Tag: Bhima Yudhistira

  • Bukan Barang Mewah! Sabun, Deterjen, Sampai Pakaian Kena PPN 12%

    Bukan Barang Mewah! Sabun, Deterjen, Sampai Pakaian Kena PPN 12%

    Jakarta, CNBC Indonesia – Kalangan ekonom mempertanyakan komitmen pemerintah yang tak jadi mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 12% hanya untuk barang mewah, sebab pada akhirnya tarif PPN sebesar 12% berlaku untuk semua barang dan jasa yang menjadi barang dan jasa kena pajak.

    Barang yang dikecualikan pun masih sama, yakni bahan pangan untuk sembako, jasa pendidikan dan kesehatan, hingga transportasi. Bedanya, untuk barang yang dikecualikan akan semakin sedikit karena untuk bahan pangan premium, hingga jasa pendidikan dan kesehatan premium atau mewah akan dikeluarkan dalam daftar itu.

    Selain itu, hanya tiga komoditas seperti minyak goreng curah bermerek Minyakita, tepung terigu, dan gula industri yang akan diberikan tarif PPN ditanggung pemerintah (DTP) sebesar 1%, sehingga tarifnya masih akan tetap 11% sepanjang 2025.

    Ekonom yang merupakan Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, dengan catatan itu maka PPN 12% masih berdampak luas bagi banyak barang yang dikonsumsi masyarakat termasuk peralatan elektronik dan suku cadang kendaraan bermotor.

    “Bahkan deterjen dan sabun mandi apa dikategorikan juga sebagai barang orang mampu? Narasi pemerintah semakin kontradiksi dengan keberpihakan pajak,” kata Bhima dikutip dari siaran pers, Selasa (17/12/2024).

    Sekertaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono menegaskan, memang kebijakan PPN yang dianut pemerintah berlaku umum, artinya setiap barang dan jasa yang menjadi objek pajak akan terkena PPN 12% seperti baju, spotify, netflix, hingga kosmetik. Kecuali, barang itu dikecualikan oleh pemerintah.

    “Pengelompokannya sudah kita jelaskan mana yang kena 1% tambahan, mana yang dibebaskan, mana yang DTP, sudah ktia jelaskan. Di luar itu secara regulasi terkena PPN 12%, jadi kena tambahan 1% (dari 11%),” tegas Susiwijono.

    Adapun untuk narasi PPN 12% yang akan dikenakan terhadap barang-barang mewah, sebagaimana yang disampaikan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad, Susiwijono tekankan dikenakan terhadap barang dan jasa, termasuk jasa pendidikan dan kesehatan yang selama ini premium, namun masuk tergolong yang dikecualikan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 49 Tahun 2022.

    “Arahan Pak Presiden kan barang mewah itu yang didetailkan di PMK (Peraturan Menteri Keuangan) nya baik barang dan jasanya, mewahnya seperti apa, itu yang di level teknis kita bahas sama-sama, tapi untuk barang apapun mulai netflix, spotify dan lain-lain itu pengenana dari 11 ke 12 seluruh barang dan jasa akan kena dulu, baru dari itu ada yang dikecualikan,” paparnya.

    (arj/mij)

  • Buruh Minta Pemerintah Pastikan Barang Kebutuhan Rakyat Tak Kena PPN 12 Persen – Page 3

    Buruh Minta Pemerintah Pastikan Barang Kebutuhan Rakyat Tak Kena PPN 12 Persen – Page 3

    Sebelumnya, Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati memastikan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen akan berlaku pada awal 2025. 

    Kebijakan PPN 12 persen ini merupakan bagian dari amanat yang terdapat dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) Nomor 7 Tahun 2021.

    Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira menilai, daya beli masyarakat sulit untuk diseimbangkan dengan ada kenaikan PPN menjadi 12 persen. Lantaran, kenaikan tersebut juga berlaku bagi sejumlah barang kebutuhan rumah tangga.

    “Satu-satunya jalan adalah batalkan kenaikan PPN 12 persen itu,” ujar Bhima kepada Liputan6.com di Jakarta, Selasa (17/12/2024).

    Bhima juga melihat, Pemerintah perlu mempertimbangkan untuk memperpanjang periode penyaluran stimulus dalam rangka meringankan beban masyarakat dari naiknya PPN menjadi 12 persen. 

    Salah satunya, Pemerintah merancang kebijakan Bantuan Pangan/Beras sebanyak 10 kg per bulan yang akan diberikan bagi masyarakat di desil 1 dan 2 sebanyak 16 juta Penerima Bantuan Pangan (PBP) selama dua bulan pada Januari-Februari 2025, dan pemberian diskon biaya listrik sebesar 50 persen selama dua bulan pada Januari-Februari 2025 bagi pelanggan listrik dengan daya listrik terpasang hingga 2200 VA untuk mengurangi beban pengeluaran rumah tangga.

