Tag: Bhima Yudhistira

  • Sambut rencana investasi Apple, ekonom sarankan perkuat empat hal

    Sambut rencana investasi Apple, ekonom sarankan perkuat empat hal

    Arsip foto- Ekonom sekaligus Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyampaikan keterangan kepada awak media di Jakarta, Selasa (18/7/2023). ANTARA/Aji Cakti

    Sambut rencana investasi Apple, ekonom sarankan perkuat empat hal
    Dalam Negeri   
    Editor: Calista Aziza   
    Senin, 06 Januari 2025 – 13:50 WIB

    Elshinta.com – Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyarankan pemerintah untuk memperkuat empat hal, yakni soal regulasi impor, kepastian penyediaan energi, penguatan sumber daya manusia, serta infrastruktur pendukung menjelang negosiasi dengan Apple yang diselenggarakan pada 7–8 Januari.

    Bhima dihubungi di Jakarta, Senin menjelaskan untuk kepastian regulasi impor perlu dilakukan mengingat perusahaan teknologi besar seperti Apple sangat membutuhkan kepastian hukum yang kondusif.

    “Pemerintah dalam lima bulan mengganti regulasi impor sebanyak tiga kali, terakhir Permendag 8/2024, sehingga menciptakan ketidakpastian hukum bagi pelaku usaha. Diharapkan regulasi soal kepastian impor beserta pengawasannya harus lebih clear,” katanya.

    Selanjutnya, Bhima mengatakan perusahaan sekelas Apple harus berkomitmen untuk melakukan proses produksi yang rendah karbon, sebelum menentukan lokasi pabrik.

    Oleh karena itu dalam proses negosiasi, diharapkan pemerintah melibatkan PLN untuk membantu menyediakan energi terbarukan di kawasan industri.

    Lebih lanjut ia mengatakan, untuk memperkuat sumber daya manusia dalam menyambut investasi Apple, pemerintah perlu melakukan penyelarasan materi pelatihan kerja di sekolah-sekolah vokasi yang ada.

    Sedangkan memperkuat infrastruktur pendukung bisa dilakukan melalui koordinasi kuat antara pemerintah pusat dan daerah untuk melakukan revitalisasi di kawasan industri.

    “Infrastruktur pendukung di kawasan industri belum sepenuhnya memadai. Biaya logistik juga mahal. Di sini tugas pemerintah pusat untuk bekerja sama dengan pemda bisa lebih dioptimalkan terutama revitalisasi fasilitas di kawasan industri existing,” katanya.

    Sebelumnya, Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan proses negosiasi dengan Apple tidak mudah, mengingat perusahaan besar tersebut akan mengedepankan keuntungan besar yang diperoleh dari Indonesia.

    “Negosiasi tidak akan mudah. Apple akan menempatkan kepentingan atau interest mereka, yang kita bisa baca adalah untungnya berapa, cuannya berapa,” kata Menperin, di Jakarta, Jumat (3/1).

    Meski demikian, Menperin memastikan pemerintah tetap teguh memegang prinsip untuk kepentingan nasional dalam proses negosiasi.

    “Sementara kami, pemerintah, juga punya prinsip-prinsip yang harus kita pegang, yang tidak mungkin kita kesampingkan,” katanya pula.

    Adapun prinsip tersebut terdiri dari empat poin teknokratis yang sudah dikaji pihaknya, yakni perbandingan investasi Apple di negara lain, investasi produsen handphone, komputer genggam, dan tablet (HKT) selain Apple di Indonesia, nilai tambah dan pendapatan bagi Indonesia, serta penyerapan tenaga kerja dalam ekosistem.

    Sumber : Antara

  • Celios sebut enam sektor perindustrian tumbuh pesat pada 2025

    Celios sebut enam sektor perindustrian tumbuh pesat pada 2025

    Jakarta (ANTARA) – Center of Economic and Law Studies (Celios) menyatakan setidaknya ada enam sektor perindustrian di Indonesia yang berpotensi tumbuh dengan pesat pada 2025.

    Sektor tersebut adalah industri berteknologi tinggi untuk komponen energi terbarukan; semikonduktor; tekstil; suku cadang kendaraan bermotor; besi-baja; serta hilirisasi di sektor perikanan dan pertanian.

    Direktur Celios Bhima Yudhistira Adhinegara saat dihubungi di Jakarta, Kamis, menjelaskan untuk industri berteknologi tinggi yang diperuntukkan sebagai komponen energi terbarukan, berpotensi melejit mengingat adanya komitmen dari Presiden Prabowo untuk membangun elektrifikasi bersih berdaya 75 gigawatt (GW) hingga 2040.

    “Peluang industri berteknologi tinggi misalnya untuk baterai penyimpanan energi (energy saving storage), serta komponen panel surya, pembangkit angin, dan air,” kata dia.

    Ia mengatakan semakin cepat pemerintah menargetkan untuk memiliki elektrifikasi bersih, maka hal tersebut mesti sebanding dengan kesiapan rantai pasok industri dalam negeri, sehingga hal ini turut berpotensi menciptakan investasi di berbagai industri turunan baru.

    Bhima mengatakan, untuk industri semikonduktor, tekstil pakaian jadi, suku cadang kendaraan bermotor, dan industri besi-baja berpotensi meningkat karena adanya perang dagang antara Amerika Serikat dan China.

    Menurut dia, persaingan bisnis kedua negara adidaya itu bisa dimanfaatkan oleh Indonesia untuk menarik investasi dari produsen yang menghindari kenaikan tarif.

    “Pabrik yang menghindari kenaikan tarif biasanya mendekati asal bahan baku atau mendekati ke pasar potensial. Indonesia memenuhi kriteria dua-duanya, kaya bahan baku sekaligus pasar yang potensial,” katanya.

