakui oleh Badan Pangan Nasional, bansos diambil dari beras impor, bukan dari pasokan domestik,” jelasnya.

    Ronny mengatakan beras impor digunakan untuk bansos pangan pemerintah karena musim tanam dan panen yang terlambat. Biasanya terjadi pada awal Februari, sekarang mundur ke Maret dan April.

    “Masalahnya pasokan domestik memang sedang bermasalah. Kita semua mengetahui itu sudah sejak akhir tahun lalu. Artinya, meskipun bansos diambil dari impor, justru itu menjadi salah satu penyebab utama mengapa harga beras menggila,” jelasnya.

    Menurutnya, beras impor yang semestinya menjadi alat untuk stabilisasi harga ke pasaran malah dipakai oleh pemerintah untuk bansos. Akibatnya, harga beras melejit.

    “Jadi pemerintah mengambil jatah untuk pasokan di pasaran untuk kebijakan bansos, sehingga membuat kondisi pasokan di pasaran menjadi semakin kritis, yang ujungnya mendorong harga naik sangat tajam,” ungkapnya.

    Kondisi ini, menurut Ronny, hanya bisa diperbaiki pemerintah dengan mempercepat datangnya sisa beras impor yang sudah disepakati tahun lalu, kemudian langsung digelontorkan ke pasar, bukan dipakai untuk bansos.

    Selain itu, hasil panen yang sudah mulai berlangsung di beberapa wilayah segara dipercepat distribusinya ke pasaran, sebelum memasuki Ramadan. Jika tidak, lonjakan harga akan tetap terjadi dan berujung pada pelemahan daya beli.

    “Pemerintah harus segera mempercepat datangnya pasokan dari impor dan saat panen raya datang di Maret nanti pemerintah harus segera mempercepat distribusinya ke pasaran dengan cara gerakan cepat Bulog dalam menyerap hasil panen raya dan menyalurkannya segera ke pasar-pasar tradisional,” sarannya.

    Ia berharap kondisi saat ini menjadi pembelajaran pemerintah ke depannya dalam mengambil kebijakan dan menyusun program. Misalnya, jika pasokan beras mulai bermasalah, maka program bansos berupa beras bisa ditunda.

    “Pasokan untuk pasaran harus diprioritaskan terlebih dulu agar harga kembali stabil. Setelah harga mulai bereaksi pada penambahan pasokan di pasaran, baru kemudian bansos mulai digulirkan lagi secara bertahap dan kondisional, di mana penyalurannya tetap harus disesuaikan dengan perkembangan informasi pasokan yang ada,” imbuhnya.

    Lanjut ke halaman berikutnya…

    Senada, Direktur Center of Economic and Law (CELIOS) Bhima Yudhistira mengungkapkan bansos beras pemerintah menjadi penyebab kelangkaan pasokan hingga berujung pada lonjakan harga.

    Selain itu, Pemilu 2024 juga menjadi penyebab terjadinya kelangkaan pasokan. Sebab, banyak beras yang diborong oleh calon wakil rakyat untuk bahan kampanye.

    “Kalau dilihat ada beberapa faktor pemicu, seperti ada bansos beras tahun ini. Beras juga digunakan sebagai salah satu alat kampanye oleh beberapa caleg, misalnya di beberapa daerah. Jadi ada serangan fajar bentuknya uang dan ada juga berupa pembagian sembako beras. Nah, jadi ada anomali dari sisi permintaan tidak biasa,” ungkap Bhima.

    Kemudian, produksi beras dalam negeri juga terganggu karena musim panen yang terlambat. Kondisi ini,kata Bhima, memicu adanya rebutan beras antara pemerintah dengan pengusaha di tingkat penggilingan.

    “Tapi ini memang lebih erat kaitannya untuk penggunaan bansos, jadi ada perebutan. Mengapa rebutan? karena dari sisi Bulog sendiri beli di penggilingan skala besar, tentu harga lebih murah. Sedangkan kalau peritel atau pedagang membeli dari perantara yang harga tentu lebih mahal,” jelasnya.

    [Gambas:Photo CNN]

    Ia menyarankan tiga solusi untuk mengatasi kondisi ini. Pertama, saat tahun politik sebaiknya bansos berupa beras ditiadakan.

    “Memang pada waktu siklus di tahun pemilu serentak maupun pemilu kepada daerah, ini tidak perlu ada program bansos dalam bentuk beras. Cukup misalnya bantuan langsung tunai (BLT), sehingga di level penggilingan padi skala besar tidak terjadi persaingan antara beras program pemerintah dan beras untuk ritel,” imbuhnya.

    Kedua, menggenjot produksi beras dalam negeri dengan pemberian insentif lebih baik kepada petani. Dengan begitu, beras impor betul-betul bisa digunakan untuk stabilisasi harga saja.

    “Dari sisi hulu, produksinya perlu terus diberikan insentif. Salah satunya pemberian subsidi pupuk yang lebih besar hingga bantuan pembiayaan untuk petani, KUR,” katanya.

    Ketiga, memperbaiki tata niaga impor beras agar lebih transparan dan terbuka. Sebab, saat ini pemerintah melakukan impor beras terkesan ‘sembunyi-sembunyi’.

    “Jadi pemerintah harus menjelaskan misalnya mengapa perlu impor beras dengan angka cukup besar,” pungkasnya.