    “Sementara dampak dari kenaikan tarif PPN 12 persen ini bisa sangat panjang,” ucap Bhima.

    Bhima memaparkan studi yang dilakukan Celios menemukan pengeluaran kelas menengah berisiko naik hingga Rp 300,000 per bulan akibat kenaikan PPN 12 persen.

    “Sedangkan untuk masyarakat miskin ada kenaikan hingga lebih dari Rp 100,000 per bulannya karena PPN naik dari 11 persen jadi 12 persen,” ujar dia.

    “Jadi antara dampak PPN 12 persen dengan stimulus ekonominya belum sebanding, maka ini akan menurunkan daya beli masyarakat lebih dalam lagi serta memicu PHK massal di berbagai sektor,” Bhima menambahkan.

     

     

  • Bhima Yudhistira: Kebijakan Pajak dan Insentif Pro Orang Kaya – Page 3

    Bhima Yudhistira: Kebijakan Pajak dan Insentif Pro Orang Kaya – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira, menyoroti paket kebijakan ekonomi pemerintah yang cenderung berorientasi jangka pendek dan tidak ada kebaruan yang berarti.

    Paket kebijakan tersebut dikeluarkan lantaran Pemerintah akan memberlakukan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen mulai 1 Januari 2025.

    “Insentif dan stimulus pemerintah hampir mengulang dari insentif yang sudah ada. PPN perumahan DTP, PPN kendaraan listrik dan PPh final UMKM 0,5% sudah ada sebelumnya. Bentuk bantuan juga bersifat temporer seperti diskon listrik dan bantuan beras 10kg yang hanya berlaku 2 bulan, sementara efek negatif naiknya tarif PPN 12% berdampak jangka panjang,” kata Bhima kepada Media, Senin (16/12/2024).

    Disisi lain, Pemerintah juga memberikan insentif PPN DTP 3% untuk kendaraan Hybrid. Menurutnya, hal ini semakin membuat kontradiksi, keberpihakan pemerintah ternyata jelas pro terhadap orang kaya karena kelas menengah justru diminta membeli mobil Hybrid di saat ekonomi melambat.

    “Harga mobil Hybrid pastinya mahal, dan ini cuma membuat konsumen mobil listrik EV yang notabene kelompok menengah atas beralih ke mobil Hybrid yang pakai BBM. Bagaimana bisa ini disebut keberpihakan pajak?” ujar Bhima.

    Menurut Bhima, PPN 12% masih berdampak luas bagi banyak barang yang dikonsumsi masyarakat termasuk peralatan elektronik dan suku cadang kendaraan bermotor.

    “Bahkan deterjen dan sabun mandi apa dikategorikan juga sebagai barang orang mampu? Narasi pemerintah semakin kontradiksi dengan keberpihakan pajak. Selain itu kenaikan PPN 12% tidak akan berkontribusi banyak terhadap penerimaan pajak, karena efek pelemahan konsumsi masyarakat, omzet pelaku usaha akan mempengaruhi penerimaan pajak lain seperti PPh badan, PPh 21, dan bea cukai” pungkas Bhima.

  • Sri Mulyani Pasang Kuda-Kuda Lawan Donald Trump – Page 3

    Sri Mulyani Pasang Kuda-Kuda Lawan Donald Trump – Page 3

    Sebelumnya, Presiden Terpilih Amerika Serikat (AS), Donald Trump mengejutkan pengusaha global dengan pengumuman rencana kenaikan tarif impor barang dari Tiongkok hingga 10%.

    Donald Trump berencana mengenakan tarif sebesar 60% untuk barang-barang Tiongkok saat berkampanye untuk menjadi presiden.

    Selain itu, Trump juga berencana memberlakukan tarif impor sebesar 25% pada Meksiko dan Kanada.

    Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira mengungkapkan ada 4 dampak dari kebijakan ekonomi AS Donald Trump terhadap produk-produk Indonesia.

    “Pertama, produk Indonesia bisa terdampak penurunan permintaan dari China terutama bahan baku industri. Misalnya nikel olahan dikirim ke China untuk dijadikan baterai EV kemudian kena tarif masuk AS, produsen baterai EV akan kurangi pembelian bahan baku dari Indonesia,” kata Bhima kepada Liputan6.com di Jakarta, Jumat (6/12/2024).

    Kedua, dalam kasus perang dagang AS-China jilid pertama saat Trump menjabat periode 2017-2021, tidak terdapat satupun relokasi pabrik dari China maupun AS ke Indonesia, Bhima menyoroti.

    “Yang mendapat untung adalah Vietnam karena daya saing, infrastruktur, konsistensi regulasi dan kedekatan geografis dengan China. Kejadian ini bisa berulang lagi kalau kita tidak siap menangkap peluang relokasi industri,” bebernya.