    Sementara, hilirisasi produk perikanan dan pertanian berpotensi besar menjadi motor ekonomi di 2025, karena adanya isu pangan baik untuk pemenuhan program makan bergizi gratis (MBG), serta tingginya kebutuhan domestik dan ekspor.

    Pewarta: Ahmad Muzdaffar Fauzan
    Editor: Kelik Dewanto
    Copyright © ANTARA 2025

  • Ekonom Bhima Yudistira Sebut Kenaikan PPN akan Berdampak Signifikan bagi Masyarakat

    Ekonom Bhima Yudistira Sebut Kenaikan PPN akan Berdampak Signifikan bagi Masyarakat

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Kebijakan kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 12 persen yang mulai berlaku 1 Januari 2025, dipastikan akan berdampak pada UMKM. Sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto menegaskan bahwa kenaikan PPN sebesar 12 persen hanya berlaku pada barang dan jasa mewah.

    Direktur Eksekutif Celios, Bhima Yudhistira menilai kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025 akan berdampak signifikan bagi masyarakat.

    Sebab, Bhima menyebut kebijakan ini datang saat ekonomi masyarakat tengah melemah dengan ditandai pertumbuhan konsumsi rumah tangga hanya 4,91 persen (y-o-y) pada Q3 2024 dan turun -0,48 persen (q-to-q), deflasi terjadi selama lima bulan berturut-turut (Mei-September 2024) dan omzet UMKM anjlok hingga 60 persen.

    Dia menilai dampak kebijakan PPN 12 persen bakal sangat dirasakan ke depannya bagi UMKM.

    Yang harus dilakukan pemerintah sebenarnya ya mulai dari membatalkan PPN 12 persen, bahkan PPN kalau bisa diturunkan karena PPN ini sifatnya regresif,” kata Bhima, Selasa (31/12).

    Lebih lanjut Bhima mengungkapkan UMKM adalah sektor informal yang selama ini mungkin kontribusi dalam penyerahan faktur PPN tidak sebesar sektor formal.

    Namun, bila dilihat secara mendalam bahan baku seperti beras, tepung gandum atau terigu, kemudian minyak goreng secara tidak langsung akan terdampak oleh kebijakan PPN 12 persen.

    “Contohnya, misalnya beras itu dimulai dari pupuknya untuk yang non-subsidi itu kena PPN 12 persen, traktor kemudian dari segi pembibitan untuk transportasinya, kendaraan itu dikenakan PPN 12 persen, BBM juga dikenakan PPN. Artinya, ini akan berdampak juga terhadap seluruh harga yang dibentuk,” ucapnya.

  • Refleksi kebijakan fiskal di tahun transisi

    Refleksi kebijakan fiskal di tahun transisi

    Jakarta (ANTARA) – Tahun 2024 menjadi tahun yang cukup menantang untuk kebijakan fiskal. Tak hanya ‘ketidakpastian global’–yang kerap menjadi jargon pembuka di banyak pemaparan isu ekonomi – tetapi juga transisi pemerintahan.

    Peralihan struktur dalam tubuh pemerintahan tak dimungkiri menimbulkan banyak penyesuaian dalam manajemen fiskal.

    Triwulan tahun pertama, pengelolaan anggaran disibukkan dengan pesta demokrasi yang digelar serentak. Tentu dengan dana yang besar, namun juga dengan dampak yang besar.

    Dua triwulan berikutnya, pengelolaan fiskal setidaknya bisa lebih berfokus pada program-program tahun berjalan, sembari menunggu hasil pemilu.

    Triwulan akhir, banyak ‘gebrakan’ dalam domain pengelolaan fiskal, mulai dari beralihnya posisi Kementerian Keuangan menjadi di bawah komando langsung presiden, utak-atik anggaran untuk mengakomodasi kementerian/lembaga baru, hingga polemik kebijakan pajak yang masih belum surut per hari terakhir tahun ini.

    Kaleidoskop APBN 2024

    Sebagai catatan, kinerja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun anggaran 2024 secara umum menunjukkan tren penerimaan yang melambat namun dengan defisit yang terkendali.

    Pada Januari, APBN mencatatkan surplus Rp31,3 triliun, ditopang oleh pendapatan negara Rp215,5 triliun dan belanja Rp184,2 triliun. Surplus mulai tergerus sejak Februari karena lonjakan belanja yang tumbuh 18 persen (year-on-year/yoy) akibat persiapan Pemilu, sementara penerimaan negara mengalami kontraksi.

    Pada Maret, surplus menyusut menjadi Rp8,07 triliun dengan pendapatan Rp620,01 triliun (-4,1 persen yoy) dan belanja Rp611,9 triliun (+18 persen yoy). Tren surplus kembali naik pada April mencapai Rp75,7 triliun, tetapi tidak bertahan lama karena pada Mei terjadi defisit pertama senilai Rp21,76 triliun, seiring pendapatan yang turun 7,1 persen (yoy).

    Defisit APBN terus melebar pada semester kedua 2024 akibat tekanan dari belanja negara yang terus melonjak. Hingga Agustus, defisit mencapai Rp153,7 triliun, dengan realisasi belanja Rp1.930,7 triliun (+12,2 persen yoy) dan pendapatan Rp1.777 triliun (-4,3 persen yoy).

    Sementara catatan terakhir, yakni per akhir November, defisit menyentuh Rp401,8 triliun atau setara 1,81 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Pendapatan mulai rebound mencapai Rp2.492,7 triliun (+1,3 persen), sementara belanja Rp2.894,5 triliun (+15,3 persen).

    Defisit November masih jauh di bawah target yang ditetapkan Pemerintah pada APBN 2024, yakni sebesar Rp522,8 triliun atau 2,29 persen.