     

  • Anggaran Makan Bergizi Gratis Cuma Rp10.000, Ini Rekomendasi Menu Ikan dari KKP

    Anggaran Makan Bergizi Gratis Cuma Rp10.000, Ini Rekomendasi Menu Ikan dari KKP

    Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memberikan sejumlah rekomendasi produk perikanan yang bisa masuk ke dalam menu program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang bakal berjalan pada awal 2025.

    Direktur Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan (Dirjen PDSPKP) KKP Budi Sulistyo mengatakan, ikan tongkol, kembung, hingga lele bisa menjadi produk perikanan yang bisa masuk ke menu MBG.

    “KKP pasti produk perikanan. Perikanan yang ikan tangkap segar, beku, ada ikan lain, seperti tongkol, layang, kembung, lele, nila, udang pun juga bisa,” kata Budi saat ditemui di sela-sela acara Indonesia Marine & Fisheries Business Forum: Blue Food Competent Authority Dialogue, Jakarta, Selasa (10/12/2024).

    Budi mengatakan, KKP berharap ikan menjadi menu utama dalam program andalan Presiden Prabowo Subianto. Namun, ahli gizi sejatinya telah merancang menu MBG setiap tiga pekan sekali.

    Dia pun mencontohkan, untuk harga ikan layang dibanderol Rp20.000 per kilogram dengan isi 10 ekor ikan. Jika ikan ini diolah untuk menu MBG, maka setidaknya biaya masaknya sekitar Rp1.000 dengan memperhitungkan anggaran MBG seharga Rp10.000 per porsi.

    “Kalau 1 kilogram ikan Rp20.000, isi 10 [ekor] ikan, jadi per orangnya Rp2.000,” ujarnya.

    Lebih lanjut, Budi mengungkap bahwa pihaknya juga telah berkomunsikasi dengan Badan Gizi Nasional terkait produk ikan di dalam menu MBG.

    “Mereka yang menganalisa di masing-masing posisi itu. Jadi nanti memperkuat ketersediaan bahan baku lokal di sana,” jelasnya.

    Seperti diketahui, Presiden Prabowo memangkas anggaran program MBG dari semula Rp15.000 per porsi menjadi Rp10.000 per porsi. Namun, orang nomor satu di RI itu menilai anggaran MBG senilai Rp10.000 per porsi sudah masuk ke kategori cukup bermutu dan bergizi.

    “Kita ingin Rp15.000 [per hari], tetapi kondisi anggaran mungkin Rp10.000 kita hitung untuk daerah-daerah itu cukup bermutu dan bergizi,” ungkap Presiden Prabowo, dikutip dari akun YouTube resmi Sekretariat Presiden.

    Prabowo mengatakan, pemerintah telah memperkirakan jika satu keluarga dengan 3-4 orang anak, maka setiap keluarga bisa menerima rata-rata program MBG senilai Rp30.000 per hari.

    Jika dihitung selama 1 bulan, maka anggaran yang digelontorkan sudah mencapai Rp2,7 juta. Belum lagi, pemerintah juga memberikan bantuan sosial (bansos) seperti Program Keluarga Harapan (PKH).

    “Jadi kalau ini semua dengan bantuan-bantuan bansos dan perlindungan lainnya, termasuk PKH [program keluarga harapan] dan bantuan lain, saya kira upaya pemerintah untuk mengamankan semua lapisan masyarakat di antaranya kelompok buruh saya kira sudah sangat maksimal pada saat ini, tentunya kita ingin perbaiki di saat-saat mendatang,” terangnya.

    Namun, pemangkasan anggaran MBG menjadi Rp10.000 per porsi ini dinilai berisiko dan dikhawatirkan memperlebar ketimpangan nilai gizi di Indonesia.

    Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara mengkhawatirkan adanya risiko ketimpangan nilai gizi jika anggaran yang digelontorkan pemerintah untuk program MBG per porsi terlalu kecil.

    “Khawatir biaya per porsi MBG yang terlalu kecil berisiko memperlebar ketimpangan nilai gizi per sekolah,” kata Bhima kepada Bisnis, dikutip pada Senin (2/12/2024).

    Dia menilai biaya program makan bergizi gratis Rp10.000 per porsi merupakan anggaran yang terlalu kecil lantaran adanya disparitas harga kebutuhan pokok lebih mahal dari Pulau Jawa.

    Menurut Bhima, faktor inflasi di luar Jawa perlu menjadi pertimbangan bagi pemerintah. Jika melihat data inflasi per Oktober 2024, Bhima menyampaikan inflasi di Papua Tengah tercatat 4,19% secara tahunan tahunan (year-on-year/yoy) dan Sulawesi Utara 2,58% yoy.

    Bhima menerangkan angka inflasi di kedua provinsi ini jauh lebih tinggi dibandingkan inflasi nasional yang sebesar 1,71% yoy.

    “Artinya harga barang di beberapa daerah kenaikan harganya lebih tinggi,” terangnya.

    Bhima memandang pemerintah juga perlu mempertimbangkan biaya logistik sebagai penyalur program MBG, serta biaya birokrasi. Untuk itu, dia menyarankan, dengan keterbatasan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), sebaiknya pemerintah menetapkan anggaran MBG senilai Rp15.000–Rp20.000 per porsi.

    Namun, sambung Bhima, wilayah yang mendapatkan MBG dibatasi, dengan tahun pertama diprioritaskan untuk daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T). Setelah itu, pemerintah bisa memperluas cakupan daerah program makan bergizi gratis di tahun kedua. 

  • Wejangan Para Ekonom Soal Dampak Penerapan PPN 12% untuk Barang Mewah

    Wejangan Para Ekonom Soal Dampak Penerapan PPN 12% untuk Barang Mewah

    Bisnis.com, JAKARTA — Ekonom menilai penerapan PPN 12% terhadap barang mewah akan menemui sejumlah tantangan dalam implementasinya.

    Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara melihat kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12% tidak akan serta-merta mendorong penerimaan negara lebih besar. Menurutnya, PR pemerintah masih cukup banyak terkait kebijakan penjualan barang mewah.  

    Pasalnya, distorsi pemungutan pajak barang mewah banyak dipengaruhi oleh pola konsumsi masyarakat kelas atas untuk berbelanja barang mewah di luar negeri. Misalnya, orang kaya yang membeli tas bermerek bahkan apartemen mewah di luar negeri. 

    Bukan hanya itu, fenomena belanja melalui Jasa Titip alias Jastip masih marak terjadi dan sebagian tidak membayar PPN, PPnBM, maupun bea masuk. 

    “Kebocoran barang mewah masih marak di Indonesia,” ujarnya kepada Bisnis, Minggu (8/12/2024). 

    Alhasil, kegiatan Jastip tersebut tidak terekam radar fiskus dan potensi dari penerimaan negara justru hilang. 

    Bhima menjelaskan bahwa situasi ekonomi dan kebijakan tahun depan juga menjadi salah satu pertimbangan para orang kaya sebelum membeli barang mewah. Terlebih, dengan perlambatan harga komoditas ekspor, hingga banyaknya pungutan baru akan membuat konsumen barang mewah menunda pembelian. 

    Dengan demikian, ada kecenderungan tingkat saving atau simpanan di bank maupun surat berharga semakin naik. 

    Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mencatat per Juli 2024 simpanan di atas Rp5 miliar mengalami pertumbuhan 10,4% year on year/YoY.  

    “Daripada beli barang mewah kan lebih baik ditempatkan di deposito atau beli SBN,” lanjut Bhima. 

    ‘Kekhawatiran’ masyarakat kelas atas juga semakin memuncak, ketika pemerintah mendorong untuk melakukan pengungkapan harta sukarela atau tax amnesty Jilid III. 

    Di mana pemerintah memberikan ruang ‘pengampunan’ bagi orang-orang kaya yang memarkirkan harta seperti rumah kendaraan mewah yang berada di dalam maupun luar negeri—yang belum tercatat—agar tercatat dan membayar pajak. 

    “Usulan Tax Amnesty jilid III juga memicu perubahan perilaku orang kaya yang khawatir ada pengungkapan harta berupa barang mewah, ditambah harus menyisihkan uang untuk bayar tebusan. Itu kontradiksi dengan efek PPN 12% terhadap penerimaan pajak di 2025,” jelasnya. 

    Penundaan daya beli dari kalangan atas tersebut pun tercermin dari pemerintah yang memasang target lebih rendah terhadap Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) 2025 ke level Rp16,61 triliun dari Rp27,26 triliun (APBN 2024). 

    Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Mohammad Faisal pun mengingatkan meski objek pajak PPN 12% merupakan barang mewah, tidak menutup adanya efek psikologis terhadap barang bukan mewah. 

    “Perlu diantisipasi efek psikologis yang bisa mengerek kenaikan harga barang yang di luar barang mewah. Ini belum diukur secara lebih pasti, tetapi mungkin itu ada,” tuturnya, Minggu (8/12/2024). 

    Sekalipun PPN 12% barang mewah diterapkan, Faisal mendorong agar pemerintah melakukan evaluasi efektivitasnya dalam mengerek penerimaan negara di tengah belanja jumbo pemerintah baru. 

  • Ekonom nilai kebijakan selektif PPN berpotensi timbulkan kebingungan

    Ekonom nilai kebijakan selektif PPN berpotensi timbulkan kebingungan

    Pengunjung melihat produk sepatu di mal Grand Indonesia, Kamis (29/8/2024). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/aww.