    Retrospeksi kampanye penerimaan negara

    Per Agustus 2024, APBN telah menyalurkan Rp30,5 triliun untuk belanja pemilu. Investasi negara pada pemilihan presiden dan legislatif penting mengingat dampak jangka pendek terhadap perputaran ekonomi maupun dampak menengah-panjang terhadap arah kebijakan perekonomian negara ke depan.

    Dalam konteks fiskal, salah satu aspek penting yang perlu menjadi perhatian adalah penerimaan negara. Rasio pajak di Indonesia terbilang rendah di kisaran 10 persen, dibandingkan dengan rata-rata negara lain sebesar 15 persen.

    Sedikit kilas balik, ketiga pasangan calon presiden dan wakil presiden menawarkan target peningkatan rasio pajak dan rencana kebijakan fiskal yang beragam.

    Paslon Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar, misalnya, menargetkan rasio pajak 13-16 persen yang diperoleh dari penyerapan dari pajak karbon, pajak 100 orang terkaya, hingga evaluasi insentif pajak.

    Paslon Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, yang kini menduduki tahta istana, membidik angka yang cukup ambisius, yakni rasio pajak sebesar 23 persen. Strategi yang diusung termasuk di antaranya pajak usaha kecil menengah (UKM), cukai minuman, hingga menghapus pajak pertambahan nilai (PPN) pada industri buku.

    Sementara Ganjar Pranowo dan Mahfud Md membidik angka 14-16 persen melalui pungutan pajak karbon, platform digital, warisan, hingga perluasan dan peningkatan pajak barang mewah.

    Fiskal di awal pemerintahan baru

    Pergantian pemerintahan mendorong fiskal negara untuk beradaptasi dengan sistem baru. Salah satu perubahan yang paling signifikan adalah bertambahnya jumlah kementerian/lembaga.

    Total, ada 109 pejabat dalam kabinet Presiden Prabowo (48 menteri, 55 wakil menteri, dan lima pejabat setingkat menteri), jauh lebih tinggi dari rata-rata kabinet sebelumnya yang berkisar 33-39 orang. Artinya, akan ada lonjakan belanja pemerintah.

    Untuk anggaran 2024, Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Isa Rachmatarwata menyatakan tidak ada beban tambahan baru akibat penambahan K/L. Sementara untuk anggaran 2025 masih dalam tahap kajian.

    Selain itu, pemerintahan baru juga memiliki sejumlah program prioritas yang membutuhkan anggaran besar, Makan Bergizi Gratis (MBG) contohnya.

    Pemerintah juga perlu membayar utang jatuh tempo senilai Rp1.353,2 triliun pada tahun depan, yang terdiri dari Rp800,3 triliun pokok utang dan Rp552,9 triliun bunga utang.

    Mengingat berbagai kebutuhan itu, maka meningkatkan pendapatan negara dan mengelola fiskal dengan lebih efisien menjadi krusial.

    Soal strategi mendongkrak penerimaan, pajak menjadi isu yang cukup sensitif. Problem yang paling utama adalah kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen.

    Hingga hari ini, penolakan terhadap kebijakan itu masih terus disuarakan, karena dianggap menambah beban masyarakat di tengah daya beli yang melemah dan risiko pemutusan hubungan kerja (PHK) tinggi.

    Pemerintah merespons dengan paket stimulus, contohnya bantuan beras, diskon listrik, PPN DTP untuk merespons daya beli dan penguatan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) untuk memitigasi PHK.

    Pengusaha dan industri yang juga bakal terdampak turut diberikan insentif, termasuk perpanjangan insentif PPh final 0,5 persen untuk UMKM dan dukungan subsidi PPh hingga bunga untuk industri padat karya.

    Akan tetapi, manfaat stimulus itu dinilai bersifat temporer. Sedangkan pemerintah sebetulnya memiliki alternatif lain untuk meningkatkan penerimaan. Misalnya, sebagaimana yang diusulkan oleh Direktur Celios Bhima Yudhistira, ada opsi perluasan basis pajak, penerapan pajak kekayaan, dan memberantas celah penghindaran pajak yang dinilai lebih efektif untuk meningkatkan penerimaan negara tanpa perlu membebani masyarakat.

    Di sisi lain, Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) merekomendasikan Pemerintah Indonesia untuk meningkatkan efisiensi belanja melalui pengurangan subsidi dengan terfokus pada masyarakat rentan, fokus belanja untuk prioritas nasional, hingga evaluasi berkala terhadap efektivitas belanja publik. Rekomendasi ini bertujuan menjaga keberlanjutan fiskal sekaligus mendukung pertumbuhan ekonomi yang inklusif.

    Menyambut 2025, seiring dengan lebih stabilnya perpolitikan dalam negeri, diharapkan kebijakan fiskal dapat dikelola dengan lebih optimal.

    Harapannya, APBN bisa mendukung program pemerintah, sembari menjaga kesejahteraan rakyat, dan tetap sehat untuk menopang perekonomian nasional.

    Editor: Slamet Hadi Purnomo
    Copyright © ANTARA 2024

  • Harga BBM di Tahun 2025 Bakal Turun? Begini Perkiraannya

    Harga BBM di Tahun 2025 Bakal Turun? Begini Perkiraannya

    Jakarta, CNBC Indonesia – Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyampaikan bahwa harga minyak mentah global rata-rata diprediksi akan berada di sekitar US$ 71-80 per barel pada 2025. Hal ini tentunya akan mempengaruhi harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang lebih rendah di tahun depan.

    Turunnya harga minyak mentah dunia ini disebabkan oleh berbagai faktor. Menurut Bhima, harga ini masih relatif rendah dibanding puncak April 2024 di mana minyak mentah sempat menyentuh di level US$ 87 per barel.