    Ekonom nilai kebijakan selektif PPN berpotensi timbulkan kebingungan
    Dalam Negeri   
    Editor: Novelia Tri Ananda   
    Jumat, 06 Desember 2024 – 11:39 WIB

    Elshinta.com – Direktur Eksekutif Center for Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai rencana pengenaan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) secara selektif berpotensi menimbulkan kebingungan. Berdasarkan pembahasan pemerintah dengan DPR pada Kamis (5/12/2024) kemarin, kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen bakal tetap diterapkan pada 1 Januari 2025.

    Namun, pengenaannya bersifat selektif kepada komoditas tertentu, yang diutamakan menyasar kelompok barang mewah. Sementara untuk barang dan jasa umum akan tetap menggunakan tarif 11 persen. Menurut Bhima, saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Jumat, Indonesia belum pernah menerapkan pengenaan multitarif terhadap PPN.

    “Indonesia mengenal PPN satu tarif, yang berarti perbedaan PPN 12 persen untuk barang mewah dan PPN 11 persen untuk barang lainnya merupakan yang pertama kali dalam sejarah,” kata Bhima.

    Maka, pengenaan multitarif ini berpotensi menimbulkan kebingungan banyak pihak, terutama bagi pelaku usaha dan konsumen. Seperti misalnya bila satu toko ritel menjual objek pajak yang terkena tarif PPN dan pajak penjualan barang mewah (PPnBM), maka penjual perlu menghitung tarif yang berbeda terhadap barang-barang yang dijual.

    Ketika mengurus administrasi perpajakan pun, kemungkinannya, faktur pajak akan menjadi lebih kompleks.

    “Hanya karena sudah injury time jelang pelaksanaan PPN 12 persen per Januari 2025, maka aturan dibuat mengambang. Seharusnya, kalau mau memperhatikan daya beli masyarakat, terbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk menghapus Pasal 7 di UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) soal PPN 12 persen. Itu solusi paling baik,” ujar dia.

    Dalam konferensi pers di Kantor Presiden, Jakarta, Kamis (5/12/2024) kemarin, Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad mengatakan usulan penghitungan PPN agar tidak diterapkan dalam satu tarif itu diusulkan oleh DPR agar nantinya barang-barang seperti kebutuhan pokok dikenakan pajak lebih sedikit daripada yang saat ini ditetapkan.

    Dia merinci hasil pertemuan DPR dengan pemerintah memutuskan kebutuhan pokok dan pelayanan publik seperti jasa kesehatan, jasa perbankan dan jasa pendidikan dipastikan tidak diberikan pajak 12 persen dan dikenakan pajak yang saat ini sudah berjalan yaitu 11 persen.

    Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto pun menegaskan pemerintah tidak akan mengenakan PPN sama sekali untuk komoditas bahan pokok dan penting seperti fasilitas transportasi publik, fasilitas pendidikan, dan fasilitas kesehatan.

    Ketentuan barang yang bebas PPN itu tercantum juga dalam Peraturan Pemerintah (PP) nomor 49 tahun 2022 tentang PPN Dibebaskan dan PPN atau PPN dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Tidak Dipungut atas Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu dan/atau Penyerahan Jasa Kena Pajak Tertentu dan/atau Pemanfaatan Jasa Kena Pajak Tertentu dari Luar Daerah Pabean.

    Menurut Airlangga, pemerintah tengah menyiapkan paket kebijakan ekonomi yang di dalamnya membahas soal PPN dan ditargetkan bisa rampung dalam waktu satu pekan ke depan.

    Sumber : Antara

  • Ekonom: Pembentukan Satgas jadi Sinyal Hilirisasi Belum Optimal

    Ekonom: Pembentukan Satgas jadi Sinyal Hilirisasi Belum Optimal

    Bisnis.com, JAKARTA – Ekonom menilai wacana pembentukan Satuan Tugas (Satgas) Hilirisasi merupakan sinyal bahwa program penciptaan nilai tambah dalam negeri itu belum maksimal.

    Adapun, rencana pembentukan Satgas Hilirisasi disampaikan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia. Bahlil mengatakan, Satgas Hilirisasi dibentuk demi merespons berbagai keluhan dan keinginan dari para dunia usaha. Satgas ini akan diketuai oleh Bahlil selaku menteri ESDM. 

    Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara menilai pemerintah telah mengaku bahwa produk hilirisasi juga belum optimal. Hal ini salah satunya terlihat dari produk hilirisasi nikel yang masih didominasi oleh feronikel dan nickel pig iron (NPI).

    Sementara itu, hilirisasi nikel sampai menjadi baterai kendaraan listrik di dalam negeri belum maksimal. Bahkan, kata Bhima, menarik investasi di sektor pengolahan nikel sampai menjadi baterai atau kendaran listrik cukup berat.

    “Jadi Satgas Hilirisasi merupakan respons terhadap upaya hilirisasi yang memang belum maksimal,” ucap Bhima kepada Bisnis, Kamis (5/12/2024).

    Selain itu, sinyal hilirisasi belum maksimal juga terlihat dari proyek bauksit di Kalimantan yang mangkrak. Menurut Bhima, hal ini juga menunjukan bahwa hilirisasi tambang memiliki pekerjaan rumah atau PR dari sisi investasi.

    Lebih lanjut, Bhiman berpendapat Satgas Hilirisasi bakal bekerja keras mendorong hilirisasi di semua sektor, tak hanya mineral. Dia mengatakan, sejumlah sektor yang potensial seperti pertanian, perikanan, hingga kelautan.

    Bhima menyebut hilirisasi perlu ditingkatkan pada sektor yang berdampak pada ketahanan pangan dan energi.

    “Itu harapannya bisa jadi tugas Pak Bahlil ke depan gimana caranya produk hilirisasi ini semakin terdiversifikasi, tak terbatas tambang,” jelas Bhima.

    Selain itu, Bhima juga berpendapat Satgas Hilirisasi perlu mengevaluasi insentif-insentif fiskal seperti tax holiday hingga tax allowance yang diberikan untuk mendukung hilirisasi. Pasalnya, insentif fiskal tersebut dinilai belum terlalu efektif dalam menciptakan investasi yang punya nilai tambah.

    Di sisi lain, Bhima menyebut investasi smelter lebih banyak berupa smelter dengan teknologi rotary klin electric furnace (RKEF) yang memproduksi bahan baku baja tahan karat atau stainless steel. Sementara itu, untuk smelter high pressure acid leach (HPAL) yang memproduksi bahan baku baterai masih minim.

    “Jadi nggak imbang, jadi banyak smelter yang dapat insentif fiskal tapi produk-produknya tak banyak membantu untuk proses transisi energi,” kata Bhima.

    Sementara itu, Kepala Center of Industry Trade and Investment di Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Andry Satrio Nugroho menilai pembentukan Satgas Hilirisasi karena persoalan hilirisasi tak terbatas di satu kementerian saja.

    Namun, dia mempertanyakan apa alasan menunjuk Bahlil sebagai ketua. Sebab, saat ini sudah ada Kementerian Investasi dan Hilirisasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).

    Oleh karena itu, Andry mempertanyakan mengapa ketua Satgas Investasi tak berasal dari kementerian tersebut.

    “Itu [ketua satgas] seharusnya ada di kementerian tersebut gitu ya, jadi untuk apa kemarin kita menambahkan atau memperkuat kata-kata hilirisasi di kementerian tersebut, tapi Satgas yang dibentuk itu bukan berasal dari Kementerian Investasi dan Hilirisasi,” ucap Andry.

    Andry pun mengatakan dalam memandang hilirisasi juga perlu dilihat dari konteks investasi. Dia menilai saat ini program hilirisasi belum terlalu menarik minat investor. Pasalnya, investor mengingatkan jaminan akses pasar baik domestik maupun ekspor tatkala berinvestasi. Sementara itu, di sisi domestik, terkait dengan produk-produk impor yang saat ini cukup besar masuk ke RI.

    Menurut Andry, hal itu juga memberikan disinsentif bagi produk yang akan RI hilirisasi. Oleh karena itu, dia menilai selama belum ada penguatan pasar domestik, investor pasti akan sulit atau mungkin tidak tertarik.

    Adapun, wewenang terkait penguatan pasar domestik berada di Kementerian Perdagangan. Kementerian tersebut perlu mengeluarkan kebijakan larangan terbatas alias lartas, antidumping, dan juga safeguard.

    Di sisi lain, Andry melihat sinkronisasi antara kementerian untuk menggenjot hilirisasi itu masih minim.

    “Harusnya memang ada di Kemenko Ekonomi untuk mengkoordinasikan semua ini. Cuma saya melihat ternyata Kemenko juga absen dalam mengkoordinasikan antara satu kementerian dengan kementerian yang lain, maka usulan terkait dengan Satgas Hilirisasi tersebut menjadi jalan tengah,” jelas Andry.

  • Prabowo Cukur Bujet Makan Bergizi Gratis, Ekonom Paparkan Risikonya

    Prabowo Cukur Bujet Makan Bergizi Gratis, Ekonom Paparkan Risikonya

    Bisnis.com, JAKARTA — Pemangkasan anggaran dari program Makan Bergizi Gratis(MBG) menjadi Rp10.000 per porsi, dari semula  Rp15.000 per porsi, dinilai berisiko memperlebar ketimpangan nilai gizi di Indonesia.

    Presiden Prabowo Subianto disarankan untuk mempertimbangkan kembali anggaran yang ditetapkan dalam program MBG yang bakal bergulir pada awal 2025.

    Bukan hanya itu, pemangkasan anggaran MBG menjadi Rp10.000 per porsi juga disebut akan berdampak pada kualitas makanan dan pilihan menu yang disajikan.

    Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara mengkhawatirkan adanya risiko ketimpangan nilai gizi jika anggaran yang digelontorkan pemerintah untuk program MBG per porsi terlalu kecil.

    “Khawatir biaya per porsi MBG yang terlalu kecil berisiko memperlebar ketimpangan nilai gizi per sekolah,” kata Bhima kepada Bisnis, dikutip pada Senin (2/12/2024).

    Bhima menilai biaya program makan bergizi gratis Rp10.000 per porsi merupakan anggaran yang terlalu kecil lantaran adanya disparitas harga kebutuhan pokok lebih mahal dari Pulau Jawa.

    Pasalnya, menurut Bhima, faktor inflasi di luar Jawa perlu menjadi pertimbangan bagi pemerintah. Jika melihat data inflasi per Oktober 2024, Bhima menyampaikan bahwa inflasi di Papua Tengah tercatat 4,19% secara tahunan tahunan (year-on-year/yoy) dan Sulawesi Utara 2,58% yoy.

    Bhima menerangkan angka inflasi di kedua provinsi ini jauh lebih tinggi dibandingkan inflasi nasional yang sebesar 1,71% secara tahunan (yoy).

    “Artinya harga barang di beberapa daerah kenaikan harganya lebih tinggi,” terangnya.

    Di samping itu, lanjut dia, pemerintah juga perlu mempertimbangkan biaya logistik sebagai penyalur program MBG ini. “Belum ditambah biaya birokrasi, pengawasan yang harus dimasukan dalam bujet juga,” tuturnya.

    Maka dari itu, Bhima menyarankan, dengan keterbatasan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), sebaiknya pemerintah menetapkan anggaran MBG senilai Rp15.000–Rp20.000 per porsi.

    Namun, wilayah yang mendapatkan MBG dibatasi, dengan tahun pertama diprioritaskan untuk daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T). Setelah itu, pemerintah memperluas cakupan daerah program makan bergizi gratis di tahun kedua.

    Setali tiga uang, Direktur Eksekutif Core Indonesia Mohammad Faisal memandang pemotongan anggaran menjadi Rp10.000 per porsi akan sangat berdampak pada kualitas makanan dan pilihan menu yang disajikan.

    Menurutnya, dengan anggaran Rp12.000 per porsi yang diterima merchant di Pulau Jawa sebetulnya juga minim. Jika diperinci secara komponen, harga susu Rp2.300 dan harga nasi, sayur, lauk, serta buah sekitar Rp9.700.

    “Jika dananya dipotong menjadi Rp10.000 dengan menu yang sama, maka bujet untuk nasi, lauk, sayur, dan buah hanya Rp7.700 saja,” tutur Faisal kepada Bisnis.

    Selain itu, lanjut dia, permasalahan lain adalah kesesuaian menu dengan selera anak-anak. Dia mengkhawatirkan banyak anak-anak yang akan menyisakan makanan sehingga ini bisa menambah masalah baru, yakni food waste yang bertambah.

    “Intinya adalah, dengan bujet yang sudah ada saja Rp12.000 per porsi merchant kesulitan untuk dapat menyesuaikan dengan menu yang disukai anak-anak, apalagi jika dilakukan pemotongan bujet,” ungkapnya.

    Lebih lanjut, Faisal juga menilai banyak merchant di daerah yang tidak terlalu memperhitungkan harga tenaga kerja. Alhasil, dengan semakin minimnya anggaran, maka semakin minimnya margin yang diterima merchant jika tetap mempertahankan kualitas, atau merchant akan tetap mendapatkan keuntungan sewajarnya namun dengan kualitas gizi menu makanan yang akan turun.

    Presiden Prabowo belum lama ini mengungkap anggaran untuk program MBG dipangkas menjadi Rp10.000 per porsi dari sebelumnya Rp15.000.

    Kendati demikian, orang nomor satu di RI itu menilai anggaran MBG senilai Rp10.000 per porsi sudah masuk ke kategori cukup bermutu dan bergizi.

    “Kita ingin Rp15.000 [per hari], tetapi kondisi anggaran mungkin Rp10.000 kita hitung untuk daerah-daerah itu cukup bermutu dan bergizi,” ujar Presiden Prabowo, dikutip dari akun YouTube resmi Sekretariat Presiden.

    Pemerintah pun sudah memperkirakan jika satu keluarga dengan 3-4 orang anak, maka setiap keluarga bisa menerima rata-rata program MBG senilai Rp30.000 per hari. Adapun jika dihitung selama satu bulan, maka anggaran yang digelontorkan sudah mencapai Rp2,7 juta.

    Belum lagi, pemerintah juga memberikan bantuan sosial (bansos) seperti Program Keluarga Harapan (PKH).