    “Penurunan bunga acuan Fed belum cukup menjadi sentimen positif kenaikan harga minyak,” kata Bhima kepada CNBC Indonesia, dikutip Selasa (31/12/2024).

    Setidaknya, terdapat beberapa faktor yang membuat harga minyak mentah global berpotensi lebih rendah pada 2025. Pertama, terpilihnya kembali Donald Trump sebagai Presiden AS yang akan mendorong eksplorasi dan produksi minyak di AS, sehingga membuat tahun 2025 diliputi oil glut atau pasokan minyak yang berlebih.

    “Kedua, permintaan minyak untuk industri di negara seperti China dan India diperkirakan melambat. Apalagi ekonomi China masih sluggish dan diproyeksi tumbuh di 4,5%,” kata dia.

    Bhima menilai dengan adanya potensi produksi minyak AS yang bertambah, maka hal itu akan berpengaruh pada harga minyak global dan harga jual Bahan Bakar Minyak (BBM) non subsidi di dalam negeri. “Ada potensi lebih rendah harganya,” tambahnya.

    Sementara, Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Muhammad Ishak menilai harga minyak pada tahun depan diperkirakan melemah karena faktor permintaan yang turun. Hal ini didorong oleh dampak dari pertumbuhan ekonomi global yang relatif sama dengan tahun ini khususnya China dan negara negara industri seperti Jerman yang mengalami perlambatan dalam beberapa tahun terakhir.

    “Dengan kondisi ini sulit memproyeksikan kenaikan harga akibat lonjakan permintaan minyak tahun depan,” katanya.

    Selain itu, tingkat adopsi kendaraan listrik di berbagai negara juga terus meningkat sehingga secara fundamental permintaan minyak dari sisi transportasi juga cenderung akan terus tertekan. Adapun, dari sisi supply janji Donald Trump untuk mendorong produksi minyak mentah di AS dengan mempermudah izin produksi membuat pasokan minyak global akan semakin tinggi.

    “Meskipun akan ada potensi pemangkasan dari OPEC Plus namun tidak akan signifikan,” katanya.

    Adapun, pergerakan harga minyak mentah tersebut tentunya bakal berpengaruh pada penentuan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) di dalam negeri. Apalagi salah satu komponen pembentuk harga BBM, yakni nilai tukar (kurs) rupiah terpantau menguat terhadap dolar Amerika Serikat (AS).

    Sebagai badan usaha yang ditugaskan menyalurkan BBM di dalam negeri, Pertamina belum dapat memastikan apakah harga BBM non subsidi akan mengalami penurunan pada 1 Januari 2025 mendatang seiring dengan kondisi yang terjadi saat ini.

    Corporate Secretary Pertamina Patra Niaga, Heppy Wulansari mengatakan pihaknya hingga kini masih melakukan evaluasi. “Masih dievaluasi, besok baru bisa kami rilis ya,” kata dia.

    Perlu diketahui, perubahan harga BBM non subsidi akan ditentukan berdasarkan harga minyak, Mean of Platts Singapore (MOPS), maupun nilai tukar (kurs), rata-rata yang berlaku pada periode tanggal 25 pada dua bulan sebelumnya sampai dengan tanggal 24 pada satu bulan sebelumnya untuk penetapan bulan berjalan. Adapun perubahan harga BBM non subsidi biasanya ditetapkan setiap tanggal 1 setiap bulannya.

    (pgr/pgr)

  • Pemerintah Diminta Kejar Pajak Orang Kaya Dibanding PPN 12 Persen, Potensinya Capai Rp 81,6 T

    Pemerintah Diminta Kejar Pajak Orang Kaya Dibanding PPN 12 Persen, Potensinya Capai Rp 81,6 T

    Pemerintah Diminta Kejar Pajak Orang Kaya Dibanding PPN 12 Persen, Potensinya Capai Rp 81,6 T
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Ekonom dan Direktur Eksekutif CELIOS
    Bhima Yudhistira
    menilai rencana pemerintah untuk menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen dari sebelumnya 11 persen adalah langkah yang tidak kreatif.
    Menurutnya, pemerintah seharusnya fokus pada pengumpulan pajak dari orang kaya yang selama ini belum maksimal.
    Bhima menyebut, pemerintah berpotensi mengumpulkan Rp 81,6 triliun dalam sekali penarikan
    pajak kekayaan
    .
    “Cara paling tidak kreatif untuk naikkan pajak adalah mengubah tarif PPN. Padahal pajak kekayaan sekali penerapan bisa mendapat Rp 81,6 triliun. Potensinya jauh melebihi pendapatan dari PPN 12 persen,” kata Bhima kepada
    Kompas.com,
    Senin (30/12/2024).
    Ia menjelaskan, pemerintah tidak mau repot dalam menarik pajak kekayaan dari wajib pajak berpendapatan tinggi.
    Hal ini karena prosesnya membutuhkan usaha maksimal, seperti pencocokan data dan penelusuran aset yang disembunyikan hingga ke luar negeri agar terbebas dari pajak.
    Bhima beranggapan,
    kenaikan PPN
    justru merugikan pemerintah.
    Ia khawatir jumlah masyarakat kelas menengah akan menurun akibat kebijakan ini.
    “Hasil (kenaikan) PPN dari 10 persen jadi 11 persen sebelumnya, kan rasio pajak juga tidak naik signifikan. Pemerintah tidak mau susah dan tidak mau repot mengeluarkan
    kebijakan pajak
    kekayaan,” ucap Bhima.
    Lebih lanjut, Bhima menilai pemerintah tidak perlu memberlakukan pengampunan pajak (
    tax amnesty
    ) lagi.
    Pengampunan pajak diberikan dalam dua jilid agar wajib pajak mau mendeklarasikan hartanya tanpa dikenai denda.
    Ia menekankan bahwa pemerintah perlu memperbaiki kebijakan pajak daripada memberikan pengampunan.
    “Di negara yang jadi anggota OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) saja, kepatuhan pajak terus dikejar, sampai menutup kebocoran transaksi lintas negara (BEPS).
    Tax amnesty
    tidak perlu diberlakukan lagi. Cukup telusuri kepatuhan dan kesesuaian data aset dari tax amnesty kemarin untuk basis data pajak kekayaan,” ujarnya.
    Sebelumnya, rencana kenaikan PPN menjadi 12 persen per 1 Januari 2025, mendapat penolakan luas dari masyarakat.
    Penolakan ini muncul melalui petisi di media sosial dan aksi demonstrasi.
    Kebijakan ini diprediksi akan memicu lonjakan harga barang dan jasa, yang berpotensi mengubah pola konsumsi masyarakat.
    Banyak yang khawatir bahwa PPN yang lebih tinggi akan memberikan efek domino yang merugikan.
    Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • PPN 12%, Ekonom Sebut Kelas Menengah-Bawah Berhemat Tahun Depan