    “Jadi kalau ini semua dengan bantuan-bantuan bansos dan perlindungan lainnya, termasuk PKH [program keluarga harapan] dan bantuan lain, saya kira upaya pemerintah untuk mengamankan semua lapisan masyarakat di antaranya kelompok buruh saya kira sudah sangat maksimal pada saat ini, tentunya kita ingin perbaiki di saat-saat mendatang,” pungkasnya,

  • Butuh Dukungan, PPh Final UMKM Diminta Diperpanjang

    Butuh Dukungan, PPh Final UMKM Diminta Diperpanjang

    Jakarta: Pemerintah diminta memperpanjang fasilitas tarif Pajak Penghasilan (PPh) Final sebesar 0,5 persen bagi pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Pasalnya dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2018, kebijakan tarif pajak 0,5 persen untuk omzet di bawah Rp4,8 miliar berlaku hingga akhir 2024.
     
    Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan, insentif bagi UMKM ini mestinya diperpanjang. Tak hanya itu, Bhima bahkan mengusulkan agar pemerintah memberikan tarif yang lebih rendah sebagai stimulus kepada para pelaku UMKM agar bisnisnya tetap bisa berjalan.
     
    “Jadi bukan hanya PPh 0,5 persen harus dicegah sehingga tidak naik tahun depan, tapi disarankan PPh UMKM itu diturunkan menjadi 0,1 sampai 0,2 persen dari omzet,” kata dia kepada media, Senin, 25 November 2024.
     
    Ia mengungkapkan, pertimbangan berikutnya adalah UMKM membutuhkan stimulus fiskal yang jauh lebih besar karena UMKM akan terkena dampak secara langsung dari kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen mulai tahun depan. Selain itu, pertumbuhan kredit UMKM juga tengah melambat.
     
    “Jadi perlu dukungan stimulus perpajakannya berpihak kepada UMKM. Yang terpenting UMKM ini patuh dalam membayar pajak, jadi semakin rendah tarifnya dia semakin patuh membayar pajak. Kepatuhan dari sisi UMKM ini akan mendongkrak penerimaan pajak dibandingkan tarifnya dinaikan,” ujarnya.
     
    Sebagai motor penggerak perekonomian, Bhima menambahkan, UMKM harus benar-benar mendapatkan perlindungan dari pemerintah. Apalagi dengan serapan 117 juta tenaga kerja atau 97 persen di sektor ini, ia berharap, insentif yang lebih rendah akan memberi kepastian bagi UMKM.
     
    “Bukan hanya mencegah PPh UMKM dinaikan di 2025 tapi juga memastikan tarifnya lebih rendah lagi, sehingga serapan tenaga kerja di UMKM bisa  meningkat untuk mengompensasi terjadinya PHK di sektor industri padat karya,” kata dia.
     
    Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Eko Listiyanto juga mengatakan, sebaiknya insentif ini diperpanjang mengingat UMKM masih memerlukan dukungan fiskal, khususnya UMKM di sektor-sektor yang belum pulih dari pandemi. Jika dicabut, maka beban UMKM akan bertambah dan semakin sulit bersaing dengan non-UMKM.
     
    “Insentif ini lebih ke UMKM, kalau ke pembeli/konsumennya ya sebaiknya PPN tidak perlu dinaikkan dulu, tunda sampai ekonomi membaik, tumbuh di sekitar enam persen” tambah Eko.
     

    Sebelumnya, Kementerian UMKM berencana mengusulkan perpanjangan tarif pajak penghasilan (PPh) 0,5 persen untuk pelaku usaha mikro kecil dan menengah. Kebijakan perpanjangan PPh 0,5 persen dianggap penting bagi UMKM dengan omzet di bawah Rp4,8 miliar supaya tetap mendapatkan insentif pajak yang meringankan beban usaha.
     
    Menteri UMKM Maman Abdurrahman menyampaikan bahwa pihaknya sedang berdiskusi dengan Kementerian Keuangan yang dipimpin oleh Sri Mulyani untuk memperpanjang insentif pajak ini. Saat ini, aturan tersebut masih berlaku hingga akhir 2024 sesuai dengan PP Nomor 23 Tahun 2018.
     
    Adapun setelah masa tarif PPh Final berakhir, pelaku usaha dengan omzet hingga Rp4,8 miliar dapat menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN). UMKM dengan omzet di atas Rp4,8 miliar atau yang memilih tidak menggunakan NPPN akan dikenakan pajak berdasarkan tarif progresif dengan rincian:

    5% untuk penghasilan kena pajak hingga Rp60 juta,
    15% untuk Rp60 juta–Rp250 juta,
    25% untuk Rp250 juta–Rp500 juta,
    30% untuk Rp500 juta–Rp1 miliar,
    35% untuk lebih dari Rp1 miliar.

     
    Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
    dan follow Channel WhatsApp Medcom.id

    (END)