    PPN 12%, Ekonom Sebut Kelas Menengah-Bawah Berhemat Tahun Depan

    Bisnis.com, JAKARTA — Ekonom Center of Reform on Economics Indonesia Yusuf Rendy Manilet meyakini masyarakat akan melakukan penghematan pengeluaran pada tahun depan, akibat penerapan tarif pajak pertambahan nilai alias PPN 12% pada 1 Januari 2025.

    Yusuf menjelaskan penyesuaian tarif PPN dari 11% menjadi 12% akan menyebabkan kenaikan harga barang/jasa secara langsung maupun tidak langsung.

    “Saya kira untuk kelompok kelas menengah ataupun mereka yang terkategori sebagai aspiring middle class berpotensi akan melakukan penyesuaian konsumsi untuk merespon perubahan harga yang akan terjadi,” kata Yusuf kepada Bisnis, Sabtu (28/12/2024).

    Apalagi, sambungnya, ada rencana penguatan baru yang dikenakan untuk kelompok buruh tertentu seperti implementasi dana pensiun wajib.

    Oleh sebab itu, pada awal atau pertengahan 2025, Yusuf mendorong pemerintah melakukan penyesuaian berbagai kebijakan tersebut agar pertumbuhan ekonomi tidak tertekan.

    Jika masyarakat menghemat pengeluaran maka konsumsi rumah tangga akan melambat. Masalahnya, konsumsi rumah masih menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi Indonesia.

    Data terakhir dari Badan Pusat Statistik menunjukkan konsumsi rumah tangga mendistribusikan 53,08% dari produk domestik bruto (PDB) pada Kuartal III/2024.

    Yusuf mengungkapkan Center of Reform on Economics Indonesia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi berada di kisaran 4,8%—5% pada 2025.

    “Batas bawah pertumbuhan ekonomi yang relatif rendah kami set berdasarkan asumsi kebijakan pemerintah yang belum mampu mendorong perekonomian secara lebih optimal di tahun ini ditambah kebijakan yang berpotensi justru menambah beban masyarakat di tahun depan,” jelas Yusuf.

    Tak hanya dari internal, Yusuf mengingatkan tantangan ekonomi juga datang dari eksternal. Terpilihnya Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat (AS) periode 2025—2029 diyakini akan mengubah dinamika perekonomian global.

    Dia mengingatkan, Trump cenderung memiliki kebijakan proteksionisme seperti yang ditunjukkan ketika memimpin AS periode pertama (2017—2021). Akibatnya, perang dagang antara AS dan China akan semakin memanas.

    Masalahnya, sambung Yusuf, AS dan China merupakan salah dua mitra utama perdagangan Indonesia. Akibatnya, ditakutkan kinerja ekspor Indonesia akan terganggu pada tahun depan.

    “Kebijakan proteksionisme Trump juga bisa mempengaruhi perubahan harga komoditas. Sayangnya kondisi ini tidak begitu bagus bagi Indonesia yang masih relatif tergantung pada pergerakan harga komoditas,” ujar Yusuf.

    Kenaikan Harga

    Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan mengklaim kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% tidak akan terlalu berdampak signifikan kepada perubahan harga barang/jasa.

    Direktur P2Humas Ditjen Pajak Dwi Astuti meyakini penerapan PPN 12% hanya akan menaikkan harga sebanyak 0,9%. Dwi pun memberi contoh cara perhitungan kenaikan biaya akibat penerapan PPN 12%:

    A berlangganan Netflix seharga Rp100.000. Dengan PPN 11%, dia terutang PPN sebesar Rp11.000 sehingga total pembayaran Rp111.000.

    Kemudian dengan PPN 12%, A terutang PPN sebesar Rp12.000 sehingga total pembayaran Rp112.000. Perhitungan selisih kenaikannya: (Rp110.000 – Rp112.000) / Rp110.000) × 100% = 0,9%. 

    “Cuma 0,9% dari PPN yang harus dibayar,” jelas Dwi di Kantor Ditjen Pajak, Jakarta Selatan, Senin (23/12/2024).

    Sementara itu, Direktur Eksekutif Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira punya perhitungan yang berbeda. Menurutnya, kenaikan tarif PPN dari 11% menjadi 12% akan berdampak ke kenaikan harga hingga 9,09%.

    Contohnya A membeli seharga Rp5.000.000. Dengan PPN 11%, dia terutang PPN sebesar Rp550.000 sehingga total pembayaran Rp5.550.000.

    Kemudian dengan PPN 12%, A terutang PPN sebesar Rp600.000 sehingga total pembayaran Rp5.600.000. Perhitungan selisih kenaikannya (Rp5.600.000 – Rp5.550.000) / Rp5.550.000) × 100% = 9,09%

    “Perlu dibedakan antara selisih tarif dengan kenaikan tarif,” kata Bhima kepada Bisnis, Selasa (19/11/2024).

  • Top 3: Peringatan Badai Ekonomi RI di 2025 – Page 3

    Top 3: Peringatan Badai Ekonomi RI di 2025 – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, mengungkapkan bahwa kondisi ekonomi Indonesia pada 2025 mendatang akan menghadapi perfect storm atau badai yang sempurna.

    Bhima lebih lanjut mengatakan, harga komoditas ekspor juga diperkirakan cukup rendah pada kuartal I 2025 mendatang.

    Berita mengenai peringatan badai ekonomi di 2025 ini menjadi berita yang paling banyak dibaca di kanal Bisnis Liputan6.com, Kamis (26/12/2024):

    1. Ancaman Ekonomi RI Diterjang Badai di 2025, Ini Penyebabnya

    Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, mengungkapkan bahwa kondisi ekonomi Indonesia pada 2025 mendatang akan menghadapi perfect storm atau badai yang sempurna.

    “Ekspor dan investasi bakal terdampak perang dagang yang meluas, bukan cuma AS-China, tapi juga AS-Kanada, dan negara lain. Geopolitik juga sedang bergejolak,” ungkap Bhima kepada Liputan6.com di Jakarta, dikutip Rabu (25/12/2024).

    Bhima lebih lanjut mengatakan, harga komoditas ekspor juga diperkirakan cukup rendah pada kuartal I 2025 mendatang.

    “Jadi, ekspor dan investasi sulit diandalkan jadi motor ekonomi awal tahun 2025. Kuncinya di pasar dan produksi domestik, memanfaatkan besarnya kelas konsumen Indonesia,” kata dia.

    Selengkapnya

  • Presiden Prabowo Diminta Batalkan PPN 12 Persen Imbas Ekonomi Lesu, Langkah Malaysia Bisa Ditiru

    Presiden Prabowo Diminta Batalkan PPN 12 Persen Imbas Ekonomi Lesu, Langkah Malaysia Bisa Ditiru

    TRIBUNJATIM.COM – Penerapan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 12 persen kini menjadi polemik dan sorotan masyarakat.

    Sebab, PPN 12 persen ini dinilai memberatkan masyarakat.

    Dalam hal ini, Presiden Prabowo Subianto dinilai punya kuasa untuk menunda penerapan PPN 12 persen yang dijadwalkan akan diterapkan per 1 Januari 2025.

    Terlebih, kenaikan PPN dari 11 persen tersebut sudah mendapatkan banyak penolakan di tengah melambatnya konsumsi rumah tangga.

    Salah satu aksi yang bisa dilakukan Prabowo yaitu menggunakan kewenangannya untuk mengusulkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) soal membatalkan kenaikan tarif tersebut.

    Tersedia ruang untuk pemerintah mengajukan RAPBN Penyesuaian apabila ada perubahan kebijakan-kebijakan fiskal.

    Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti mengatakan, Presiden bisa langsung menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perppu) untuk mengakomodasi pembatalan tersebut.

    “Betul, intinya political will dan itu (menggunakan Perppu) bisa karena saat ini kita akui kondisi ekonomi sedang lesu dan kurang bergairah,” kata Esther, Rabu (25/12/2024).

    Menurutnya, kenaikan tarif PPN bisa dilakukan oleh pemerintah selama kondisi ekonomi dan daya beli masyarakat telah stabil, sehingga kebijakan itu tak mendistorsi soliditas produk domestik bruto (PDB).

    “Peran Presiden untuk memutuskan dan menunda kebijakan tarif PPN ini sangat memungkinkan. Pertanyaannya, apakah hal itu mau dilakukan? Menurut saya kenaikan PPN ini bisa ditunda sampai ekonomi kita benar-benar kembali berkeliaran,” tuturnya.

    Ia pun mengingatkan pemerintah untuk melihat Pemerintah Malaysia yang sempat menaikkan tarif PPN dan berdampak buruk pada perekonomian negara tersebut.

    Alhasil, Malaysia pun menurunkan tarif PPN tersebut.

    “Pemerintah Malaysia saja menaikkan tarif PPN kemudian setelah tahu dampak kenaikan tarif itu mengakibatkan volume ekspor turun, maka kemudian dievaluasi kebijakan itu dan diturunkn kembali tarif PPN seperti semula,” ujarnya.

    Seperti diketahui, tarif PPN akan naik menjadi 12 persen mulai tahun depan.

    Sementara itu, pemerintahan dapat menyesuaikan tarif PPN 12 persen melalui mekanisme APBN Penyesuianan/Perubahan dengan persetujuan DPR RI.

    Setelah RAPBN disetujui menjadi UU APBN, Pemerintah menerbitkan PP tentang tarif PPN.

    Sebab, tarif PPN 12 % telah menjadi bagian dari UU APBN 2025, yg telah disepakati bersama antara pemerintah dan DPR.

    Hal ini pun sejalan dengan UU Harmonisasi Peraturan Perpajalan (HPP) yang memberikan kewenangan bagi pemerintah untun mengubah tarif PPN menjadi paling rendah 5 % atau paling tinggi 15 % .

    Dongkrak Inflasi

    Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) memprediksi kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025 akan meningkatkan tingkat inflasi Indonesia.

    Ketua Umum APINDO Shinta Kamdani mengatakan bahwa pihaknya memproyeksikan inflasi pada 2025 terjaga di kisaran 2,5 plus minus 1 persen sesuai dengan target Bank Indonesia.

    “Kami memproyeksikan bahwa di 2025 ini kita juga lihat juga Bank Indonesia melakukan substitusi komoditas energi dan mengendalikan produksi pangan melalui program ketahanan pangan,” katanya dalam konferensi pers di kantor APINDO, Jakarta Selatan, Kamis (19/12/2024).

    Ia mengatakan tekanan inflasi diperkirakan akan meningkat di awal 2025 karena dorongan sejumlah faktor.

    Faktor-faktor itu seperti kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) sebesar 6,5 persen dan PPN menjadi 12 persen.

    “Jadi ini tekanan inflasi diperkirakan akan juga meningkat di awal tahun didorong oleh sejumlah faktor seperti kita tahu kenaikan UMP, implementasi PPN 12 persen, serta permintaan musiman yang di kuartal 1 yang terkait dengan momentum Ramadan dan Lebaran,” ujar Shinta.

    Berikut ini fakta tentang PPN 12 persen

    Banyak orang yang mengeluhkan terkait PPN 12 persen.

    Apakah benar PPN 12 persen hanya berlaku untuk gaji di atas Rp 10 juta?

    Baru-baru ini, warganet ramai membahas isu mengenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen yang disebut-sebut hanya berlaku untuk orang dengan gaji di atas Rp 10 juta.

    Diskusi ini dipicu oleh unggahan di media sosial X (Twitter) oleh akun @an**malza dan @nono*en, yang mengklaim bahwa hanya orang bergaji tinggi yang terdampak kenaikan PPN tersebut.

    Bahkan, beberapa sumber menyebutkan bahwa barang kebutuhan pokok tidak terimbas tarif PPN baru ini.

    Namun, benarkah informasi tersebut? Berikut penjelasan resmi dari pemerintah dan para ahli.

    Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kemenkeu, Dwi Astuti, menegaskan bahwa klaim PPN 12 persen hanya berlaku untuk orang dengan gaji di atas Rp 10 juta adalah tidak benar.

    Menurut Dwi, insentif yang diberikan pemerintah berupa Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 Ditanggung Pemerintah (DTP) memang berlaku untuk pekerja dengan gaji hingga Rp 10 juta, khususnya di sektor industri padat karya. Namun, hal ini berbeda dengan kebijakan PPN.

    “Kenaikan tarif PPN dari 11 persen menjadi 12 persen berlaku untuk seluruh barang dan jasa yang sebelumnya dikenai tarif 11 persen,” kata Dwi.

    Dengan demikian, PPN 12 persen berlaku secara umum, termasuk untuk barang dan jasa yang bukan kategori barang mewah.

    Walau pun tarif PPN naik menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025, pemerintah tetap memberikan pengecualian untuk barang tertentu.

    Beberapa barang kebutuhan pokok seperti minyak goreng curah Minyakita, tepung terigu, dan gula industri dikenakan PPN 1 persen yang ditanggung pemerintah.

    Artinya, harga barang-barang tersebut tidak akan terpengaruh oleh kenaikan tarif PPN.

    Dampak PPN 12 Persen bagi Masyarakat

    Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), menyebutkan bahwa kenaikan PPN 12 persen akan berdampak pada seluruh kelompok penghasilan, termasuk masyarakat dengan gaji di bawah Rp 10 juta.

    “Kelompok masyarakat miskin bahkan akan menanggung beban lebih besar, dengan pengeluaran tambahan hingga Rp 110.000 per bulan,” jelas Bhima.

    Ia juga menekankan bahwa meskipun kebutuhan pokok tidak dikenakan PPN secara langsung, kenaikan tarif ini tetap memengaruhi harga barang lain seperti BBM dan kendaraan angkutan yang pada akhirnya berdampak pada harga sembako.

    Perbedaan antara PPN dan PPh

    Penting untuk memahami perbedaan antara PPN (Pajak Pertambahan Nilai) dan PPh (Pajak Penghasilan):

    PPN adalah pajak atas konsumsi barang dan jasa dalam negeri. Pajak ini dibayarkan oleh konsumen saat membeli barang atau jasa dan disetorkan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP).

    PPh dikenakan atas penghasilan individu atau badan usaha, seperti gaji, laba usaha, bunga, dan hadiah. Tarif PPh untuk individu bersifat progresif, sedangkan untuk badan usaha umumnya tetap di 22 persen.

    Klaim bahwa PPN 12 persen hanya berlaku untuk orang dengan gaji di atas Rp 10 juta adalah tidak benar.

    Kenaikan tarif PPN berlaku secara luas untuk barang dan jasa yang sebelumnya dikenakan tarif 11 persen, dengan pengecualian tertentu. 

    Untuk masyarakat berpenghasilan hingga Rp 10 juta, pemerintah memberikan insentif PPh Pasal 21 DTP di sektor tertentu sebagai langkah menjaga daya beli.

    Dengan memahami kebijakan ini, masyarakat dapat lebih bijak menyikapi isu pajak yang berkembang.

    Jangan lupa untuk selalu mencari informasi dari sumber terpercaya untuk menghindari kesalahpahaman.

    Berita Viral dan Berita Jatim lainnya

    Informasi lengkap dan menarik lainnya di GoogleNews TribunJatim.com

  • PPN 12%, Buah Simalakama dari Jokowi untuk Prabowo

    PPN 12%, Buah Simalakama dari Jokowi untuk Prabowo

    Bisnis.com, JAKARTA — Penetapan tarif Pajak Pertambahan Nilai atau PPN 12% dinilai sebagai buah simalakama bagi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, yang diwariskan pemimpin sebelumnya, Joko Widodo.

    Pengamat kebijakan publik Trubus Rahadiyansyah mengatakan bahwa Presiden Prabowo Subianto sebenarnya dapat mengusulkan penurunan tarif PPN. Mengingat, dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), pemerintah bisa mengatur tarif PPN di rentang 5%—15%.

    Menurutnya, Prabowo yang telah mengamati situasi ekonomi, melihat kenaikan pajak ini sebagai “obat pahit pilihan” dari konsekuensi kebijakan pemerintahan Presiden Ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) yang bisa dipandang sebagai buah simalakama.

    “Ini memang beban dari Jokowi, sehingga menjadi buah simalakama bagi Prabowo,” ujarnya kepada Bisnis, Rabu (25/12/2024).

    Lebih lanjut, menurut Trubus, salah satu alasan Prabowo mengambil sikap memilih kenaikan PPN ini adalah besarnya beban fiskal yang sudah ditinggalkan oleh pemerintahan sebelumnya. Lalu, janji-janji kampanye dan besarnya kabinet Prabowo pun membuat kebutuhan belanja kian jumbo.

    Pemerintah saat ini harus menanggung utang negara yang cukup tinggi, dengan total anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) hanya sekitar Rp 3.200 triliun, sementara utang negara terhitung sangat besar.

    “Pemerintah utang cukup tinggi peninggalan Jokowi, sedangkan APBN sekitar Rp3.200 triliun tidak cukup menambal utang yang cukup banyak, akhirnya larinya pajak naik semua sehingga masyarakat akan menjerit meskipun menengah ke bawah,” katanya.

    Dia melanjutkan bahwa meskipun kenaikan PPN sudah menjadi bagian dari UU HPP yang telah disahkan, tetapi regulasi ini masih memungkinkan untuk dievaluasi.

    Salah satu opsi yang bisa ditempuh oleh Prabowo, kata Trubus, adalah penerbitan Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang) apabila kondisi darurat atau ketimpangan sosial makin parah.

    “Jika terjadi force majeure atau kondisi darurat, pemerintah bisa mengambil langkah luar biasa dengan mengeluarkan Perppu,” ungkapnya. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun UU ini sudah sah, keputusan akhir tetap berada di tangan pemerintah, tergantung pada situasi yang berkembang.

    Kenaikan PPN menjadi salah satu cara untuk mengatasi kekurangan penerimaan pajak dan meningkatkan pendapatan negara, yang sangat dibutuhkan untuk menutupi defisit anggaran. Namun, dampaknya terhadap daya beli masyarakat dan sektor usaha menjadi perhatian utama.

    Trubus menegaskan pentingnya melihat kondisi lapangan kerja dan daya beli masyarakat terlebih dahulu sebelum melangkah lebih jauh dengan kenaikan pajak ini. Khususnya dalam melihat asas keadilan dan gotong royong.

    Menurutnya, meskipun dibanjiri banyak insentif, tetapi dengan belum ada penjelasan kriteria barang mewah dan premium yang akan dikenakan, maka pedagang di lapangan akan memberlakukan harga yang sama untuk kenaikkan setiap barang dengan tidak ada pihak yang menindak.

    Belum lagi batas insentif tidak hanya 2 bulan, sehingga setelah waktu yang ditentukkan Prabowo bisa menaikkan lagi harga komoditas lainnya.

    “Meskipun mengeluarkan Perppu hanya boleh jika situasi mendesak atau force majure jika ketimpangan sosial, tetapi ini juga tergantung political will. Apabila Prabowo ingin ekonomi naik 8%, maka seharusnya memantapkan dulu di lapangan kerja dan daya beli sebelum menaikkan PPN,” pungkas Trubus.

    Catatan Hitam Pemerintahan Prabowo

    Sementara itu, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira memastikan bahwa penerapan tarif PPN 12% bakal menjadi catatan hitam jelang 100 hari pemerintahan Prabowo Subianto.

    Dia mengatakan bahwa penerapan kebijakan yang bakal dimulai per 1 Januari 2024 memberikan efek yang luas terhadap masyarakat. Apalagi,  pelaku usaha juga melayangkan protes keras terhadap langkah tersebut.

    “PPN 12% akan jadi catatan hitam paling bersejarah di 100 hari pemerintahan Prabowo-Gibran. Karena efek nya luas ke masyarakat, pelaku usaha juga protes ini ibaratnya program Prabowo mengorbankan banyak pihak,” ujarnya kepada Bisnis, Selasa (24/12/2024).

    Menurutnya, terdapat tiga faktor utama yang membuat pemerintah memaksakan untuk menerapkan PPN 12%. Pertama, pemerintah sedang butuh penerimaan pajak untuk biayai kebutuhan pembayaran bunga dan utang jatuh tempo.

    Apalagi, kata Bhima, total debt service tahun depan mencapai Rp1.300 triliun setara 59,3% total target penerimaan perpajakan 2025.

    “Utang ini jadi masalah serius kalau sampai pemerintah gagal bayar utang bisa sentimen negatif di pasar keuangan, rupiah bisa melemah drastis,” katanya.

    Kedua, Bhima melanjutkan bahwa kebutuhan program quick win seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) dan lumbung pangan atau food estate akan menguras anggaran yang sangat besar.

    Pemerintah akhirnya mencari jalan pintas dengan menganggap PPN sebagai solusi menambal defisit APBN yang nyaris menyentuh 3% karena besarnya dana untuk program 2025.

    Bhima pun menyebut bahwa alasan terakhir kenaikan tarif PPN 12% dianggap cara paling mudah mendapatkan pemasukan baru dibanding kerja keras lainnya seperti mengejar kepatuhan pajak dan memajaki kekayaan.

    “Pemerintah ini kan tidak mau susah mikir, suka jalan pintas, maka siapapun bisa dengan mudah naikan tarif pajak. Sementara kejar pajak kekayaan atau wealth tax butuh kerja ekstra untuk cocokkan data, penagihan hingga mengejar aset diluar negeri. Karena malas, maka yang diburu adalah wajib pajak eksisting,” pungkas Bhima.